Senin, 19 Juli 2021

MU'TAZILAH

 

MU'TAZILAH

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.    Latar Belakang

Pasca meninggalnya Rasulullah SAW. banyak diantara kaum Muslimin dan Muslimat kembali menjadi kafir alias memeluk Agamanya semula, ini menjadi keprihatinan sendiri bagi sahabat Nabi, termasuk sahabat Nabi, seperti Abu Bakr as-Sidiq, Umar ibn al-Khattab dan lain-lain, sampai generasi pasca sahabat Rasul, tentunya segala daya upaya dilakukan untuk memberi keyakinan kepada orang-orang yang kembali pada agama semula, tidak mudah, tapi itu harus dilakukan sebagai wujud meneruskan perjuangan Nabi Muhammad SAW.  Berbagai macam cara dilakukan untuk memberi keyakinan kepada mereka, seperti halaqoh-halaqoh, diskusi dan lain-lain, maka tidak heran apabila terjadi berbagai macam firqoh-firqoh atau sekte-sekte yang bermunculan, ada  yang cenderung ilmiah, ada yang cenderung ta’asup assobiyah.

Golongan yang muncul pada masa awal adalah mu’tazilah. kelompok pemikir islam yang cenderung rasional dan ilmiah. mereka lebih mengutamakan akal dari pada teks.

B.     Rumusan Masalah

a.         Bagaimana sejarah munculnya Mu’tazilah?

b.         Bagaimana biografi serta pemikiran Wasil Ibn Atha’?

C.    Tujuan Masalah

a.         Untuk mengetahui sejarah munculnya Mu’tazilah.

b.         Untuk mengetahui biografi serta pemikiran Wasil Ibn Atha’.


 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Pengertian Mu’tazilah dan Sejarah Kemunculanya

Pengertian Mu’tazilah berasal dari bahasa Arab I’tazala yang berarti meninggalkan atau menjauhkan diri. Kelahiran dari Mu’tazilah bersama kawan-kawannya biasanya dikaitkan dengan keluarnya Washil ibn Atha’ dalam pengajian halaqah yang diadakan bersama gurunya Hasan Basri, juga kaum Syi’ah dan Khawarij. Sejarah telah mencatat bagi kita (Kaum Muslimin) dokumentasi berupa dua buku yang ditulis pada permulaan abad ke-2 Hijriyah dan juga mencatat orang-orang yang menentang pendapat keagamaan yang dipegang mayoritas Muslimin pada saat itu.  Kedua buku tersebut adalah  ar’Rad’ala  al–Qodariyah yang disusun oleh: Umar bin Ubaid (80-144 H) seorang tokoh dan Zahid muktazilah dan buku Asnaf al- Murjiah yang disusun oleh Washil bin Atha’ (80-181 H) seorang budak bani Dhiyyah, sering juga dikatakan seorang budak bani Makzum yang dikenal dengan Ghazal, seorang penggagas dan pemuka dan pemuka madzhab Muktazilah.[1]

Sejarah munculnya aliran Mu’tazilah di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke-2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam bin Abdul Malik.

Pada permulaan abad kedua Hijriyah, kejelekan madzhab Khawarij telah dapat dirasakan. Mereka memproklamirkan bahwa seseorang yang mengerjakan dosa besar menjadi kafir dan akan menjadi penghuni Neraka secara abadi. Sedangkan mayoritas Umat Islam kala itu mengatakan: mereka masih seorang Mukmin yang fasik dikarenakan melakukan dosa besar. Abu Khudaifah Washil bin ‘Atha ketika itu, mengikuti pengajian yang diadakan oleh Hasan al-Basri dan berguru kepadanya. Suatu hari pelaku masalah dosa besar ini menjadi tema pembahasan dan Hasan al-Basri apa yang dipegang oleh Umat. Akan tetapi Washil bin ‘Atho mempunyai pendapat lain, dia berkata:

أنا لا أقول أن صاحب الكبيرة مؤمن مطلقاً ولا كافر مطلقاً، بل هو في منزلة بين المنزلتين، لا مؤمن ولا كافر

“Saya tidak mengetakan mengenai pelaku dosa besar ini adalah bahwa Dia bukan Mukmin dan bukan pula seorang Kafir, namun ia berada dalam suatu tempat diantara dua tempat (al-Manzilah baina manjilatain) Dia bukan Mukmin dan bukan pula seorang Kafir.” 

Pendapatnya ini membuat Hasan al- Basri marah dan mengusirnya dari majelis pengajianNya dan Washil bin ‘Atha mengasingkan diri dan memilih mesjid tempat untuk pengasingannya. Lalu bergabunglah dengannya Umar bin Ubaid dan jamaahnya. Oleh karena itu dia dan pengikutnya dijuluki al-Mu’tazilun atau Mu’tazilah.[2]

Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti berisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri secara teknis, istilah Mu’tazilah menunjuk ada dua golongan.

Golongan pertama, (disebut Mu’tazilah I) muncul sebagai respon politik murni. Golongan ini tumbuh sebahai kaum netral politik, khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menangani pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama Muawiyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair. Menurut penulis, golongan inilah yang mula-mula disebut kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian masalah khilafah. Kelompok ini bersifat netral politik tanpa stigma teologis seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh dikemudian hari.

Golongan kedua, (disebut Mu’tazilah II) muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Mur’jiah tentang pemberian status kafir kepada yang berbuat dosa besar. Mu’tazilah II inilah yang akan dikaji dalam bab ini yang sejarah kemunculannya memiliki banyak versi.[3]

B.     Washil bin ‘Atha dan Pemikiranya

1.      Washil bin ‘Atha

Seperti yang disebutkan di atas bahwa yang menjadi pencetus aliran Mu’tazilah adalah Washil bin ‘Atha. Washil bin Atha’ hidup pada paruh pertama abad ke-8 M. Ia lahir di kota Madinah pada tahun 80 H/ 699 M, dan wafat pada tahun 131 H/ 749 M, di Bashrah (Irak). Ia merupakan tokoh terkenal yang mendirikan mazhab rasionalisme kondang yang disebut al-Mu’tazilah pada masa Dinasti Bani Umayyah.[4]

Nama aslinya adalah Abu Huzaifah Washil ibn ‘Atha’ al-Ghazzal. Ia begitu dihargai dikalangan al-Mu’tazilah karena pengetahuan dan tabiatnya. Washil pernah menjadi murid Hasan Al-Bashri saat ia belajar sejarah dan berbagai cabang ilmu selama pemerintahan ‘Abd Al-Malik ibn Marwan dan Hisyam ibn ‘Abd Al-Malik.[5]

Sejak kecil, Washil bin Atha sudah memperlihatkan kesungguhannya dalam mengkaji al-Qran, Hadis Nabi, dan ilmu-ilmu lain. Pada mulanya ia belajar pada Abu Hasyim ‘Abdullah ibn Muhammad al-Hanafiyyah. Selanjutnya, ia banyak menimba ilmu pengetahuan di Mekah dan mengenal ajaran Syi’ah di Madinah. Ia kemudian melanjutkan perjalanan ke Bashrah dan berguru pada Hasan al-Bashriy.

Washil bin Atha termasuk murid yang cerdas dan berani di antara sekian banyak murid Hasan al-Basri. Ia tidak segan-segan berbeda pendapat dengan siapa pun juga, sekalipun membawa dampak harus berpisah dengan orang yang dicintainya, yaitu gurunya, Hasan al-Bashri, lantaran perbedaan pandangan dengannya mengenai pelaku dosa besar. Setelah itu, Washil bin Atha membentuk majlis tersendiri dan mendapat pengikut yang pesat dalam waktu yang singkat.[6]

Ajaran-ajaran yang disampaikan oleh Washil bin Atha banyak mengalami tantangan dan hambatan yang datang silih berganti dari kalangan masyarakat awam, karena mereka sulit menerima ajaran yang bersifat rasional dan filosofis. Selain itu, ajaran Washil tersebut dinilai oleh masyarakat awam sebagai ajaran yang tidak berpegang pada sunnah Rasullah saw. dan para sahabatnya. Namun, Washil memperoleh dukungan dari kalangan intelektual dan juga penguasa Abasiyah, yaitu pada masa pemerintahan al-Ma’mun (198-218 H/ 813-833 M), bahkan ajaran Washil bin Atha itu dinyatakan sebagai mazhab resmi negara.[7]

Dia adalah salah seorang sastrawan terkemuka dari kalangan Mutakallim. Dia selalu menukar huruf ra dengan huruf ghin.  Di dalam al- Kamil, Abu al-Abbas al-Mubarrad  berkata: “Washil bin ‘ Atha mempunyai satu keanehan, yakni ia tidak fasih melafalkan huruf ra, oleh karena itu ia selalu berusaha meniadakan dalam setiap kata pembicaraanya dari huruf tersebut dan dia tidak menguasainya.  Hal ini karena rendahnya susunan kata-katanya”.  Dalam hal ini seorang penyair muktazilah. Abu Thuruq ad-Dlaby, memuji kemampuan memperpanjang khutbah-khutbahnya serta kemampuannya menghindari dari keseringan menggunakan huruf ra’ dalam pembicaraan sehingga nampak  hampir tidak pernah sama sekali dalam kalimat-kalimatnya.[8]

Washil bin ‘Atha bukanlah sesorang sastrawan, namun ia menjuluki dirinya sebagai sastrawan, hanyalah semata-mata bermaksud mempunyai prestise dimata para wanita shalehah, sehingga ia dapat mengawininya.  Ia banyak meninggalkan karya tulis berupa buku, diantaranya adalah: Ashnaf al-Murji’ah, al-Taubat, Al-Manziliah baena al-Manzilatain,  Ma’ani l-Qur’an, alKitab fi al-Tauhid wa al- Adli, Ma Jara baena wa baena ‘Amr bin ‘Ubaid, al-Sabil ila ma’rifat al-Haq, al-Dakwah dan Kitab Thabaqat Ahl al-Ilm wa al-Jahl.[9]

2.      Pemikiran Washil bin ‘Atha’

Sebagaimana dikatakan diatas bahwa Washil merupakan pendiri dan pemuka dari aliran al-Mu’tazilah, pengikut ajaran-ajaran yang dibawanya dikenal dengan sebutan Washiliyyah. Sub-golongan Mu’tazilah ini pada prinsipnya memiliki empat doktrin dasar sebagai berikut:[10]

Pertama, posisi diantara dua posisi bagi para pembuat dosa besar (al-manzilah bayn al-manzilatayn). Asal doktrin ini adalah bermula pada ketidaksepahaman Washil ibn ‘Atha’ dengan Hasan Al-Bashri dalam permasalahan posisi pelaku dosa besar.

Kedua, kepercayaan kepada Qadar. Menurut Washil, Tuhan itu bijaksana dan adil, sehingga keburukan dan ketidakadilan tidak bisa dinisbahkan kepada-Nya. Tuhan tidak bisa berkehendak kepada makhluk-Nya atas sesuatu yang bertentangan dengan apa yang Dia perintahkan kepada mereka. Dia tidak bisa menetapkan apa yang mereka kerjakan dan kemudian menghukumnya lantaran mereka tidak melakukan perintah itu. Oleh karena itu, manusia adalah pencipta kebaikan dan keburukan, keimanan dan kekufuran, kepatuhan dan pengingkaran, dan dialah yang bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatannya.[11]

Dalam paham ini, Tuhan menghendaki agar manusia sendirilah yang melakukan perbuatan dalam arti kehendak dan daya dalam mewujudkan perbuatan. Dan dalam mewujudkan hal tersebut haruslah atas kehendak dan daya manusia itu sendiri, bukan Tuhan. Dan apabila manusia berbuat jahat, maka itu berarti atas kehendak dan dayanya sendiri sehingga paham kemahadilan Tuhan dapat dipertahankan untuk menghukumnya dalam neraka. Tetapi, sekiranya manusia berbuat jahat bukan atas kehendak dan daya upayanya sendiri, melainkan atas kehendak dan daya yang bersumber dari luar dirinya, maka sungguh tidak adillah Tuhan kalau menghukum pembuat kejahatan itu dalam neraka.

Ketiga, peniadaan sifat-sifat Tuhan, seperti mengetahui, berkuasa, berkehendak dan hidup. Telah disepakati secara universal bahwa eksistensi dua Tuhan yang kadimadalah sebuah hal yang mustahil. Jadi, menyatakan eksistensi sebuah entitas yang kadim atau sifat yang kadim pada Tuhan, akan berarti bahwa ada dua Tuhan. Washil menolak adanya sifat Tuhan dalam pengertian sesuatu yang melekat pada zat Tuhan. Ini tidak berarti bahwa ia menolak ayat-ayat yang menggambarkan sifat-sifat Tuhan seperti al-Rahman, al-Rahim, al-Qadir, dan sebagainya sebagaimana yang dipahami aliran teologi islam lain. Ia menerima kebenaran ayat-ayat itu sama dengan kebenaran ayat-ayat lain, hanya saja penafsirannyalah yang berbeda tentang ayat-ayat tersebut. Menurutnya,  Kalau Tuhan dikatakan memiliki sifat Maha Mengetahui, baginya yang mengetahui itu adalah zat-Nya, bukan sifat-Nya.

Keempat, pandangan mengenai kelompok-kelompok yang beroposisi dalam Perang Jamal dan Perang Shiffin. menurut Washil, salah satu dari kelompok ini berada pada posisi yang salah, tetapi ia tidak merinci kelompok mana yang salah. Dia juga berpandangan sama terhadap kasus Utsman, mengenai siapa yang bertanggung jawab atas kematiannya dan mengenai mereka yang mengkhianatinya. Menurutnya, salah satu dari kelompok ini pasti berdosa. Sama halnya dengan dua kelompok yang saling menghujat satu sama lain, maka yang satu pasti berdosa. Mengenai status kelompok yang berseteru tersebut, ia berpandangan bahwa kesaksian mereka tidak dapat diterima. Konsekuensinya, kesaksian Ali, Thalhah dan Zubair, sekalipun dalam hal-hal yang signifikan, adalah sesuatu yang tidak dapat diterima. Boleh jadi bahwa Utsman dan Ali keduanya bersalah.[12]

Wahai Imam! Sekarang ini ada beberapa orang yang mengatakan bahwa pelaku dosa besar adalah kafir, bagi mereka, pelaku dosa besar adalah murtad yang dengannya ia dikeluarkan dari masyarakat islam. Kelompok ini adalah Waidiyyah, sub-golongan Khawarij. Pada sisi lain, ada kelompok lain yang menangguhkan hukuman atas pelaku dosa besar. Bagi mereka, dosa tidak berpengaruh buruk kepada seseorang selagi ia memiliki iman. Mereka berpegang bahwa perbuatan-perbuatan tidak membentuk suatu bagian iman yang integral. Karenanya, dosa tidak berpengaruh buruk pada seseorang yang memiliki iman, sama halnya ketaatan tidak berfaedah kepada seseorang apabila tanpa iman. Ini adalah golongan Murjiah. Menurutmu, mana yang harus kita yakini?

Ketika Hasan Al-Bashri masih memikirkan jawaban atas pertanyaan orang tersebut, salah seorang peserta diskusi dalam majelis itu yaitu, Washil bin Atha mengeluarkan pendapat sendiri yang mendahului gurunya. Ia berpendapat bahwa orang yang demikian berada antara dua posisi, bukan seorang yang beriman dan bukan pula seorang kafir. Setelah itu, ia kemudian berdiri dan pindah kedekat sebuah tiang mesjid yang lain, tempat ia mulai menjelaskan kepada sebuah kelompok lain pengikut Hasan Al-Bashri maksud dari apa yang ia katakana. Hasan kemudian kemudian berujar pada kelompok yang masih setia padanya, Washil telah memisahkan diri (itazala) dari kita. Sejak saat itu, pengikut Washil dikenal sebagai Mutazilah (golongan yang memisahkan diri).

Menurut teori lain, Mutazilah bukan berasal dari ucapan Hasan Al-Bashri, tetapi dari kata itazala yang dinisbahkan kepada orang-orang yang mengasingkan diri dari pertikaian politik yang terjadi pada zaman Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Menurut beberapa penulis sejarah, kata itazala dan Mutazilah memang telah dipakai pada zaman itu untuk golongan yang tidak mau turut campur dalam pertikaian politik, mengasingkan diri dan memusatkan perhatian pada ibadah dan ilmu pengetahuan. Dan diantara orang-orang demikian terdapat cucu Nabi Muhammad, Abu Husain. Washil sendiri mempunyai hubungan yang erat dengan Abu Husain.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kata itazala dan Mutazilah sebenarnya telah dikenal jauh sebelum kronologis terjadinya ketidaksepahaman Hasan Al-Bashri dan Washil bin Atha dalam masalah posisi pendosa besar. Namun, kata itazala dan istilah Mutazilah yang dipakai untuk menisbatkan pengikut Washil, baru mulai menjadi populer  dan dikenal lebih luas pasca kejadian ketidaksepahaman guru dan murid tersebut yang melahirkan pemahaman baru.

Prinsip dasar Mu’tazilah ada 5 pokok (al-Ushul al-Khamsah) yaitu:[13]

a.         Tauhid  ( keesaan Tuhan )

yaitu kemahaesaan Tuhan. Menurut mereka, Paham-paham yang membuat Tuhan tidak unik lagi seperti adanya sifat, atau adanya yangkadim selain Tuhan dan sebagainya, mereka tolak dengan kuat. Golongan al-Mu’tazilah menganggap bahwa konsep tauhid mereka adalah yang paling murni, sehingga mereka lebih senang disebut sebagai Ahl al-Tauhid (pembela tauhid). Dalam mempertahankan paham keesaan Allah SWT, mereka menafikkan segala sifat bagi Tuhan, sehingga mereka sering juga disebut sebagai golongan Nafy al-Sifat.

Dalam ajaran ini, mereka benar-benar menyucikan Allah SWT dari materi dan segala aksidensianya, karena Allah SWT bukanlhah jism juga bukan bayangan, bukan bagian juga bukan keseluruhan, tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Selanjutnya, konsep ini membawa pada paham penolakan terhadap antropomorisme. Bagi mereka, Tuhan tidak boleh dipersamakan dengan makhluk-Nya seperti mempunyai muka atau tangan. Karena itu, ayat-ayat yang menggambarkan Tuhan mempunyai bentuk fisik (ayat-ayat tajasum), haruslah ditakwilkan secara rasional sedemikan rupa. Mereka memerangi pemikiran al-Tasybih dan al-Tajsim yang gemanya menyusup kedalam Islam dari agama lain.

Penulis cenderung tidak sepakat dengan ajaran ini, karena pada prinsipnya bahwa sifat-sifat itu bukanlah sesuatu yang terpisah dari yang disifati, sehingga ketika sifat-sifat tersebut ditetapkan maka ini tidaklah menunjukkan bahwa yang disifati itu lebih dari satu, bahkan ia termasuk dari sekian sifat yang dimiliki oleh dzat yang disifati tersebut. Menetapkan sifat-sifat Allah tidaklah termasuk meniadakan kesucian Allah, tidak pula menyelisihi tauhid, atau menyamakan Allah dengan makhluk-Nya. Pada prinsipnya, ini termasuk konsekuensi dari tauhid al-asma wa al-shifat sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an. Justru dengan meniadakan sifat ini, berarti telah mengakui adanya dua identitas, karena sebelum meniadakan sifat-sifat Allah tersebut, mereka terlebih dahulu menyamakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya. Lebih dari itu, ketika mereka meniadakan sifat-sifat Allah yang sempurna itu, sungguh mereka menyamakan Allah dengan sesuatu yang penuh kekurangan dan tidak ada wujudnya. 

b.         Keadilan Tuhan

Al-‘Adl, yaitu paham keadilan Tuhan. Paham ini meletakkan tanggung jawab manusia atas perbuatan-perbuatannya. Kalau al-Tawhid mengandung keunikan Tuhan dalam zat, paham keadilan Tuhan ini mengandung keunikan Tuhan dalam perbuatannya. Hanya Tuhanlah yang berbuat adil, maka segala kehendak dan perbuatan Tuhan tidak bisa bertentangan dengan paham keadilan. Paham keadilan inilah yang menjadi titik tolak dari pemikiran rasional al-Mu’tazilah mengenai pendapat-pendapat keagamaan mereka.[14]

Menurut al-Mu’tazilah, Tuhan adalah sosok yang amat bijaksana sehingga  Ia mesti mempunyai tujuan kebajikan dalam menciptakan manusia. Pendek kata, karena Tuhan bijaksana, maka Ia wajib hukumnya berbuat kebajikan pada manusia, karena akal sehat mengasumsikan demikian. Lebih lanjut menurut mereka, bahwa Tuhan tidak bisa melakukan hal-hal yang tak masuk akal dan tak adil. Bahkan, manusia diciptakan mandiri yang mampu bertindak secara bebas dan independen dari semua campur tangan Ilahi. Karena independensi manusia dalam bertindak itulah, maka paham keadilan menuntut manusia mempertanggung jawabkan akibat dari perbuatannya.

c.         Janji dan Ancaman

Al-Wa’d wa al-Wa’id, yaitu paham mengenai janji dan ancaman. Paham ini mengandung pemahaman bahwa Tuhan tidak akan adil kalau Dia tidak memberi pahala pada orang yang berbuat baik, dan kalau Dia tidak menghukum orang yang berbuat jahat. Sementara, Allah SWT telah menegaskan bahwa ia tidak akan mengingkari janji-Nya. Hal ini termaktub dalam QS. Ali ‘Imran ayat 9,

إِنَّ اللهَ لاَ يُخْلِفُ الِمْيَعَادَ

Artinya:Sungguh, Allah tidak akan menyalahi janji-Nya. (QS. Ali ‘Imran: 9)

Menurut al-Mu’tazilah, seorang Mukmin apabila meninggal dalam keadaan taubat dan taat, maka dia berhak mendapatkan pahala. Tetapi, apabila ia meninggal sebelum terlebih dahulu melakukan taubat dari dosa besar yang pernah diperbuatnya, maka ia akan ditempatkan dalam neraka selama-lamanya, akan tetapi siksaan yang didapatkannya lebih ringan daripada siksaan yang diberikan oleh kaum kafir. Inilah yang mereka sebut dengan janji dan ancaman.[15]

d.         Posisi diantara dua posisi

Al-Manzilah bayn al-Manzilatain, yaitu posisi menengah bagi pembuat dosa besar. Tidak posisi mukmin, tidak pula posisi kafir, tetapi posisi Muslim yang terletak diantara keduanya. Tidak posisi surga, tidak pula posisi berat di neraka, tetapi posisi siksa ringan yang terletak diantara keduanya.

e.         Perentah mengerjakan yang baik dan mencegah yang mungkar

Al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘an al-Munkar, yaitu perintah untuk berbuat baik dan larangan untuk berbuat jahat. Ajaran dasar ini sangat erat hubungannya dengan pembinaan moral. Ajaran ini menekankan bahwa iman tidaklah cukup hanya dihati, tetapi merupakan pengakuan yang harus diikuti oleh perbuatan-perbuatan baik. Menurut mereka, kepatuhan merupakan suatu tiang dari esensi nyata iman sedemikian rupa sehingga siapapun yang mengabaikannya, maka dia bukan seorang yang percaya. Orang yang masuk surga adalah orang yang imannya tercermin dalam perbuatan-perbuatan dan kelakuan baik. Maka untuk membina moral umat, mereka menganggap bahwa al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy al-munkar, sebagai suatu bentuk kontrol sosial, harus dijalankan. Kalau dapat, cukup dengan seruan, tetapi kalau terpaksa boleh dengan kekerasan.

Prinsip dari ajaran ini mengarahkan seseorang untuk tidak menaati atau mungkin memberontak pada pemimpin yang keimanannya tidak tercermin dalam perbuatannya dalam memimpin. Jika demikian adanya, maka sesungguhnya ajaran ini bertentangan dengan etika Islam yang menganjurkan cara-cara kebijaksanaan dalam mengkonfrontir sesuatu yang bertentangan dengan aplikasi keimanan itu sendiri.[16]

 

 

 

 


 

BAB III

PENUTUP

 

A.    Kesimpulan

Dari uraian diatas dapatlah diperoleh beberapa kesimpulan, yaitu:

1.      Abu Huzaifah Washil ibn ‘Atha’ al-Ghazzal, itulah nama aslinya. Ia begitu dihargai dikalangan al-Mu’tazilah karena pengetahuan dan tabiatnya. Washil pernah menjadi murid Hasan Al-Bashri saat ia belajar sejarah dan berbagai cabang ilmu selama pemerintahan ‘Abd Al-Malik ibn Marwan dan Hisyam ibn ‘Abd Al-Malik.

2.      Adapun pemikiran yang lebih luas dari Washil bin Atha’ adalah dengan hadirnya aliran mu’tazilah. Secara sederhana, al-Mu’tazilah dikenal sebagai aliran yang mendasarkan ajaran Islam kepada al-Qur’an dan pikiran, serta sangat kritis terhadap hadits dan cara penafsiran al-Qur’an. Aliran ini muncul pertama kali di kota Bashrah (Irak) pada abad ke-2 Hijriyah, antara tahun 101-125 H, tepatnya di masa pemerintahan khalifah Hisyam ibn ‘Abd al-Malik dari Bani Umayyah. Pada masa-masa awal kemunculannya, aliran ini tidak memperoleh dukungan dan simpati dari umat islam. Hal ini disebabkan karena sulitnya memahami ajaran-ajaran mereka yang rasionalis dan filosofis. Disamping itu, aliran ini dinilai tidak berpegang teguh pada sunnah Rasulullah dan para sahabat.

3.      Prinsip utama ajaran dasar al-Mu’tazilah dikenal dengan istilah al-ushul al-khamsah. Yaitu, Al-Tawhid, atau kemahaesaan Tuhan, Al-‘Adl, atau paham keadilan Tuhan, Al-Wa’d wa al-Wa’id, atau paham mengenai janji dan ancaman, Al-Manzilah bayn al-Manzilatain, yaitu posisi menengah bagi pembuat dosa besar, dan Al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘an al-Munkar.

B.     Kata Penutup

Dengan mengucap segala puji bagi Allah, akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan dan penyusunan makalah ini, namun penulis tetap mengharapkan kritik dan saran kepada para pembaca. Sehingga makalah ini dapat mendekati kekesempurnaan.

 

Daftar Pustaka

 

Abdullah, Iwad Bin. 1404. Al-Mu’tazilah Wa Ushulihim Al-Khomsah Bairut: Alim al-Kutub.

At-Tamimy, Muhammad Bin Abd Wahab. 1365. Ushul Al-Din Al-Islamy Ma’a Qawa’idihi. Jedah: Maṭba’ah al-Fath.

Al-Sahristany, Muhammad Bin Abd Al-Karim 1379. Al-Milal Wa Al-Nihal. Bairut: Dār Al-Makrifat.

Halqan, Samsudin Ahmad Bin Muhammad Abu. 2008. Wafiyat A’yan Wa Abna’i Anbai Al-Zaman. Bairut: Dar as-Shodir.

al-Basybisyiy, Mahmud. 1932. al-Firaq Al-Islamiya. Mesir: Al-Rahmaniyah

Al-Nasyr,  Aliy Sami’ t.th. Nasy’ah al-Fikr al-Falsafiy fiy al-Islam Mesir: Dar al-Ma’arif.


 



[1] Iwad Bin Abdullah, Al-Mu’tazilah Wa Ushulihim Al-Khomsah (Bairut: Alim al-Kutub, 1404), hal. 29.

[2]Muhammad Bin Abd Wahab At-Tamimy, Ushul Al-Din Al-Islamy Ma’a Qawa’idihi (Jedah: Maṭba’ah al-Fath, 1365) hal. 7.

[3] Ibid,...hal. 54

[4] Muhammad Bin Abd Al-Karim Al-Sahristany, Al-Milal Wa Al-Nihal (Bairut: Dār Al-Makrifat, 1379), hal. 409

[5] Ibid,...hal. 54 dan Samsudin Ahmad Bin Muhammad Abu Halqan, Wafiyat A’yan Wa Abna’i Anbai Al-Zaman (Bairut: Dar as-Shodir, 2008), hal. 29

[6] Ibid,...hal. 54

[7] Mahmud al-Basybisyiy, al-Firaq Al-Islamiyah (Cet.I; Mesir: Al-Rahmaniyah, 1932) dan Aliy Sami’ Al-Nasyr, Nasy’ah al-Fikr al-Falsafiy fiy al-Islam (Cet. VIII; Mesir: Dar al-Ma’arif, t.th.), hal.77

[8] Muhammad Bin Abd Wahab At-Tamimy, Ushul Al-Din Al-Islamy Ma’a Qawa’idihi (Jedah: Maṭba’ah al-Fath, 1365) hal. 57

[9] Ibid,...hal. 54

[10] Mahmud al-Basybisyiy, al-Firaq Al-Islamiyah (Cet.I; Mesir: Al-Rahmaniyah, 1932) hal. 79

 

[11] Ibid,...hal. 81

[12] Mahmud al-Basybisyiy, al-Firaq Al-Islamiyah (Cet.I; Mesir: Al-Rahmaniyah, 1932) hal.79

[13] Ibnu Al-Qudamat Al-Maqdisy, Lum’at Al-I’tiqad (Bairut: Alim al-Kutub, 1404), hal. 29.

[14] Mahmud al-Basybisyiy, al-Firaq Al-Islamiyah (Cet.I; Mesir: Al-Rahmaniyah, 1932) hal. 88

[15] Ibnu Al-Qudamat Al-Maqdisy, Lum’at Al-I’tiqad (Bairut: Alim al-Kutub, 1404), hal. 29.

[16] Ibnu Al-Qudamat Al-Maqdisy, Lum’at Al-I’tiqad (Bairut: Alim al-Kutub, 1404), hal. 29.

0 komentar:

Posting Komentar

Contact

Contact Person

Untuk saling berbagi dan sharing, mari silaturrahmi!

Address:

Mojo-Kediri-Jawa Timur (64162)

Work Time:

24 Hours

Phone:

085735320773

Diberdayakan oleh Blogger.