Metode Tafsir Maudhu’i
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Metode Tafsir Maudhu’i
Metode tafsir Maudhu’i juga disebut dengan dengan metode
tematik yaitu menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai maksud yang sama,
dalam arti, sama-sama membicarakan satu topik masalah dan menyusunnya berdasar
kronologi serta sebab turunnya ayat-ayat tersebut.
Banyak pengertian yang dapat diberikan terhadap tafsir
tematik. secara etimologi Maudhu`i berarti tema atau pembicaraan.[1]
Menurut Ali Hasan al-Aridh, Tafsir Tematik adalah suatu metode yang ditempuh
oleh seorang mufassir dengan jalan menghimpun seluruh ayat-ayat Al-Qur’an ynag
berbicara tentang suatu pokok pembicaraan atau tema (maudhu`i) yang mengarah
kepada satu pengertian atau tujuan.[2]
Al-Farmawi juga memberikan pengertian tentang terhadap Tafsir Tematik yaitu
suatu metode menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki kesamaan tema dan
arah serta menyusunnya berdasarkan turunnya ayat-ayat tersebut, kemudian
merangkainya dengan keterangan-keterangan serta mengambil suatu kesimpulan.[3]
Sedangkan menurut Zahir bin Awadh, Tafsir Maudu’i yaitu : suatu metode
pengeumpulan ayat-ayat al-Qur’an yang terpisah-pisah dari berbagai surat dalam al-Qur’an
yang berhubungan dengan opik (tema) yang sama baik secara lafat Maupun Hukum,
dan menafsirkannya sesuai dengan tujuan-tujuan al-Qur’an.[4]
Sementara itu Baqir al-Sadr memberikan pengertian, bahwa
Tafsir Tematik yaitu : suatu metode Tafsir yang berupaya menghimpun ayat-ayat al-Qur’an
dari berbagai surat dan yang berkaiatan pula dengan persoalan atau tema yang
ditetapkan sebelumnya, kemudian membahas dan mengnalisa kandungan ayat-ayat
tersebut sehingga menjadi suatu kesatuan yang utuh.[5] Dari
berbagai pengertian yang dikemukakan tersebut diatas, maka dapat diambil suatu
kesimpulan bahwa Tafsir Tematik yaitu suatu metode penafsiran al-Qur’an dimana
para mufassir berupay mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai surat yang
memiliki kesamaan tema, sehingga mengarah kepada suatu pengertian dan tujuan
yang sama pula.
Kemudian
penafsir mulai memberikan keterangan dan penjelasan serta mengambil kesimpulan.
Secara khusus, penafsir melakukan studi tafsirnya ini dengan metode maudhu’i,
dimana ia melihat ayat-ayat tersebut dari seluruh seginya, dan melakukan
analisis berdasar ilmu yang benar, yang digunakan oleh pembahas untuk
menjelaskan pokok permasalahan, sehingga ia dapat memahami permasalahan
tersebut dengan mudah dan betul-betul menguasainya, sehingga memungkinkan
baginya untuk memahami maksud yang terdalam dan dapat menolak segala kritik.[6]
B.
Cara Kerja Tafsir Maudhu’i
Al-Farmawi di dalam kitab al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’i
secara rinci mengemukakan cara kerja yang harus ditempuh dalam menyusun suatu
karya tafsir berdasarkan metode ini[7]. Antara
lain adalah sebagai berikut:
1.
Tentukan terlebih dahulu masalah atau topic (tema) yang akan dikaji, untuk
menetapkan masalah ini dianjurkan melihat “Kitab Tafsir Al-Qur’an Al-Karim
karya sekelompok orientalis yang diterjemahkan oleh Muhammad Fuad Al-Baqi.
2.
Inventarisir
(himpun) ayat-ayat yang berkenaan dengan tema/topic yang telah ditentukan.
selain
dibantu kitab diatas, dapat pula di baca Al-Mu’jam Al-Mufahras Li Al-Fasil
Qur’an “karangan M. Fuad Al-Baqi”.
3.
Rangkai urutan
ayat sesuai dengan masa turunnya baik Makiyah maupun Madaniyahnya, hal ini
dapat juga dilihat pada “al-Itqon” karya Al-Suyuti
dan “al-Burhan”
karya al-Zarkasyi.
4.
Pahami korelasinya
(munasabahnya) ayat-ayat dalam masing-masing
suratnya.
5.
Susun pembahasan
di dalam kerangka yang tepat, sistematis,
sempurna dan utuh.
6.
Lengkapi bahasan
dengan Hadis. Sehingga uraiannya menjadi jelas dan semakin sempurna.
7.
Pelajari ayat-ayat
tersebut secara sistematis dan menyeluruh dengan cara menghimpun ayat-ayat yang
mengandung pengertian yang serupa, menyesuaikan antara pengertian yang umum dan
yang khusus, antara Mu’allaq dan
Muqayyad, atau ayat-ayat yang kelihatannya kontradiksi, sehingga semua bertemu
dalam satu muara sehingga tidak ada pemaksaan dalam penafsiran.
Adapun rumusan langkah-langkah yang ditempuh
dalam metode Tafsir Maudlu’i
yang dikemukakan oleh Ali Hasan al-Aridh antara lain :
1.
Himpun seluruh
ayat-ayat Al-Qur’an yang terdapat pada seluruh surat yang berkaitan dengan tema
yang hendak dikaji.
2.
Tentukan urutan
ayat-ayat yang dihipun itu sesuai dengan masa turunnya dan mengemukakan
sebab-sebab turunnya jika hal itu dimungkinkan.
3.
Jelaskan munasabah
antara ayat-ayat itu pada masing-masing suratya dan kaitkan antara ayat-ayat
tersebut dengan ayat-ayat yang ada sesudahnya.
4.
Buat sistematika
kajian dalam kerangka yang sistimatis dan lengkap dengan outlinenya yang
mencakup semua segi dari tema kajian tersebut.
5.
Kemukakan
Hadis-Hadis Rasulullah SAW yang berbicara tentng tema kajian serta menerangkan
derajat Hadis-Hadis tersebut untuk lebih meyakinkan kepada orang lain yang
memperlajari tema itu.[8]
6.
Rujuk kepada kalam
(ungkapan-ungkapan Bangsa Arab dan syair-syair mereka) dalam menjelaskan
lafa§-lafa§ yang terdapat pada ayat-ayat yang berbicara tentang tema kajian
dalam menjelaskan maknanya.
7.
Kajian terhadap
ayat-ayat yang berbicara tentang tema kajian
dilakukan secara Maudlu’i terhadap segala
segi dan kandungannya, bail lafat ‘Am,
Khas, muqayyad, mu’allaq, syarat,
jawab, Hukum-hukum fiqih, nasakh dan Mansukh (bila ada), unsur balaghoh dan
I’jaz, berusaha memadukan ayat-ayat lain yang diduga kontradiktif dengannya
atau dengan Hadis-Hadis Rasulullah SAW yang tidak sejalan dengannya, menolak
kesamaran yang sengaja ditaburkan oleh pihak-pihak lawan Islam, juga menyebut
berbagai macam qira’ah, menerapkan makna ayat-ayat terhadap kehidupan
masyarakat dan tidak menyimpang dari sasaran yang dituju dalam tema kajian.[9]
Kedua
prosedur atau langkah-langkah di atas, walaupun dikemukakan dengan cara sedikit
berbeda namun secara esensial keduanya tentu saling berkaiatan dan saling
melengkapi satu sama lainnya, sehingga nampaklah bahwa langkah-langkah tersebut
menempatkan penyusunan pembahasan dalam satu kerangka yang sempurna.
C.
Bentuk kajian Tafsir Maudhu’i
Di sini tafsir Maudhu’i, menurut Afifudin Dimyati mempunyai
tiga bentuk, yaitu:[10]
Pertama, Tafsir yang
membahas satu surat secara menyeluruh dan utuh dengan menjelaskan maksudnya
yang bersifat umum dan khusus, menjelaskan korelasi antara berbagai masalah
yang dikandungnya, sehingga surat itu tampak dalam bentuknya yang betul-betul
utuh dan cermat.
Menurut Afifudin Dimyati, biasanya kandungan pesan suatu
surah diisyaratkan oleh nama surah tersebut, selama nama tersebut bersumber
dari informasi Rasulullah s.a.w.. Ia mencontohkan surah al-Kahfi, yang secara
harfiah berarti gua. Gua itu dijadikan tempat berlindung oleh sekelompok pemuda
untuk menghindar dari kekejaman penguasa zamannya. Dari ayat tersebut dapat
diketahui bahwa surah itu dapat memberi perlindungan bagi yang menghayati dan
mengamalkan pesan-pesannya. Itulah pesan umum surah tersebut. Ayat atau
kelompok ayat yang terdapat di dalam surah itu kemudian diupayakan untuk
dikaitkan dengan makna perlindungan itu.
Tafsir maudhu’i dalam bentuk pertama ini sebenarnya sudah
lama dirintis oleh ulama-ulama tafsir periode klasik, seperti Fakhr ad-Din
al-Razi. Namun, pada masa belakangan beberapa ulama tafsir lebih menekuninya
secara serius.
Kedua, mengambil satu
lafat tertentu dalam al-Qur’an misalnya “makna kata ad-dhorb dalam al-Qur’an”,
kemudian mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an yang menggunakan kata tersebut
sebagai sebuah perbandingan baik secara bahasa, penggunaan kata, atau peletaan
kata dalam ayat. selanjutnya mencari titik kesamaan dan perbedaan makna dalam
ayat al-Qur’an.
Contoh model tafsir maudlu’i yang kedua ini adalah
“kalimat al-Haq fi al-Qur’an al-karim karya syaih muhammad abd al-Rahman
al-Rawi.
Ketiga, tafsir yang
menghimpun sejumlah ayat dari berbagai surat yang sama-sama membicarakan satu
masalah tertentu; ayat-ayat tersebut disusun sedemikian rupa dan diletakkan di
bawah satu tema bahasan, dan selanjutnya ditafsirkan secara maudhu’i. Bentuk
kedua inilah yang lazim terbayang di benak kita ketika mendengar istilah tafsir
Maudhu’i itu diucapkan.
Upaya mengaitkan antara satu ayat dengan ayat yang
lainnya itu pada akhirnya akan mengantarkan mufassir kepada kesimpulan yang
menyeluruh tentang masalah tertentu menurut pandangan al-Qur’an. Bahkan melalui
metode ini, mufassir dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang terlintas di
dalam benaknya dan menjadikannya sebagai tema-tema yang akan dibahas dengan
tujuan menemukan pandangan al-Qur’an mengenai hal tersebut.
Contoh: ayat-ayat khusus mengenai harta anak yatim
terdapat pada ayat-ayat di bawah ini:
وَلَا
تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ
أَشُدَّهُ وَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا
إِلَّا وُسْعَهَا وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى
وَبِعَهْدِ اللَّهِ أَوْفُوا ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
(152)
“Dan janganlah kamu
dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga
sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami
tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. dan
apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah
kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah
kepadamu agar kamu ingat.” (QS al-An’am, 6:152).
وَآتُوا
الْيَتَامَى أَمْوَالَهُمْ وَلَا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ وَلَا
تَأْكُلُوا أَمْوَالَهُمْ إِلَى أَمْوَالِكُمْ إِنَّهُ كَانَ حُوبًا كَبِيرًا (2)
“Dan berikanlah kepada
anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik
dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu.
Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu adalah dosa yang
besar”. (QS an-Nisa, 4’: 2)
Dan surat QS an-Nisa, 4’: 10 dan 127.
إِنَّ
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي
بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا (10)
“Sesungguhnya
orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu
menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang
menyala-nyala (neraka).”
وَيَسْتَفْتُونَكَ
فِي النِّسَاءِ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِيهِنَّ وَمَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ فِي
الْكِتَابِ فِي يَتَامَى النِّسَاءِ اللَّاتِي لَا تُؤْتُونَهُنَّ مَا كُتِبَ
لَهُنَّ وَتَرْغَبُونَ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ وَالْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ
الْوِلْدَانِ وَأَنْ تَقُومُوا لِلْيَتَامَى بِالْقِسْطِ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ
خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِهِ عَلِيمًا (127)
“Dan mereka minta
fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah: Allah memberi fatwa kepadamu
tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam al-Qur’an (juga
memfatwakan) tentang para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka
apa yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka dan
tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. dan (Allah menyuruh kamu) supaya
kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. dan kebajikan apa saja yang kamu
kerjakan, maka Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahuinya.”
dari beberapa ayat diatas maka dapat diambil kesimpulan:
1.
Harta anak yatim harus diberikan sepenuhnya kepada anak yatim.
2.
tidak dibenarkan menggunakan harta yatim secara berlebihan.
3.
ancaman dosa besar bagi orang yang tidak bisa berlaku adil terhadap harta
anak yatim.
4.
harta anak yatim bisa dipakai usaha dalam rangka memperbanyak penghasilan
kepada anak yatim seperti al-Hurriyah.
Sebagian kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode Maudhu’i
ini adalah: Al-Mar’ah fi al-Qur’an dan Al-Insan fi al-Qur’an al-Karim karya
Abbas Mahmud al-Aqqad; Ar-Riba fi al-Qur’an al-Karim karya Abu al-‘A’la
al-Maududiy; Al-Washaya al-‘Asyr karya Syaikh Mahmud Syalthut; Tema-tema Pokok
al-Qur’an karya Fazlur Rahman; dan.[11]
Dalam hal ini banyak buku tafsir maudlui yang bisa
diteliti, misalnya analisa pemikiran ibnu abbas mahmud dalam kitab al-Insan. dapat
juga mencari metodologi penafsiran tokoh yang dipakai dalam menafsirkan sebuah
ayat tertentu. dan masih banyak lagi
kajian yang bisa dianalisis dalam hal tema tema tertentu.
D.
Kelebihan dan Kekurangan Metode Maudhu’i
1.
Kelebihan Metode Maudhu’i
a.
Hasil tafsir Maudhu’i memberikan pemecahan terhadap permasalahan-permasalahan
hidup praktis, sekaligus memberikan jawaban terhadap tuduhan/dugaan sementara
orang bahwa al-Qur’an hanya mengandung teori-teori spekulatif tanpa menyentuh
kehidupan nyata.
b.
Sebagai jawaban terhadap tuntutan kehidupan yang selalu berobah dan
berkembang, menumbuhkan rasa kebanggaan terhadap al-Qur’an.
c.
Studi terhadap ayat-ayat terkumpul dalam satu topik tertentu juga merupakan
jalan terbaik dalam merasakan fashahah dan balaghah al-Qur’an.
d.
Kemungkinan untuk mengetahui satu permasalahan secara lebih mendalam dan
lebih terbuka.
tafsir Maudhu’i lebih tuntas dalam membahas masalah.
2.
Kekurangan Metode Maudhu’i
a.
Harus melibatkan pikiran penafsiran yang terlalu dalam.
b.
Tidak menafsirkan segala aspek yang dikandung satu ayat, tetapi hanya salah
satu aspek yang menjadi topik pembahasan saja.
E.
Urgensi Metode Maudhu’i
Di depan telah penulis singgung bahwa tafsir dengan
metode Maudhu’i lebih dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan kehidupan di
muka bumi ini. Itu berarti, metode ini besar sekali artinya dalam kehidupan
umat agar mereka dapat terbimbing ke jalan yang benar sesuai dengan maksud
diturunkannya al-Qur’an.
1.
Meminimalisir Kesalahan
Metode ini akan jauh dari kesalahan-kesalahan karena ia
menghimpun berbagai ayat yang berkaitan dengan satu topic bahasan sehingga ayat
yang satu menafsirkan ayat yang lain.
2.
Pemahaman Utuh
Dengan metode Maudhu’i seseorang mengkaji akan lebih jauh
mampu untuk memberikan sesuatu pemikiran dan jawaban yang utuh dan sempurna
tentang suatu pokok permasalahan (tema) yang dikaji. Kesimpulan-kesimpulan yang
dihasilkan mudah untuk dipahami. Hal ini karena ia membawa pembaca kepada
petunjuk Al-Qur’an yangmengemukakan berbagai pembahasan yang terperinci dalam
satu disiplin ilmu.
3.
mudah difahami masyarakat
Dengan metode ini juga dapat membuktikan bahwa
persoalan-persoalan yang disentuh al-Qur’an bukan bersifat teoritis semata-mata
atau yang tidak dapat itrapkan dalam kehidupan masyarakat. Namun ia dapat
membawa kita kepada pendapat al-Qur’an tentang berbagai problem hidup yang
disertakan pula dengan jawaban-jawabannya.
4.
Mempertegas Fungsi Al-Qur’an
Ia dapat mempertegas fungsi Al-Qur’an sebagai kitab suci
serta mampu membuktikan keistimewaan-keistimewaan Al-Qur’an. Metode ini
memungkin seseorang untuk menolak adanya ayat-ayat yang bertentangan dalam Al-Qur’an.[12]
5.
Menjawab Permasalahan Baru
Tafsir maudhui sangat penting ketika masalah yang berkembang
di tengah tengah masyarakat muncul. dan sebuah masalah haruslah sesegera
mungkin mendapat jawaban sebagai solusi agar tidak terlarut larut hingga
menimbulkan masalah baru. misalnya kasus ahok dalam mengomentari al-Maidah 51.
[1] Ahmad
Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir. (Yogyakarta, 1984).h. 987
[2] Ali
Hasan al-Aridh, Sejarah metodologi
Tafsir (Jakarta, PT. Raja Grapindo Persada,
1994) h.24
[3] Musthofa Muslim, Mabahis Fi
Tafsir Maudhu’i, (Beirut : Dar al-Qalam,1426) h.23
[4]
Zahir bin Awadh al-Ma’i, Dirasat fi al- Tafsir al-Maudlu’i, (Beirut : Ta’aruf al-Matb’at,1997) h.56
[5] Al-Sadr, Muhammad Baqir. Tafsir Maudlu’i wa Tafsir Al-Tajzi’i pi Al-Quran
Al-Karim (Beirut : Ta’aruf al-Matb’at, 1980) h.35
[6] Abd al-Hayy al-Farmawiy. Metode Tafsir Maudhu’i,....
h. 36-37.
[7] Ibid., h. 45-46.
[8] Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (t.tp.: Tafakur, t.t.), h. 116.
[9] Ali
Hasan al-Aridh, Sejarah metodologi
Tafsir (Jakarta, PT. Raja Grapindo Persada,
1994) h.24
[10] Muhammad Afifudin Dimyati, Ilmu Tafsir Usuluhu Wa Manaahijuhu
(Malang: Maktabah Lisan al-Arabi, 2016) h. 112
[11] Muhammad Afifudin Dimyati, Ilmu Tafsir Usuluhu Wa Manaahijuhu
(Malang: Maktabah Lisan al-Arabi, 2016) h. 112
[12] ibid,...h.129
0 komentar:
Posting Komentar