SOSIOLOGI SANTRI
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Agama merupakan hal yang sangat abstrak dalam
masyarakat, ia tak berwujud. Masyarakat memiliki kepercayaaan kepada agamanya
karena adanya kesadaran kolektif yang mempercayainya. Selain itu pengalaman
kolektif juga menjadi menjadi indikasi eksistensi dari agama tersebut. Ketika
masuk era modern maka kesadaran kolektif mulai menurun karena tingkat pembagian
kerja sudah kompleks. Sehingga masyarakat mulai terpecah berdasarkan
spesialisasi masing-masing. Hal ini lah yang membuat kepercayaan mengenai agama
mulai berkurang, karena kolektivitas sendiri juga mulai melemah. Agama disini
menjadi ide belaka saja dalam kehidupan masyarakat.
Perilaku beragama itu melibatkan aspek
kognisi, afeksi dan psikomotor seseorang. Keberagamaan antara satu orang dengan
yang lain tentu berbeda pula karena beberapa factor dan latar belakang yang
mempengaruhinya. Salah satunya adalah keberagaman golongan santri.
Dalam ini akan dijelaskan tentang apa
pengertian santri, bagaimana pola kehidupan di pesantren, dan bagaimana
keberagamaan santri.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa definisi dari santri?
2.
Bagaimana Kehidupan sosiologi santri?
C.
Tujuan Masalah
1.
Untuk
mengetahui definisi dari santri.
2.
Untuk mengetahui Kehidupan sosiologi santri.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Pesantren
dan Santri
1.
Pesantren
Istilah
pesantren berasal dari kata pe-santri-an, dimana kata "santri"
berarti murid dalam Bahasa Jawa. Istilah pondok berasal dari Bahasa Arab
funduuq (فندوق) yang berarti penginapan. Khusus di Aceh, pesantren disebut juga
dengan nama dayah. Biasanya pesantren dipimpin oleh seorang Kyai. Untuk
mengatur kehidupan pondok pesantren, kyai menunjuk seorang santri senior untuk
mengatur adik-adik kelasnya, mereka biasanya disebut lurah pondok. Tujuan para
santri dipisahkan dari orang tua dan keluarga mereka adalah agar mereka belajar
hidup mandiri dan sekaligus dapat meningkatkan hubungan dengan kyai dan juga
Tuhan.[1]
Pendapat
lainnya, pesantren berasal dari kata santri yang dapat diartikan tempat santri.
Kata santri berasal dari kata Cantrik (bahasa Sansakerta, atau mungkin Jawa)
yang berarti orang yang selalu mengikuti guru, yang kemudian dikembangkan oleh
Perguruan Taman Siswa dalam sistem asrama yang disebut Pawiyatan. Istilah
santri juga dalam ada dalam bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji, sedang C.
C Berg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari istilah shastri, yang
dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu atau
seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Terkadang juga dianggap sebagai
gabungan kata saint (manusia baik) dengan suku kata tra (suka menolong),
sehingga kata pesantren dapat berarti tempat pendidikan manusia baik-baik.[2]
Adapun menurut
Mastuhu, pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tradisional untuk
mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam
dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku
sehari-hari.
Sementara A.
Rasydianah mendefinisikan bahwa, pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang
diselenggarakan oleh masyarakat dibawah pimpinan seorang kiai melalui jalur
pendidikan non formal berupa pembelajaran kitab kuning. Selain itu, banyak juga
yang menyelenggarakan pendidikan keterampilan serta pendidikan formal,
baik madrasah maupun sekolah umum.
Sementara
menurut Zamakhsyari, bahwa sekurang-kurangnya harus ada lima elemen untuk dapat
disebut pesantren, yaitu ada pondok, mesjid, kiai, santri, dan pengajian kitab
Islam klasik yang sering disebut kitab kuning. Zamakhsyari juga mencoba
mengklasifikasi pesantren dilihat dari jumlah santrinya. Menurutnya, pesantren
yang santrinya kurang dari 1000 dan pengaruhnya hanya pada tingkat kabupaten,
disebut sebagai pesantren kecil; santri antara 1000-2000 dan pengaruhnya pada
beberapa kabupaten disebut sebagai pesantren menengah; bila santrinya
lebih dari 2000 dan pengaruhnya tersebar pada tingkat beberapa kabupaten dan
propinsi dapat digolongkan sebagai pesantren besar.[3]
Ahmad Tafsir
menanggapi teori Zamakhsyari, bahwa gagasan ini dapat dipertimbangkan, meskipun
masih bisa dipertanyakan. Misalnya ada pesantren yang jumlah santrinya tidak
memenuhi kriteria pesantren besar tetapi lulusannya yang menjadi kiai, lalu
membuka lagi pesantren baru, prosentasenya sangat tinggi.
Usaha untuk
mengidentifikasi pesantren dilakukan juga oleh Kafrawi. Ia mencoba membagi pola
pesantren menjadi empat pola, yaitu; pola
I, ialah pesantren yang memiliki unit kegiatan dan elemen berupa
mesjid dan rumah kiai. Pesantren ini masih sederhana, kiai mempergunakan mesjid
atau rumahnya untuk tempat mengaji, biasanya santri datang dari daerah
sekitarnya, namun pengajian telah diselenggarakan secara kontinyu dan
sistematik. Pola ini belum dianggap memiliki elemen pondok bila
diukur dengan teori Zamakhsyari. Pola II, sama dengan pola I ditambah
adanya pondokan bagi santri. Ini sama dengan syarat Zamakhsyari. Pola
III, sama dengan pola II tetapi ditambah adanya madrasah. Pesantren
pola III ini telah ada pengajian sistem klasikal. Pesantren Pola
VI, adalah pesantren pola III ditambah adanya unit
keterampilan seperti peternakan, kerajinan, koperasi, sawah, ladang, dan
lain-lain.[4] Adapun Pola
V, yang ditambahkan oleh Sudjoko Prasodjo, seperti halnya
pola IV ditambah adanya universitas, gedung pertemuan, tempat olahraga, dan
sekolah umum.[14] Pada
pola ini pesantren merupakan lembaga pendidikan yang telah berkembang dan bisa
dikatakan sebagai pesantren modern.
Menarik juga klasifikasi yang diajukan oleh
Wardi Bakhtiar – yang sejalan dengan pendapat Zamakhsyari – bahwa dilihat dari
segi jenis pengetahuan yang diajarkan, pesantren terbagi menjadi dua
macam. Pertama, Pesantren Salaf, yaitu pesantren
yang mengajarkan kitab Islam klasik (kitab kuning) saja dan tidak diberikan
pembelajaran pngetahuan umum. Kedua, Pesantren Khalaf,
yang selain memberikan pembelajaran kitab Islam klasik, juga memberikan
pengetahuan umum dengan jalan membuka sekolah umum di lingkungan dan dibawah tanggung
jawab pesantren.[5]
Demikian pula yang dikemukakan oleh Bahaking
Rama, bahwa dari segi aktivitas pendidikan yang dikembangkan, pesantren dapat
diklasifikasi dalam beberapa tipe, yaitu;
a.
Pesantren tradisional, yaitu pesantren yang
hanya menyelenggarakan pengajian kitab dengan sistem sorogan, bandongan dan
wetonan,
b.
Pesantren
semi modern, yaitu pesantren yang menyelenggarakan pendidikan campuran antara
sistem pengajian kitab tradisional dengan madrasah formal dan mengadopsi
kurikulum pemerintah.
c.
Pesantren
modern, yaitu pesantren yang menyelenggarakan pola campuran antara sistem
pengajian kitab tradisonal, sistem madrasah, dan sistem sekolah umum dengan
mengadopsi kurikulum pemerintah (Departemen Agama dan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan) dan ditambah dengan kurikulum muatan lokal.[6]
Dari berbagai pendapat tentang teori
penamaan pesantren tersebut dapat disimpulkan bahwa pesantren adalah lembaga
pendidikan Islam dibawah pimpinan seorang kiai, baik melalui jalur formal
maupun non formal yang bertujuan untuk mempelajari dan mengamalkana ajaran Islam
melalui pembelajaran kitab kuning dengan menekankan moral keagamaan sebagai
pedoman dalam berprilaku keseharian santri.
Pesantren pada
mulanya merupakan pusat penggemblengan nilai-nilai dan penyiaran agama Islam.
Namun, dalam perkembangannya, lembaga ini semakin memperlebar wilayah
garapannya yang tidak melulu mengakselerasikan mobilitas vertical (dengan
penjejelan materi-materi keagamaan), tetapi juga mobilitas horizontal
(kesadaran sosial). Pesantren kini tidak lagi berkutat pada kurikulum yang
berbasis keagamaan (regional-based curriculum) dan cenderung melangit, tetapi
juga kurikulum yang menyentuh persoalan kikian masyarakat (society-based
curriculum). Dengan demikian, pesantren tidak bisa lagi didakwa semata-mata
sebagai lembaga keagamaan murni, tetapi juga (seharusnya) menjadi lembaga
sosial yang hidup yang terus merespons carut marut persoalan masyarakat di
sekitarnya. Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua yang
merupakan produk budaya Indonesia. Keberadaan Pesantren di Indonesia dimulai
sejak Islam masuk negeri ini dengan mengadopsi sistem pendidikan keagamaan yang
sebenarnya telah lama berkembang sebelum kedatangan Islam. Sebagai lembaga
pendidikan yang telah lama berurat akar di negeri ini, pondok pesantren diakui
memiliki andil yang sangat besar terhadap perjalanan sejarah bangsa.
Banyak pesantren di Indonesia hanya membebankan para santrinya dengan biaya
yang rendah, meskipun beberapa pesantren modern membebani dengan biaya yang
lebih tinggi. Meski begitu, jika dibandingkan dengan beberapa institusi
pendidikan lainnya yang sejenis, pesantren modern jauh lebih murah. Organisasi
massa (ormas) Islam yang paling banyak memiliki pesantren adalah Nahdlatul
Ulama (NU). Ormas Islam lainnya yang juga memiliki banyak pesantren adalah
Al-Washliyah dan Hidayatullah.[7]
2.
Santri
Sedangkan asal usul kata “santri”, dalam
pandangan Nurcholish Madjid dapat dilihat dari dua pendapat. Pertama, pendapat
yang mengatakan bahwa “santri” berasal dari perkataan “sastri”, sebuah
kata dari bahasa Sanskerta yang artinya melek huruf.[8] Di sisi lain,
Zamkhsyari Dhofier berpendapat bahwa, kata “santri” dalam bahasa India berarti
orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab
suci agama Hindu. Atau secara umum dapat diartikan buku-buku suci, buku-buku agama,
atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.[9] Kedua, pendapat
yang mengatakan bahwa perkataan santri sesungguhnya berasal dari bahasa Jawa,
yaitu dari kata “cantrik”, berarti seseorang yang selalu mengikuti
seorang guru kemana guru itu pergi menetap.[10]
Istilah ”santri”
mempunyai dua konotasi atau pengertian, pertama;
dikonotasikan dengan orang-orang yang taat menjalankan dan melaksanakan
perintah agama Islam, atau dalam terminologi lain sering disebut sebagai
”muslim orotodoks”. Istilah ”santri” dibedakan secara kontras dengan kelompok
abangan, yakni orang-orang yang lebih dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya jawa
pra Islam, khususnya nilai-nilai yang berasal dari mistisisme Hindu dan Budha.
Kedua; dikonotasikan dengan orang-orang yang tengah menuntut ilmu di lembaga
pendidikan pesantren. Keduanya jelas berbeda, tetapi jelas pula kesamaannya,
yakni samasama taat dalam menjalankan syariat Islam.[11]
3.
Pola Kehidupan di Pesantren
Mendengar
istiah pesantren, orang pasti akan berfikir tentang sebuah lembaga pendidikan
agama yang identik dengan keberadaan kyai dan santri dimana ilmu-ilmu agama
dalam kitab kuning dibaca, dihafal dan dikaji. Pesantren merupakan sebuah
komunitas kehidupan yang unik jika dilihat dari pandangn sosiologi dan
kebudayaan, yakni sebuah komunitas dimana masyarakatnya membentuk ikatan mata
rantai terpusat dengan aktivitas tertentu. Masing-masing masyarakat satu sama
lain mempunyai suatu hubungan yang istimewa yang jarang dijumpai pada
masyarakat kebanyakan. Ada beberapa keunikan yang terdapat di pondok pesantren,
diantaranya dilihat dari lokasinya pesantren adalah sebuah kompleksitas lokasi
yang umumnya terpisah dari kehidupan sekitarnya yang terdiri dari komplek-komplek
santri dan masjid atau kelas-kelas sebagai tempat untuk mengaji dan yang unik
lagi dari semua pesantren yang ada yaitu di dekat lokasi-lokasi tersebut pasti
berdiri rumah sang kyai. Keberadaan santri juga tidak kalah unik, kata santri
juga bisa dinisbatkan pada bahasa jawa cantrik, yang artinya adalah selalu
mengikuti kemana gurunya pergi, jadi dapat disimpulkan bahwa santri adalah
seseorang yang tunduk dan patuh kepada gurunya bahkan mau melayani dan ngawulo
kepada guru/kyainya.[12]
Selanjutnya
Ahmad Tafsir dengan mengutip pendapat Geertz mengemukakan kemampuan santri
dalam mengontrol perubahan nilai yang juga tak lepas dari peran kyai sebagai
penyaring informasi yang masuk ke lingkungan kaum santri, mengajarkan hal-hal
yang berguna dan membuang yang merusak. Pada saat seperti ini, kemampuan kyai
pesantren telah terbukti dalam mengontrol nilai dan kebudayaan. Seberapa
derasnya arus informasi yang masuk pesantren, Kyai tidak akan pernah kehilangan
peranannya sehingga masih mampu menjaga pranata-pranata sosial dan
perlunya perhatian dari tokoh-tokoh lain untuk memperkuat kyai dalam menjaga
pranata-pranata itu. Sebuah tulisan Gus Dur tentang pola relasi kyai-santri di
dalam tradisi pesantren menyatakan tidak pernah dikenal istilah mantan santri
atau mantan kyai. Hubungan kyai-santri adalah hubungan yang akan terus melekat
sampai akhirat kelak. Seorang santri, ketika sudah keluar dari pondok, entah
untuk tujuan studi atau terjun ke masyarakat, akan terus mengemban amanah
kesantriannya dan menyandang nama kyai sebagai gurunya. Meskipun seandainya
setelah itu tidak pernah terjadi kontak fisik, secara batin sang kyai
sebenarnya terus menyertainya lewat doa dan barakah yang terus mengalir. Begitu
juga sang santri bisa dikatakan sudah sowan jika setiap saat memegang teguh
ajaran kyainya dan tidak lupa berkirim al-fatihah dan doa. Jika sang santri
sampai akhir hayatnya tetap berpegang teguh kepada ajaran kyainya, di akhirat
kelak dia akan berkumpul di satu tempat bersama sang kyai.[13]
Dari hubungan
yang positif itu dapat menimbulkan hal-hal positif seperti dibawah ini, yang
kemudian menjadi watak dan ciri santri:
a. Tumbuhnya sikap
rendah hati (tawaddlu’) terhadap yang lebih bawah dan sikap
hormat (ta’dzim) kepada yang lebih atas, terutama dalam hal ilmu dan
ibadah.
b. Terbentuknya
keperibadian yang berpola hidup hemat dan sederhana.
c. Terbiasa untuk
hidup secara mandiri, mulai seperti mencuci,, membersihkan kamar tidur serta
memasak sendiri.
d. Tumbuhnya jiwa
suka menolong kepada orang lain. Hal ini disebabkan karena suasana pergaulan di
pesantren yang
e. Terbentuknya
sikap disiplin.
f.
Timbulnya kesanggupan untuk hidup prihatin,
dalam rangka mencapai suatu tujuan yang mulia.
Pola kehidupan
pesantren termenifestasikan dalam istilah “pancajiwa” yang didalamnya memuat
“lima jiwa” yang harus diwujudkan dalam proses pendidikan dan pembinaan
karakter santri. Kelima jiwa ini adalah sebagai berikut :
a.
Jiwa Keikhlasan
Jiwa ini
tergambarkan dalam ungkapan “sepi ing pamrih”,yaitu perasaan semata-mata untuk
beribadah yang sama sekali tidak termotivasi oleh keinginan
keuntungan-keuntungan tertentu. Jiwa ini terdapat dalam diri kiai dan jajaran
ustadz yang disegani oleh santri dan jiwa santri yang menaati-suasana yang
didorong oleh jiwa yang penuh cinta dan rasa hormat.
b.
Jiwa Kesederhanaan
Kehidupan di
pesantren diliputi suasana kesederhanaan yang bersahaja yang mengandung
kekuatan unsur kekuatan hati, ketabahan, dan pengendalian diri didalam
menghadapi berbagai macam rintangan hidup sehingga dapat membentuk mental dan
karakter dan membentuk jiwa yang besar, berani, dan pantang mundur dalam segala
keadaan.
c.
Jiwa Kemandirian
Seorang santri
bukan berarti harus belajar mengurus keperluan sendiri, melainkan telah menjadi
menjadi semacam prinsip bahwa sedari awal pesantren sebagai lembaga pendidikan
Islam tidak pernah menyandarkan kelangsungan hidup dan perkembangannya pada
bantuan dan belas kasihan orang lain, kebanyakan pesantren dirintis oleh kiai
dengan hanya mengandalkan dukungan dari para santri dan masyarakat sekitar.
d.
Jiwa Ukhuwah Islamiah
Suasana
kehidupan di pesantren selalu diliputi semangat persaudaraan yang sangat akrab
sehingga susah senang dilalui bersama, tidak ada pembatas antara mereka
meskipun sejatinya mereka berbeda-beda dalam berbagai hal.
e.
Jiwa Kebebasan
Para santri
diberi kebebasan dalam memilih jalan hidup kelak di tengah masyarakat. Mereka
bebas menentukan masa depan dengan berbekal pendidikan selama berada di
pesantren.[14]
Munculnya
perbedaan pembagian kerja antar individu yang kuat dapat mengambil peran yang
tadinya di isi oleh kesadaran kolektif bersama dapat menjadi hubungan
kontraktual dalam masyarakat. Menurut George Ritzer “ Solidaritas organik
dipersatukan oleh perbedaan-perbedaan diantara orang orang, oleh fakta bahwa
semuanya mempunyai tugas-tugas dan tanggung jawab yang berbeda. Sedangkan
menurut Durkheim masyarakat organik “dipersatukan oleh spesialisasi orang-orang
dan kebutuhan mereka untuk layanan-layanan dari banyak orang”.[15]
B. Sosiologi
santri
Santri Pondok
Pesantren di Indonesia memiliki peran yang sangat besar, baik bagi kemajuan
Islam itu sendiri maupun bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan. Berdasarkan
catatan yang ada, kegiatan pendidikan agama pesantren di Nusantara telah
dimulai sejak tahun 1596. Kegiatan agama inilah yang kemudain dikenal dengan
nama Pondok Pesantren. Bahkan dalam catatan Howard M. federspiel- salah seorang
pengkaji ke-Islaman di Indonesia, menjelang abad ke-12 pusat-pusat studi di
Aceh dan Palembang (Sumatra), di Jawa Timur dan di Gowa (Sulawesi) telah meng
hasilkan tulisan-tulisan penting dan telah menarik santri untuk belajar.
Sebagai
institusi sosial, santri telah memainkan peranan yang penting di Indonesia dan
negara-negara lainnya yang penduduknya banyak memeluk agama Islam. Alumni
pondok pesantren umumnya telah bertebaran di seluruh wilayah Indonesia.
Beberapa alumnus pesantren juga telah berkiprah di pentas nasional, yang
terkenal antara lain: Dr. Hidayat Nurwahid (mantan Ketua MPR RI) KH. Hasyim
Muzadi (Ketua PB Nahdlatul Ulama) Prof. Nurkholish Madjid mantan (Rektor
Universitas Paramadina) Dr. Din Syamsuddin (Sekretaris Umum Majelis Ulama
Indonesia (MUI) KH. Abdurrahman Wahid, salah seorang kyai yang terkenal, adalah
mantan Presiden Republik Indonesia. Ia adalah putra KH. Wahid Hasyim, seorang
kyai yang juga tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia dan pernah dua kali
menjabat Menteri Agama di Indonesia. Sementara kakeknya adalah KH. Hasyim
Asy'ari, seorang pahlawan nasional Indonesia dan pendiri Nahdlatul Ulama, salah
satu organisasi Islam terbesar di Indonesia.
Peran sosial
adalah peran yang dimainkan seseorang dalam lingkungan sosialnya. Peran ini
adalah merupakan tuntutan dari masyarakat terhadap individu untuk memberikan
sumbangan sosial dari anggotanya dalam rangka menjaga keutuhan sosial dan
meningkatkan kebaikan dalam masyarakat tersebut.
Peran sosial
bisa berupa aktivitas individu dalam masyarakat dengan cara mengambil bagian
dalam kegiatan yang ada di masyarakat dalam berbagai sektor, baik sosial,
politik, ekonomi, keagamaan dan lain-lain. Pengambilan peran ini tergantung
pada tuntutan masyarakat dan atau pada kemampuan individu bersangkutan serta
kepekaannya dalam melihat keadaan masyarakatnya.
Peranan yang
harus dimiliki seorang santri dalam proses pendidikannya, dan selanjutnya
diharapkan menjadi bekal yang berguna dalam kehidupan santri yang bersangkutan
kelak di masyarakat. Kemampuan dasar ini diharapkan akan menjadi lengkap dalam
rentang masa pendidikan seorang santri yang biasa disebut Panca Kesadaran (الوعيات
الخمس), yaitu: Kesadaran Beragama (الوعي الديني), Kesadaran Ilmiah (الوعي العلمي),
Kesadaran Bernegara dan Berbangsa (الوعي الحكومي والشعبي), Kesadaran
Bermasyarakat (الوعي الإجتماعي) dan Kesadaran Berorganisasi (الوعي النظامي).[16]
Greag Fealy
dalam artikelnya mencatat bahwa variasi tradisi santri jawa populer yang terus
dikokohkan dikalangan mereka adalah praktik-praktik lokal, seperti ritual
lingkaran hidup, ritual slametan, ziarah kubur, muludan, tahlil dan sebagainya.
Greag Fealy hanya mengambil satu sempel yaitu praktik ziarah kubur.
Ziarah kubur
telah diajarkan oleh Nabi Muhammad yang menganjurkan untuk berziarah kubur
walaupun sebelumnya dilarang karena dikhawatirkan merusak akidah umat yang
masih rentan. Ziarah kubur dalam Islam faedahnya antara lain agar mengingatkan
kepada orang yang hidup akan kematian sehingga dapat diambil peajaran darinya
selain itu juga mempunyai tempat tersendiri di dalam kultur Jawa, yaitu
kebiasaan orang Jawa yang selalu menaruh hormat kepada leluhur-leluhurnya.
Bahkan pada waktu-waktu tertentu, seperti datangnya bulan Ramadan, berziarah ke
makam leluhur menjadi bagian integral tradisi orang jawa yang
disebut megengan, yaitu ritual khusus untuk mempersiapkan diri (raga)
dalam rangka memasuki bulan suci Ramadan. Bulan suci Ramadan yang penuh “rahmat
dan ampunan” dalam ajaran Islam tidak bisa diraih jika tidak dengan jiwa-raga
yang bersih, salah satunya dengan cara memohon maaf kepada para leluhur melalui
tradisi ziarah kubur.[17]
Menurut
Clifford Greetz, secara geografis golongan santri biasanya berada dalam wilayah
disekitar pesisir pulau Jawa, yang menjadi titik tolak penyebaran Islam yang
berasal dari Timur Tengah. Pemahaman mereka terhadap Islam cukup mendalam
bahkan dalam pengamalan tergadap syari’at Islam lebih murni. Itu sebabnya
banyak muncul pesantren disepanjang pantura pulau Jawa. Dengan demikian, santri
kategorinya adalah orang yang melaksanakan kewajiban agama secara cermat dan
teratur, dalam hal ini juga sesuai apabila disematkan pada masyarakat yang
bermata pencaharian sebagai pedagang karena interaksinya dengan dunia luar
sangat intens. Clifford Greetz menggambarkan bahwa inilah masyarakat Islam yang
tinggal di Jawa yang memadukan Islam dengan budaya lokal.[18]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
pemaparan makalah ini
ada beberapa halyang dapat penulis simpulkan, yaitu sebagai berikut :
1.
Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam
tradisional untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan
ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman
perilaku sehari-hari.
2.
Istilah santri abangan, yakni orang-orang yang
lebih dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya jawa pra Islam, khususnya nilai-nilai
yang berasal dari mistisisme Hindu dan Budha.
3.
Santri pesantren dikonotasikan dengan
orang-orang yang tengah menuntut ilmu di lembaga pendidikan pesantren.
4.
Pola kehidupan pesantren termenifestasikan
dalam istilah “pancajiwa” yang didalamnya memuat “lima jiwa” yang harus
diwujudkan dalam proses pendidikan dan pembinaan karakter santri.
5.
Peran sosial santri adalah peran yang
dimainkan seorang santri dalam lingkungan sosialnya. Peran ini adalah merupakan
tuntutan dari masyarakat terhadap individu untuk memberikan sumbangan sosial
dari anggotanya dalam rangka menjaga keutuhan sosial dan meningkatkan kebaikan
dalam masyarakat tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Geertz, Clifford. 1983. Abangan Santri;
Priyayi dalam Masyarakat Jawa. diterjemahkan oleh Aswab Mahasun. Cet. II.
Jakarta: Dunia Pusataka Jaya
Yasmadi. 2005. Modernisasi Pesantren. Kritik Nurcholish Majid Terhadap
Pendidikan Islam Tradisional. Jakarta: Quantum Teaching.
Wahjoetomo, 1997. Perguruan Tinggi Pesantren; Pendidikan
Alternatif Masa Depan. Jakarta: Gema Insani Press.
Soetari, Endang . Laporan Penelitian Sistem
Kepemimpinan Pondok Pesantren.
Rama, Bahaking. 2003. Jejak Pembaharuan Pendidikan Pesantren;
Kajian Pesantren As’adiyah Sengkang Sulawesi Selatan. Jakarta:
Parodatama Wiragemilang.
Madjid, Nurcholish. 1977. Bilik-bilik Pesantren; Sebuah Potret
Perjalanan . Jakarta: Paramadina.
Deddy
dan Jalaluddin Rakhmat Mulyana. 2006. Komunikasi Antara Budaya,
Panduan Berkomunikasi Dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. Bandung: PT Remaja Rosadakarya.
Soehabar, Halim. 2013Modernisasi
Pesantren. Yogyakarta:
Lkis Printing Cemerlang
Ritzer,
G. 2012. Teori
Sosiologi : Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
[1] Dalam
penelitian Clifford Geertz berpendapat, kata santri mempunyai arti luas dan
sempit. Dalam arti sempit santri adalah seorang murid satu sekolah agama yang
disebut pondok atau pesantren. Oleh sebab itu, perkataan pesantren diambil dari
perkataan santri yang berarti tempat untuk santri. Dalam arti luas dan umum
santri adalah bagian penduduk Jawa yang memeluk Islam secara benar-benar,
bersembahyang, pergi ke mesjid dan berbagai aktifitas lainnya. Lihat Clifford
Geertz, Abangan Santri; Priyayi dalam Masyarakat Jawa,
diterjemahkan oleh Aswab Mahasun (Cet. II; Jakarta: Dunia Pusataka Jaya, 1983),
h. 268, dikutip oleh Yasmadi, Modernisasi Pesantren; Kritik Nurcholish
Majid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional (Jakarta: Quantum
Teaching, 2005), 61
[2] Wahjoetomo, Perguruan
Tinggi Pesantren; Pendidikan Alternatif Masa Depan (Cet. I; Jakarta:
Gema Insani Press, 1997), 70.
[3] Zamakhsyari
Dhofier, op, cit, 44
[4] Lihat
Endang Soetari, “Laporan Penelitian Sistem Kepemimpinan Pondok Pesantren”, dikutip
oleh Ahmad Tafsir, op. cit, 193
[5] Lihat
Wardi Bakhtiar, Laporan Penelitian Perkembangan Pesantren di Jawa
barat, dikutip oleh Ahmad tafsir, op. cit,194
[6] Bahaking
Rama, Jejak Pembaharuan Pendidikan Pesantren; Kajian Pesantren
As’adiyah Sengkang Sulawesi Selatan (Cet. I; Jakarta: Parodatama
Wiragemilang, 2003), 45
[7] Wahjoetomo, Perguruan
Tinggi Pesantren; Pendidikan Alternatif Masa Depan (Cet. I; Jakarta:
Gema Insani Press, 1997) , 70.
[8] Nurcholish
Madjid, Bilik-bilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan (Cet.
I; Jakarta: Paramadina, 1977), h. 19
[9] Zamkhasyari
Dhofier, Tradisi Pesantren (Cet. II; Jakarta Mizan), 18
[10] Nurcholish
Madjid, op cit, 20
[11] Zamkhasyari
Dhofier, Tradisi Pesantren (Cet. II; Jakarta Mizan), 18.
[12] Deddy dan
Jalaluddin Rakhmat
Mulyana,
Komunikasi Antara Budaya, Panduan
Berkomunikasi Dengan Orang-Orang Berbeda Budaya, ( Bandung: PT Remaja Rosadakarya, 2006),
122.
[13] Maksum, Pola Pembelajaran dipesantren, (Jakarta:
Depag,
2001), 23.
[14] Halim
Soehabar, Modernisasi
Pesantren , (Yogyakarta: Lkis Printing Cemerlang:
2013), 39-46
[15] G. Ritzer, Teori Sosiologi : Dari Sosiologi Klasik
Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
2012),
143.
[16] Halim
Soehabar, Modernisasi Pesantren , (Yogyakarta:
Lkis Printing Cemerlang: 2013), 39-46
[17] Greg
Fealy, Tradisionalisme Dan Perkembangan Politik NU, (Yogyakarta:
LkiS: 1996), 7-8
[18] Clifford gretz.,,,,144.
0 komentar:
Posting Komentar