Senin, 19 Juli 2021

HISTORIOGRAFI ARAB PRA-ISLAM

 

HISTORIOGRAFI ARAB PRA-ISLAM


A.    Pendahuluan

Penulisan sejarah atau historiografi sangat menarik untuk dibahas dalam dunia keilmuan. Selain pendekatan studi dalam pelaporan hasil penelitian sejarah, historiografi juga merupakan sebuah studi tentang teknik yang biasa digunakan para penulis sejarah dalam karyanya. Apalagi, jika historiografi dikaitkan dengan masa Bangsa Arab pra-Islam, tentu hal ini akan menimbulkan perbedaan dan ciri khas pada setiap masa, baik corak, bentuk, isi dan metodenya. Sikap dan sifat masyarakat Arab pra-Islam dikenal jauh dari berperadaban bahkan jauh dari kata manusiawi. Peristiwa peperangan antar kabilah terjadi di mana-mana akibat perebutan kekuasaan dan lain-lain. Tidak heran ketika masa ini biasanya disebut masa jahilyah. Selain itu, masyarakat Arab pra-Islam juga mempunyai perhatian yang begitu besar terhadap silsilah dan kesukuan.Terlepas dari kekurangan yang dimiliki masyarakat Arab pra-Islam, ternyata mereka mempunyai ingatan yang kuat dan pelafalan yang hebat. Sehingga  itu, mereka unggul di bidang sastra dan kurang dalam hal penulisan. Melalui tradisi sastra yang begitu melekat inilah membuat masyarakat Arab pra-Islam menyombongkan kabilah-kabilahnya.

Dari berbagai uraian di atas, langkah untuk mengetahui sejarah perjalanan dan warisan asli masyarakat Arab pra-Islam yaitu diarahkan pada tradisi lisan. Untuk itu, penulis akan mencoba membahas dalam tulisan ini tentang historiografi penulisan sejarah pra-Islam dengan tetap bersandar pada teori-teori yang sudah ada sebelumnya.

B.     Historiografi Masa Pra-Islam

Sejarah Secara istilah berasal bahasa Arab yaitu syajarah yang berarti pohon. Menurut Azyumardi Azra, pengambilan istilah ini berkaitan dengan kenyataan, bahwa sejarah setidaknya dalam pandangan orang pertama yang menggunakan kata ini, menyangkut tentang syajarah al-nasab, pohon genealogis (sejarah keluarga) dan bisa jadi kata kerja syajarah juga punya arti to happen, to occur dan to develop. Selanjutnya, sejarah dipahami mempunyai makna yang sama dengan tarikh (Arab), istoria (Yunani), history atau geschicte (Jerman)” (Azyumardi Azra, 1998). Senada dengan Louis Gottshalk (1986),  memberikan pengertian bahwa sejarah berasal dari kata benda Yunani yaitu istoria yang berarti ilmu. Kemudian pada perkembangan selanjutnya istoria lebih banyak dipakai untuk pemaparan menyangkut gejala-gejala, terutama tentang keadaan manusia dalam urutan kronologisnya.

Sejarah merupakan bagian internal yang tak bisa dilepaskan dari segala aspek kehidupan manusia. Internalisasi kesadaran akan sejarah mendorong manusia untuk melakukan proses pendefinisian sejarahnya masing-masing. Kita lihat dalam kajian ilmu pengetahuan, sejarah adalah bagian dari ilmu kemanusiaan. Pengkajian ilmu sejarah akan membawa kita pada aspek dimana tuntutan produk sejarah, yakni informasi dan berita bisa dihasilkan dengan penuh tanggungjawab. Proses produksi sejarah inilah yang selanjutnya kita kenal dengan istilah historiografi.

Historiografi merupakan gabungan dari dua kata yaitu history yang berarti sejarah dan grafi yang berarti deskripsi atau penulisan (Badri Yatim, 1997). Terdapat tiga manfaat dan pentinya mempelajari historiografi. Pertama, kita bisa mengetahui persepsi, metode penelitian dan penulisan sejarah. Kedua, kita bisa mengetahui sumber-sumber sejarah. Ketiga, kita bisa mendapatkan sumber yang otentik diantara sumber yang dianggap primer. Menurut Hariyono (1995), historiografi merupakan rekonstruksi masa lampau yang dilakukan berdasarkan fakta yang ada. Pengkisahan sejarah dari masa ke masa cenderung berbeda. Peristiwa sejarah yang dikisahkan oleh sejarawan dipengaruhi oleh titik pandang peribadi dan imajinasi ataupun interpretasi sejarawan dalam merekonstruksinya. Sedangkan menurut Poespoprodjo (1987), historiografi adalah titik puncak dari seluruh kegiatan penelitian sejarah yang dilakukan oleh satu orang atau lebih sejarawan. Dalam metodologi sejarah, historiografi merupakan bagian terakhirnya, bagian pamungkasnya, atau bagian penentu dari bagus tidaknya suatu nilai dari peristiwa sejarah masa lampau. Selain itu, penulisan sejarah (historigrafi) membutuhkan sumber yang beragam, dan pengetahuan yang luas. Ia juga membutuhkan perhitungan yang tepat, dan ketekunan. Kedua sifat ini membawa sejarawan pada kebenaran dan menyelamatkan mereka dari ketergelinciran dan kesalahan dalam penulisan. Sebab, sejarah mendapat tempat yang amat penting dalam keilmuan Islam (Abu Su’ud, 2003).

Dalam kajiannya, historiografi diartikan sebagai salah-satu tahapan dalam metode penelitian sejarah. Menurut Kuntowijoyo, metode penelitian sejarah terdiri dari lima tahapan yaitu, menentukan topik, mencari dan mendapatkan sumber sejarah yang (heuristik), kritik sumber (verifikasi), interpretasi sumber dan penulisan sejarah (historiografi) (Kuntowijoyo, 2013). Sederhananya, menurut Abdurahman (2011), historiografi bisa dimengerti sebagai cara penulisan dan laporan hasil penelitian sejarah yang telah dilaksanakan.

Jadi menulis karya penelitian sejarah tidak cukup sekedar meringkaskan hasil-hasil penelitiannya, menuliskan kesimpulan-kesimpulannya tanpa memperhatikan gaya, strategi bagaimana dapat menampilkan kemampuan penulisannya secara efektif, sehingga para pembaca dapat diyakinkan dan mau menerima hasil pemahamannya melalui interpretasi yang dalam mengenai peristiwa, periode, individu dan proses sejarah.

C.    Kondisi Bangsa Arab Pra-Islam 

Bangsa Arab pra-Islam biasanya disebut Arab jahilyah. Bangsa yang belum berperadaban, bodoh dan tidak mengenal aksara. Namun, bukan berarti tidak seorang pun dari penduduk masyarakat Arab yang tidak mampu membaca dan menulis, karena beberapa orang sahabat Nabi diketahui sudah mampu membaca dan menulis sebelum mereka masuk Islam. Ibnu Saad mengatakan, “Bangsa Arab Jahiliyah dan Permulaan Islam menilai bahwa orang yang sempurna adalah yang dapat menulis, berenang, dan melempar panah” (Yusran Asmuni, 1996).  Bahkan Ibnu Habib al-Baghdadi sempat menulis nama-nama bangsawan pada masa jahiliyah dan permulaan Islam (Azami, 1994).  Hanya saja baca tulis ketika itu belum menjadi tradisi, tidak dinilai penting, tidak pula menjadi tolak ukur kepintaran dan kecendikiaan seseorang (Badri Yatim, 1997).

Secara asal-muasalnya masyarakat keturunan Arab terbagi menjadi  dua golongan besar. Pertama, berasal dari keturunan Qathan yaitu golongan  Qathan iyun yang berada bewilayah dibagian Selatan. Kedua, dari keturunan Ismail bin Ibrahim yaitu golongan Adnaniyun yang berada diwilayah bagian Utara. Tetapi, dalam perjalanannya, kedua golongan ini saling berbaur akibat dari perpindahan penduduk (Badri Yatim, 2000)

Jauh sebelum kedatangan Islam, Jazirah Arab bagian Utara telah ditemukan tradisi baca tulis. Tradisi tulis menulis di Jazirah Arab terus berlanjut sampai datangnya Islam. Berdasarkan kabar dari sebagian sejarawan bahwa pada saat datangnya Islam di Makkah hanya terdapat tujuh belas orang yang dapat menulis. Namun kabar itu menurut Azami belum lengkap mengingat Makkah merupakan kota kosmopolitan, pasar barter, dan persimpangan jalan yang dilalui para kafilah. Lagi pula, data yang dikemukakan ternyata belum memasukkan sejumlah nama yang juga dikenal memiliki kemampuan tulis menulis. Meskipun sumbernya benar. Shubhiy al-Shalih berpendapat bahwa kabar ini pasti bukan berdasarkan hasil penelitian yang komprehensif, melainkan hanya perkiraan yang masih samar-samar. Apalagi jika mau menengok kembali sejarah peradaban dan sastra Arab pra Islam, maka dapat diperkirakan bahwa jumlah orang Arab yang melek huruf, tentu lebih banyak lagi (Saifuddin, 2011).

            Bangsa Arab, terutama Arab bagian Utara, dikenal sebagai orang-orang yang memiliki kemampuan tinggi dalam menggubah sebuah syair. Syair-syair itu diperlombakan kemudian yang unggul ditulis dan digantungkan di dinding Ka’bah (Badri Yatim, 2000). Melalui tradisi sastra tersebut, diketahui bahwa peristiwa-peristiwa besar dan penting secara faktual ikut memberi pengaruh serta mengarahkan perjalanan sejarah mereka. Nilai-nilai yang terkandung dalam peristiwa-peristiwa penting itu, mereka abadikan dengan berbagai cara, seperti kisah, dongeng, nasab, nyanyian dan syair (Hitti K. Philip, 2005). Orang Arab pra-Islam dan awal kebangkitan Islam, tidak atau belum menulis sejarah. Peristiwa-peristiwa sejarah disimpan dalam ingatan mereka. Bukan hanya karena mereka buta aksara, tetapi juga karena mereka beranggapan bahwa kemampuan mereka lebih terhormat. Semua peristiwa sejarah itu diingat dan diceritakan berulag-ulang secar turun-temurun. Demikian pula dengan hadist-hadist Nabi (Badri Yatim, 1997).

Dalam tradisi keilmuwan Islam, ilmu sejarah dianggap sebagai ilmu-ilmu keagamaan karena pada awalnya terkait erat dengan Ilmu Hadis. Seperti pada masa pra Islam dan awal Islam Bangsa Arab tidak mencatat sejarah mereka. Mereka menyimpan catatan itu dalam bentuk hafalan hal ini dikarenakan mereka tidak mengenal tulisan, tapi tradisi lisan lebih dihargai dan diutamakan ketimbang tradisi tulisan. Karena itu sejarah awal Bangsa Arab hanya berupa ungkapan mengenai berbagai peristiwa dan perperangan yang disimpan dalam bentuk hafalan dan ditransfer ke pihak lain melalui tradisi lisan (Yusri A. G. Abdullah, 2004).

Jika dilihat pada konteks lain, sosial-politik pra-Islam sangat rendah dan tidak berkembang. Apalagi dalam konteks ini, masyarakat Arab pra-Islam terlah terbentuk kabilah. Kemudian dari beberapa kabilah terbentuknya suku (Badri Yatim, 2000). Jadi, sebetulnya pada masa Arab pra-Islam sudah terbentuk identitas masyarakat Arab itu sendiri. Namun, karena penekanannya pada hubungan kesukuan yang kuat, kesetian terhadap suku harus dijaga dan solidaritas yang tinggi, maka sering terjadi kekacauan dan peperangan diantara suku-suku yang ada.

Masyarakat Arab pra-Islam merupakan kancah peperangan terus menerus. Sehingga kebudayaan mereka tidak berkembang. Itulah salah-satu penyebab bahan-bahan sejarah Arab pra-Islam sangat langkah untuk ditemu di dunia Arab dan dalam bahasa Arab. Pengetahuan tentang Arab pra-Islam diperoleh melalui syair-syair yang beredar di kalangan para perawi syair. (Badri Yatim, 1997). Contohnya, pada masa pra-Islam selalu diadakan perlombaan syair di pasar Ukaz, kemudian syair-syair yang dinyatakan menang langsung digantung didinding Ka’bah oleh panitianya (Badri Yatim, 2000). Walaupun syair-syair yang melalui tradisi lisan, tetapi tetap menekankan pada unsur fakta. Terlepas dari kondisi lingkungannya, sedapat-dapatnya tidak mengalami perubahan dalam proses berfikir manusia (Wilael, 2016). Jadi, masyarakat Arab pra-Islam memiliki tradisi atau kebiasaan tersendiri untuk mengukir semua sejarah yang ada pada zamannya. Mereka tidak menggunakan tulisan untuk mengabadikan sejarah, melainkan dengan tradisi lisan yang mereka anggap lebih dihargai dan hormati.

Untuk melacak jauh kebelakang sejarah perjalanan dan warisan turun-temurun masyarakat Arab pada masa jahiliyah. Maka kita harus mengarahkan pada tradisi lisan yang mereka miliki. Orang-orang Arab sebelum Islam memang telah mengenal tradisi yang menyerupai bentuk sejarah lisan. Itulah yang disebut dengan hari-hari penting (al-Ayyam) dan silsilah (al-Ansab) pada masyarakata Arab pra-Islam.

D.    Al-ayyam

Al-ayyam adalah peristiwa peperangan antar kabilah Arab. Dilingkungan kabilah Arab jahiliyah sering terjadi perang antar kabilah atau suku baik disebabkan perselisihan untuk memilih pemimpin, perebutan sumber air dan perebutan padang rumput untuk pengembalaan binatang ternak. Karen Amstrong (dalam Yuliani Liputo (terj.), 2014) menyebutnya dengan istilah ghazu “Serangan” yang merupakan jalan pintas untuk mendistribusikan sumber daya guna memenuhi seluruh kebutuhan pada saat itu. Pihak penyerang akan menyerbu rombongan dari suku lawan dan membawa pergi barang jarahan mereka. Dalam penyerangan tersebut, mereka sangat berhati-hati agar tidak ada korban jiwa karena hal itu akan memancing kemarahan dan aksi balas dendam.

Ayyam al Arab sendiri secara etimologi memiliki arti hari-hari penting Bangsa Arab. Disebut demikian karena peperangan tersebut hanya tejadi di siang hari. Sementara pada malam harinya mereka berhenti berperang, beristiharat untuk menunggu hari esok dan melanjutkan perang kembali (Badri Yatim, 1997). Kemudian, al-Ayyam juga merupakan  kumpulan cerita yang berbentuk lisan yang merajuk pada soal-soal yang berkaitan dengan kegiatan masyarakat arab di zaman jahiliyah. Segala kegiatan dan tanggung jawabnya adalah takluk sepenuhnya kepada suku-suku yang terlibat (Abdul A. ad-Durl, 1960)

Adapun isi dari Ayyam al Arab ini adalah perang-perang dan kemenangan-kemenangan, untuk tujuan membanggakan diri terhadap kabilah-kabilah yang lain. Informasi ini diabadikan dalam bentuk syair mapun prosa-prosa yang diselingi syair-syair. Syair inilah yang kemudian melestariakn perpindahan dan mendiseminasikan berita tersebut. Apabila syair itu terlupakan maka riwayat-riwayat kuno juga terlupakan. Hal inilah yang memungkinkan sejarawan masa Islam mengetahui masa tentang Arab. Meskipun tidak semuanya menggambarkan kenyataan, berita itu tentu bertolak dari realitas. Meskipun al-Ayyam merupakan karya sastra yang mengandung informasi sejarah namun peristiwa-peristiwa yang direkamnya tidak sistematis, terputus-putus dan setiap informasi yang disampaikannya berdiri sendiri-sendiri dan tidak memperhatikan waktu dan kronologinya serta tidak mempertimbangkan kausalitas sejarah dan teori-teori sejarah tertentu (Badri Yatim, 1997). Tradisi al-Ayyam pun sendiri diperkirakan sudah cukup lama dikalangan Bangsa Arab. Faktanya, sejarah yang tertuang dalam Taurat berbentuk al-Ayyam. Menurut Tarhini (1991), meskipun tradisi al-Ayyam tidak disandarkan dari sumber tertulis, namun sejak awal kedatangan Islam pun, tradisi lisan masih digunakan sebagai referensi.  

Ciri-ciri umum al-Ayyam yaitu. Pertama, perhatian dicurahkan pada kabilah Arab dan kisah peperangan disampaikan secara lisan dalam bentuk prosa yang diselingi syair. Kedua, riwayat atau kisah kabilah diturunkan secara lisan, sehingga menjadi milik bersama kabilah yang bersangkutan. Ketiga, tidak teraturnya kronologi dan waktu. Keempat, objektifitasnya diragukan karena mengagungkan satu kabilah dan merendahkan kabilah lain. Kelima, disamping sebagian informasinya tidak faktual, masih bisa ditemukan fakta-fakta yang menunjukan kebenaran sejarah.

Peristiwa-perisiwa perang antar kabilah-kabilah Arab itu diabadikan dalam gubahan syair atau kisah yang diselang-selingi dengan syair, yang dimaksudkan untuk tujuan membangga-banggakan kabilah-kabilah lainnya. Syair atau kisah yang diselang-selingi syair itu, pada masa pra-Islam, diwariskan turun-temurun secara lisan. Syair-syair dan prosa itu, pada masa awal Islam dihimpun secara tertulis pada abad ke-2 H atau 8 M, dalam buku-buku terutama buku dalam bernuansa sastra (Badri Yatim, 1997).

Pengaruh al-Ayyam sangatlah kuat sehingga mampu bertahan hingga abad 8 M atau 2 H (Abdul A. ad-Durl, 1960). Penyampaian sejarah secara lisan merupakan ciri persejarahan Arab pra-Islam. Para pembawa cerita sejarah sendiri tidak berminat untuk menyampaikan informasih sejarah secara serius, seperti berita peperangan misalnya. Mereka lebih berminat untuk menghiburkan hati para pendengar (F. Rosenthal, 1968). Kisah al-Ayyam didalamnya mengandung ciri-ciri sejarah namun pada dasarnya ia tidak dirancang untuk menghasilkan bahan sejarah. Tujuan utama penulisan al- ayyam sebenarnya adalah untuk memperkembangkan ilmu kesusasteraan. Kebanyakan ahli- ahli sejarah enggan menerima  al-Ayyam sebagai fakta sejarah karena al-Ayyam sendiri berbentuk puisi dan legenda dan dipindahkan secara oral kepada sastra yang berbau kedaerahan dan kesukuan (Abdul A. ad-Durl, 1960).

Namun, sebenarnya apa yang lebih penting di sini adalah tentang kesan dan pengaruh al- Ayyam dalam penulisan sejarah. Ramai diantara ahli-ahli bahasa Arab, ahli keturunan dan sejarawan Islam seperti Abu Ubaidah, Ibnu Qutaibah, al- Mada’ini, al-Isfahani, dan Ibn al-Atir telah dipengaruhi al-Ayyam. Dalam konteks ini, Haji Khilafah dalam bukunya menyatakan bahwa al-ayyam adalah salah satu sumber terpenting bagi sejarah Islam.

E.     Al-Anshab

Al-Anshab adalah bentuk tradisi pra-Islam yang mengandung banyak sejarah yang artinya silsilah. Al-Ansab adalah kata jamak dari kata nasab yang berarti silsilah (genealogi). Sejak masa jahiliyah orang-orang Arab sangat memperhatikan dan memelihara pengetahuan tentang nasab. Ketika itu pengetahuan tentang nasab merupakan salah satu cabang yang di anggap penting. Setiap kabilah mengahfal silsilahnya, semua anggota keluargnya mengahafalnya agar tetap murni dan silsilah itu dibanggakan terhadap kabilah lain (Badri Yatim, 1997).

Meskipun didalam al-Ansab ada petunjuk sejarah, namun tidak bisa dikatan bahwa ini adalah ekspresi kesadaran bangsa Arab terhadap sejarah, karena pertama, pada masa-pra Islam perhatian terhadap silsalah belum mengambil tradisi tulis baru sebatas hafalan. Kedua, pengetahuan tentang silsilah akan lenyap jika tidak ada yang menghafalnya. Ketiga, hafalan mereka tentang nasab-nasab bercampur dengan mitos. Keempat, tradisi ini tidak menyebar  pada sejarah ”umum” yang meliputi setiap kabilah, karena mereka memang belum mengenal tanah air.

Kitab sejarah yang memaparkan nasab-nasab arab dan asal muasal mereka disebut kitab al-Anshab. Orang-orang mempunyai kelebihan dalam bidang ilmu tersebut. Sebagai rasa kefanatikan terhadap kabilah yang bersambung sebelum Islam. Ada beberapa kitab al-Anshab yang sangat terkenal dengan nasab ini adalah kitab Jamharatun Nasab karangan Muhammad bin Saib Al-Kalabi, kitab Nasabun Quraisy karangan Mus’ab bin Zubairi, dan kitab Jamharatu Ansab al-Arab karangan Ibnu Hazm Al-Andalusi (Raghib As-Sirjani, 2015). Perhatian orang-orang Arab terhadap nasab semakin berlanjut, walaupun Rasulullah Saw. telah melarang umatnya untuk berbangga-bangga dengan kabilah.

F.     Penutup

Dengan melihat isi pembahasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Bangsa Arab pra-Islam pada masa itu, dikenal jauh dari berperadaban bahkan jauh dari kata manusiawi. Peperangan terjadi di mana-mana, judi, mabuk-mabukan, mengundi nasib, berzina dan lain sebagainya. Sehingga, masyarakatnya dikenal dengan sebutan jahiliyah. Tetapi, ada satu hal yang sangat menonjol di dalam tradisi masyarakat Arab pra-Islam yaitu dikenal dengan tradisi menghafal. Masyarakat Arab pra-Islam bukan berarti tidak ada yang tau menulis akan tetapi, mereka lebih merasa terhormat ketika bisa menghafalkan secara lisan tentang suatu peristiwa, dibandingkan dengan menulis. Masyarakat Arab pra-Islam mempertontonkan kelebihan dibidang sastranya melalui syair-syair yang diperlombakan.

Penulisan sejarah (historiografi)  merupakan puncak dari seluruh kegiatan penelitian sejarah yang dilakukan oleh sejarawan. Historiografi dimaksudkan sebagai penulisan sejarah, maka historiografi merupakan tingkatan kemampuan seni yang menekankan pentingnya ketrampilan, tradisi akademis, ingatan dan pandangan arah yang semuanya memberikan warna pada hasil penulisannya. Dalam kajian historiografi, akan tampak keanekaragaman corak, bentuk, metode, maupun isinya. Bukan hanya sebagai keanekaragaman penafsiran tentang kejadian masa lampau, historiografi juga merupakan studi tentang teknik yang dipergunakan setiap sejarawan dalam menuliskan karya-karyanya. Dalam metodologi sejarah, historiografi merupakan salah-satu tahapan dalam metode penelitian sejarah. Historiografi juga merupakan bagian penentu dari bagus tidaknya suatu nilai dari peristiwa sejarah masa lampau. Setidaknya dari pembahasannya terdapat dua bentuk historiografi Arab pra-Islam, yaitu al-Ayyam dan al-Ansab.


 

Daftar Pustaka

Abdullah,Yusri A., G. (2004) Historiografi Islam dari Klasik Hingga Modern. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Abdurrahman, Dudung. (2011). Metodologi Penelitian Sejarah. Yogyakarta: Ombak.

ad-Durl, Abdul Aziz. (1960). Bath fi Nash’at Ilmu at-Tarikh inda al-Arab. Beirut: Daral-Sadir.

Amstrong, Karen. (2014). Islam: A Short History, ter, Yuliani Liputo. Sejarah Islam “Telaah Ringkass-Komprehensif Perkembangan Islam Sepanjang Zaman”. Bandung: Mizan.

Asmuni, Yusran. (1996). Dirasah Islamiyah II. Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada.

As-Sirjani, Raghib. (2015). Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2015.

Azami. (1994).  Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya. Jakarta: PT. Pustaka Firdaus.

Azra, Azyumardi. (1998). Penelitian Non Normatif Tentang Islam: Pemikiran Awal Tentang Pendekatan Kajian Sejarah pada Faklulltas Adab, dalam Tradisi Baru Penelitian Agama Islam, Tinjauan Antar Disiplin Ilmu, Nuansa dan Pusjarlit.

Gottshalk, Louis. (1986). Mengerti Sejarah. Jakarta: UI Press.

Hariyono, (1995). Mempelajari Sejarah Secara Efektif. Jakarta: Pustaka Jaya, 1995.

Khilafah, Haji. (1941). Kasyf al-Zunun ‘an Asmi al- Kutub  wa al- Funun. Istanbul, Vol 1. 43.

Kuntowijoyo, (2013). Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Philip, Hitti. K. (2005). History of The Arabs, (R. Cecep L. Yasin dan Dedi S. Riyadi, Penerjemah). Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.

Poespoprodjo, W. (1987). Subjektivitas Dalam Historiografi. Bandung: Remaja Karya.

Rosenthal, F. (1968). .A History of Muslim Historiografi. Leiden: E.J. Brill.

Saifuddin (2011). Arus Tradisi Tadwin Hadits dan Historiografi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Su’ud, Abu. (2003). Islamiologi, Sejarah, Ajaran, dan perannya dalam peradaban umat manusia. Jakarta: Rineka Cipta

Tarhini, Muhammad A. (1991). Al-Mu’arrikhun wa al-Tarikh al-’Arab. Beirut: Dar alKutub al-‘Illmiyyah.

Wilael, (2016). Sejarah Islam Klasik. Riau: Fakultas Ushuluddin UIN Syaris Kasim.

Yatim, Badri. (1997). Historiografi Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

                     . (2000). Sejarah Peradaban Islam: Dirasat Islamiyah II. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

 

0 komentar:

Posting Komentar

Contact

Contact Person

Untuk saling berbagi dan sharing, mari silaturrahmi!

Address:

Mojo-Kediri-Jawa Timur (64162)

Work Time:

24 Hours

Phone:

085735320773

Diberdayakan oleh Blogger.