HISTORIOGRAFI ARAB PRA-ISLAM
A.
Pendahuluan
Penulisan sejarah atau historiografi sangat menarik untuk dibahas
dalam dunia keilmuan. Selain pendekatan studi dalam pelaporan hasil penelitian
sejarah, historiografi juga merupakan sebuah studi tentang teknik yang biasa
digunakan para penulis sejarah dalam karyanya. Apalagi, jika historiografi
dikaitkan dengan masa Bangsa Arab pra-Islam, tentu hal ini akan menimbulkan
perbedaan dan ciri khas pada setiap masa, baik corak, bentuk, isi dan
metodenya. Sikap dan sifat masyarakat Arab pra-Islam dikenal jauh dari
berperadaban bahkan jauh dari kata manusiawi. Peristiwa peperangan antar
kabilah terjadi di mana-mana akibat perebutan kekuasaan dan lain-lain. Tidak heran
ketika masa ini biasanya disebut masa jahilyah. Selain itu, masyarakat
Arab pra-Islam juga mempunyai perhatian yang begitu besar terhadap silsilah dan
kesukuan.Terlepas dari kekurangan yang dimiliki masyarakat Arab pra-Islam,
ternyata mereka mempunyai ingatan yang kuat dan pelafalan yang hebat.
Sehingga itu, mereka unggul di bidang
sastra dan kurang dalam hal penulisan. Melalui tradisi sastra yang begitu
melekat inilah membuat masyarakat Arab pra-Islam menyombongkan
kabilah-kabilahnya.
Dari berbagai uraian di atas, langkah untuk mengetahui sejarah perjalanan dan warisan asli masyarakat Arab pra-Islam yaitu diarahkan pada tradisi lisan. Untuk itu, penulis akan mencoba membahas dalam tulisan ini tentang historiografi penulisan sejarah pra-Islam dengan tetap bersandar pada teori-teori yang sudah ada sebelumnya.
B.
Historiografi Masa Pra-Islam
Sejarah Secara istilah berasal bahasa Arab yaitu syajarah
yang berarti pohon. Menurut Azyumardi Azra, pengambilan istilah ini berkaitan
dengan kenyataan, bahwa sejarah setidaknya dalam pandangan orang pertama yang
menggunakan kata ini, menyangkut tentang syajarah al-nasab, pohon
genealogis (sejarah keluarga) dan bisa jadi kata kerja syajarah juga
punya arti to happen, to occur dan to develop. Selanjutnya, sejarah
dipahami mempunyai makna yang sama dengan tarikh (Arab), istoria
(Yunani), history atau geschicte (Jerman)” (Azyumardi Azra, 1998).
Senada dengan Louis Gottshalk (1986), memberikan pengertian bahwa sejarah berasal
dari kata benda Yunani yaitu istoria yang berarti ilmu. Kemudian pada
perkembangan selanjutnya istoria lebih banyak dipakai untuk pemaparan
menyangkut gejala-gejala, terutama tentang keadaan manusia dalam urutan
kronologisnya.
Sejarah merupakan bagian internal yang tak bisa dilepaskan dari
segala aspek kehidupan manusia. Internalisasi kesadaran akan sejarah mendorong
manusia untuk melakukan proses pendefinisian sejarahnya masing-masing. Kita
lihat dalam kajian ilmu pengetahuan, sejarah adalah bagian dari ilmu
kemanusiaan. Pengkajian ilmu sejarah akan membawa kita pada aspek dimana
tuntutan produk sejarah, yakni informasi dan berita bisa dihasilkan dengan
penuh tanggungjawab. Proses produksi sejarah inilah yang selanjutnya kita kenal
dengan istilah historiografi.
Historiografi merupakan gabungan dari dua kata yaitu history yang
berarti sejarah dan grafi yang berarti deskripsi atau penulisan (Badri
Yatim, 1997). Terdapat tiga manfaat dan pentinya mempelajari historiografi.
Pertama, kita bisa mengetahui persepsi, metode penelitian dan penulisan
sejarah. Kedua, kita bisa mengetahui sumber-sumber sejarah. Ketiga, kita bisa
mendapatkan sumber yang otentik diantara sumber yang dianggap primer. Menurut
Hariyono (1995), historiografi merupakan rekonstruksi masa lampau yang
dilakukan berdasarkan fakta yang ada. Pengkisahan sejarah dari masa ke masa
cenderung berbeda. Peristiwa sejarah yang dikisahkan oleh sejarawan dipengaruhi
oleh titik pandang peribadi dan imajinasi ataupun interpretasi sejarawan dalam
merekonstruksinya. Sedangkan menurut Poespoprodjo (1987), historiografi adalah
titik puncak dari seluruh kegiatan penelitian sejarah yang dilakukan oleh satu
orang atau lebih sejarawan. Dalam metodologi sejarah, historiografi merupakan
bagian terakhirnya, bagian pamungkasnya, atau bagian penentu dari bagus
tidaknya suatu nilai dari peristiwa sejarah masa lampau. Selain itu, penulisan
sejarah (historigrafi) membutuhkan sumber yang beragam, dan pengetahuan yang
luas. Ia juga membutuhkan perhitungan yang tepat, dan ketekunan. Kedua sifat
ini membawa sejarawan pada kebenaran dan menyelamatkan mereka dari
ketergelinciran dan kesalahan dalam penulisan. Sebab, sejarah mendapat tempat
yang amat penting dalam keilmuan Islam (Abu Su’ud, 2003).
Dalam kajiannya, historiografi diartikan sebagai salah-satu tahapan
dalam metode penelitian sejarah. Menurut Kuntowijoyo, metode penelitian sejarah
terdiri dari lima tahapan yaitu, menentukan topik, mencari dan mendapatkan sumber
sejarah yang (heuristik), kritik sumber (verifikasi), interpretasi
sumber dan penulisan sejarah (historiografi) (Kuntowijoyo, 2013). Sederhananya,
menurut Abdurahman (2011), historiografi bisa dimengerti sebagai cara penulisan
dan laporan hasil penelitian sejarah yang telah dilaksanakan.
Jadi menulis karya penelitian sejarah tidak cukup sekedar
meringkaskan hasil-hasil penelitiannya, menuliskan kesimpulan-kesimpulannya
tanpa memperhatikan gaya, strategi bagaimana dapat menampilkan kemampuan penulisannya
secara efektif, sehingga para pembaca dapat diyakinkan dan mau menerima hasil
pemahamannya melalui interpretasi yang dalam mengenai peristiwa, periode,
individu dan proses sejarah.
C.
Kondisi Bangsa Arab Pra-Islam
Bangsa Arab pra-Islam biasanya disebut Arab jahilyah. Bangsa
yang belum berperadaban, bodoh dan tidak mengenal aksara. Namun, bukan berarti
tidak seorang pun dari penduduk masyarakat Arab yang tidak mampu membaca dan
menulis, karena beberapa orang sahabat Nabi diketahui sudah mampu membaca dan
menulis sebelum mereka masuk Islam. Ibnu Saad mengatakan, “Bangsa Arab Jahiliyah dan
Permulaan Islam menilai bahwa orang yang sempurna adalah yang dapat menulis,
berenang, dan melempar panah” (Yusran Asmuni, 1996). Bahkan
Ibnu Habib al-Baghdadi sempat menulis nama-nama bangsawan pada masa jahiliyah
dan permulaan Islam (Azami, 1994). Hanya saja baca tulis ketika itu belum menjadi tradisi, tidak
dinilai penting, tidak pula menjadi tolak ukur kepintaran dan kecendikiaan
seseorang (Badri Yatim, 1997).
Secara asal-muasalnya masyarakat keturunan Arab terbagi
menjadi dua golongan besar. Pertama,
berasal dari keturunan Qathan yaitu golongan
Qathan iyun yang berada bewilayah dibagian Selatan. Kedua,
dari keturunan Ismail bin Ibrahim yaitu golongan Adnaniyun yang berada
diwilayah bagian Utara. Tetapi, dalam perjalanannya, kedua golongan ini
saling berbaur akibat dari perpindahan penduduk (Badri Yatim, 2000)
Jauh sebelum kedatangan Islam, Jazirah Arab bagian Utara telah
ditemukan tradisi baca tulis. Tradisi tulis menulis di Jazirah Arab terus
berlanjut sampai datangnya Islam. Berdasarkan kabar dari sebagian sejarawan
bahwa pada saat datangnya Islam di Makkah hanya terdapat tujuh belas orang yang
dapat menulis. Namun kabar itu menurut Azami belum lengkap mengingat Makkah
merupakan kota kosmopolitan, pasar barter, dan persimpangan jalan yang dilalui
para kafilah. Lagi pula, data yang dikemukakan ternyata belum memasukkan
sejumlah nama yang juga dikenal memiliki kemampuan tulis menulis. Meskipun
sumbernya benar. Shubhiy al-Shalih berpendapat bahwa kabar ini pasti bukan
berdasarkan hasil penelitian yang komprehensif, melainkan hanya perkiraan yang
masih samar-samar. Apalagi jika mau menengok kembali sejarah peradaban dan
sastra Arab pra Islam, maka dapat diperkirakan bahwa jumlah orang Arab yang
melek huruf, tentu lebih banyak lagi (Saifuddin, 2011).
Bangsa Arab,
terutama Arab bagian Utara, dikenal sebagai orang-orang yang memiliki kemampuan
tinggi dalam menggubah sebuah syair. Syair-syair itu diperlombakan kemudian
yang unggul ditulis dan digantungkan di dinding Ka’bah (Badri Yatim, 2000). Melalui
tradisi sastra tersebut, diketahui bahwa peristiwa-peristiwa besar dan penting
secara faktual ikut memberi pengaruh serta mengarahkan perjalanan sejarah
mereka. Nilai-nilai yang terkandung dalam peristiwa-peristiwa penting itu,
mereka abadikan dengan berbagai cara, seperti kisah, dongeng, nasab, nyanyian
dan syair (Hitti K. Philip, 2005). Orang Arab pra-Islam dan awal kebangkitan
Islam, tidak atau belum menulis sejarah. Peristiwa-peristiwa sejarah disimpan
dalam ingatan mereka. Bukan hanya karena mereka buta aksara, tetapi juga karena
mereka beranggapan bahwa kemampuan mereka lebih terhormat. Semua peristiwa
sejarah itu diingat dan diceritakan berulag-ulang secar turun-temurun. Demikian
pula dengan hadist-hadist Nabi (Badri
Yatim, 1997).
Dalam tradisi keilmuwan Islam, ilmu sejarah dianggap sebagai
ilmu-ilmu keagamaan karena pada awalnya terkait erat dengan Ilmu Hadis. Seperti
pada masa pra Islam dan awal Islam Bangsa Arab tidak mencatat sejarah mereka.
Mereka menyimpan catatan itu dalam bentuk hafalan hal ini dikarenakan mereka
tidak mengenal tulisan, tapi tradisi lisan lebih dihargai dan diutamakan
ketimbang tradisi tulisan. Karena itu sejarah awal Bangsa Arab hanya berupa
ungkapan mengenai berbagai peristiwa dan perperangan yang disimpan dalam bentuk
hafalan dan ditransfer ke pihak lain melalui tradisi lisan (Yusri A. G.
Abdullah, 2004).
Jika dilihat pada konteks lain, sosial-politik pra-Islam sangat
rendah dan tidak berkembang. Apalagi dalam konteks ini, masyarakat Arab
pra-Islam terlah terbentuk kabilah. Kemudian dari beberapa kabilah terbentuknya
suku (Badri Yatim, 2000). Jadi, sebetulnya pada masa Arab pra-Islam sudah
terbentuk identitas masyarakat Arab itu sendiri. Namun, karena penekanannya
pada hubungan kesukuan yang kuat, kesetian terhadap suku harus dijaga dan
solidaritas yang tinggi, maka sering terjadi kekacauan dan peperangan diantara
suku-suku yang ada.
Masyarakat Arab pra-Islam merupakan kancah peperangan terus
menerus. Sehingga kebudayaan mereka tidak berkembang. Itulah salah-satu
penyebab bahan-bahan sejarah Arab pra-Islam sangat langkah untuk ditemu di
dunia Arab dan dalam bahasa Arab. Pengetahuan tentang Arab pra-Islam diperoleh
melalui syair-syair yang beredar di kalangan para perawi syair. (Badri Yatim,
1997). Contohnya, pada masa pra-Islam selalu diadakan perlombaan syair di pasar
Ukaz, kemudian syair-syair yang dinyatakan menang langsung digantung didinding
Ka’bah oleh panitianya (Badri Yatim, 2000). Walaupun syair-syair yang melalui
tradisi lisan, tetapi tetap menekankan pada unsur fakta. Terlepas dari kondisi
lingkungannya, sedapat-dapatnya tidak mengalami perubahan dalam proses berfikir
manusia (Wilael, 2016). Jadi, masyarakat Arab pra-Islam memiliki tradisi atau kebiasaan
tersendiri untuk mengukir semua sejarah yang ada pada zamannya. Mereka tidak
menggunakan tulisan untuk mengabadikan sejarah, melainkan dengan tradisi lisan
yang mereka anggap lebih dihargai dan hormati.
Untuk melacak jauh kebelakang sejarah perjalanan dan warisan
turun-temurun masyarakat Arab pada masa jahiliyah. Maka kita harus mengarahkan
pada tradisi lisan yang mereka miliki. Orang-orang Arab sebelum Islam memang
telah mengenal tradisi yang menyerupai bentuk sejarah lisan. Itulah yang
disebut dengan hari-hari penting (al-Ayyam) dan silsilah (al-Ansab)
pada masyarakata Arab pra-Islam.
D.
Al-ayyam
Al-ayyam adalah peristiwa peperangan
antar kabilah Arab. Dilingkungan kabilah Arab jahiliyah sering terjadi
perang antar kabilah atau suku baik disebabkan perselisihan untuk memilih
pemimpin, perebutan sumber air dan perebutan padang rumput untuk pengembalaan
binatang ternak. Karen Amstrong (dalam
Yuliani Liputo (terj.), 2014) menyebutnya dengan istilah ghazu “Serangan”
yang merupakan jalan pintas untuk mendistribusikan sumber daya guna memenuhi
seluruh kebutuhan pada saat itu. Pihak penyerang akan menyerbu rombongan dari suku
lawan dan membawa pergi barang jarahan mereka. Dalam penyerangan tersebut,
mereka sangat berhati-hati agar tidak ada korban jiwa karena hal itu akan
memancing kemarahan dan aksi balas dendam.
Ayyam al Arab sendiri secara
etimologi memiliki arti hari-hari penting Bangsa Arab. Disebut demikian karena
peperangan tersebut hanya tejadi di siang hari. Sementara pada malam harinya
mereka berhenti berperang, beristiharat untuk menunggu hari esok dan
melanjutkan perang kembali (Badri Yatim, 1997). Kemudian, al-Ayyam juga merupakan kumpulan cerita yang berbentuk lisan yang
merajuk pada soal-soal yang berkaitan dengan kegiatan masyarakat arab di zaman jahiliyah.
Segala kegiatan dan tanggung jawabnya adalah takluk sepenuhnya kepada suku-suku
yang terlibat (Abdul A. ad-Durl, 1960)
Adapun isi dari Ayyam al Arab ini adalah perang-perang dan
kemenangan-kemenangan, untuk tujuan membanggakan diri terhadap kabilah-kabilah
yang lain. Informasi ini diabadikan dalam bentuk syair mapun prosa-prosa yang
diselingi syair-syair. Syair inilah yang kemudian melestariakn perpindahan dan
mendiseminasikan berita tersebut. Apabila syair itu terlupakan maka
riwayat-riwayat kuno juga terlupakan. Hal inilah yang memungkinkan sejarawan
masa Islam mengetahui masa tentang Arab. Meskipun tidak semuanya menggambarkan
kenyataan, berita itu tentu bertolak dari realitas. Meskipun al-Ayyam
merupakan karya sastra yang mengandung informasi sejarah namun
peristiwa-peristiwa yang direkamnya tidak sistematis, terputus-putus dan setiap
informasi yang disampaikannya berdiri sendiri-sendiri dan tidak memperhatikan
waktu dan kronologinya serta tidak mempertimbangkan kausalitas sejarah dan
teori-teori sejarah tertentu (Badri Yatim, 1997). Tradisi al-Ayyam pun
sendiri diperkirakan sudah cukup lama dikalangan Bangsa Arab. Faktanya, sejarah
yang tertuang dalam Taurat berbentuk al-Ayyam. Menurut Tarhini
(1991), meskipun tradisi al-Ayyam tidak disandarkan dari sumber
tertulis, namun sejak awal kedatangan Islam pun, tradisi lisan masih digunakan
sebagai referensi.
Ciri-ciri umum al-Ayyam yaitu. Pertama, perhatian
dicurahkan pada kabilah Arab dan kisah peperangan disampaikan secara lisan
dalam bentuk prosa yang diselingi syair. Kedua, riwayat atau kisah
kabilah diturunkan secara lisan, sehingga menjadi milik bersama kabilah yang
bersangkutan. Ketiga, tidak teraturnya kronologi dan waktu. Keempat,
objektifitasnya diragukan karena mengagungkan satu kabilah dan merendahkan
kabilah lain. Kelima, disamping sebagian informasinya tidak faktual,
masih bisa ditemukan fakta-fakta yang menunjukan kebenaran sejarah.
Peristiwa-perisiwa perang antar kabilah-kabilah Arab itu diabadikan
dalam gubahan syair atau kisah yang diselang-selingi dengan syair, yang
dimaksudkan untuk tujuan membangga-banggakan kabilah-kabilah lainnya. Syair
atau kisah yang diselang-selingi syair itu, pada masa pra-Islam, diwariskan
turun-temurun secara lisan. Syair-syair dan prosa itu, pada masa awal Islam
dihimpun secara tertulis pada abad ke-2 H atau 8 M, dalam buku-buku terutama
buku dalam bernuansa sastra (Badri Yatim, 1997).
Pengaruh al-Ayyam sangatlah kuat sehingga mampu bertahan
hingga abad 8 M atau 2 H (Abdul A. ad-Durl, 1960). Penyampaian sejarah secara
lisan merupakan ciri persejarahan Arab pra-Islam. Para pembawa cerita sejarah
sendiri tidak berminat untuk menyampaikan informasih sejarah secara serius,
seperti berita peperangan misalnya. Mereka lebih berminat untuk menghiburkan
hati para pendengar (F. Rosenthal, 1968). Kisah al-Ayyam didalamnya
mengandung ciri-ciri sejarah namun pada dasarnya ia tidak dirancang untuk
menghasilkan bahan sejarah. Tujuan utama penulisan al- ayyam sebenarnya adalah
untuk memperkembangkan ilmu kesusasteraan. Kebanyakan ahli- ahli sejarah enggan
menerima al-Ayyam sebagai fakta
sejarah karena al-Ayyam sendiri berbentuk puisi dan legenda dan
dipindahkan secara oral kepada sastra yang berbau kedaerahan dan kesukuan
(Abdul A. ad-Durl, 1960).
Namun, sebenarnya apa yang lebih penting di sini adalah tentang
kesan dan pengaruh al- Ayyam dalam penulisan sejarah. Ramai diantara
ahli-ahli bahasa Arab, ahli keturunan dan sejarawan Islam seperti Abu Ubaidah,
Ibnu Qutaibah, al- Mada’ini, al-Isfahani, dan Ibn al-Atir telah dipengaruhi al-Ayyam.
Dalam konteks ini, Haji Khilafah dalam bukunya menyatakan bahwa al-ayyam adalah
salah satu sumber terpenting bagi sejarah Islam.
E.
Al-Anshab
Al-Anshab adalah bentuk
tradisi pra-Islam yang mengandung banyak sejarah yang artinya silsilah. Al-Ansab
adalah kata jamak dari kata nasab yang berarti silsilah (genealogi).
Sejak masa jahiliyah orang-orang Arab sangat memperhatikan dan
memelihara pengetahuan tentang nasab. Ketika itu pengetahuan tentang nasab
merupakan salah satu cabang yang di anggap penting. Setiap kabilah mengahfal
silsilahnya, semua anggota keluargnya mengahafalnya agar tetap murni dan
silsilah itu dibanggakan terhadap kabilah lain (Badri Yatim, 1997).
Meskipun didalam al-Ansab ada petunjuk sejarah, namun tidak
bisa dikatan bahwa ini adalah ekspresi kesadaran bangsa Arab terhadap sejarah,
karena pertama, pada masa-pra Islam perhatian terhadap silsalah belum mengambil
tradisi tulis baru sebatas hafalan. Kedua, pengetahuan tentang silsilah akan
lenyap jika tidak ada yang menghafalnya. Ketiga, hafalan mereka tentang
nasab-nasab bercampur dengan mitos. Keempat, tradisi ini tidak menyebar pada sejarah ”umum” yang meliputi setiap
kabilah, karena mereka memang belum mengenal tanah air.
Kitab sejarah yang memaparkan nasab-nasab arab dan asal muasal
mereka disebut kitab al-Anshab. Orang-orang mempunyai kelebihan dalam bidang
ilmu tersebut. Sebagai rasa kefanatikan terhadap kabilah yang bersambung
sebelum Islam. Ada beberapa kitab al-Anshab yang sangat terkenal dengan nasab
ini adalah kitab Jamharatun Nasab karangan Muhammad bin Saib Al-Kalabi,
kitab Nasabun Quraisy karangan Mus’ab bin Zubairi, dan kitab Jamharatu
Ansab al-Arab karangan Ibnu Hazm Al-Andalusi (Raghib As-Sirjani, 2015). Perhatian
orang-orang Arab terhadap nasab semakin berlanjut, walaupun Rasulullah Saw.
telah melarang umatnya untuk berbangga-bangga dengan kabilah.
F.
Penutup
Dengan melihat isi pembahasan di atas, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa Bangsa Arab pra-Islam pada masa itu, dikenal jauh dari
berperadaban bahkan jauh dari kata manusiawi. Peperangan terjadi di mana-mana,
judi, mabuk-mabukan, mengundi nasib, berzina dan lain sebagainya. Sehingga,
masyarakatnya dikenal dengan sebutan jahiliyah. Tetapi, ada satu hal
yang sangat menonjol di dalam tradisi masyarakat Arab pra-Islam yaitu
dikenal dengan tradisi menghafal. Masyarakat Arab pra-Islam bukan berarti tidak
ada yang tau menulis akan tetapi, mereka lebih merasa terhormat ketika bisa
menghafalkan secara lisan tentang suatu peristiwa, dibandingkan dengan menulis.
Masyarakat Arab pra-Islam mempertontonkan kelebihan dibidang sastranya melalui
syair-syair yang diperlombakan.
Penulisan sejarah (historiografi)
merupakan puncak dari seluruh kegiatan penelitian sejarah yang dilakukan
oleh sejarawan. Historiografi dimaksudkan sebagai penulisan sejarah, maka historiografi
merupakan tingkatan kemampuan seni yang menekankan pentingnya ketrampilan,
tradisi akademis, ingatan dan pandangan arah yang semuanya memberikan warna
pada hasil penulisannya. Dalam kajian historiografi, akan tampak
keanekaragaman corak, bentuk, metode, maupun isinya. Bukan hanya sebagai keanekaragaman
penafsiran tentang kejadian masa lampau, historiografi juga merupakan studi
tentang teknik yang dipergunakan setiap sejarawan dalam menuliskan
karya-karyanya. Dalam metodologi sejarah, historiografi merupakan salah-satu
tahapan dalam metode penelitian sejarah. Historiografi juga merupakan bagian
penentu dari bagus tidaknya suatu nilai dari peristiwa sejarah masa lampau.
Setidaknya dari pembahasannya terdapat dua bentuk historiografi Arab pra-Islam,
yaitu al-Ayyam dan al-Ansab.
Daftar Pustaka
Abdullah,Yusri A., G. (2004) Historiografi Islam dari Klasik
Hingga Modern. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Abdurrahman, Dudung. (2011). Metodologi Penelitian Sejarah. Yogyakarta:
Ombak.
ad-Durl, Abdul Aziz. (1960). Bath fi Nash’at Ilmu at-Tarikh inda
al-Arab. Beirut: Daral-Sadir.
Amstrong, Karen.
(2014). Islam: A Short History, ter, Yuliani Liputo. Sejarah Islam
“Telaah Ringkass-Komprehensif Perkembangan Islam Sepanjang Zaman”. Bandung:
Mizan.
Asmuni, Yusran. (1996). Dirasah Islamiyah II. Jakarta: PT. Raja
Grapindo Persada.
As-Sirjani, Raghib. (2015). Sumbangan Peradaban Islam pada
Dunia. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2015.
Azami. (1994). Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya. Jakarta:
PT. Pustaka Firdaus.
Azra, Azyumardi. (1998). Penelitian Non Normatif Tentang Islam:
Pemikiran Awal Tentang Pendekatan Kajian Sejarah pada Faklulltas Adab, dalam
Tradisi Baru Penelitian Agama Islam, Tinjauan Antar Disiplin Ilmu, Nuansa
dan Pusjarlit.
Gottshalk, Louis. (1986). Mengerti Sejarah. Jakarta: UI
Press.
Hariyono, (1995). Mempelajari Sejarah Secara Efektif.
Jakarta: Pustaka Jaya, 1995.
Khilafah, Haji. (1941). Kasyf al-Zunun ‘an Asmi al- Kutub wa al- Funun. Istanbul, Vol 1. 43.
Kuntowijoyo, (2013). Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta:
Tiara Wacana.
Philip, Hitti. K. (2005). History of The Arabs, (R. Cecep L.
Yasin dan Dedi S. Riyadi, Penerjemah). Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Poespoprodjo, W. (1987). Subjektivitas Dalam Historiografi. Bandung:
Remaja Karya.
Rosenthal, F. (1968). .A History of Muslim Historiografi. Leiden:
E.J. Brill.
Saifuddin (2011). Arus Tradisi Tadwin Hadits dan Historiografi
Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Su’ud, Abu. (2003). Islamiologi, Sejarah, Ajaran, dan perannya
dalam peradaban umat manusia. Jakarta: Rineka Cipta
Tarhini, Muhammad A. (1991). Al-Mu’arrikhun wa al-Tarikh
al-’Arab. Beirut: Dar alKutub al-‘Illmiyyah.
Wilael, (2016). Sejarah Islam Klasik. Riau: Fakultas
Ushuluddin UIN Syaris Kasim.
Yatim, Badri. (1997). Historiografi Islam. Jakarta: Logos
Wacana Ilmu.
. (2000). Sejarah Peradaban Islam: Dirasat Islamiyah II. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.
0 komentar:
Posting Komentar