Senin, 19 Juli 2021

Al-Baidhāwi

 

Al-Baidhāwi

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Pada dasarnya Ketika menggunakan sebuah metode dalam menafsirkan al-Qur’an, seorang mufassir tentu berpegang pada kaidah yang berlaku, dan penafsirannya ini sangat diwarnai oleh latar belakang, kecenderungan, serta disiplin ilmu yang ia kuasai. Kemampuan setiap mufassir dalam memahami lafal dan ungkapan ayat tidak sama. Hal ini menjadikan setiap penafsir memiliki karakteristik atau corak tersendiri dalam menafsirkan al-Qur’an. Corak penafsiran sebuah tafsir sangat beragam, sehingga para peneliti atau para ulama mengelompokkan corak tafsir ini kedalam lima corak umum, corak tersebut adalah fiqhi, falsafi, ilmi dan adabi waijtim’ai.

Abdullah bin Umar al-Baidhāwi, adalah mufassir asal Iran yang wafat pada tahun 691 H, telah menafsirkan al-Qur’an dengan gayanya tersendiri. Dengan karakteristik dan kapasitas keilmuan yang dimilikinya ia berusaha memenuhi kebutuhan umat manusia akan penafsiran ayat al-Qur’an pada masa itu. Ia menyumbangkan sebuah tafsir yang tidak terlalu panjang, namun diyakininya adalah tafsir terbaik yang cocok dipelajari pada saat itu.

Bertitik tolak dari latar belakang di atas, penulis tertarik untuk meneliti dan memaparkan dalam bentuk makalah.

B.     Rumusan Masalah

1.         Bagaimana Biografi al-Bhaidāwi ?

2.         Apa metode dan corak yang digunakan oleh al-Baidhāwi dalam menulis tafsir Anwār al–Tanzil wa Asrār al-Ta’wil?

C.    Tujuan Masalah

1.         Untuk mengetahui Biografi al-Bhaidāwi.

2.         Untuk mengetahui metode dan corak yang digunakan oleh al-Baidhāwi dalam menulis tafsir Anwār al–Tanzil wa Asrār al-Ta’wil.

 


 

BAB II

PEMBAHASAN

  • A.    Biografi al-Baidhāwi

1.         Tempat Kelahiran dan Wafat al-Baidhāwi

Nama lengkap al-Baidhāwi adalah ‘Abd Allah bin ‘Umar bin Muhammad bin ‘Aliy Al-Baidhāwi al-Syafi’i Al-Syirazi. Tapi namanya lebih dikenal dengan al-Baidhāwi, dinisbatkan pada tempat kelahirannya desa al- Baidha, dan juga sering dipanggil dengan sebutan al-Qadhi, dinisbatkan kepada profesi beliau sebagai qadhi (hakim agung) di kota Syiraz yang pernah dijabatnya selama beberapa tahun.[1]

Al-Baidhāwi dilahirkan di sebuah tempat yang bernama Baidha, sebuah desa di Barat Daya Iran. Mengenai tahun kelahirannya tak ada satu pun sumber informasi yang penulis dapat mengenai hal ini. Yang jelas beliau hidup pada akhir abad ke-12 M dan meninggal pada tahun yang diperselisihkan juga, ada yang mengatakan beliau meninggal pada tahun 685 H (1286 M), ulama yang berpendapat tentang ini adalah Ibnu Katsir dan al-  Suyuti, sedangkan menurut al-Subki dan al-Nawawi4 al-Baidhāwi wafat pada tahun 691 H (1291 M).[2]

2.         Pendidikan al-Baidhāwi

Pendidikan al-Baidhāwi dimulai saat ia masih kecil, beliau banyak berguru kepada ayahnya Imam Abu al-Qasim ‘Umr bin Muhammad bin ‘Ali seorang hakim agung di Farsi dan Abu Bakr bin Sa’d (613-658/1226-1260M).

Dalam masalah pendidikan sesungguhnya al-Baidhāwi merupakan seorang penuntut ilmu yang giat, dan pelajar yang alim. Berbagai cabang ilmu keislaman dipelajarinya secara mendalam mulai dari ilmu fiqih dan ushul, mantiq, filsafat, kalam dan adab, serta ilmu-ilmu bahasa Arab dan sastra juga ilmu-ilmu syara dan hukum. Tak heran kalau al-Baidhāwi memiliki banyak predikat tidak hanya sebagai seorang faqqih, muhaddits, ataupun mufassir, tapi beliau juga merupakan seorang teolog dan ahli Ushul yang juga mahir dibidang debat dan etika berdiskusi.[3]

3.         Aktifitas Keilmuan dan Perjuangannya

Di tempat kelahirannya desa Baidha, al-Baidhāwi mulai bersentuhan dengan ilmu fiqih dan ushul, mantiq, filsafat, kalam dan adab, ilmu-ilmu bahasa Arab dan sastra serta ilmu-ilmu syara dan hukum.[4]

Al-Baidhāwi merupakan seorang ulama yang tidak antipati terhadap politik sesuai dengan prinsip mazhab Sunni dalam memandang masalah politik, hal ini terbukti dengan sikap beliau yang berkompromis dengan birokrat pada saat itu, bahkan beliau terlibat langsung dalam kegiatan politik, yakni beliau pernah menjabat sebagai hakim agung (qadhi) di daerah Syiraz selama beberapa tahun. Beliau juga merupakan seorang ulama di Azerbaijan, dan seorang guru besar di daerah itu.[5]

Dari tempat kelahirannya di Baidha al-Baidhāwi pindah ke kota Syiraz, dan menetap disana, karena keahliannya di bidang fiqh mengantarkan beliau mengikuti jejak ayahnya menjadi seorang hakim agung disana. Beliau memegang jabatan sebagai hakim agung ini selama beberapa tahun. Selama di Syiraz al-Baidhāwi banyak bergaul dan belajar pada sahabatnya sendiri yaitu Syaikh Muhammad bin Muhammad al-Kahtai al- Shufi. Al-Kahtai banyak membimbing dan membantunya dalam menjalankan aktifitas keilmuan beliau. Begitu pula dalam hal pekerjaan Syaikh al-Kahtai banyak memberi dukungan dan masukan, hal ini terbukti dengan pengunduran al-Baidhāwi dari jabatannya sebagai hakim setelah al-Kahtai memberi nasihat kepadanya untuk mundur dari jabatan itu.

Di Syiraz, selama ia menjabat sebagai hakim selama beberapa tahun. Ia hidup dalam suasana politik yang tidak menentu. Sultan Abu Bakr yang memegang tampuk kekuasaan di Syiraz saat itu sangat lemah, tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk membangun tatanan masyarakat yang baik. Bukan hanya supermasi keadilan yang lemah, namun para elit yang berkuasa pun hidup dalam budaya yang boros. Intervensi penguasa terhadap peradilan pun demikian kuatnya, sehingga banyak fuqaha yang mengkhawatirkan kemungkinan diperintah untuk mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan syariat Islam. [6]

Mungkin, karena pertimbangan inilah Syaikh Muhammad Al-Kahta’i yang memintanya keluar dari pemerintahan yang menyebabkan al-Baidhāwi mengundurkan diri dari jabatan hakim. Setelah mengundurkan diri dari jabatannya sebagai hakim, al-Baidhāwi mengembara ke Tibriz hingga akhir hayatnya. Di kota inilah beliau banyak mengembangkan ilmu pengetahuan, terutama dibidang ushul fiqh dan tafsir.

4.         Pandangan Ulama Terhadap al-Baidhāwi

Berikut penilaian beberapa tokoh ulama terhadap kepribadian al- Baidhāwi, yang tidak terlepas dari karya yang ia hasilkan, tindak tanduknya sebagai seorang manusia dengan pengusaannya yang luas terhadap ilmu keislaman.

Menurut Qadhi Syuhbah dalam thabaqatnya menyatakan bahwa al- Baidhāwi merupakan seorang yang memiliki banyak hasil karya, seorang alim ulama guru besar di Azerbaijan dan seorang qadhi di Syiraz.

Imam al-Subki mengatakan, bahwa al-Baidhāwi adalah seorang Imam yang jeli, ahli debat, seorang yang saleh dan juga ahli ibadah.[7]

Menurut Ibnu Habib, al-Baidhāwi merupakan seorang ulama yang banyak mendapatkan pujian dalam setiap karangannya, karena metode yang dipakai al-Baidhāwi dalam setiap karyanya menggunakan lafal yang mudah dimengerti serta menggunakan metode yang ringkas namun detail.

Maulana al-Musyi mengungkapkan pujiannya kepada al-Baidhwi dengan menyatakan, “Para cendikiawan tidak datang dengan menyingkap cadar (qina) dari apa yang dibaca, tetapi al-Baidawi memiliki tangan yang putih berkailau tanpa cacat, karena ia menguasai medan kemahiran bicara. Maka tampaklah kemahirannya dalam berbagai ilmu yang seyogyanya ia dalam satu sisi menempati maqam pembuka topeng dari jalan-jalan keelokan isyarat dan keindahan istiarah.”

Menurut Prof. Dr. Mani’ ‘Abd Halim dalam kitabnya Manhaj al- Mufassirîn, menyatakan bahwa al-Baidhāwi merupakan seorang ahli ibadah dan seorang yang zuhud dari kehidupan dunia fana.

5.         Karya-Karyanya

a.       Anwar al-Tanzil wa Asara al-Ta’wil

b.      Minhaj al-Wushul ila al-Ushul

c.       Tawali al-Anwar min Matali al-Anzar

d.      Syarah al-Mahshul fi Ushul Fiqh

e.       Nizdam al-Tawarikh

f.        Al-Mishbah Arwah fi al-Ushul al-Din

g.      Syarah al-Tanbih li Abi Ishak Fiqh Syafii

h.      Al-Ghayah al-Quswa fi Dirasah al-Fatawa Syafii

i.        Syarah Kifayah fi al-Nahw dan Al-Lubb fi Al-Nahw

j.        Al-Tahdzib wa Al-Akhlaq

k.      Al-Lubab fi Ilmi I’robi

l.        Tuhfatul Abrar fi Syarhil Mashabih

m.    Al-Mukhtashar al-Kafiyah

n.      Syarah Minhaj al-Wushul

o.      Al-Idhah fi al-Ushul al-Din

p.      Syarah al-Muntakhab ushul Fiqh

q.      Mirsyad al-Ifham ila Mabadi al-Kalam

r.        Kitab Al-Manthiq (manthiq),

s.       Al-Tazkirrah

t.        Al-Ghayah Quswah fil Fiqh

u.      Muntahal Mana’

v.      Risalah Fi Maudhuah[8]

  • B.     Metode dan Corak Tafsir Al-Baidhāwi

1.    Metode Tafsir Al-Baidhāwi

Tafsir Anwār al-Tanzil Wa Asrār al-Ta’wil atau yang lebih dikenal dengan Tafsir al-Baidhāwi merupakan sebuah karya al-Baidhāwi, yang diuraikan dengan bahasa ringkas namun mendalam dan cukup indah, dan menerima banyak komenatar dari para ulama.[9]

Kitab ini terdiri dari empat juz dalam dua jilid yang diterbitkan di Bairut pada tahun 2003, jilid satu terdiri dari surah al-Fatihah sampai dengan surat al-An’am, pada jilid dua berisi surat al-A’raf sampai dengan surat al-Nās. Kitab ini merupakan sebuah kitab tafsir yang menarik perhatian kaum cendikiawan untuk membuat catatan pinggir (hāsyiyah) terhadapnya.

Ketika menuliskan sebuah karya ilmiah tidak terkecuali dalam menafsirkan al-Qur’an setiap pengarang tentu mempunyai metode dan kecenderungan tersendiri. Begitu juga halnya dengan al-Baidhāwi, dalam menafsirkan al-Qur’an beliau tidak bisa terlepas dari salah satu metode yang telah ditetapkan oleh ulama tafsir. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, penulis mengambil pemahaman bahwa dalam menafsirkan al-Qur’an al- Baidhāwi menggunakan metode tahlili (analisis) dalam tafsirnya, dimana beliau menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai segi yang terkandung dalam ayat-ayat yang ditafsirkan secara berurutan sesuai dengan mushaf utsmani yakni dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat al-Nās.[10]

2.    Sumber penafsiran Al-Baidhāwi

Sedangkan apabila ditinjau dari segi sumber, kitab Anwār al-Tanzil Wa Asrār al-Tawil ini menggunakan pendekatan tafsir bi al-ma’tsūr dan bi alra’yi sekaligus. Yakni pengambilan sumber panafsirannya berasal dari ayat al- Qur’an itu sendiri, hadits Nabi saw, pendapat para sahabat dan tabi’in, serta tidak meninggalkan ra’yunya sendiri. Terkadang beliau menafsirkan al-Qur’an hanya dengan bersandar pada akal pikirannya sendiri dan memasukkan begitu saja kedalam tafsirnya.[11]

a.         Pendekatan bi al-ma’tsūr

Penggunaan tafsir bi al-ma’tsūr dalam kitab ini dapat dilihat melalui penafsiran al-Baidhāwi yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan ayat yang ada dalam al-Qur’an itu sendiri, terkadang al-Baidhāwi juga mengambil hadits Nabi Muhammad Saw., mengambil sumber periwayatan para sahabat serta tabi’in untuk menafsirkan suatu ayat atau surat tertentu. Al-Baidhāwi menyatakan bahwa beliau mengambil dua sumber sebagai bahan rujukan tafsirnya yang pertama mengambil pendapat para sahabat, tabi'in, dan para ‘ulama salaf, yang kedua beliau mengambil rujukan dari tafsir-tafsir sebelumya.

1)            Menafsirkan Ayat dengan Ayat

al-Baidhāwi menafsirkan surat al-Baqarah ayat 67:

وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تَذْبَحُوا بَقَرَةً قَالُوا أَتَتَّخِذُنَا هُزُوًا قَالَ أَعُوذُ بِاللَّهِ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ (67)

Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya,”Allah memerintahkan kamu agar menyembelih seekor sapi betina.”Mereka bertanya,”Apakah engakau akan menjadikan kami sneagi ejekan?”Dia (Musa) menjawab, “Aku berlindung kepada Allah agar tidak termasuk orang-orang yang bodoh.

Ketika al-Biadhawi menafsirkan ayat (وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تَذْبَحُوا بَقَرَةً) beliau menyatakan bahwa kisah dalam ayat ini ada munasabahnya dengan ayat sesudahnya yakni surat al-Baqarah ayat 72 (وَإِذْ قَتَلْتُمْ نَفْسًا) yang menjadi awal kisah sapi betina. Hanya saja dalam penyusunan ayatnya Allah terlebih dahulu menempatkan ayat وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تَذْبَحُوا بَقَرَةً.[12]

2)            Penafsiran Ayat Dengan Hadits Nabi

Penggunaan hadits sebagai sumber penafsiran menjadi hal yang cukup penting dalam tafsir ini. Namun dalam penggunaan hadits sebagai sumber tafsirnya, al-Baidhāwi tidak menyeleksi kualitas hadits yang dipakai apakah hadits tersebut termasuk hadits shahih, hadits hasan, atau hadits dhaif. Al-Baidhāwi tidak pula menyebutkan sanad haditsnya, sehingga beliau banyak memasukan hadits dhaif bahkan mursal dengan sanad yang tidak diketahui dalam tafsirnya.

Contoh penafsiran al-Baidhāwi dengan hadits Nabi Saw.surat al- Maidah ayat 51

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ (51)

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orangorang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu) sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”

Al-Baidhāwi mengemukakan bahwa arti kata ( اولیاء ) adalah persahabatan, perlakuan baik serta mempekerjakan orang-orang yang tidak seagama yakni ahl al-kitab (Yahudi dan Nasrani) dengan alasan hadits Rasulullah Saw.( لاتتراناراھما ) “kedua api tidak saling melihat dalam arti kedua golongan tersebut dengan orang-orang muslim tidak dapat saling berdekatan, bahkan harus selalu berjauhan sehingga bila salah satu pihak menyalakan api, api tersebut tidak terlihat oleh pihak lain karena jauhnya.[13]

3)            Bersumber Qaūl Sahabat

Pengambilan sumber penafsiran dari Qaūl sahabat ini digunakan apabila al-Baidhāwi tidak menemukan penjelasan suatu ayat dari ayat-ayat al-Qur’an maupun hadits Nabi Saw. Contoh penafsirannya surat al-Anfal ayat 44:

إِذْ أَنْتُمْ بِالْعُدْوَةِ الدُّنْيَا وَهُمْ بِالْعُدْوَةِ الْقُصْوَى وَالرَّكْبُ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلَوْ تَوَاعَدْتُمْ لَاخْتَلَفْتُمْ فِي الْمِيعَادِ وَلَكِنْ لِيَقْضِيَ اللَّهُ أَمْرًا كَانَ مَفْعُولًا لِيَهْلِكَ مَنْ هَلَكَ عَنْ بَيِّنَةٍ وَيَحْيَى مَنْ حَيَّ عَنْ بَيِّنَةٍ وَإِنَّ اللَّهَ لَسَمِيعٌ عَلِيمٌ (42)

“Dan ketika Allah menampakkan mereka kepada kamu sekalian, ketika kamu berjumpa dengan mereka berjumlah sedikit pada penglihatan matamu dan kamu ditampakkan-Nya berjumlah sedikit pada penglihatan mata mereka, Karena Allah hendak melakukan suatu urusan yang mesti dilaksanakan. dan hanyalah kepada Allahlah dikembalikan segala urusan.”

Al-Baidhāwi menjelaskan mengenai apa yang dimaksudkan Allah Swt. dalam kalimat ( في أعینكم قلیلا ), adalah pandangan orang muslim terhadap jumlah musuhnya yang lebih sedikit disbanding jumlah pasukan umat muslim, sebagaimana perkataan Ibnu Mas’ud kepada orang yang disebelahnya, tentang berapa jumlah orang kafir dalam pandangan mereka, orang yang disebahnya menjawab bahwa jumlah orang kafir tersebut 100 orang, dan menurut pandangan Ibnu Ma’sud orang kafir tersebut jumlahnya hanya 70 orang saja. Padahal yang sebanarnya jumlah orang kafir tersebut lebih dari itu.[14]

4)            Berdasarkan Qaūl Tabi’in

Pegambilan sumber tafssir dari qaul tabi’in sebagai sumber tafsir dilakukan apabila al-Baidhāwi tidak menemukan penjelasan dari al-Quran, hadits Nabi Saw., dan pernyataan sahabat. Contoh penafsiran dari tabiin, surat al-Baqarah ayat 65:

وَلَقَدْ عَلِمْتُمُ الَّذِينَ اعْتَدَوْا مِنْكُمْ فِي السَّبْتِ فَقُلْنَا لَهُمْ كُونُوا قِرَدَةً خَاسِئِينَ (65)

Dan Sesungguhnya Telah kamu ketahui orang-orang yang melanggar diantaramu pada hari Sabtu, lalu kami berfirman kepada mereka: "Jadilah kamu kerayang hina".

Dalam menafsirkan kata (كُونُوا قِرَدَةً خَاسِئِينَ) al-Baidhawi mengutip perkataan tabiin yang bernama Mujahid yang mengatakan maksud dari firman Allah Swt. (كُونُوا قِرَدَةً خَاسِئِينَ) adalah bukan secara fisik mereka serta merta berubah menjadi seekor kera yang hina, melainkan sifat atau perwatakan mereka merubah menjadi seperti kera, keadaan hati mereka seperti prilaku kera, sebagaimana permisalan himar yang terdapat dalam surah al-Jumaah (مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا), kata ( كونوا ) disini bukan merupakan perintah “jadilah/berubahlah” tapi “menjadi/segera berubah” dan jadilah mereka seperti itu.[15]

b.         Penafsiran Al-Baidhāwi Dengan Unsur bi al-Ra’yi

Al-Baidhawi memberikan keleluasaan pada akal pikirannya dalam melakukan penafsiran, ra’yu pribadinya tersebut beliau sisipkan secara mahir dan teliti serta disusun dengan kata yang ringkas untuk memperkuat análisis tafsirnya. Hal ini bisa terlihat dengan banyaknya argumen al-Baidhāwi yang dikembangkan dalam menjelaskan ayat banyak menggunakan dalil aqli (alasan rasional). Contoh Penafsirannya dengan bi al-ra’yi ini salah satunya terdapat pada surat an-Naml ayat 22:

فَمَكَثَ غَيْرَ بَعِيدٍ فَقَالَ أَحَطْتُ بِمَا لَمْ تُحِطْ بِهِ وَجِئْتُكَ مِنْ سَبَإٍ بِنَبَإٍ يَقِينٍ (22)

“Maka tidak lama Kemudian (datanglah hud-hud), lalu ia berkata: "Aku Telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya; dan kubawa kepadamu dari negeri Saba suatu berita penting yang diyakini.”

Al-Baidhāwi mengemukakan, bahwa Nabi Sulaiman a.s. telah menyelesaikan bangunan bait al-Maqdis, lalu bersiap-siap untuk menunaikan ibdah haji. Setelah mngutip sebuah kisah Isrāiliyyāt tentang pengembaraan Nabi Sulaiman dari Makkah ke Sana’a tanpa mnyebutkan kualitas riwayat tersebut dan juga menafikannya beliau berkata,

Barangkali diantara keajaiban kekuasaan Allah dan dikhususkan bagi hamba-hamba-Nya, terdapat perkara yang lebih besar dariny, yang menyebabkan orang-orang mengetahuikekuasaan- Nya akan mengagungkanNya dan sebaliknya, orang-orang yang mngingkarinya akan menolaknya.”

3.    Corak Penafsiran Al-Baidhāwi

Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, al-Baidhāwi sebenarnya tidak memiliki kecenderungan khusus menggunakan satu corak yang spesifik secara muthlak, misalnya bercorak fiqhi saja, bercorak lughawi, adabi wa ijtimai, falsafi saja atau yang lainnya. Secara garis besar tafsir ini cenderungan mengandung tiga corak, corak fiqhi, ilmi, dan lughawi.

a.    Mengandung corak Fiqhi

Dikatakan mengandung corak fiqhi karena beberapa penafsirannya cenderung memperhatikan ayat–ayat hukum (ayat ahkam) yang terdapat dalam ayat al-Qur’an yang ditafsirkan dengan berdasar pada fiqh. Dalam keragaman mazhab fiqih, al- Baidhāwi cenderung menganut mazhab al-Syafi’i dan cenderung mentarjih pemikiran mazhab ini dalam kebanyakan ayatnnya. Hal ini bisa dilihat ketika al-Baidhawi menafsirkan surat al-Nisa ayat 29 :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا (29)

“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka Karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang Telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”

 

Mengenai ayat tentang praktik mewarisi istri ini, Al-Baidhāwi mengemukakan bahwa jika salah seorang mereka meninggal dunia dan memiliki usbah atau kerabat baik saudara laki-laki sekandung atau anak paman, maka si kerabat ini melemparkan bajunya kepada istri almarhum sambil berkata, “Saya lebih berhak mendapatkannya,” kemudian membawa janda yang ditinggal mati itu kerumahnya. Dia bisa mempertahankannya untuk dirinya sendiri atau menikahkannya dengan orang lain. Dia mengambil mahar si wanita apakah wanita itu rela atau tidak rela, jika mau dia bisa mencegah mantan istri keluarganya yang almarhum itu untuk untuk menikah agar dia mendapatkan warisan untuk peninggalan suaminya.[16]

b.      Mengandung Corak ‘Ilmi

Tafsir ini mengandung corak ‘ilmi karena penafsiran didalamnya banyak memberi perhatian pada ayat-ayat kauniah (alam semesta) yang ada dalam al-Qur’an dan mengaitkannya dengan ilmu pengetahuan modern. Saat menjumpai ayat-ayat kauniyah al-Baidhāwi tak akan melewatkannya begitu saja, beliu memberikan penjelasan yang panjang lebar mengenai ayat ini.

Contohnya saat beliau menafsirkan surah al-Shafat ayat 10 :

إِلَّا مَنْ خَطِفَ الْخَطْفَةَ فَأَتْبَعَهُ شِهَابٌ ثَاقِبٌ (10)

“Akan tetapi barangsiapa (di antara mereka) yang mencuri-curi (pembicaraan); Maka ia dikejar oleh suluh api yang cemerlang.[17]

Dalam hal ini beliau memberikan penjelasan tentang apa yang disebut dengan syihāb (bola api) dalam ayat tersebut. Al-Baidhāwi menyebutkan bahwa bola api itu adalah uap yang menguap kemudian menyala.

c.       Mengandung Corak Lughawi

Pendekatan bahasa menjadi suatu yang urgen dalam setiap penafsirannya. Dalam hal ini, al-Baidhāwi menjelaskan kata-kata dan istilah yang kurang jelas, menjelaskan hubungan antara satu kata dengan kata yang lain, dan kadang-kadang menjelaskan posisi kata dalam struktur kalimat. Hal ini dilakukan Al-Baidhāwi untuk menguraikan maknanya. Contohnya saat beliau menafsirkan surat al-Shafat ayat 10 diatas:

إِلَّا مَنْ خَطِفَ الْخَطْفَةَ فَأَتْبَعَهُ شِهَابٌ ثَاقِبٌ (10)

“Akan tetapi barangsiapa (di antara mereka) yang mencuri-curi (pembicaraan); Maka ia dikejar oleh suluh api yang cemerlang.[18]

Al-Baidhawi menjelaskan kalimat (إِلَّا مَنْ خَطِفَ الْخَطْفَةَ فَأَتْبَعَهُ شِهَابٌ ثَاقِبٌ) dari segi nahwunya, sharafnya, dan cara membacanya. Beliau menjelaskan bahwa kalimat (إِلَّا مَنْ خَطِفَ الْخَطْفَةَ) merupakan itstitsna, kata (خَطِفَ) dibaca khatif dengan difatahkan hutuf khanya, dan juga diikasrohkan huruf kha-nya. Al-Baidhawi mengartikan kata (اخَطِفَ) sebagai al-ihtiklaasu yang mempunyai arti perampasan, apa yang dirampas disini adalah perkataan malaikat yang dicuri dengar oleh syaitan.[19]

  • C.    Pandangan Al-Baidhāwi Terhadap Kisah Isrāiliyyāt

Di tinjau dari segi bahasa, Isrāiliyyāt bentuk jamak dari kata yang mempunyai arti hamba Tuhan, nama lain dari Nabi Yakub as.19 Secaraistilah para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan Isrāiliyyāt ini.

al-Baidhāwi, dalam tafsir Anwar al-Tanzil wa Asra al-Tawil ini, beliau juga mengambil kisah Isrāiliyyāt sebagai salah satu sumber tafsirnya. Namun al-Baidhāwi meminimalisir pengutipan ini. Ketika al-Baidhāwi mengutip sebuah kisah Isrāiliyyāt dalam tafsirnya, ia menyebutkannya dengan menggunakan istilah ruwiya (diriwaytkan) atau qila (dikatakan).

Contoh penafsiran dengan sumber kisah Isrāiliyyāt ini salah satunya terdapat pada surat an-Naml ayat 22:

فَمَكَثَ غَيْرَ بَعِيدٍ فَقَالَ أَحَطْتُ بِمَا لَمْ تُحِطْ بِهِ وَجِئْتُكَ مِنْ سَبَإٍ بِنَبَإٍ يَقِينٍ (22)

“Maka tidak lama Kemudian (datanglah hud-hud), lalu ia berkata: "Aku Telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya; dan kubawa kepadamu dari negeri Saba suatu berita penting yang diyakini.”

Al-Baidhāwi mengemukakan,”Diriwayatkan bahwa Nabi Sulaiman a.s. telah menyelesaikan bangunan bait al-Maqdis, lalu bersiap-siap untuk menunaikan ibdah haji. Setelah mengutip sebuah kisah Isrāiliyyāt tentang pengembaraan Nabi Sulaiman a.s dari Makkah ke San’a tanpa mnyebutkan kualitas riwayat tersebut dan juga menafikannya beliau berkata,

Barang kali diantara keajaiban kekuasaan Allah dan dikhususkan bagi hamba-hamba-Nya, terdapat perkara yang lebih besar darinya, yang menyebabkan orang-orang mengetahui kekuasaan-Nya akan mengagungkan-Nya dan sebaliknya, orang-orang yang mngingkari-Nya akan menolak-Nya.”[20]

 

  • D.    Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Al-Baidhāwi

Sebuah karya pasti memiliki kekurangan dan kelebihan begitu pula tafsir al-Baidhāwi ini. Dibawah ini merupakan paparan tentang kelebihan yang terletak pada tafsir Anwar al-Tazil wa Asra al-Ta’wil karya al-Baidhāwi. Beberapa kelebihan yang dimiliki Tafsir al-Baidhāwi adalah sebagai berikut :

1.         Kelebihan tafsir Al-Baidhāwi

a.       Gaya bahasa yang dipakai al- Baidhāwi menafsirkan ayat, penggunaan bahasa yang singkat dan praktis sehingga dapat dikonsumsi dengan mudah oleh semua kalangan pembaca. Selain itu tafsir ini juga bercorak ringkas karena kehati-hatian al-Biadhawi dalam memilih kata. Beliau tidak mencantumkan satu kata pun jika tanpa adanya pertimbangan. Sehungga banyak sekali kaum cendikiawan untuk menulis catatan pinggir (hāsyiyah) untuk menerangkan kepelikan-kepelikannya dan menguraikan rumusan-rumusannya terhadap tafsirnya. Hal ini membuktika bahwa penafsiran al-Baidhāwi mempunyai daya tarik sebagai kelebihannya sehingga banyak diminati. Karena itu banyak ditulis catatan pinggir.

b.      Mengandung banyak ilmu pengetahuan didalamnya, mulai dari ilmu fiqh, gramatika bahasa, dan qiraat.

2.         Kekurang Tafsir Al-Baidhāwi

a.       pengambilan atau pencantuman hadits sebagai sumber penafsiran yang tidak disebutkan terlebih dahulu sanadnya dan tidak dikemukan atau tidak diseleksi kualitasnya apakah hadits tersebut termasuk hadits shahih, hadits hasan, dhaif atau pun hadits mursal

b.      Kekurangan tafsir ini juga terletak pada beberapa penafsiran al-Baidhāwi yang cenderung mempunyai ketergantungan terhadap kitab tafsir sebelumnya yakni al-Kasyf karya Zamaksyari, Mafatih al-Ghaib karya Fakhr al-Din al-Razi, Jami al-Tafsir karya al-Raghib al-Ashfihani.

c.       Kelebihan yang ada pada tafsir ini sekaligus menjadi kekurangan tafsir ini sendiri. Yaitu tafsir yang dianggap sangat ringkas dalam menggunakan suatu kata ini, tafsir yang seharusnnya mudah difahami menjadi sulit untuk dicerna, sehingga memerlukan penafsiran lagi untuk mendapat pemahaman yang mudah.

 


 

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Dari pemaparan makalah ini ada beberapa halyang dapat penulis simpulkan, yaitu sebagai berikut :

1.         Tafsir Anwar al-tanzil wa Asrar al-Ta’wil milik al-Badhawi ini menggunakan metode tahlili. Serta menggunakan pendekatan bi al- Ma’tsur dan bi al’Ra’yi sekaligus .

2.         Secara garis besar tafsir ini diwarnai oleh dua corak penafsiran yaitu corak fiqhi dan ilmi.

3.         Tafsir ini mempunyai beberapa kelebihan diantaranya adalah penggunaan bahasa yang dipakai oleh al-Baidhawi singkat namun padat, tafsir ini juga mengandung berbagai disiplin ilmu pengetahuan seperti ilmu fiqih, qiraah, dan gramatika bahasa.

4.         Tafsir ini juga mempunyai beberapa kekurang diantaranya adalah pengambilan sumber kutipan yang tidak disebutkan sumbernya, pencantuman hadits sebagai sumber tafsir yang tidak diseleksi terlebih dahulu kualitasnya dan juga tidak disebutkan susunan sanadnya.

 

 


 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Ahmad, Qadi Syihab al-Din. Hasyiyah al-Syihab ‘ala Tafsir al-Baidhawiy. Beirut: Daar al-Kitab Ilmiyah, 1997.

Ad-Dinawari, Ahmad Bin Muhammad. Thabaqah Al-Mufasirin. Beirut: Dār al-Kitāb,1999.

Al-Qaththan, Manna’. Mabahits fi Ulum al-Qu’an. Kairo: Maktabah Wahbah, 2007.

Syuhbah, Muhammad Ibnu Muhammad Abu, Al-Israiliyyat wa Al-Maudhu’at fi

Kutub al-Tafsir cet.IV, Mesir: Maktabah al-Sunnah, 1408.

http://ar.wikipedia.org/wiki/ عبد لله بن عمر البیضاوي ,

 



[1] Qādhi Syihāb al-Din Ahmad, Hāsyiyah al-Syihāb ‘alā Tafsir al-Baidhāwiy (Beirut: Dār al-Kitāb,1997), hal. ii.

[2] Ahmad Bin Muhammad Ad-Dinawari, Thabaqah Al-Mufasirin (Beirut: Dār al-Kitāb,1999), hal.67

[3] Ahmad Bin Muhammad Ad-Dinawari, Thabaqah Al-Mufasirin (Beirut: Dār al-Kitāb,1999), hal.67

[4] http://ar.wikipedia.org/wiki/ عبد لله بن عمر البیضاوي , diakses pada 31 Oktober 2017.

[5] Muhammad Ibnu Muhammad Abu Syuhbah, Al-Isrāiliyyat wa Al-Maudhu’at fi Kutub al-Tafsir cet.IV (Mesir: Maktabah al-Sunnah, 1408), hal.136.

[6] http://ar.wikipedia.org/wiki/ عبد لله بن عمر البیضاوي , diakses pada 31 Oktober 2017.

[7] Ibid., .

[8] Muhammad Husain al-Dzahabi, Tafsir Wa al-Mufassirūn, Juz 1(Kairo: Dar al-Hadits, 2005), hlm. 18.hal. 253.

[9] Al-Dzahabi, op.cit., hal.254.

[10] Manna Khlmil al-Qaththān, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2007), hlm. 342

[11] Ibid,,,. hal. 346.

[12] Nash al-Din Abi Said Abdillah bin Umr bin Muhammad al-Syairazi al-Baidhawi, op.cit., hal.160.

[13] Nash al-Din Abi Said Abdillah bin Umr bin Muhammad al-Syairazi al-Baidhawi, op.cit., hal.160.

[14] Nashr al-Din abi Said Abdullah bin Umr bin Muhammad al-Syairazi al- Baidhāwi,op.cit., hal. 200.

[15] Nashr al-Din abi Said Abdullah bin Umr bin Muhammad al-Syairazi al-Baidhāwi, Tafsir al-Baidhāwi (Bairut: Dar al- Fikr,), hal. 6.

[16] Nashr al-Din abi Said Abdullah bin Umr bin Muhammad al-Syairazi al-Baidhāwi,

op.cit., hal. 75.

[17] Nashr al-Din abi Said Abdullah bin Umr bin Muhammad al-Syairazi al-Baidhāwi, jilid 2,( Bairut:Dar al-Fikri, 2003) hal.3.

[18] Nashr al-Din abi Said Abdullah bin Umr bin Muhammad al-Syairazi al-Baidhāwi, jilid 2,( Bairut:Dar al-Fikri, 2003) hal.3.

[19] Ibid.3.

[20] Nashr al-Din abi Said Abdullah bin Umr bin Muhammad al-Syairazi al-Baidhāwi, op.cit., hal.

0 komentar:

Posting Komentar

Contact

Contact Person

Untuk saling berbagi dan sharing, mari silaturrahmi!

Address:

Mojo-Kediri-Jawa Timur (64162)

Work Time:

24 Hours

Phone:

085735320773

Diberdayakan oleh Blogger.