Al-Baidhāwi
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pada dasarnya Ketika menggunakan sebuah metode
dalam menafsirkan al-Qur’an, seorang mufassir tentu berpegang pada kaidah yang
berlaku, dan penafsirannya ini sangat diwarnai oleh latar belakang,
kecenderungan, serta disiplin ilmu yang ia kuasai. Kemampuan setiap mufassir
dalam memahami lafal dan ungkapan ayat tidak sama. Hal ini menjadikan setiap
penafsir memiliki karakteristik atau corak tersendiri dalam menafsirkan
al-Qur’an. Corak penafsiran sebuah tafsir sangat beragam, sehingga para
peneliti atau para ulama mengelompokkan corak tafsir ini kedalam lima corak
umum, corak tersebut adalah fiqhi, falsafi, ilmi dan adabi waijtim’ai.
Abdullah bin Umar al-Baidhāwi, adalah mufassir
asal Iran yang wafat pada tahun 691 H, telah menafsirkan al-Qur’an dengan
gayanya tersendiri. Dengan karakteristik dan kapasitas keilmuan yang
dimilikinya ia berusaha memenuhi kebutuhan umat manusia akan penafsiran ayat
al-Qur’an pada masa itu. Ia menyumbangkan sebuah tafsir yang tidak terlalu
panjang, namun diyakininya adalah tafsir terbaik yang cocok dipelajari pada
saat itu.
Bertitik tolak dari latar belakang di atas,
penulis tertarik untuk meneliti dan memaparkan dalam bentuk makalah.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Biografi al-Bhaidāwi ?
2.
Apa metode dan corak yang digunakan oleh
al-Baidhāwi dalam menulis tafsir Anwār al–Tanzil wa Asrār al-Ta’wil?
C.
Tujuan Masalah
1.
Untuk
mengetahui Biografi
al-Bhaidāwi.
2.
Untuk mengetahui metode dan corak yang digunakan oleh al-Baidhāwi dalam menulis tafsir Anwār
al–Tanzil wa Asrār al-Ta’wil.
BAB II
PEMBAHASAN
- A. Biografi al-Baidhāwi
1.
Tempat
Kelahiran dan Wafat al-Baidhāwi
Nama lengkap
al-Baidhāwi adalah ‘Abd Allah bin ‘Umar bin Muhammad bin ‘Aliy Al-Baidhāwi
al-Syafi’i Al-Syirazi. Tapi namanya lebih dikenal dengan al-Baidhāwi,
dinisbatkan pada tempat kelahirannya desa al- Baidha, dan juga sering dipanggil
dengan sebutan al-Qadhi, dinisbatkan kepada profesi beliau sebagai qadhi (hakim
agung) di kota Syiraz yang pernah dijabatnya selama beberapa tahun.[1]
Al-Baidhāwi
dilahirkan di sebuah tempat yang bernama Baidha, sebuah desa di Barat Daya
Iran. Mengenai tahun kelahirannya tak ada satu pun sumber informasi yang
penulis dapat mengenai hal ini. Yang jelas beliau hidup pada akhir abad ke-12 M
dan meninggal pada tahun yang diperselisihkan juga, ada yang mengatakan beliau
meninggal pada tahun 685 H (1286 M), ulama yang berpendapat tentang ini adalah
Ibnu Katsir dan al- Suyuti, sedangkan
menurut al-Subki dan al-Nawawi4 al-Baidhāwi wafat pada tahun 691 H (1291 M).[2]
2.
Pendidikan
al-Baidhāwi
Pendidikan al-Baidhāwi dimulai saat ia masih kecil, beliau banyak berguru
kepada ayahnya Imam Abu al-Qasim ‘Umr bin Muhammad bin ‘Ali seorang hakim agung
di Farsi dan Abu Bakr bin Sa’d (613-658/1226-1260M).
Dalam masalah pendidikan sesungguhnya
al-Baidhāwi merupakan seorang
penuntut ilmu yang giat, dan pelajar yang alim. Berbagai cabang ilmu keislaman dipelajarinya
secara mendalam mulai dari ilmu fiqih dan ushul, mantiq,
filsafat, kalam dan adab, serta ilmu-ilmu bahasa Arab dan sastra juga ilmu-ilmu syara dan
hukum. Tak heran kalau al-Baidhāwi memiliki banyak predikat tidak hanya
sebagai seorang faqqih, muhaddits, ataupun mufassir, tapi beliau juga
merupakan seorang teolog dan ahli Ushul yang juga mahir dibidang debat
dan etika berdiskusi.[3]
3.
Aktifitas
Keilmuan dan Perjuangannya
Di tempat kelahirannya desa Baidha, al-Baidhāwi mulai bersentuhan dengan ilmu fiqih
dan ushul, mantiq, filsafat, kalam dan adab, ilmu-ilmu bahasa Arab dan sastra
serta ilmu-ilmu syara dan hukum.[4]
Al-Baidhāwi
merupakan seorang ulama yang tidak antipati terhadap politik sesuai dengan
prinsip mazhab Sunni dalam memandang masalah politik, hal ini terbukti dengan
sikap beliau yang berkompromis dengan birokrat pada saat itu, bahkan beliau terlibat
langsung dalam kegiatan politik, yakni
beliau pernah menjabat sebagai hakim agung (qadhi) di daerah Syiraz selama
beberapa tahun. Beliau juga merupakan seorang ulama
di Azerbaijan, dan
seorang guru besar di daerah itu.[5]
Dari tempat kelahirannya
di Baidha al-Baidhāwi pindah ke kota Syiraz, dan menetap disana, karena
keahliannya di bidang fiqh mengantarkan beliau mengikuti jejak ayahnya menjadi
seorang hakim agung disana. Beliau memegang jabatan sebagai
hakim agung ini selama beberapa tahun. Selama di Syiraz al-Baidhāwi
banyak bergaul dan belajar pada sahabatnya sendiri yaitu Syaikh Muhammad bin
Muhammad al-Kahtai al- Shufi. Al-Kahtai banyak
membimbing dan membantunya dalam menjalankan aktifitas keilmuan
beliau. Begitu pula dalam hal pekerjaan Syaikh al-Kahtai banyak memberi dukungan
dan masukan, hal ini terbukti dengan pengunduran al-Baidhāwi dari
jabatannya sebagai hakim setelah al-Kahtai memberi nasihat kepadanya untuk mundur
dari jabatan itu.
Di Syiraz, selama ia menjabat sebagai hakim
selama beberapa tahun. Ia hidup dalam suasana politik yang tidak menentu. Sultan
Abu Bakr yang memegang tampuk kekuasaan di Syiraz saat itu sangat lemah, tidak
memiliki kekuatan yang cukup untuk membangun tatanan masyarakat yang baik. Bukan hanya supermasi keadilan
yang lemah, namun para elit yang berkuasa pun hidup dalam budaya yang
boros. Intervensi penguasa terhadap peradilan pun demikian kuatnya,
sehingga banyak fuqaha yang mengkhawatirkan kemungkinan diperintah
untuk mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan syariat Islam. [6]
Mungkin, karena
pertimbangan inilah Syaikh Muhammad Al-Kahta’i yang memintanya keluar dari
pemerintahan yang menyebabkan al-Baidhāwi mengundurkan diri dari jabatan hakim.
Setelah mengundurkan diri dari jabatannya sebagai hakim,
al-Baidhāwi mengembara
ke Tibriz hingga akhir hayatnya. Di kota inilah beliau banyak mengembangkan ilmu
pengetahuan, terutama dibidang ushul fiqh dan tafsir.
4.
Pandangan
Ulama Terhadap al-Baidhāwi
Berikut penilaian beberapa tokoh ulama
terhadap kepribadian al- Baidhāwi,
yang tidak terlepas dari karya yang ia hasilkan, tindak tanduknya sebagai seorang manusia
dengan pengusaannya yang luas terhadap ilmu keislaman.
Menurut Qadhi Syuhbah
dalam thabaqatnya menyatakan bahwa al- Baidhāwi merupakan seorang yang
memiliki banyak hasil karya, seorang alim ulama guru besar di Azerbaijan dan
seorang qadhi di Syiraz.
Imam al-Subki
mengatakan, bahwa al-Baidhāwi adalah seorang Imam yang jeli, ahli debat,
seorang yang saleh dan juga ahli ibadah.[7]
Menurut Ibnu Habib,
al-Baidhāwi merupakan seorang ulama yang banyak mendapatkan pujian dalam setiap
karangannya, karena metode yang dipakai al-Baidhāwi dalam setiap karyanya
menggunakan lafal yang mudah dimengerti serta menggunakan metode yang ringkas
namun detail.
Maulana al-Musyi
mengungkapkan pujiannya kepada al-Baidhwi dengan menyatakan, “Para
cendikiawan tidak datang dengan menyingkap cadar (qina) dari apa yang dibaca,
tetapi al-Baidawi memiliki tangan yang putih berkailau tanpa cacat, karena ia
menguasai medan kemahiran bicara. Maka tampaklah kemahirannya dalam berbagai
ilmu yang seyogyanya ia dalam satu sisi menempati maqam pembuka topeng dari
jalan-jalan keelokan isyarat dan keindahan istiarah.”
Menurut Prof. Dr.
Mani’ ‘Abd Halim dalam kitabnya Manhaj al- Mufassirîn, menyatakan bahwa
al-Baidhāwi merupakan seorang ahli ibadah dan seorang yang zuhud dari kehidupan
dunia fana.
5.
Karya-Karyanya
a.
Anwar
al-Tanzil wa Asara al-Ta’wil
b.
Minhaj
al-Wushul ila al-Ushul
c.
Tawali
al-Anwar min Matali al-Anzar
d.
Syarah
al-Mahshul fi Ushul Fiqh
e.
Nizdam
al-Tawarikh
f.
Al-Mishbah
Arwah fi al-Ushul al-Din
g.
Syarah
al-Tanbih li Abi Ishak Fiqh Syafii
h.
Al-Ghayah
al-Quswa fi Dirasah al-Fatawa Syafii
i.
Syarah
Kifayah fi al-Nahw dan Al-Lubb fi Al-Nahw
j.
Al-Tahdzib
wa Al-Akhlaq
k.
Al-Lubab
fi Ilmi I’robi
l.
Tuhfatul
Abrar fi Syarhil Mashabih
m.
Al-Mukhtashar
al-Kafiyah
n.
Syarah
Minhaj al-Wushul
o.
Al-Idhah
fi al-Ushul al-Din
p.
Syarah
al-Muntakhab ushul Fiqh
q.
Mirsyad
al-Ifham ila Mabadi al-Kalam
r.
Kitab
Al-Manthiq (manthiq),
s.
Al-Tazkirrah
t.
Al-Ghayah
Quswah fil Fiqh
u.
Muntahal
Mana’
v.
Risalah
Fi Maudhuah[8]
- B. Metode dan
Corak Tafsir Al-Baidhāwi
1. Metode Tafsir Al-Baidhāwi
Tafsir Anwār al-Tanzil Wa Asrār al-Ta’wil atau
yang lebih dikenal dengan Tafsir al-Baidhāwi merupakan sebuah karya
al-Baidhāwi, yang diuraikan dengan bahasa ringkas namun mendalam dan cukup
indah, dan menerima banyak komenatar dari para ulama.[9]
Kitab ini terdiri dari empat juz dalam dua jilid yang diterbitkan di Bairut pada
tahun 2003, jilid satu terdiri dari surah al-Fatihah sampai dengan surat
al-An’am, pada jilid dua berisi surat al-A’raf sampai dengan
surat al-Nās. Kitab ini merupakan
sebuah kitab tafsir yang menarik perhatian kaum cendikiawan untuk membuat
catatan pinggir (hāsyiyah) terhadapnya.
Ketika menuliskan sebuah karya ilmiah tidak terkecuali
dalam menafsirkan al-Qur’an setiap pengarang tentu mempunyai metode dan kecenderungan
tersendiri. Begitu juga halnya dengan al-Baidhāwi, dalam menafsirkan al-Qur’an
beliau tidak bisa terlepas dari salah satu metode yang telah ditetapkan oleh
ulama tafsir. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, penulis mengambil
pemahaman bahwa dalam menafsirkan al-Qur’an al- Baidhāwi menggunakan metode tahlili
(analisis) dalam tafsirnya, dimana beliau menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an
dari berbagai segi yang terkandung dalam ayat-ayat yang ditafsirkan secara
berurutan sesuai dengan mushaf utsmani yakni dimulai dari surat al-Fatihah
dan diakhiri dengan surat al-Nās.[10]
2. Sumber
penafsiran
Al-Baidhāwi
Sedangkan apabila ditinjau dari segi sumber, kitab Anwār
al-Tanzil Wa Asrār al-Tawil ini menggunakan pendekatan tafsir bi
al-ma’tsūr dan bi alra’yi sekaligus. Yakni
pengambilan sumber panafsirannya berasal dari ayat al- Qur’an itu sendiri,
hadits Nabi saw, pendapat para sahabat dan tabi’in, serta tidak meninggalkan ra’yunya
sendiri. Terkadang beliau menafsirkan al-Qur’an hanya dengan bersandar
pada akal pikirannya sendiri dan memasukkan begitu saja kedalam tafsirnya.[11]
a.
Pendekatan
bi al-ma’tsūr
Penggunaan tafsir bi al-ma’tsūr dalam kitab ini
dapat dilihat melalui penafsiran al-Baidhāwi yang menafsirkan ayat-ayat
al-Qur’an dengan ayat yang ada dalam al-Qur’an itu sendiri, terkadang
al-Baidhāwi juga mengambil hadits Nabi Muhammad Saw., mengambil sumber
periwayatan para sahabat serta tabi’in untuk menafsirkan suatu ayat atau
surat tertentu. Al-Baidhāwi menyatakan bahwa beliau mengambil dua sumber sebagai
bahan rujukan tafsirnya yang pertama mengambil pendapat para sahabat, tabi'in,
dan para ‘ulama salaf, yang kedua beliau mengambil rujukan dari
tafsir-tafsir sebelumya.
1)
Menafsirkan
Ayat dengan Ayat
al-Baidhāwi
menafsirkan surat al-Baqarah ayat 67:
وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ
تَذْبَحُوا بَقَرَةً قَالُوا أَتَتَّخِذُنَا هُزُوًا قَالَ أَعُوذُ بِاللَّهِ أَنْ
أَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ (67)
“Dan
(ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya,”Allah memerintahkan kamu agar
menyembelih seekor sapi betina.”Mereka bertanya,”Apakah engakau akan menjadikan
kami sneagi ejekan?”Dia (Musa) menjawab, “Aku berlindung kepada Allah agar tidak
termasuk orang-orang yang bodoh.
Ketika
al-Biadhawi menafsirkan ayat (وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ
تَذْبَحُوا بَقَرَةً) beliau menyatakan
bahwa kisah dalam ayat ini ada munasabahnya dengan ayat sesudahnya yakni
surat al-Baqarah ayat 72 (وَإِذْ
قَتَلْتُمْ نَفْسًا) yang
menjadi awal kisah sapi betina. Hanya saja dalam
penyusunan ayatnya Allah terlebih dahulu menempatkan ayat وَإِذْ
قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تَذْبَحُوا بَقَرَةً.[12]
2)
Penafsiran
Ayat Dengan Hadits Nabi
Penggunaan hadits sebagai sumber
penafsiran menjadi hal yang cukup
penting dalam tafsir ini. Namun dalam penggunaan hadits sebagai sumber tafsirnya,
al-Baidhāwi tidak menyeleksi kualitas hadits yang dipakai apakah
hadits tersebut termasuk hadits shahih, hadits hasan,
atau hadits dhaif. Al-Baidhāwi tidak pula menyebutkan sanad haditsnya, sehingga
beliau banyak memasukan hadits dhaif bahkan mursal dengan
sanad yang tidak diketahui dalam tafsirnya.
Contoh
penafsiran al-Baidhāwi dengan hadits Nabi Saw.surat al- Maidah ayat 51
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ
وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ
مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
(51)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil
orangorang Yahudi dan Nasrani
menjadi pemimpin-pemimpin(mu) sebahagian
mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. barangsiapa diantara kamu mengambil mereka
menjadi pemimpin, Maka
sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang
zalim.”
Al-Baidhāwi mengemukakan bahwa arti kata ( اولیاء ) adalah persahabatan, perlakuan baik serta mempekerjakan
orang-orang yang tidak seagama yakni ahl al-kitab (Yahudi dan Nasrani)
dengan alasan hadits Rasulullah Saw.( لاتتراناراھما ) “kedua api tidak saling melihat” dalam arti kedua golongan tersebut dengan orang-orang
muslim tidak dapat saling berdekatan, bahkan harus selalu berjauhan sehingga
bila salah satu pihak menyalakan api, api tersebut tidak terlihat oleh pihak
lain karena jauhnya.[13]
3)
Bersumber
Qaūl Sahabat
Pengambilan sumber penafsiran dari Qaūl
sahabat ini digunakan apabila
al-Baidhāwi tidak menemukan penjelasan suatu ayat dari ayat-ayat al-Qur’an maupun hadits
Nabi Saw. Contoh
penafsirannya surat al-Anfal ayat 44:
إِذْ أَنْتُمْ بِالْعُدْوَةِ الدُّنْيَا وَهُمْ بِالْعُدْوَةِ
الْقُصْوَى وَالرَّكْبُ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلَوْ تَوَاعَدْتُمْ لَاخْتَلَفْتُمْ
فِي الْمِيعَادِ وَلَكِنْ لِيَقْضِيَ اللَّهُ أَمْرًا كَانَ مَفْعُولًا لِيَهْلِكَ
مَنْ هَلَكَ عَنْ بَيِّنَةٍ وَيَحْيَى مَنْ حَيَّ عَنْ بَيِّنَةٍ وَإِنَّ اللَّهَ
لَسَمِيعٌ عَلِيمٌ (42)
“Dan ketika Allah
menampakkan mereka kepada kamu sekalian, ketika kamu
berjumpa dengan mereka berjumlah sedikit pada penglihatan matamu dan kamu ditampakkan-Nya berjumlah
sedikit pada penglihatan mata
mereka, Karena Allah hendak melakukan suatu urusan yang mesti dilaksanakan. dan hanyalah kepada Allahlah
dikembalikan segala urusan.”
Al-Baidhāwi menjelaskan mengenai apa yang dimaksudkan
Allah Swt. dalam kalimat ( في أعینكم قلیلا ), adalah pandangan orang muslim terhadap jumlah musuhnya yang lebih
sedikit disbanding jumlah pasukan umat muslim, sebagaimana perkataan Ibnu
Mas’ud kepada orang yang disebelahnya, tentang berapa jumlah orang kafir dalam
pandangan mereka, orang yang disebahnya menjawab bahwa jumlah orang kafir
tersebut 100 orang, dan menurut pandangan Ibnu Ma’sud orang kafir tersebut
jumlahnya hanya 70 orang saja. Padahal yang sebanarnya
jumlah orang kafir tersebut lebih
dari itu.[14]
4)
Berdasarkan
Qaūl Tabi’in
Pegambilan sumber tafssir dari qaul
tabi’in sebagai sumber tafsir dilakukan
apabila al-Baidhāwi tidak menemukan penjelasan dari al-Quran, hadits Nabi Saw., dan
pernyataan sahabat. Contoh
penafsiran dari tabiin, surat al-Baqarah ayat 65:
وَلَقَدْ عَلِمْتُمُ الَّذِينَ اعْتَدَوْا مِنْكُمْ فِي السَّبْتِ فَقُلْنَا
لَهُمْ كُونُوا قِرَدَةً خَاسِئِينَ (65)
Dan Sesungguhnya
Telah kamu ketahui orang-orang yang melanggar diantaramu
pada hari Sabtu, lalu kami berfirman kepada mereka: "Jadilah kamu kerayang hina".
Dalam menafsirkan kata (كُونُوا قِرَدَةً خَاسِئِينَ) al-Baidhawi mengutip perkataan tabiin yang bernama
Mujahid yang mengatakan maksud dari firman Allah Swt. (كُونُوا قِرَدَةً خَاسِئِينَ) adalah bukan secara fisik mereka serta merta berubah menjadi
seekor kera yang hina, melainkan sifat atau perwatakan mereka merubah menjadi
seperti kera, keadaan hati mereka seperti prilaku kera, sebagaimana permisalan himar
yang terdapat dalam surah al-Jumaah (مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا
كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا), kata ( كونوا ) disini bukan merupakan perintah “jadilah/berubahlah” tapi
“menjadi/segera berubah” dan jadilah mereka seperti itu.[15]
b.
Penafsiran
Al-Baidhāwi Dengan Unsur bi al-Ra’yi
Al-Baidhawi memberikan keleluasaan
pada akal pikirannya dalam melakukan
penafsiran, ra’yu pribadinya tersebut beliau sisipkan secara mahir dan teliti serta
disusun dengan kata yang ringkas untuk memperkuat análisis tafsirnya. Hal ini
bisa terlihat dengan banyaknya argumen
al-Baidhāwi yang dikembangkan dalam menjelaskan ayat banyak menggunakan dalil aqli
(alasan rasional). Contoh
Penafsirannya dengan bi al-ra’yi ini salah satunya terdapat pada surat an-Naml ayat 22:
فَمَكَثَ غَيْرَ بَعِيدٍ فَقَالَ أَحَطْتُ بِمَا لَمْ تُحِطْ بِهِ
وَجِئْتُكَ مِنْ سَبَإٍ بِنَبَإٍ يَقِينٍ (22)
“Maka tidak lama
Kemudian (datanglah hud-hud), lalu ia berkata: "Aku Telah mengetahui sesuatu yang kamu belum
mengetahuinya; dan kubawa kepadamu
dari negeri Saba suatu berita penting yang diyakini.”
Al-Baidhāwi
mengemukakan, bahwa Nabi Sulaiman a.s. telah menyelesaikan bangunan bait
al-Maqdis, lalu bersiap-siap untuk menunaikan ibdah haji. Setelah mngutip
sebuah kisah Isrāiliyyāt tentang pengembaraan Nabi Sulaiman dari Makkah ke
Sana’a tanpa mnyebutkan kualitas
riwayat tersebut dan juga menafikannya beliau berkata,
”Barangkali
diantara keajaiban kekuasaan Allah dan dikhususkan bagi hamba-hamba-Nya, terdapat perkara
yang lebih besar dariny,
yang menyebabkan orang-orang mengetahuikekuasaan- Nya akan mengagungkanNya dan sebaliknya,
orang-orang yang mngingkarinya
akan menolaknya.”
3. Corak Penafsiran Al-Baidhāwi
Dalam
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, al-Baidhāwi sebenarnya tidak memiliki
kecenderungan khusus menggunakan satu corak yang spesifik secara muthlak, misalnya
bercorak fiqhi saja, bercorak lughawi, adabi wa ijtimai, falsafi saja
atau yang lainnya. Secara garis besar tafsir ini cenderungan mengandung tiga corak,
corak fiqhi, ilmi, dan lughawi.
a.
Mengandung
corak Fiqhi
Dikatakan mengandung corak fiqhi karena beberapa
penafsirannya cenderung memperhatikan ayat–ayat hukum (ayat ahkam) yang
terdapat dalam ayat al-Qur’an yang ditafsirkan dengan berdasar pada fiqh. Dalam
keragaman mazhab fiqih, al- Baidhāwi cenderung menganut mazhab al-Syafi’i dan
cenderung mentarjih pemikiran mazhab ini dalam kebanyakan ayatnnya. Hal
ini bisa dilihat ketika al-Baidhawi menafsirkan
surat al-Nisa ayat 29 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ
بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا (29)
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan
jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka Karena hendak mengambil
kembali sebagian dari apa yang Telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila
mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata dan bergaullah dengan mereka secara
patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) Karena
mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan
yang banyak.”
Mengenai ayat tentang praktik mewarisi istri ini,
Al-Baidhāwi mengemukakan bahwa jika salah seorang mereka meninggal dunia dan memiliki
usbah atau kerabat baik saudara laki-laki sekandung atau anak paman, maka si
kerabat ini melemparkan bajunya kepada istri almarhum sambil berkata, “Saya
lebih berhak mendapatkannya,” kemudian membawa janda yang ditinggal mati itu
kerumahnya. Dia bisa mempertahankannya untuk dirinya sendiri
atau menikahkannya dengan orang lain. Dia mengambil mahar si wanita apakah
wanita itu rela atau tidak rela, jika mau dia bisa mencegah mantan istri
keluarganya yang almarhum itu untuk untuk menikah agar dia mendapatkan
warisan untuk peninggalan suaminya.[16]
b. Mengandung Corak ‘Ilmi
Tafsir
ini mengandung
corak ‘ilmi karena penafsiran didalamnya banyak memberi perhatian pada
ayat-ayat kauniah (alam semesta) yang ada dalam al-Qur’an dan mengaitkannya
dengan ilmu pengetahuan modern. Saat menjumpai ayat-ayat kauniyah al-Baidhāwi tak
akan melewatkannya begitu saja, beliu memberikan penjelasan yang panjang lebar
mengenai ayat ini.
Contohnya saat beliau menafsirkan surah
al-Shafat ayat 10 :
إِلَّا مَنْ خَطِفَ الْخَطْفَةَ فَأَتْبَعَهُ شِهَابٌ ثَاقِبٌ (10)
“Akan tetapi
barangsiapa (di antara mereka) yang mencuri-curi (pembicaraan);
Maka ia dikejar oleh suluh api yang cemerlang.[17]
Dalam
hal ini beliau memberikan penjelasan tentang apa yang disebut dengan syihāb (bola
api) dalam ayat tersebut. Al-Baidhāwi menyebutkan bahwa bola api itu adalah
uap yang menguap kemudian menyala.
c. Mengandung Corak Lughawi
Pendekatan
bahasa menjadi suatu yang urgen dalam setiap penafsirannya. Dalam hal ini,
al-Baidhāwi menjelaskan kata-kata dan istilah yang kurang jelas, menjelaskan
hubungan antara satu kata dengan kata yang lain, dan kadang-kadang menjelaskan
posisi kata dalam struktur kalimat. Hal ini dilakukan
Al-Baidhāwi untuk menguraikan maknanya. Contohnya saat beliau
menafsirkan surat al-Shafat ayat 10 diatas:
إِلَّا مَنْ خَطِفَ الْخَطْفَةَ فَأَتْبَعَهُ شِهَابٌ ثَاقِبٌ (10)
“Akan tetapi
barangsiapa (di antara mereka) yang mencuri-curi (pembicaraan);
Maka ia dikejar oleh suluh api yang cemerlang.[18]
Al-Baidhawi menjelaskan kalimat (إِلَّا مَنْ خَطِفَ الْخَطْفَةَ فَأَتْبَعَهُ شِهَابٌ ثَاقِبٌ) dari segi nahwunya, sharafnya,
dan cara membacanya. Beliau menjelaskan bahwa
kalimat (إِلَّا مَنْ خَطِفَ الْخَطْفَةَ) merupakan itstitsna, kata (خَطِفَ) dibaca khatif dengan difatahkan
hutuf khanya, dan
juga diikasrohkan huruf kha-nya. Al-Baidhawi mengartikan kata (اخَطِفَ) sebagai al-ihtiklaasu yang
mempunyai arti perampasan,
apa yang dirampas disini adalah perkataan malaikat yang dicuri dengar oleh syaitan.[19]
- C. Pandangan
Al-Baidhāwi Terhadap Kisah Isrāiliyyāt
Di tinjau dari segi
bahasa, Isrāiliyyāt bentuk jamak dari kata yang mempunyai arti hamba
Tuhan, nama lain dari Nabi Yakub as.19 Secaraistilah para ulama berbeda pendapat dalam
mendefinisikan Isrāiliyyāt ini.
al-Baidhāwi, dalam
tafsir Anwar al-Tanzil wa Asra al-Tawil ini, beliau juga mengambil kisah
Isrāiliyyāt sebagai salah satu sumber tafsirnya. Namun al-Baidhāwi meminimalisir
pengutipan ini. Ketika al-Baidhāwi mengutip sebuah kisah Isrāiliyyāt dalam
tafsirnya, ia menyebutkannya dengan menggunakan istilah ruwiya (diriwaytkan)
atau qila (dikatakan).
Contoh penafsiran dengan sumber kisah Isrāiliyyāt
ini salah satunya terdapat
pada surat an-Naml ayat 22:
فَمَكَثَ غَيْرَ بَعِيدٍ فَقَالَ أَحَطْتُ بِمَا لَمْ تُحِطْ بِهِ
وَجِئْتُكَ مِنْ سَبَإٍ بِنَبَإٍ يَقِينٍ (22)
“Maka tidak lama
Kemudian (datanglah hud-hud), lalu ia berkata: "Aku Telah mengetahui sesuatu yang kamu belum
mengetahuinya; dan kubawa kepadamu
dari negeri Saba suatu berita penting yang diyakini.”
Al-Baidhāwi mengemukakan,”Diriwayatkan
bahwa Nabi Sulaiman a.s. telah
menyelesaikan bangunan bait al-Maqdis, lalu bersiap-siap untuk menunaikan ibdah haji.
Setelah mengutip sebuah kisah Isrāiliyyāt tentang pengembaraan Nabi
Sulaiman a.s dari Makkah ke San’a tanpa mnyebutkan kualitas riwayat tersebut
dan juga menafikannya beliau berkata,
”Barang
kali diantara keajaiban kekuasaan Allah dan dikhususkan bagi hamba-hamba-Nya,
terdapat perkara yang lebih besar darinya, yang menyebabkan orang-orang
mengetahui kekuasaan-Nya akan mengagungkan-Nya dan sebaliknya, orang-orang yang
mngingkari-Nya akan menolak-Nya.”[20]
- D. Kelebihan dan Kekurangan
Tafsir Al-Baidhāwi
Sebuah karya pasti memiliki kekurangan dan
kelebihan begitu pula tafsir
al-Baidhāwi ini. Dibawah ini merupakan paparan tentang kelebihan yang terletak pada tafsir Anwar
al-Tazil wa Asra al-Ta’wil karya al-Baidhāwi. Beberapa kelebihan yang
dimiliki Tafsir al-Baidhāwi adalah sebagai berikut :
1.
Kelebihan tafsir Al-Baidhāwi
a.
Gaya bahasa yang dipakai al- Baidhāwi menafsirkan ayat,
penggunaan bahasa yang singkat dan praktis sehingga dapat dikonsumsi dengan
mudah oleh semua kalangan pembaca. Selain itu tafsir ini juga bercorak ringkas
karena kehati-hatian al-Biadhawi dalam memilih kata. Beliau tidak mencantumkan
satu kata pun jika tanpa adanya pertimbangan. Sehungga
banyak sekali kaum cendikiawan untuk menulis catatan pinggir (hāsyiyah)
untuk menerangkan kepelikan-kepelikannya dan menguraikan
rumusan-rumusannya terhadap tafsirnya. Hal ini membuktika bahwa
penafsiran al-Baidhāwi mempunyai daya tarik sebagai kelebihannya sehingga
banyak diminati. Karena itu banyak ditulis catatan pinggir.
b.
Mengandung
banyak ilmu pengetahuan didalamnya, mulai dari ilmu fiqh, gramatika bahasa, dan qiraat.
2.
Kekurang Tafsir Al-Baidhāwi
a.
pengambilan atau pencantuman hadits sebagai sumber
penafsiran yang tidak disebutkan terlebih dahulu sanadnya dan tidak dikemukan
atau tidak diseleksi kualitasnya apakah hadits tersebut termasuk hadits
shahih, hadits hasan, dhaif atau pun hadits mursal
b.
Kekurangan tafsir ini juga terletak pada beberapa
penafsiran al-Baidhāwi yang cenderung mempunyai ketergantungan terhadap kitab
tafsir sebelumnya yakni al-Kasyf karya Zamaksyari, Mafatih al-Ghaib
karya Fakhr al-Din al-Razi, Jami al-Tafsir karya al-Raghib al-Ashfihani.
c.
Kelebihan
yang ada pada tafsir ini sekaligus menjadi kekurangan tafsir ini sendiri. Yaitu tafsir
yang dianggap sangat ringkas dalam menggunakan suatu kata ini, tafsir
yang seharusnnya mudah difahami menjadi sulit untuk dicerna, sehingga memerlukan
penafsiran lagi untuk mendapat pemahaman
yang mudah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
pemaparan makalah ini
ada beberapa halyang dapat penulis simpulkan, yaitu sebagai berikut :
1.
Tafsir
Anwar al-tanzil wa Asrar al-Ta’wil milik al-Badhawi ini menggunakan metode tahlili.
Serta menggunakan pendekatan bi al- Ma’tsur dan
bi al’Ra’yi sekaligus .
2.
Secara
garis besar tafsir ini diwarnai oleh dua corak penafsiran yaitu corak fiqhi dan
ilmi.
3.
Tafsir ini mempunyai beberapa kelebihan diantaranya
adalah penggunaan bahasa yang dipakai oleh al-Baidhawi singkat namun padat,
tafsir ini juga mengandung berbagai disiplin ilmu pengetahuan seperti ilmu fiqih,
qiraah, dan gramatika bahasa.
4.
Tafsir ini juga mempunyai beberapa kekurang diantaranya
adalah pengambilan sumber kutipan yang tidak disebutkan sumbernya, pencantuman
hadits sebagai sumber tafsir yang tidak diseleksi terlebih dahulu kualitasnya
dan juga tidak disebutkan susunan sanadnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad,
Qadi Syihab al-Din. Hasyiyah al-Syihab ‘ala Tafsir al-Baidhawiy. Beirut: Daar al-Kitab Ilmiyah,
1997.
Ad-Dinawari, Ahmad Bin Muhammad. Thabaqah
Al-Mufasirin. Beirut: Dār al-Kitāb,1999.
Al-Qaththan,
Manna’. Mabahits fi Ulum al-Qu’an. Kairo: Maktabah Wahbah, 2007.
Syuhbah,
Muhammad Ibnu Muhammad Abu, Al-Israiliyyat wa Al-Maudhu’at fi
Kutub
al-Tafsir cet.IV, Mesir: Maktabah al-Sunnah,
1408.
http://ar.wikipedia.org/wiki/
عبد
لله بن عمر البیضاوي ,
[1] Qādhi
Syihāb al-Din Ahmad, Hāsyiyah al-Syihāb ‘alā Tafsir al-Baidhāwiy (Beirut: Dār al-Kitāb,1997), hal. ii.
[2] Ahmad Bin Muhammad Ad-Dinawari, Thabaqah
Al-Mufasirin (Beirut: Dār al-Kitāb,1999), hal.67
[3] Ahmad Bin
Muhammad Ad-Dinawari, Thabaqah Al-Mufasirin (Beirut: Dār al-Kitāb,1999), hal.67
[4] http://ar.wikipedia.org/wiki/
عبد لله
بن عمر البیضاوي , diakses pada 31 Oktober 2017.
[5] Muhammad Ibnu
Muhammad Abu Syuhbah, Al-Isrāiliyyat wa Al-Maudhu’at fi Kutub al-Tafsir cet.IV
(Mesir: Maktabah al-Sunnah, 1408), hal.136.
[6] http://ar.wikipedia.org/wiki/
عبد لله
بن عمر البیضاوي , diakses pada 31 Oktober 2017.
[7] Ibid.,
.
[8] Muhammad
Husain al-Dzahabi, Tafsir Wa al-Mufassirūn, Juz
1(Kairo: Dar al-Hadits, 2005),
hlm. 18.hal. 253.
[9] Al-Dzahabi,
op.cit., hal.254.
[10] Manna
Khlmil al-Qaththān, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2007), hlm. 342
[11] Ibid,,,. hal. 346.
[12] Nash
al-Din Abi Said Abdillah bin Umr bin Muhammad al-Syairazi al-Baidhawi, op.cit., hal.160.
[13] Nash
al-Din Abi Said Abdillah bin Umr bin Muhammad al-Syairazi al-Baidhawi, op.cit., hal.160.
[14] Nashr
al-Din abi Said Abdullah bin Umr bin Muhammad al-Syairazi al- Baidhāwi,op.cit., hal. 200.
[15] Nashr
al-Din abi Said Abdullah bin Umr bin Muhammad al-Syairazi al-Baidhāwi, Tafsir
al-Baidhāwi (Bairut:
Dar al- Fikr,), hal. 6.
[16] Nashr
al-Din abi Said Abdullah bin Umr bin Muhammad al-Syairazi al-Baidhāwi,
op.cit., hal. 75.
[17] Nashr
al-Din abi Said Abdullah bin Umr bin Muhammad al-Syairazi al-Baidhāwi, jilid 2,( Bairut:Dar al-Fikri, 2003)
hal.3.
[18] Nashr
al-Din abi Said Abdullah bin Umr bin Muhammad al-Syairazi al-Baidhāwi, jilid 2,( Bairut:Dar al-Fikri, 2003)
hal.3.
[19] Ibid.3.
[20] Nashr
al-Din abi Said Abdullah bin Umr bin Muhammad al-Syairazi al-Baidhāwi, op.cit., hal.
0 komentar:
Posting Komentar