Senin, 19 Juli 2021

SOSIOLOGI SANTRI

 SOSIOLOGI SANTRI

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Agama merupakan hal yang sangat abstrak dalam masyarakat, ia tak berwujud. Masyarakat memiliki kepercayaaan kepada agamanya karena adanya kesadaran kolektif yang mempercayainya. Selain itu pengalaman kolektif juga menjadi menjadi indikasi eksistensi dari agama tersebut. Ketika masuk era modern maka kesadaran kolektif mulai menurun karena tingkat pembagian kerja sudah kompleks. Sehingga masyarakat mulai terpecah berdasarkan spesialisasi masing-masing. Hal ini lah yang membuat kepercayaan mengenai agama mulai berkurang, karena kolektivitas sendiri juga mulai melemah. Agama disini menjadi ide belaka saja dalam kehidupan masyarakat. 

Perilaku beragama itu melibatkan aspek kognisi, afeksi dan psikomotor seseorang. Keberagamaan antara satu orang dengan yang lain tentu berbeda pula karena beberapa factor dan latar belakang yang mempengaruhinya. Salah satunya adalah keberagaman golongan santri.

Dalam ini akan dijelaskan tentang apa pengertian santri, bagaimana pola kehidupan di pesantren, dan bagaimana keberagamaan santri.

 

B.     Rumusan Masalah

1.         Apa definisi dari santri?

2.         Bagaimana Kehidupan sosiologi santri?

C.    Tujuan Masalah

1.         Untuk mengetahui definisi dari santri.

2.         Untuk mengetahui Kehidupan sosiologi santri.

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Definisi Pesantren dan Santri

1.         Pesantren

Istilah pesantren berasal dari kata pe-santri-an, dimana kata "santri" berarti murid dalam Bahasa Jawa. Istilah pondok berasal dari Bahasa Arab funduuq (فندوق) yang berarti penginapan. Khusus di Aceh, pesantren disebut juga dengan nama dayah. Biasanya pesantren dipimpin oleh seorang Kyai. Untuk mengatur kehidupan pondok pesantren, kyai menunjuk seorang santri senior untuk mengatur adik-adik kelasnya, mereka biasanya disebut lurah pondok. Tujuan para santri dipisahkan dari orang tua dan keluarga mereka adalah agar mereka belajar hidup mandiri dan sekaligus dapat meningkatkan hubungan dengan kyai dan juga Tuhan.[1]

Pendapat lainnya, pesantren berasal dari kata santri yang dapat diartikan tempat santri. Kata santri berasal dari kata Cantrik (bahasa Sansakerta, atau mungkin Jawa) yang berarti orang yang selalu mengikuti guru, yang kemudian dikembangkan oleh Perguruan Taman Siswa dalam sistem asrama yang disebut Pawiyatan. Istilah santri juga dalam ada dalam bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji, sedang C. C Berg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari istilah shastri, yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Terkadang juga dianggap sebagai gabungan kata saint (manusia baik) dengan suku kata tra (suka menolong), sehingga kata pesantren dapat berarti tempat pendidikan manusia baik-baik.[2]

Adapun menurut Mastuhu, pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tradisional untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari.

Sementara A. Rasydianah mendefinisikan bahwa, pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang diselenggarakan oleh masyarakat dibawah pimpinan seorang kiai melalui jalur pendidikan non formal berupa pembelajaran kitab kuning. Selain itu, banyak juga yang menyelenggarakan pendidikan keterampilan serta pendidikan formal, baik madrasah maupun sekolah umum.

Sementara menurut Zamakhsyari, bahwa sekurang-kurangnya harus ada lima elemen untuk dapat disebut pesantren, yaitu ada pondok, mesjid, kiai, santri, dan pengajian kitab Islam klasik yang sering disebut kitab kuning. Zamakhsyari juga mencoba mengklasifikasi pesantren dilihat dari jumlah santrinya. Menurutnya, pesantren yang santrinya kurang dari 1000 dan pengaruhnya hanya pada tingkat kabupaten, disebut sebagai pesantren kecil; santri antara 1000-2000 dan pengaruhnya pada beberapa kabupaten disebut sebagai pesantren menengah; bila santrinya lebih dari 2000 dan pengaruhnya tersebar pada tingkat beberapa kabupaten dan propinsi dapat digolongkan sebagai pesantren besar.[3]

Ahmad Tafsir menanggapi teori Zamakhsyari, bahwa gagasan ini dapat dipertimbangkan, meskipun masih bisa dipertanyakan. Misalnya ada pesantren yang jumlah santrinya tidak memenuhi kriteria pesantren besar tetapi lulusannya yang menjadi kiai, lalu membuka lagi pesantren baru, prosentasenya sangat tinggi.

Usaha untuk mengidentifikasi pesantren dilakukan juga oleh Kafrawi. Ia mencoba membagi pola pesantren menjadi empat pola, yaitu; pola I, ialah pesantren yang memiliki unit kegiatan dan elemen berupa mesjid dan rumah kiai. Pesantren ini masih sederhana, kiai mempergunakan mesjid atau rumahnya untuk tempat mengaji, biasanya santri datang dari daerah sekitarnya, namun pengajian telah diselenggarakan secara kontinyu dan sistematik. Pola ini belum dianggap memiliki elemen pondok bila diukur dengan teori Zamakhsyari. Pola II, sama dengan pola I ditambah adanya pondokan bagi santri. Ini sama dengan syarat Zamakhsyari. Pola III, sama dengan pola II tetapi ditambah adanya madrasah. Pesantren pola III ini telah ada pengajian sistem klasikal. Pesantren Pola VI, adalah pesantren pola III ditambah adanya unit keterampilan seperti peternakan, kerajinan, koperasi, sawah, ladang, dan lain-lain.[4] Adapun Pola V, yang ditambahkan oleh Sudjoko Prasodjo, seperti halnya pola IV ditambah adanya universitas, gedung pertemuan, tempat olahraga, dan sekolah umum.[14] Pada pola ini pesantren merupakan lembaga pendidikan yang telah berkembang dan bisa dikatakan sebagai pesantren modern.

Menarik juga klasifikasi yang diajukan oleh Wardi Bakhtiar – yang sejalan dengan pendapat Zamakhsyari – bahwa dilihat dari segi jenis pengetahuan yang diajarkan, pesantren terbagi menjadi dua macam. Pertama, Pesantren Salaf, yaitu pesantren yang mengajarkan kitab Islam klasik (kitab kuning) saja dan tidak diberikan pembelajaran pngetahuan umum. Kedua, Pesantren Khalaf, yang selain memberikan pembelajaran kitab Islam klasik, juga memberikan pengetahuan umum dengan jalan membuka sekolah umum di lingkungan dan dibawah tanggung jawab pesantren.[5]

Demikian pula yang dikemukakan oleh Bahaking Rama, bahwa dari segi aktivitas pendidikan yang dikembangkan, pesantren dapat diklasifikasi dalam beberapa tipe, yaitu;

a.        Pesantren tradisional, yaitu pesantren yang hanya menyelenggarakan pengajian kitab dengan sistem sorogan, bandongan dan wetonan,

b.      Pesantren semi modern, yaitu pesantren yang menyelenggarakan pendidikan campuran antara sistem pengajian kitab tradisional dengan madrasah formal dan mengadopsi kurikulum pemerintah.

c.       Pesantren modern, yaitu pesantren yang menyelenggarakan pola campuran antara sistem pengajian kitab tradisonal, sistem madrasah, dan sistem sekolah umum dengan mengadopsi kurikulum pemerintah (Departemen Agama dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan) dan ditambah dengan kurikulum muatan lokal.[6]

Dari berbagai pendapat tentang teori penamaan pesantren tersebut dapat disimpulkan bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan Islam dibawah pimpinan seorang kiai, baik melalui jalur formal maupun non formal yang bertujuan untuk mempelajari dan mengamalkana ajaran Islam melalui pembelajaran kitab kuning dengan menekankan moral keagamaan sebagai pedoman dalam berprilaku keseharian santri.

Pesantren pada mulanya merupakan pusat penggemblengan nilai-nilai dan penyiaran agama Islam. Namun, dalam perkembangannya, lembaga ini semakin memperlebar wilayah garapannya yang tidak melulu mengakselerasikan mobilitas vertical (dengan penjejelan materi-materi keagamaan), tetapi juga mobilitas horizontal (kesadaran sosial). Pesantren kini tidak lagi berkutat pada kurikulum yang berbasis keagamaan (regional-based curriculum) dan cenderung melangit, tetapi juga kurikulum yang menyentuh persoalan kikian masyarakat (society-based curriculum). Dengan demikian, pesantren tidak bisa lagi didakwa semata-mata sebagai lembaga keagamaan murni, tetapi juga (seharusnya) menjadi lembaga sosial yang hidup yang terus merespons carut marut persoalan masyarakat di sekitarnya. Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua yang merupakan produk budaya Indonesia. Keberadaan Pesantren di Indonesia dimulai sejak Islam masuk negeri ini dengan mengadopsi sistem pendidikan keagamaan yang sebenarnya telah lama berkembang sebelum kedatangan Islam. Sebagai lembaga pendidikan yang telah lama berurat akar di negeri ini, pondok pesantren diakui memiliki andil yang sangat besar terhadap perjalanan sejarah bangsa.
Banyak pesantren di Indonesia hanya membebankan para santrinya dengan biaya yang rendah, meskipun beberapa pesantren modern membebani dengan biaya yang lebih tinggi. Meski begitu, jika dibandingkan dengan beberapa institusi pendidikan lainnya yang sejenis, pesantren modern jauh lebih murah. Organisasi massa (ormas) Islam yang paling banyak memiliki pesantren adalah Nahdlatul Ulama (NU). Ormas Islam lainnya yang juga memiliki banyak pesantren adalah Al-Washliyah dan Hidayatullah.[7]

2.         Santri

Sedangkan asal usul kata “santri”, dalam pandangan Nurcholish Madjid dapat dilihat dari dua pendapat. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa “santri” berasal dari perkataan “sastri”, sebuah kata dari bahasa Sanskerta yang artinya melek huruf.[8]  Di sisi lain, Zamkhsyari Dhofier berpendapat bahwa, kata “santri” dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Atau secara umum dapat diartikan buku-buku suci, buku-buku agama, atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.[9] Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa perkataan santri sesungguhnya berasal dari bahasa Jawa, yaitu dari kata “cantrik”, berarti seseorang yang selalu mengikuti seorang guru kemana guru itu pergi menetap.[10]

Istilah ”santri” mempunyai dua konotasi atau pengertian, pertama; dikonotasikan dengan orang-orang yang taat menjalankan dan melaksanakan perintah agama Islam, atau dalam terminologi lain sering disebut sebagai ”muslim orotodoks”. Istilah ”santri” dibedakan secara kontras dengan kelompok abangan, yakni orang-orang yang lebih dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya jawa pra Islam, khususnya nilai-nilai yang berasal dari mistisisme Hindu dan Budha. Kedua; dikonotasikan dengan orang-orang yang tengah menuntut ilmu di lembaga pendidikan pesantren. Keduanya jelas berbeda, tetapi jelas pula kesamaannya, yakni samasama taat dalam menjalankan syariat Islam.[11]

3.         Pola Kehidupan di Pesantren

Mendengar istiah pesantren, orang pasti akan berfikir tentang sebuah lembaga pendidikan agama yang identik dengan keberadaan kyai dan santri dimana ilmu-ilmu agama dalam kitab kuning dibaca, dihafal dan dikaji. Pesantren merupakan sebuah komunitas kehidupan yang unik jika dilihat dari pandangn sosiologi dan kebudayaan, yakni sebuah komunitas dimana masyarakatnya membentuk ikatan mata rantai terpusat dengan aktivitas tertentu. Masing-masing masyarakat satu sama lain mempunyai suatu hubungan yang istimewa yang jarang dijumpai pada masyarakat kebanyakan. Ada beberapa keunikan yang terdapat di pondok pesantren, diantaranya dilihat dari lokasinya pesantren adalah sebuah kompleksitas lokasi yang umumnya terpisah dari kehidupan sekitarnya yang terdiri dari komplek-komplek santri dan masjid atau kelas-kelas sebagai tempat untuk mengaji dan yang unik lagi dari semua pesantren yang ada yaitu di dekat lokasi-lokasi tersebut pasti berdiri rumah sang kyai. Keberadaan santri juga tidak kalah unik, kata santri juga bisa dinisbatkan pada bahasa jawa cantrik, yang artinya adalah selalu mengikuti kemana gurunya pergi, jadi dapat disimpulkan bahwa santri adalah seseorang yang tunduk dan patuh kepada gurunya bahkan mau melayani dan ngawulo kepada guru/kyainya.[12]

Selanjutnya Ahmad Tafsir dengan mengutip pendapat Geertz mengemukakan kemampuan santri dalam mengontrol perubahan nilai yang juga tak lepas dari peran kyai sebagai penyaring informasi yang masuk ke lingkungan kaum santri, mengajarkan hal-hal yang berguna dan membuang yang merusak. Pada saat seperti ini, kemampuan kyai pesantren telah terbukti dalam mengontrol nilai dan kebudayaan. Seberapa derasnya arus informasi yang masuk pesantren, Kyai tidak akan pernah kehilangan peranannya sehingga masih mampu menjaga pranata-pranata sosial dan perlunya perhatian dari tokoh-tokoh lain untuk memperkuat kyai dalam menjaga pranata-pranata itu. Sebuah tulisan Gus Dur tentang pola relasi kyai-santri di dalam tradisi pesantren menyatakan tidak pernah dikenal istilah mantan santri atau mantan kyai. Hubungan kyai-santri adalah hubungan yang akan terus melekat sampai akhirat kelak. Seorang santri, ketika sudah keluar dari pondok, entah untuk tujuan studi atau terjun ke masyarakat, akan terus mengemban amanah kesantriannya dan menyandang nama kyai sebagai gurunya. Meskipun seandainya setelah itu tidak pernah terjadi kontak fisik, secara batin sang kyai sebenarnya terus menyertainya lewat doa dan barakah yang terus mengalir. Begitu juga sang santri bisa dikatakan sudah sowan jika setiap saat memegang teguh ajaran kyainya dan tidak lupa berkirim al-fatihah dan doa. Jika sang santri sampai akhir hayatnya tetap berpegang teguh kepada ajaran kyainya, di akhirat kelak dia akan berkumpul di satu tempat bersama sang kyai.[13]

Dari hubungan yang positif itu dapat menimbulkan hal-hal positif seperti dibawah ini, yang kemudian menjadi watak dan ciri santri:

a.       Tumbuhnya sikap rendah hati (tawaddlu’) terhadap yang lebih bawah dan sikap hormat (ta’dzim) kepada yang lebih atas, terutama dalam hal ilmu dan ibadah.

b.      Terbentuknya keperibadian yang berpola hidup hemat dan sederhana.

c.       Terbiasa untuk hidup secara mandiri, mulai seperti mencuci,, membersihkan kamar tidur serta memasak sendiri.

d.      Tumbuhnya jiwa suka menolong kepada orang lain. Hal ini disebabkan karena suasana pergaulan di pesantren yang

e.       Terbentuknya sikap disiplin.

f.        Timbulnya kesanggupan untuk hidup prihatin, dalam rangka mencapai suatu tujuan yang mulia.

Pola kehidupan pesantren termenifestasikan dalam istilah “pancajiwa” yang didalamnya memuat “lima jiwa” yang harus diwujudkan dalam proses pendidikan dan pembinaan karakter santri. Kelima jiwa ini adalah sebagai berikut :

a.         Jiwa Keikhlasan

Jiwa ini tergambarkan dalam ungkapan “sepi ing pamrih”,yaitu perasaan semata-mata untuk beribadah yang sama sekali tidak termotivasi oleh keinginan keuntungan-keuntungan tertentu. Jiwa ini terdapat dalam diri kiai dan jajaran ustadz yang disegani oleh santri dan jiwa santri yang menaati-suasana yang didorong oleh jiwa yang penuh cinta dan rasa hormat.

b.        Jiwa Kesederhanaan

Kehidupan di pesantren diliputi suasana kesederhanaan yang bersahaja yang mengandung kekuatan unsur kekuatan hati, ketabahan, dan pengendalian diri didalam menghadapi berbagai macam rintangan hidup sehingga dapat membentuk mental dan karakter dan membentuk jiwa yang besar, berani, dan pantang mundur dalam segala keadaan.

c.         Jiwa Kemandirian

Seorang santri bukan berarti harus belajar mengurus keperluan sendiri, melainkan telah menjadi menjadi semacam prinsip bahwa sedari awal pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tidak pernah menyandarkan kelangsungan hidup dan perkembangannya pada bantuan dan belas kasihan orang lain, kebanyakan pesantren dirintis oleh kiai dengan hanya mengandalkan dukungan dari para santri dan masyarakat sekitar.

d.        Jiwa Ukhuwah Islamiah

Suasana kehidupan di pesantren selalu diliputi semangat persaudaraan yang sangat akrab sehingga susah senang dilalui bersama, tidak ada pembatas antara mereka meskipun sejatinya mereka berbeda-beda dalam berbagai hal.

e.         Jiwa Kebebasan

Para santri diberi kebebasan dalam memilih jalan hidup kelak di tengah masyarakat. Mereka bebas menentukan masa depan dengan berbekal pendidikan selama berada di pesantren.[14]

Munculnya perbedaan pembagian kerja antar individu yang kuat dapat mengambil peran yang tadinya di isi oleh kesadaran kolektif bersama dapat menjadi hubungan kontraktual dalam masyarakat. Menurut George Ritzer “ Solidaritas organik dipersatukan oleh perbedaan-perbedaan diantara orang orang, oleh fakta bahwa semuanya mempunyai tugas-tugas dan tanggung jawab yang berbeda. Sedangkan menurut Durkheim masyarakat organik “dipersatukan oleh spesialisasi orang-orang dan kebutuhan mereka untuk layanan-layanan dari banyak orang”.[15] 

B.     Sosiologi santri

Santri Pondok Pesantren di Indonesia memiliki peran yang sangat besar, baik bagi kemajuan Islam itu sendiri maupun bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan. Berdasarkan catatan yang ada, kegiatan pendidikan agama pesantren di Nusantara telah dimulai sejak tahun 1596. Kegiatan agama inilah yang kemudain dikenal dengan nama Pondok Pesantren. Bahkan dalam catatan Howard M. federspiel- salah seorang pengkaji ke-Islaman di Indonesia, menjelang abad ke-12 pusat-pusat studi di Aceh dan Palembang (Sumatra), di Jawa Timur dan di Gowa (Sulawesi) telah meng hasilkan tulisan-tulisan penting dan telah menarik santri untuk belajar.

Sebagai institusi sosial, santri telah memainkan peranan yang penting di Indonesia dan negara-negara lainnya yang penduduknya banyak memeluk agama Islam. Alumni pondok pesantren umumnya telah bertebaran di seluruh wilayah Indonesia. Beberapa alumnus pesantren juga telah berkiprah di pentas nasional, yang terkenal antara lain: Dr. Hidayat Nurwahid (mantan Ketua MPR RI) KH. Hasyim Muzadi (Ketua PB Nahdlatul Ulama) Prof. Nurkholish Madjid mantan (Rektor Universitas Paramadina) Dr. Din Syamsuddin (Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH. Abdurrahman Wahid, salah seorang kyai yang terkenal, adalah mantan Presiden Republik Indonesia. Ia adalah putra KH. Wahid Hasyim, seorang kyai yang juga tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia dan pernah dua kali menjabat Menteri Agama di Indonesia. Sementara kakeknya adalah KH. Hasyim Asy'ari, seorang pahlawan nasional Indonesia dan pendiri Nahdlatul Ulama, salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia.

Peran sosial adalah peran yang dimainkan seseorang dalam lingkungan sosialnya. Peran ini adalah merupakan tuntutan dari masyarakat terhadap individu untuk memberikan sumbangan sosial dari anggotanya dalam rangka menjaga keutuhan sosial dan meningkatkan kebaikan dalam masyarakat tersebut.

Peran sosial bisa berupa aktivitas individu dalam masyarakat dengan cara mengambil bagian dalam kegiatan yang ada di masyarakat dalam berbagai sektor, baik sosial, politik, ekonomi, keagamaan dan lain-lain. Pengambilan peran ini tergantung pada tuntutan masyarakat dan atau pada kemampuan individu bersangkutan serta kepekaannya dalam melihat keadaan masyarakatnya.

Peranan yang harus dimiliki seorang santri dalam proses pendidikannya, dan selanjutnya diharapkan menjadi bekal yang berguna dalam kehidupan santri yang bersangkutan kelak di masyarakat. Kemampuan dasar ini diharapkan akan menjadi lengkap dalam rentang masa pendidikan seorang santri yang biasa disebut Panca Kesadaran (الوعيات الخمس), yaitu: Kesadaran Beragama (الوعي الديني), Kesadaran Ilmiah (الوعي العلمي), Kesadaran Bernegara dan Berbangsa (الوعي الحكومي والشعبي), Kesadaran Bermasyarakat (الوعي الإجتماعي) dan Kesadaran Berorganisasi (الوعي النظامي).[16]

Greag Fealy dalam artikelnya mencatat bahwa variasi tradisi santri jawa populer yang terus dikokohkan dikalangan mereka adalah praktik-praktik lokal, seperti ritual lingkaran hidup, ritual slametan, ziarah kubur, muludan, tahlil dan sebagainya. Greag Fealy hanya mengambil satu sempel yaitu praktik ziarah kubur.

Ziarah kubur telah diajarkan oleh Nabi Muhammad yang menganjurkan untuk berziarah kubur walaupun sebelumnya dilarang karena dikhawatirkan merusak akidah umat yang masih rentan. Ziarah kubur dalam Islam faedahnya antara lain agar mengingatkan kepada orang yang hidup akan kematian sehingga dapat diambil peajaran darinya selain itu juga mempunyai tempat tersendiri di dalam kultur Jawa, yaitu kebiasaan orang Jawa yang selalu menaruh hormat kepada leluhur-leluhurnya. Bahkan pada waktu-waktu tertentu, seperti datangnya bulan Ramadan, berziarah ke makam leluhur menjadi bagian integral tradisi orang jawa yang disebut megengan, yaitu ritual khusus untuk mempersiapkan diri (raga) dalam rangka memasuki bulan suci Ramadan. Bulan suci Ramadan yang penuh “rahmat dan ampunan” dalam ajaran Islam tidak bisa diraih jika tidak dengan jiwa-raga yang bersih, salah satunya dengan cara memohon maaf kepada para leluhur melalui tradisi ziarah kubur.[17]

Menurut Clifford Greetz, secara geografis golongan santri biasanya berada dalam wilayah disekitar pesisir pulau Jawa, yang menjadi titik tolak penyebaran Islam yang berasal dari Timur Tengah. Pemahaman mereka terhadap Islam cukup mendalam bahkan dalam pengamalan tergadap syari’at Islam lebih murni. Itu sebabnya banyak muncul pesantren disepanjang pantura pulau Jawa. Dengan demikian, santri kategorinya adalah orang yang melaksanakan kewajiban agama secara cermat dan teratur, dalam hal ini juga sesuai apabila disematkan pada masyarakat yang bermata pencaharian sebagai pedagang karena interaksinya dengan dunia luar sangat intens. Clifford Greetz menggambarkan bahwa inilah masyarakat Islam yang tinggal di Jawa yang memadukan Islam dengan budaya lokal.[18]


BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Dari pemaparan makalah ini ada beberapa halyang dapat penulis simpulkan, yaitu sebagai berikut :

1.         Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tradisional untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari.

2.         Istilah santri abangan, yakni orang-orang yang lebih dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya jawa pra Islam, khususnya nilai-nilai yang berasal dari mistisisme Hindu dan Budha.

3.         Santri pesantren dikonotasikan dengan orang-orang yang tengah menuntut ilmu di lembaga pendidikan pesantren.

4.         Pola kehidupan pesantren termenifestasikan dalam istilah “pancajiwa” yang didalamnya memuat “lima jiwa” yang harus diwujudkan dalam proses pendidikan dan pembinaan karakter santri.

5.         Peran sosial santri adalah peran yang dimainkan seorang santri dalam lingkungan sosialnya. Peran ini adalah merupakan tuntutan dari masyarakat terhadap individu untuk memberikan sumbangan sosial dari anggotanya dalam rangka menjaga keutuhan sosial dan meningkatkan kebaikan dalam masyarakat tersebut.

 


 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Geertz, Clifford. 1983. Abangan Santri; Priyayi dalam Masyarakat Jawa. diterjemahkan oleh Aswab Mahasun. Cet. II. Jakarta: Dunia Pusataka Jaya

Yasmadi. 2005.  Modernisasi Pesantren. Kritik Nurcholish Majid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional. Jakarta: Quantum Teaching.

Wahjoetomo, 1997. Perguruan Tinggi Pesantren; Pendidikan Alternatif Masa Depan. Jakarta: Gema Insani Press.

Soetari, Endang . Laporan Penelitian Sistem Kepemimpinan Pondok Pesantren. 

Rama, Bahaking. 2003. Jejak Pembaharuan Pendidikan Pesantren; Kajian Pesantren As’adiyah Sengkang Sulawesi Selatan. Jakarta: Parodatama Wiragemilang.

Madjid, Nurcholish. 1977. Bilik-bilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan . Jakarta: Paramadina.

Deddy dan Jalaluddin Rakhmat Mulyana.  2006. Komunikasi Antara Budaya, Panduan Berkomunikasi Dengan Orang-Orang Berbeda Budaya.  Bandung: PT Remaja Rosadakarya.

Soehabar, Halim. 2013Modernisasi Pesantren. Yogyakarta: Lkis Printing Cemerlang

Ritzer, G.  2012. Teori Sosiologi : Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

 



[1] Dalam penelitian Clifford Geertz berpendapat, kata santri mempunyai arti luas dan sempit. Dalam arti sempit santri adalah seorang murid satu sekolah agama yang disebut pondok atau pesantren. Oleh sebab itu, perkataan pesantren diambil dari perkataan santri yang berarti tempat untuk santri. Dalam arti luas dan umum santri adalah bagian penduduk Jawa yang memeluk Islam secara benar-benar, bersembahyang, pergi ke mesjid dan berbagai aktifitas lainnya. Lihat Clifford Geertz, Abangan Santri; Priyayi dalam Masyarakat Jawa, diterjemahkan oleh Aswab Mahasun (Cet. II; Jakarta: Dunia Pusataka Jaya, 1983), h. 268, dikutip oleh Yasmadi, Modernisasi Pesantren; Kritik Nurcholish Majid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional (Jakarta: Quantum Teaching, 2005),  61

[2] Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren; Pendidikan Alternatif Masa Depan (Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1997),  70.

[3] Zamakhsyari Dhofier, op, cit, 44

[4] Lihat Endang Soetari, “Laporan Penelitian Sistem Kepemimpinan Pondok Pesantren”, dikutip oleh Ahmad Tafsir, op. cit,  193

[5] Lihat Wardi Bakhtiar, Laporan Penelitian Perkembangan Pesantren di Jawa barat, dikutip oleh Ahmad tafsir, op. cit,194

[6] Bahaking Rama, Jejak Pembaharuan Pendidikan Pesantren; Kajian Pesantren As’adiyah Sengkang Sulawesi Selatan (Cet. I; Jakarta: Parodatama Wiragemilang, 2003),  45

[7] Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren; Pendidikan Alternatif Masa Depan (Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1997) , 70.

[8] Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan (Cet. I; Jakarta: Paramadina, 1977), h. 19

[9] Zamkhasyari Dhofier, Tradisi Pesantren (Cet. II; Jakarta Mizan)18

[10] Nurcholish Madjid, op cit,  20

[11] Zamkhasyari Dhofier, Tradisi Pesantren (Cet. II; Jakarta Mizan), 18.

[12] Deddy dan Jalaluddin Rakhmat Mulyana, Komunikasi Antara Budaya, Panduan Berkomunikasi Dengan Orang-Orang Berbeda Budaya, ( Bandung: PT Remaja Rosadakarya, 2006), 122.

[13] Maksum, Pola Pembelajaran dipesantren, (Jakarta: Depag, 2001), 23.

[14] Halim Soehabar, Modernisasi Pesantren , (Yogyakarta: Lkis Printing Cemerlang: 2013),  39-46

[15] G. Ritzer, Teori Sosiologi : Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2012), 143.

 

[16] Halim SoehabarModernisasi Pesantren , (Yogyakarta: Lkis Printing Cemerlang: 2013), 39-46

[17] Greg FealyTradisionalisme Dan Perkembangan Politik NU, (Yogyakarta: LkiS: 1996), 7-8

[18] Clifford gretz.,,,,144.

0 komentar:

Posting Komentar

Contact

Contact Person

Untuk saling berbagi dan sharing, mari silaturrahmi!

Address:

Mojo-Kediri-Jawa Timur (64162)

Work Time:

24 Hours

Phone:

085735320773

Diberdayakan oleh Blogger.