MU'TAZILAH
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pasca meninggalnya Rasulullah SAW. banyak diantara kaum Muslimin dan
Muslimat kembali menjadi kafir alias memeluk Agamanya semula, ini menjadi
keprihatinan sendiri bagi sahabat Nabi, termasuk sahabat Nabi, seperti Abu Bakr
as-Sidiq, Umar ibn al-Khattab dan lain-lain, sampai generasi pasca sahabat
Rasul, tentunya segala daya upaya dilakukan untuk memberi keyakinan kepada
orang-orang yang kembali pada agama semula, tidak mudah, tapi itu harus
dilakukan sebagai wujud meneruskan perjuangan Nabi Muhammad SAW. Berbagai macam cara dilakukan untuk memberi
keyakinan kepada mereka, seperti halaqoh-halaqoh, diskusi dan lain-lain, maka
tidak heran apabila terjadi berbagai macam firqoh-firqoh atau sekte-sekte yang
bermunculan, ada yang cenderung ilmiah,
ada yang cenderung ta’asup assobiyah.
Golongan yang muncul pada masa awal adalah mu’tazilah. kelompok
pemikir islam yang cenderung rasional dan ilmiah. mereka lebih mengutamakan
akal dari pada teks.
B.
Rumusan Masalah
a.
Bagaimana sejarah munculnya Mu’tazilah?
b.
Bagaimana biografi serta pemikiran Wasil Ibn Atha’?
C.
Tujuan Masalah
a.
Untuk mengetahui sejarah munculnya Mu’tazilah.
b.
Untuk mengetahui biografi serta pemikiran Wasil Ibn Atha’.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Mu’tazilah dan Sejarah
Kemunculanya
Pengertian Mu’tazilah berasal dari
bahasa Arab I’tazala yang berarti meninggalkan atau menjauhkan diri. Kelahiran
dari Mu’tazilah bersama kawan-kawannya biasanya dikaitkan dengan keluarnya Washil
ibn Atha’ dalam pengajian halaqah yang diadakan bersama gurunya Hasan Basri,
juga kaum Syi’ah dan Khawarij. Sejarah telah mencatat bagi kita (Kaum Muslimin)
dokumentasi berupa dua buku yang ditulis pada permulaan abad ke-2 Hijriyah dan
juga mencatat orang-orang yang menentang pendapat keagamaan yang dipegang
mayoritas Muslimin pada saat itu. Kedua
buku tersebut adalah ar’Rad’ala al–Qodariyah yang disusun oleh: Umar bin
Ubaid (80-144 H) seorang tokoh dan Zahid muktazilah dan buku Asnaf
al- Murjiah yang disusun oleh Washil bin Atha’ (80-181 H) seorang budak
bani Dhiyyah, sering juga dikatakan seorang budak bani Makzum yang dikenal
dengan Ghazal, seorang penggagas dan pemuka dan pemuka madzhab Muktazilah.[1]
Sejarah munculnya aliran Mu’tazilah di
kota Bashrah (Iraq) pada abad ke-2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada
masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam bin Abdul
Malik.
Pada permulaan abad kedua Hijriyah,
kejelekan madzhab Khawarij telah dapat dirasakan. Mereka
memproklamirkan bahwa seseorang yang mengerjakan dosa besar menjadi kafir dan
akan menjadi penghuni Neraka secara abadi. Sedangkan mayoritas Umat Islam kala
itu mengatakan: mereka masih seorang Mukmin yang fasik dikarenakan melakukan
dosa besar. Abu Khudaifah Washil bin ‘Atha ketika itu, mengikuti pengajian yang
diadakan oleh Hasan al-Basri dan berguru kepadanya. Suatu hari pelaku masalah
dosa besar ini menjadi tema pembahasan dan Hasan al-Basri apa yang dipegang
oleh Umat. Akan tetapi Washil bin ‘Atho mempunyai pendapat lain, dia berkata:
أنا لا أقول أن صاحب الكبيرة مؤمن مطلقاً
ولا كافر مطلقاً، بل هو في منزلة بين المنزلتين، لا مؤمن ولا كافر
“Saya tidak mengetakan mengenai
pelaku dosa besar ini adalah bahwa Dia bukan Mukmin dan bukan pula seorang
Kafir, namun ia berada dalam suatu tempat diantara dua tempat (al-Manzilah baina
manjilatain) Dia bukan Mukmin dan bukan pula seorang Kafir.”
Pendapatnya ini membuat Hasan al-
Basri marah dan mengusirnya dari majelis pengajianNya dan Washil bin ‘Atha
mengasingkan diri dan memilih mesjid tempat untuk pengasingannya. Lalu
bergabunglah dengannya Umar bin Ubaid dan jamaahnya. Oleh
karena itu dia dan pengikutnya dijuluki al-Mu’tazilun atau Mu’tazilah.[2]
Secara harfiah kata Mu’tazilah
berasal dari I’tazala yang berarti berisah atau memisahkan diri, yang berarti
juga menjauh atau menjauhkan diri secara teknis, istilah Mu’tazilah menunjuk
ada dua golongan.
Golongan pertama, (disebut
Mu’tazilah I) muncul sebagai respon politik murni. Golongan ini tumbuh sebahai
kaum netral politik, khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menangani
pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama Muawiyah,
Aisyah, dan Abdullah bin Zubair. Menurut penulis, golongan inilah yang
mula-mula disebut kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian
masalah khilafah. Kelompok ini bersifat netral politik tanpa stigma teologis
seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh dikemudian hari.
Golongan kedua, (disebut Mu’tazilah
II) muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan
Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul
karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Mur’jiah tentang
pemberian status kafir kepada yang berbuat dosa besar. Mu’tazilah II inilah
yang akan dikaji dalam bab ini yang sejarah kemunculannya memiliki banyak versi.[3]
B. Washil bin
‘Atha dan Pemikiranya
1.
Washil bin ‘Atha
Seperti yang disebutkan di atas bahwa yang menjadi pencetus aliran
Mu’tazilah adalah Washil bin ‘Atha. Washil bin Atha’ hidup pada paruh pertama abad ke-8 M. Ia lahir di
kota Madinah pada tahun 80 H/ 699 M, dan wafat pada tahun 131 H/ 749 M, di
Bashrah (Irak). Ia merupakan tokoh terkenal yang mendirikan mazhab rasionalisme
kondang yang disebut al-Mu’tazilah pada masa Dinasti Bani Umayyah.[4]
Nama aslinya adalah Abu Huzaifah Washil ibn ‘Atha’ al-Ghazzal. Ia
begitu dihargai dikalangan al-Mu’tazilah karena pengetahuan dan tabiatnya.
Washil pernah menjadi murid Hasan Al-Bashri saat ia belajar sejarah dan
berbagai cabang ilmu selama pemerintahan ‘Abd Al-Malik ibn Marwan dan Hisyam
ibn ‘Abd Al-Malik.[5]
Sejak kecil, Washil bin Atha sudah memperlihatkan kesungguhannya
dalam mengkaji al-Qran, Hadis Nabi, dan ilmu-ilmu lain. Pada mulanya ia belajar
pada Abu Hasyim ‘Abdullah ibn Muhammad al-Hanafiyyah. Selanjutnya, ia banyak
menimba ilmu pengetahuan di Mekah dan mengenal ajaran Syi’ah di Madinah. Ia
kemudian melanjutkan perjalanan ke Bashrah dan berguru pada Hasan al-Bashriy.
Washil bin Atha termasuk murid yang cerdas dan berani di antara
sekian banyak murid Hasan al-Basri. Ia tidak segan-segan berbeda pendapat
dengan siapa pun juga, sekalipun membawa dampak harus berpisah dengan orang
yang dicintainya, yaitu gurunya, Hasan al-Bashri, lantaran perbedaan pandangan
dengannya mengenai pelaku dosa besar. Setelah itu, Washil bin Atha membentuk
majlis tersendiri dan mendapat pengikut yang pesat dalam waktu yang singkat.[6]
Ajaran-ajaran yang disampaikan oleh Washil bin Atha banyak
mengalami tantangan dan hambatan yang datang silih berganti dari kalangan
masyarakat awam, karena mereka sulit menerima ajaran yang bersifat rasional dan
filosofis. Selain itu, ajaran Washil tersebut dinilai oleh masyarakat awam
sebagai ajaran yang tidak berpegang pada sunnah Rasullah saw. dan para
sahabatnya. Namun, Washil memperoleh dukungan dari kalangan intelektual dan
juga penguasa Abasiyah, yaitu pada masa pemerintahan al-Ma’mun (198-218 H/
813-833 M), bahkan ajaran Washil bin Atha itu dinyatakan sebagai mazhab resmi
negara.[7]
Dia adalah
salah seorang sastrawan terkemuka dari kalangan Mutakallim. Dia selalu
menukar huruf ra dengan huruf ghin. Di dalam al- Kamil, Abu al-Abbas
al-Mubarrad berkata: “Washil bin ‘ Atha
mempunyai satu keanehan, yakni ia tidak fasih melafalkan huruf ra, oleh
karena itu ia selalu berusaha meniadakan dalam setiap kata pembicaraanya dari
huruf tersebut dan dia tidak menguasainya.
Hal ini karena rendahnya susunan kata-katanya”. Dalam hal ini seorang penyair muktazilah. Abu
Thuruq ad-Dlaby, memuji kemampuan memperpanjang khutbah-khutbahnya serta kemampuannya
menghindari dari keseringan menggunakan huruf ra’ dalam pembicaraan
sehingga nampak hampir tidak pernah sama
sekali dalam kalimat-kalimatnya.[8]
Washil bin ‘Atha bukanlah sesorang sastrawan, namun ia menjuluki
dirinya sebagai sastrawan, hanyalah semata-mata bermaksud mempunyai prestise
dimata para wanita shalehah, sehingga ia dapat mengawininya. Ia banyak meninggalkan karya tulis berupa
buku, diantaranya adalah: Ashnaf al-Murji’ah, al-Taubat, Al-Manziliah baena
al-Manzilatain, Ma’ani l-Qur’an, alKitab
fi al-Tauhid wa al- Adli, Ma Jara baena wa baena ‘Amr bin ‘Ubaid, al-Sabil ila
ma’rifat al-Haq, al-Dakwah dan Kitab Thabaqat Ahl al-Ilm wa al-Jahl.[9]
2.
Pemikiran Washil bin ‘Atha’
Sebagaimana dikatakan diatas bahwa Washil merupakan pendiri dan
pemuka dari aliran al-Mu’tazilah, pengikut ajaran-ajaran yang dibawanya dikenal
dengan sebutan Washiliyyah. Sub-golongan Mu’tazilah ini pada prinsipnya
memiliki empat doktrin dasar sebagai berikut:[10]
Pertama, posisi
diantara dua posisi bagi para pembuat dosa besar (al-manzilah bayn al-manzilatayn).
Asal doktrin ini adalah bermula pada ketidaksepahaman Washil ibn ‘Atha’ dengan
Hasan Al-Bashri dalam permasalahan posisi pelaku dosa besar.
Kedua, kepercayaan
kepada Qadar. Menurut Washil, Tuhan itu bijaksana dan adil, sehingga keburukan
dan ketidakadilan tidak bisa dinisbahkan kepada-Nya. Tuhan tidak bisa
berkehendak kepada makhluk-Nya atas sesuatu yang bertentangan dengan apa yang
Dia perintahkan kepada mereka. Dia tidak bisa menetapkan apa yang mereka
kerjakan dan kemudian menghukumnya lantaran mereka tidak melakukan perintah
itu. Oleh karena itu, manusia adalah pencipta kebaikan dan keburukan, keimanan
dan kekufuran, kepatuhan dan pengingkaran, dan dialah yang bertanggung jawab
atas perbuatan-perbuatannya.[11]
Dalam paham ini, Tuhan menghendaki agar manusia sendirilah yang
melakukan perbuatan dalam arti kehendak dan daya dalam mewujudkan perbuatan.
Dan dalam mewujudkan hal tersebut haruslah atas kehendak dan daya manusia itu
sendiri, bukan Tuhan. Dan apabila manusia berbuat jahat, maka itu berarti atas
kehendak dan dayanya sendiri sehingga paham kemahadilan Tuhan dapat
dipertahankan untuk menghukumnya dalam neraka. Tetapi, sekiranya manusia
berbuat jahat bukan atas kehendak dan daya upayanya sendiri, melainkan atas
kehendak dan daya yang bersumber dari luar dirinya, maka sungguh tidak adillah
Tuhan kalau menghukum pembuat kejahatan itu dalam neraka.
Ketiga, peniadaan
sifat-sifat Tuhan, seperti mengetahui, berkuasa, berkehendak dan hidup. Telah
disepakati secara universal bahwa eksistensi dua Tuhan yang kadimadalah sebuah
hal yang mustahil. Jadi, menyatakan eksistensi sebuah entitas yang kadim atau
sifat yang kadim pada Tuhan, akan berarti bahwa ada dua Tuhan. Washil menolak
adanya sifat Tuhan dalam pengertian sesuatu yang melekat pada zat Tuhan. Ini tidak
berarti bahwa ia menolak ayat-ayat yang menggambarkan sifat-sifat Tuhan seperti
al-Rahman, al-Rahim, al-Qadir, dan sebagainya sebagaimana yang dipahami aliran
teologi islam lain. Ia menerima kebenaran ayat-ayat itu sama dengan kebenaran
ayat-ayat lain, hanya saja penafsirannyalah yang berbeda tentang ayat-ayat
tersebut. Menurutnya, Kalau Tuhan
dikatakan memiliki sifat Maha Mengetahui, baginya yang mengetahui itu adalah
zat-Nya, bukan sifat-Nya.
Keempat, pandangan
mengenai kelompok-kelompok yang beroposisi dalam Perang Jamal dan Perang
Shiffin. menurut Washil, salah satu dari kelompok ini berada pada posisi yang
salah, tetapi ia tidak merinci kelompok mana yang salah. Dia juga berpandangan
sama terhadap kasus Utsman, mengenai siapa yang bertanggung jawab atas
kematiannya dan mengenai mereka yang mengkhianatinya. Menurutnya, salah satu
dari kelompok ini pasti berdosa. Sama halnya dengan dua kelompok yang saling
menghujat satu sama lain, maka yang satu pasti berdosa. Mengenai status
kelompok yang berseteru tersebut, ia berpandangan bahwa kesaksian mereka tidak
dapat diterima. Konsekuensinya, kesaksian Ali, Thalhah dan Zubair, sekalipun
dalam hal-hal yang signifikan, adalah sesuatu yang tidak dapat diterima. Boleh
jadi bahwa Utsman dan Ali keduanya bersalah.[12]
“Wahai Imam! Sekarang ini ada beberapa orang yang mengatakan bahwa
pelaku dosa besar adalah kafir, bagi mereka, pelaku dosa besar adalah murtad
yang dengannya ia dikeluarkan dari masyarakat islam. Kelompok ini adalah Wa’idiyyah, sub-golongan Khawarij. Pada sisi lain, ada kelompok lain
yang menangguhkan hukuman atas pelaku dosa besar. Bagi mereka, dosa tidak
berpengaruh buruk kepada seseorang selagi ia memiliki iman. Mereka berpegang
bahwa perbuatan-perbuatan tidak membentuk suatu bagian iman yang integral.
Karenanya, dosa tidak berpengaruh buruk pada seseorang yang memiliki iman, sama
halnya ketaatan tidak berfaedah kepada seseorang apabila tanpa iman. Ini adalah
golongan Murji’ah. Menurutmu, mana yang harus kita
yakini?”
Ketika Hasan Al-Bashri masih memikirkan
jawaban atas pertanyaan orang tersebut, salah seorang peserta diskusi dalam
majelis itu yaitu, Washil bin Atha’ mengeluarkan pendapat sendiri yang
mendahului gurunya. Ia berpendapat bahwa orang yang demikian berada antara dua
posisi, bukan seorang yang beriman dan bukan pula seorang kafir. Setelah itu,
ia kemudian berdiri dan pindah kedekat sebuah tiang mesjid yang lain, tempat ia
mulai menjelaskan kepada sebuah kelompok lain pengikut Hasan Al-Bashri maksud
dari apa yang ia katakana. Hasan kemudian kemudian berujar pada kelompok yang
masih setia padanya, “Washil telah memisahkan diri (i’tazala) dari kita.” Sejak saat itu, pengikut Washil
dikenal sebagai Mu’tazilah (golongan yang memisahkan
diri).
Menurut teori lain, Mu’tazilah bukan berasal dari ucapan Hasan Al-Bashri, tetapi dari kata
i’tazala yang dinisbahkan kepada orang-orang yang mengasingkan diri
dari pertikaian politik yang terjadi pada zaman ‘Utsman bin Affan dan ‘Ali bin Abi Thalib. Menurut
beberapa penulis sejarah, kata i’tazala dan Mu’tazilah memang telah dipakai pada zaman itu untuk golongan yang
tidak mau turut campur dalam pertikaian politik, mengasingkan diri dan
memusatkan perhatian pada ibadah dan ilmu pengetahuan. Dan diantara orang-orang
demikian terdapat cucu Nabi Muhammad, Abu Husain. Washil sendiri mempunyai
hubungan yang erat dengan Abu Husain.
Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa kata i’tazala dan Mu’tazilah sebenarnya telah dikenal jauh sebelum kronologis terjadinya
ketidaksepahaman Hasan Al-Bashri dan Washil bin Atha’ dalam masalah posisi pendosa besar. Namun, kata i’tazala dan istilah Mu’tazilah yang dipakai untuk
menisbatkan pengikut Washil, baru mulai menjadi populer dan dikenal lebih luas pasca kejadian
ketidaksepahaman guru dan murid tersebut yang melahirkan pemahaman baru.
Prinsip dasar Mu’tazilah ada 5 pokok (al-Ushul al-Khamsah) yaitu:[13]
a.
Tauhid
( keesaan Tuhan )
yaitu kemahaesaan Tuhan. Menurut mereka, Paham-paham yang membuat
Tuhan tidak unik lagi seperti adanya sifat, atau adanya yangkadim selain Tuhan
dan sebagainya, mereka tolak dengan kuat. Golongan al-Mu’tazilah menganggap
bahwa konsep tauhid mereka adalah yang paling murni, sehingga mereka lebih
senang disebut sebagai Ahl al-Tauhid (pembela tauhid). Dalam mempertahankan
paham keesaan Allah SWT, mereka menafikkan segala sifat bagi Tuhan, sehingga
mereka sering juga disebut sebagai golongan Nafy al-Sifat.
Dalam ajaran ini, mereka benar-benar menyucikan Allah SWT dari
materi dan segala aksidensianya, karena Allah SWT bukanlhah jism juga bukan bayangan,
bukan bagian juga bukan keseluruhan, tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.
Selanjutnya, konsep ini membawa pada paham penolakan terhadap antropomorisme.
Bagi mereka, Tuhan tidak boleh dipersamakan dengan makhluk-Nya seperti
mempunyai muka atau tangan. Karena itu, ayat-ayat yang menggambarkan Tuhan
mempunyai bentuk fisik (ayat-ayat tajasum), haruslah ditakwilkan secara
rasional sedemikan rupa. Mereka memerangi pemikiran al-Tasybih dan al-Tajsim
yang gemanya menyusup kedalam Islam dari agama lain.
Penulis cenderung tidak sepakat dengan ajaran ini, karena pada
prinsipnya bahwa sifat-sifat itu bukanlah sesuatu yang terpisah dari yang
disifati, sehingga ketika sifat-sifat tersebut ditetapkan maka ini tidaklah
menunjukkan bahwa yang disifati itu lebih dari satu, bahkan ia termasuk dari
sekian sifat yang dimiliki oleh dzat yang disifati tersebut. Menetapkan
sifat-sifat Allah tidaklah termasuk meniadakan kesucian Allah, tidak pula
menyelisihi tauhid, atau menyamakan Allah dengan makhluk-Nya. Pada prinsipnya,
ini termasuk konsekuensi dari tauhid al-asma wa al-shifat sebagaimana
disebutkan dalam al-Qur’an. Justru dengan meniadakan sifat ini, berarti telah
mengakui adanya dua identitas, karena sebelum meniadakan sifat-sifat Allah
tersebut, mereka terlebih dahulu menyamakan sifat-sifat Allah dengan sifat
makhluk-Nya. Lebih dari itu, ketika mereka meniadakan sifat-sifat Allah yang
sempurna itu, sungguh mereka menyamakan Allah dengan sesuatu yang penuh
kekurangan dan tidak ada wujudnya.
b.
Keadilan Tuhan
Al-‘Adl, yaitu paham keadilan Tuhan. Paham ini meletakkan tanggung
jawab manusia atas perbuatan-perbuatannya. Kalau al-Tawhid mengandung keunikan
Tuhan dalam zat, paham keadilan Tuhan ini mengandung keunikan Tuhan dalam
perbuatannya. Hanya Tuhanlah yang berbuat adil, maka segala kehendak dan
perbuatan Tuhan tidak bisa bertentangan dengan paham keadilan. Paham keadilan
inilah yang menjadi titik tolak dari pemikiran rasional al-Mu’tazilah mengenai
pendapat-pendapat keagamaan mereka.[14]
Menurut al-Mu’tazilah, Tuhan adalah sosok yang amat bijaksana
sehingga Ia mesti mempunyai tujuan
kebajikan dalam menciptakan manusia. Pendek kata, karena Tuhan bijaksana, maka
Ia wajib hukumnya berbuat kebajikan pada manusia, karena akal sehat
mengasumsikan demikian. Lebih lanjut menurut mereka, bahwa Tuhan tidak bisa
melakukan hal-hal yang tak masuk akal dan tak adil. Bahkan, manusia diciptakan
mandiri yang mampu bertindak secara bebas dan independen dari semua campur
tangan Ilahi. Karena independensi manusia dalam bertindak itulah, maka paham
keadilan menuntut manusia mempertanggung jawabkan akibat dari perbuatannya.
c.
Janji dan Ancaman
Al-Wa’d wa al-Wa’id, yaitu paham mengenai janji dan ancaman. Paham
ini mengandung pemahaman bahwa Tuhan tidak akan adil kalau Dia tidak memberi pahala
pada orang yang berbuat baik, dan kalau Dia tidak menghukum orang yang berbuat
jahat. Sementara, Allah SWT telah menegaskan bahwa ia tidak akan mengingkari
janji-Nya. Hal ini termaktub dalam QS. Ali ‘Imran ayat 9,
إِنَّ اللهَ لاَ يُخْلِفُ الِمْيَعَادَ
Artinya:“Sungguh, Allah tidak akan menyalahi janji-Nya. (QS. Ali ‘Imran: 9)
Menurut al-Mu’tazilah, seorang Mukmin apabila meninggal dalam
keadaan taubat dan taat, maka dia berhak mendapatkan pahala. Tetapi, apabila ia
meninggal sebelum terlebih dahulu melakukan taubat dari dosa besar yang pernah
diperbuatnya, maka ia akan ditempatkan dalam neraka selama-lamanya, akan tetapi
siksaan yang didapatkannya lebih ringan daripada siksaan yang diberikan oleh
kaum kafir. Inilah yang mereka sebut dengan janji dan ancaman.[15]
d.
Posisi diantara dua posisi
Al-Manzilah bayn al-Manzilatain, yaitu posisi menengah bagi pembuat
dosa besar. Tidak posisi mukmin, tidak pula posisi kafir, tetapi posisi Muslim
yang terletak diantara keduanya. Tidak posisi surga, tidak pula posisi berat di
neraka, tetapi posisi siksa ringan yang terletak diantara keduanya.
e.
Perentah mengerjakan yang baik dan
mencegah yang mungkar
Al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘an al-Munkar, yaitu perintah untuk
berbuat baik dan larangan untuk berbuat jahat. Ajaran dasar ini sangat erat
hubungannya dengan pembinaan moral. Ajaran ini menekankan bahwa iman tidaklah
cukup hanya dihati, tetapi merupakan pengakuan yang harus diikuti oleh
perbuatan-perbuatan baik. Menurut mereka, kepatuhan merupakan suatu tiang dari
esensi nyata iman sedemikian rupa sehingga siapapun yang mengabaikannya, maka
dia bukan seorang yang percaya. Orang yang masuk surga adalah orang yang
imannya tercermin dalam perbuatan-perbuatan dan kelakuan baik. Maka untuk
membina moral umat, mereka menganggap bahwa al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy
al-munkar, sebagai suatu bentuk kontrol sosial, harus dijalankan. Kalau dapat,
cukup dengan seruan, tetapi kalau terpaksa boleh dengan kekerasan.
Prinsip dari ajaran ini mengarahkan seseorang untuk tidak menaati
atau mungkin memberontak pada pemimpin yang keimanannya tidak tercermin dalam
perbuatannya dalam memimpin. Jika demikian adanya, maka sesungguhnya ajaran ini
bertentangan dengan etika Islam yang menganjurkan cara-cara kebijaksanaan dalam
mengkonfrontir sesuatu yang bertentangan dengan aplikasi keimanan itu sendiri.[16]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian diatas dapatlah diperoleh beberapa kesimpulan, yaitu:
1.
Abu Huzaifah Washil ibn ‘Atha’ al-Ghazzal, itulah nama aslinya. Ia
begitu dihargai dikalangan al-Mu’tazilah karena pengetahuan dan tabiatnya.
Washil pernah menjadi murid Hasan Al-Bashri saat ia belajar sejarah dan
berbagai cabang ilmu selama pemerintahan ‘Abd Al-Malik ibn Marwan dan Hisyam
ibn ‘Abd Al-Malik.
2.
Adapun pemikiran yang lebih luas dari Washil bin Atha’ adalah
dengan hadirnya aliran mu’tazilah. Secara sederhana, al-Mu’tazilah dikenal
sebagai aliran yang mendasarkan ajaran Islam kepada al-Qur’an dan pikiran,
serta sangat kritis terhadap hadits dan cara penafsiran al-Qur’an. Aliran ini
muncul pertama kali di kota Bashrah (Irak) pada abad ke-2 Hijriyah, antara
tahun 101-125 H, tepatnya di masa pemerintahan khalifah Hisyam ibn ‘Abd
al-Malik dari Bani Umayyah. Pada masa-masa awal kemunculannya, aliran ini tidak
memperoleh dukungan dan simpati dari umat islam. Hal ini disebabkan karena
sulitnya memahami ajaran-ajaran mereka yang rasionalis dan filosofis. Disamping
itu, aliran ini dinilai tidak berpegang teguh pada sunnah Rasulullah dan para
sahabat.
3.
Prinsip utama ajaran dasar al-Mu’tazilah dikenal dengan istilah
al-ushul al-khamsah. Yaitu, Al-Tawhid, atau kemahaesaan Tuhan, Al-‘Adl, atau
paham keadilan Tuhan, Al-Wa’d wa al-Wa’id, atau paham mengenai janji dan
ancaman, Al-Manzilah bayn al-Manzilatain, yaitu posisi menengah bagi pembuat
dosa besar, dan Al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘an al-Munkar.
B.
Kata Penutup
Dengan mengucap segala puji bagi
Allah, akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan dan penyusunan makalah
ini, namun penulis tetap mengharapkan kritik dan saran kepada para pembaca.
Sehingga makalah ini dapat mendekati kekesempurnaan.
Daftar Pustaka
Abdullah, Iwad
Bin. 1404. Al-Mu’tazilah Wa Ushulihim Al-Khomsah Bairut: Alim al-Kutub.
At-Tamimy, Muhammad Bin Abd
Wahab. 1365. Ushul Al-Din Al-Islamy Ma’a Qawa’idihi. Jedah: Maṭba’ah
al-Fath.
Al-Sahristany, Muhammad Bin Abd
Al-Karim 1379. Al-Milal Wa Al-Nihal. Bairut: Dār Al-Makrifat.
Halqan,
Samsudin Ahmad Bin Muhammad Abu. 2008. Wafiyat A’yan Wa Abna’i Anbai
Al-Zaman. Bairut: Dar as-Shodir.
al-Basybisyiy,
Mahmud. 1932. al-Firaq Al-Islamiya. Mesir: Al-Rahmaniyah
Al-Nasyr, Aliy Sami’ t.th. Nasy’ah al-Fikr
al-Falsafiy fiy al-Islam Mesir: Dar al-Ma’arif.
[1] Iwad Bin
Abdullah, Al-Mu’tazilah Wa Ushulihim Al-Khomsah (Bairut: Alim al-Kutub,
1404), hal. 29.
[2]Muhammad
Bin Abd Wahab At-Tamimy, Ushul Al-Din Al-Islamy Ma’a Qawa’idihi (Jedah:
Maṭba’ah al-Fath, 1365) hal. 7.
[3] Ibid,...hal. 54
[4] Muhammad Bin
Abd Al-Karim Al-Sahristany, Al-Milal Wa Al-Nihal (Bairut: Dār Al-Makrifat,
1379), hal. 409
[5] Ibid,...hal. 54 dan Samsudin Ahmad Bin Muhammad Abu Halqan, Wafiyat
A’yan Wa Abna’i Anbai Al-Zaman (Bairut: Dar as-Shodir, 2008), hal. 29
[6] Ibid,...hal.
54
[7] Mahmud
al-Basybisyiy, al-Firaq Al-Islamiyah (Cet.I; Mesir: Al-Rahmaniyah, 1932)
dan Aliy Sami’ Al-Nasyr, Nasy’ah al-Fikr al-Falsafiy fiy al-Islam (Cet.
VIII; Mesir: Dar al-Ma’arif, t.th.), hal.77
[8] Muhammad Bin
Abd Wahab At-Tamimy, Ushul Al-Din Al-Islamy Ma’a Qawa’idihi (Jedah: Maṭba’ah
al-Fath, 1365) hal. 57
[9] Ibid,...hal. 54
[10] Mahmud
al-Basybisyiy, al-Firaq Al-Islamiyah (Cet.I; Mesir: Al-Rahmaniyah, 1932)
hal. 79
[11] Ibid,...hal. 81
[12] Mahmud
al-Basybisyiy, al-Firaq Al-Islamiyah (Cet.I; Mesir: Al-Rahmaniyah, 1932)
hal.79
[13] Ibnu
Al-Qudamat Al-Maqdisy, Lum’at Al-I’tiqad (Bairut: Alim al-Kutub, 1404),
hal. 29.
[14] Mahmud
al-Basybisyiy, al-Firaq Al-Islamiyah (Cet.I; Mesir: Al-Rahmaniyah, 1932)
hal. 88
[15] Ibnu
Al-Qudamat Al-Maqdisy, Lum’at Al-I’tiqad (Bairut: Alim al-Kutub, 1404),
hal. 29.
[16] Ibnu
Al-Qudamat Al-Maqdisy, Lum’at Al-I’tiqad (Bairut: Alim al-Kutub, 1404),
hal. 29.
0 komentar:
Posting Komentar