JALALUDDIN AS-SUYUTHI
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada
dasarnya Ketika menggunakan sebuah metode dalam menafsirkan al-Qur’an, seorang
mufassir tentu berpegang pada kaidah yang berlaku, dan penafsirannya ini sangat
diwarnai oleh latar belakang, kecenderungan, serta disiplin ilmu yang ia
kuasai. Kemampuan setiap mufassir dalam memahami lafal dan ungkapan ayat tidak
sama. Hal ini menjadikan setiap penafsir memiliki karakteristik atau corak
tersendiri dalam menafsirkan al-Qur’an. Corak penafsiran sebuah tafsir sangat beragam,
sehingga para peneliti atau para ulama mengelompokkan corak tafsir ini kedalam
lima corak umum, corak tersebut adalah fiqhi, falsafi, ilmi dan adabi
waijtim’ai.
Imam
Jalaluddin as-Suyuthi, adalah mufassir asal Iran yang wafat pada tahun 691 H,
telah menafsirkan al-Qur’an dengan gayanya tersendiri. Dengan karakteristik dan
kapasitas keilmuan yang dimilikinya ia berusaha memenuhi kebutuhan umat manusia
akan penafsiran ayat al-Qur’an pada masa itu. Ia menyumbangkan sebuah tafsir
yang tidak terlalu panjang, namun diyakininya adalah tafsir terbaik yang cocok
dipelajari pada saat itu.
Bertitik
tolak dari latar belakang di atas, penulis tertarik untuk meneliti dan
memaparkan dalam bentuk makalah.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
Biografi Imam Jalaluddin as-Suyuthi?
2.
Apa
metode dan corak yang digunakan oleh Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam menulis
tafsir?
C. Tujuan Masalah
1.
Untuk
mengetahui Biografi as-Suyuthi.
2.
Untuk
mengetahui metode dan corak yang digunakan oleh Imam Jalaluddin as-Suyuthi
dalam menulis tafsir.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Biografi Jalaluddin as-Suyuthi
1.
Tempat
Kelahiran dan Wafat Jalaluddin as-Suyuthi
Nama
lengkap as-Suyuthi adalah Abdul Rahman bin al-Kamal bin Abu Bakar bin Muhammad
bin Sabiq al-Suyuthi. Ada
yang menambahkan Al-Hafizh Abdurrahman ibnu Al- Kamal Abi Bakr bin Muhammad bin
Sabiq ad-Din Ibn Al-Fakhr Utsman bin Nazhir ad-Din al-Hamam al-Khudairi
al-Sayuthi. Dalam kitab Mu’jam al-Mallifin ditambahkan dengan Athaluni
al-Mishri Asy-Syafi-i,
dan diberi gelar Jalaluddin, serta di panggil dengan nama Abdul Fadhal. Sebutan
al-Suyuthi diambil dari nama daerah tempat kelahirannya Suyuth yakni sebuah
daerah pedalaman di Mesir.[1]
Ia
juga diberi gelar Ibnu Al-Kutub karena dilahirkan di antara buku-buku milik
Ayahnya dan karena ketika ia lahir, ia diletakkan ibunya di atas buku. Beliau
hidup pada masa dinasti Mamluk pada abad ke-15 M dan berasal dari keluarga
keturunan Persia yang pada awalnya bermukim di Baghdad kemudian pindah ke
Asyuth. Keluarga ini merupakan orang terhormat pada masanya dan ditempatkan
pada posisi-posisi penting dalam pemerintahan.
Beliau
dilahirkan di sebuah daerah yang terletak di Mesir yakni Suyuth pada awal bulan
Rajab tahun 849 H, dan hidup menjadi seorang piatu setelah ibunya wafat sesaat
setelah beliau lahir, dan setelah usianya baru beranjak lima tahun Ayahnya pun
pergi menyusul Ibunya. Ia hidup di lingkungan yang penuh dengan keilmuan serta
ketakwaan. Kedua matanya terbuka pada keilmuan dan ketakwaan karena Ayahnya
tekun mengajarkan membaca Alquran dan ilmu pengetahuan. Ketika ayahnya
meninggal pada tahun 855 H, ia telah hafal Alquran sampai surat al-Tahrim
padahal usianya masih kurang dari 6 tahun, dan ketika usianya kurang dari 8
tahun, ia telah menghafal seluruh Alquran. Setelah Ayahnya meninggal, ia
dibimbing oleh Muhammad bin Abdul Wahid sampai usia 11 tahun.[2]
Dengan
keadaan yatim piatu tidak membuat dia patah semangat dalam mengarungi samudera
ilmu pengetahuan. Al-Dzahabi menjelaskan bahwa Imam Jalaluddin al-Suyuthi
merupakan orang yang paling alim di zamannya dalam segala disiplin ilmu, baik
yang berkaitan dengan Alquran, hadits, rijal dan gharib al-hadits.
Dalam
sebuah kesempatan Imam Jalaluddin al-Suyuthi pernah mengungkapkan bahwa beliau
hafal hadits sebanyak 200.000 hadits, bahkan beliau pernah mengatakan“sekiranya
saya menemukan lagi hadits yang labih banyak dari jumlah tersebut, saya pasti
bisa menghafalnya”.
Salah satu kelebihan al-Suyuthi adalah beliau pernah bermimpi bertemu dengan
Rasulullah saw, dalam mimpi tersebut beliau sempat bertanya kepada Nabi “apakah
saya termasuk ahli surga? Kemudian Nabi menjawab ya, kemudian beliau bertanya
lagi”apakah
saya akan di’azab
terlebih dahulu ya Rasul? Kemudian Rasul menjawab “tidak”.[3]
Selain
dari menghafal Alquran, hadits beliau juga mampu menghafal berbagai kitab yang
membahas berbagai ilmu pengetahuan, sebagian diantaranya adalah kitab Umdah
al-Ahkam, Alfiyyah ibnu Malik, Minhaj al-Thalibin, dan
lain-lain.
Setelah
al-Suyuthi berusia 40 tahun yakni sekitar tahun 809 H, beliau mulai sibuk
beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah, berpaling dari dunia dan segala
kemewahannya, bahkan beliau sempat tidak mengenal orangorang sekitarnya. Selain
dari beribadah, pada usianya yang seperti itu beliau juga meninggalkan
profesinya sebagai mufti, mengajar, sekaligus mengurangi kegiatannya dalam
menulis. Imam Jalaluddin al-Suyuthi wafat pada malam Jum’at
tanggal 19 Jumadil Awal 911 H/ 1505 M, genap berusia 61 tahun 10 bulan 18 hari,
seminggu sebelum wafat beliau sempat menderita sakit di bagian tangan kiri
sehingga mengakibatkan beliau berpulang ke rahmatullah. Imam Jalaluddin
al-Suyuthi dimakamkan di Husy Qushun di luar Bab Qarafah, Kairo.[4]
Imam
Suyuthi telah menghabiskan umurnya untuk mengajar, memberikan fatwa dan
mengarang. Akan tetapi menjelang usia tuanya ia meninggalkan tugas mengajar dan
berfatwa, dan lebih memilih ber-uzlah dari keramaian dunia untuk beribadah dan
mengarang saja. Imam agung ini meninggal pada usia 61 tahun 10 bulan 18 hari,
yaitu pada malam Jum'at tanggal 19 Jumadil Ula tahun 911 H. Di Khusy Qusun di
luar pintu Qarafah Kairo, Mesir, jasad mulianya disemayamkan. Letaknya
berdekatan dengan makam Imam Syafi’i dan Imam Waqi’ (guru Imam Syafi’i).
Makamnya selalu tertutup, tidak bisa masuk ke dalam kecuali dengan menghubungi
juru kunci. Namun menurut al-Idrusi, "Imam as-Suyuthi meninggal pada waktu
Ashar tanggal 19 Jumadil Ula tahun 911 H/1505 M. Beliau dishalatkan di Masjid Jami’
al-Afariqi di ruangan bawah. Kemudian beliau dimakamkan di sebelah timur pintu
al-Qarafah. Sebelum meninggal dia mengalami sakit selama 3 hari.”[5]
Makam
Imam Suyuthi hanya berjarak ± 3 km dari Universitas Al-Azhar, itu artinya hanya
butuh belasan menit dengan berkendara bus, taxi atau rent car untuk menuju ke
sana. Disamping juga letaknya yang sangat strategis, kurang lebih 50 meter dari
Mahattah Sayyidah Aisyah.
2.
Pendidikan
dan Profesi Jalaluddin al-Suyuthi
Imam
Jalaluddin al-Suyuthi banyak memperoleh pendidikan dari beberapa ulama besar di
zamannya, ketekunan dan kearifannya dalam menuntut ilmu menjadikannya sebagai
ulama yang sangat diperhitungkan dan ahli dalam segala disiplin ilmu
pengetahuan. Diantara ulama yang pernah beliau kunjungi adalah: Imam Sirajuddin
al-Qalyubi dan syaikh al-Islam Ilmu al-Din al-Bulqaini dari keduanya beliau
mempelajari fiqh, ilmu fara’id dari Taqiyuddin al-Samni dan Syihabuddin, ilmu
Hadits dan Bahasa Arab dari Imam
Taqiyuddin al-Hanafi, dalam
ilmu Tafsir beliau
belajar dari ulama besar yang
sangat terkenal dikalangan
madzhab Syafi’i yakni
Imam Jalaluddin al-Mahalli yaitu salah seorang penulis tafsir jalalain.[6]
Selain
dari para imam tersebut, Jalaluddin al-suyuthi juga pernah belajar kitab shahih
muslim kepada al-Syams
al-Syairami, Berkaitan dengan
ilmu kedokteran Imam Jalaluddin
al-Suyuthi belajar dari Muhammad ibn al- Dawani
yakni seorang pakar kedokteran berasal dari Roma yang pindah ke Mesir
Selain memperoleh pengetahuan dari kaum laki-laki, Imam Jalaluddin al- Suyuthi
juga memiliki guru
dari kalangan perempuan,
seperti: Aisyah binti
Ali, Niswan binti Abdullah al-Kanani, Hajar binti Muhammad al-Misriyah.
Dalam
menimba ilmu pengetahuan, Imam Jalaluddin al-Suyuthi selalu berpindah dari
suatu negara ke negara yang lain. Sebagian diantara Negara yang pernah
dikunjungi oleh al-Suyuthi adalah Syam (Syiria), Hijaz, Yaman, India, Maroko,
dan lain-lain. Selain dari sibuk dalam
mengarang berbagai karya tulis, Imam
Jalaluddin al-Suyuthi juga berprofesi sebagai tenaga pengajar di madrasah al-
Syaikhuniqah selama 12 tahun dan menjabat sebagai mufti pada waktu yang sangat
lama.
Sewaktu mengabdi
di al-Syaikhuniqah beliau
sempat mendapatkan gelar
al-ustadz oleh pimpinan madrasah tersebut, dan sempat berpindah tugas ke
madrasah yang lebih terkenal ketika itu yakni al-Bibersiyah, di madrasah ini
beliau juga mendapatkan gelar yang sama, namun gelar tersebut tidak lama
disandangnya, sebab beliau dianggap ulama yang menentangpemerintah Dinasti Mamluk
pada abad ke 15 M yang sewaktu dengan Daulah Jarakisah tahun 789- 992 H.
Sehingga dengan tudingan yang dilontarkan kepada al-Suyuthi akhirnya gelar
al-Ustadz yang disandangkan, beliau tanggalkan pada tahun 906 H.21 Dalam masalah ijtihad, Imam Jalaluddin
al-Suyuthi berpendapat bahwa keilmuan yang dimilikinya sudah sampai kepada
derajat seorang mujtahid. Ungkapan tersebut dikemukakan oleh al-Suyuthi bukan
karena kesombongannya, melainkan karena nikmat keilmuan yang sangat luar biasa
diberikan oleh Allah kepadanya, dan setelah mengemukakan ungkapan tersebut,
al-Suyuthi menambahkan bahwa upaya mencapai keilmuan tersebut bukan karena
kemampuannya, sebab tiada daya upaya kecuali dengan Allah swt.[7]
Beliau
juga berpandangan bahwa pintu ijtihad selalu terbuka di setiap zaman dan tidak
boleh ada zaman yang kosong dari mujtahid, karena nash terbatas, sementara
persoalan yang menuntut jawaban hukum tidak terbatas. Menurut al-Suyuthi ada
beberapa disipllin ilmu yang mesti dikuasai oleh seseorang yang melakukan
ijtihad, diantaranya adalah; ilmu Alquran, ilmu hadits, ilmu ushul fiqh, ilmu
bahasa Arab, ilmu tentang Ijma’ Khilafiyah, ilmu Hitung,
ilmu al-Nafs, dan
ilmu Akhlak. Ilmu-ilmu
tersebut sudah dikuasai oleh
al-Suyuthi dengan metode hafalan.
Pernyataan
Jalaluddin al-Suyuthi tersebut mendapat beberapa pandangan dan kritikan dari
para ulama sezamannya. Sebagian diantara mereka mengatakan bahawa walaupun
al-Suyuthi memiliki keilmuan yang sangat luar biasa akan tetapi beliau tidak
menguasai ilmu mantiq, menurut jumhur ulama salah satu
syarat mutlak yang harus
dimiliki oleh seorang mujtahid hendaklah
ia memiliki pengetahuan
yang mapan dalam
segala disiplin ilmu, tidak terkecuali ilmu mantiq.
Menurut
Abdul Wahab kritikan dilontarkan kepada al-Suyuthi tersebut disebabkan karena
beberapa faktor antara lain: pengakuannya bahwa ia adalah seorang mujtahid dan
pembaharu keagamaan pada abad ke 9 H, disamping itu al-Suyuthi juga mempunyai
pendapat-pendapat fiqh yang tidak sejalan dengan kebanyakan fuqaha pada
masanya, seperti al-Suyuthi berpendapat bahwa kedua orang tua Nabi Muhammad
saw. akan selamat dari siksaan pada hari akhir, orang yang telah meninggal akan
ditanya oleh malaikat sebanyak tujuh kali. Dalam masalah
politik, Jalaluddin al-Suyuthi seolah tidak
ingin melibatkan dirinya dengan urusan yang berkaitan dengan
pemerintahan.
Hal
ini dilihat dari suatu peristiwa dimana beliau pernah mendapat titipan berupa
buah-buahan dan uang sebanyak 1.000 dinar dari pihak pemerintah, namun dari dua
titipan tersebut beliau hanya mengambil buah-buahan dan beliau mengatakan
kepada utusan pemerintah “janganlah anda bersusah payah membawakan bingkisan,
cukuplah hanya kali ini saja, sebab Allah sudah memberikan kecukupan bagi saya
dalam masalah yang seperti ini”. Selain dari peristiwa tersebut beliau juga
sering mendapat undangan dari pihak pemerintah, akan tetapi beliau tidak pernah
hadir untuk memenuhi undangan tersebut.[8]
3.
Aktifitas
Keilmuan dan Perjuangan Imam As-Suyuthi
Tanda-tanda
kealiman dan keilmuan beliau sudah tampak sejak umur 6 tahun. Ketika berusia
kurang dari 8 tahun, beliau telah hafal Alquran, juga kitab al-‘Umdah, Minhaj
dan Alfiyah Ibnu Malik. Pada usia yang cukup muda, beliau telah mulai mengarang
buku. Buku pertama yang menjadi buah karyanya adalah Syarh al-Istifadah wa
al-Basmalah. Buku tersebut kemudian diperlihatkan pada gurunya, Syaikh
Alamuddin al-Bulqini, dan sang guru pun bekenan menulis kata pengantar dalam
kitab tersebut.
Pada
awal tahun 864 H (usia 15 tahun) Imam as-Suyuthi semakin mendalami belajarnya.
Ia belajar ilmu fikih dan nahwu dari beberapa guru dan belajar ilmu faraidh
dari al-Allamah asy-Syaikh Syihabuddin asy-Syarimsahi. Diceritakan bahwa umur
Syaikh tersebut telah melewati lebih dari seratus tahun. Dan dari Syaikh
tersebut, as-Suyuthi belajar ilmu faraidh dari kitab Majmu'. Pada awal tahun
866 H ia mulai mengajar bahasa Arab. [9]
Kendatipun
sudah mengajar dan mengarang namun aktivitas belajar masih giat ia lakukan.
Sebab semakin seseorang belajar semakin merasa bodoh dan semakin tahu betapa
banyak hal yang belum dan mesti diketahui. Oleh karena itu as-Suyuthi juga
belajar kitab Minhaj, Syarh al-Bahjah dan Hasyiyah-nya serta Tafsir Baidhawi
pada Syaikh Syarafuddin al-Munawi.
Dalam
bidang ilmu hadits dan ilmu tata bahasa, Imam Suyuthi berguru pada Syaikh
Taqiyuddin asy-Syibli al-Hanafi selama 4 tahun. Dia juga telah memberikan kata
pengantar dalam kitab Syarh Alfiyyah dan kitab Jam' al-Jawami' dalam ilmu tata
bahasa Arab. Imam Suyuthi juga berguru pada Syaikh Muhyiddin al-Kafiji dan
Syaikh Saifuddin al-Hanafi dalam berbagai disiplin ilmu. Belajar, mengajar dan
mengarang hampir menjadi nafas guru besar ini.
Dalam
pengembaraan mencari ilmu, beliau pernah singgah di Syam, Hijaz, Yaman Hindia,
Maroko dan Takrur. Ketika melaksanakan ibadah haji beliau mengharap berkah
dengan minum air zam-zam dengan tujuan bisa seperti Imam Sirajuddin al-Bulqini
yang alim dalam bidang fikih dan Imam Ibnu Hajar dalam bidang hadits.
Dengan
kapasitas keilmuannya, Imam Suyuthi telah menghasilkan buah karya yang sangat
banyak, mencapai 600 atau lebih karangan dari berbagai ilmu. Beberapa karangan
yang terkenal adalah bidang tafsir dan ilmu tafsir seperti Tafsir Jalalain,
al-Itqan, Lubab an-Nuqul, dll. Karena itulah beliau mendapat julukan Punggawa
Alquran abad ke-8, meski ini bukan satu-satunya julukan yang disematkan beliau.
Menurut
as-Sa’id Mamduh, karya Imam Suyuthi mencapai 725 kitab. Di antaranya ialah
al-Itqan fi 'Ulum al-Quran, ad-Dur al-Mantsur fi at-Tafsir bi al- Ma’tsur,
Lubab an-Nuqul fi Asbab an-Nuzul, Mufahhamat al-Aqran fi Mubhamat al-Quran,
al-Iklil fi Istinbath at-Tanzil, Takammulah Tafsir Syaikh Jalauddin al-
Mahalli, Hasyiyah 'ala Tafsir al-Baidhawi, Tanasuq ad-Durar fi Tanasub as-
Suwar, Syarh asy-Syathibiyyah, al-Alfiyyah fi al-Qiraat al-‘Asyr, Syarh Ibnu
Majah, Tadrib ar-Rawi, ath-Thib an-Nabawi, Is’af al-Mubattha bi ar-Rijal al-
Muwattha, al-'Alai Mashnu'ah fi al-Ahadits al-Maudhu'ah, an-Nakt al-Badi'at
'ala al-Maudhu'at, Syarh ash-Shudur bi Syarh Hal al-Maut wa al-Qubur, al-Budur
as- Safirah 'an Umur al-Akhirah, ar-Riyadh al-‘Aniqah fi Syarh Asma' Khair al-
Khalifah, al-Asybah wa an-Nadzair, Jam’ al-Jawawi', Tarjumah an-Nawawi, Diwan
Syi’r, Tuhfah adz-Dzarfa' bi Asma' al-Khulafa', Tarikh Asyuth, Tarikh al-
Khulafa' dan Badai' az-Zuhur fi Waqai' ad-Duhur.[10]
Dalam
penguasaan ilmu, beliau mengelompokkanya dalam beberapa kelompok. Pertama,
adalah kelompok ilmu-ilmu yang paling beliau kuasai. Kedua, ilmu-ilmu yang
kadar pengusaan beliau di bawah kelompok pertama. Sedang ketiga, ilmu-ilmu
dengan kadar penguasaan yang di bawah kelompok kedua, begitu seterusnya.
Adapun
kelompok pertama ada tujuh ilmu yaitu ilmu tafsir, hadits, fiqih, nahwu,
ma’ani, bayan dan badi’. Kelompok kedua ilmu ushul fiqh, ilmu jadal dan tashrif.
Kelompok ketiga ilmu insya’ tarassul dan ilmu faraidh. Kelompok keempat ilmu
qira’at dan kelompok kelima ilmu kedokteran. Untuk ilmu hisab, beliau
menganggap yang paling sulit dikuasai. Demikian sulitnya ilmu tersebut
diibaratkan
sepeti memikul gunung. Namun demikian, hal ini tidak mengurangi kapasitas
keilmuan beliau karena begitu banyaknya ilmu selain ilmu hisab yang beliau
kuasai. Maka sangat layak beliau mampu melaksanakan ijtihad, karena memang
telah memiliki perangkat dalam berijtihad.
4.
Karomah Imam As-Suyuthi
Syaikh
Syuaib Khatib Masjid Al-Azhar bercerita, ketika Imam Suyuthi sedang sakit yang
menyebabkan kemangkatannya dia datang menjenguknya. Ia mencium kakinya, lalu
meminta supaya Imam Suyuthi berkenan memaafkan kesalahan orang-orang ahli fikih
yang pernah menyakitinya. Dengan tenang Imam Suyuthi menjawab: "Wahai
Saudaraku, sebetulnya aku telah memaafkan mereka ketika pertama kali mereka
menyakitiku. Aku menampakkkan kemarahanku pada mereka, lalu aku menulis
sanggahan untuk mereka. Semua itu aku lakukan supaya mereka tidak berani lagi
menyakiti orang lain." Mendengar kelapangan hati Imam Suyuthi, Syaikh
Syuaib berkomentar: "Memang inilah yang sudah kuduga dari kebaikan
tuanku."
Meskipun
Imam Suyuthi telah memaafkan mereka, tapi masih saja ada dari mereka yang
terkena bencana dari Allah swt. sebagai pelajaran bagi diri mereka sendiri dan
orang lain. Imam asy-Sya'roni pernah bercerita: "Aku melihat salah seorang
yang pernah memukul Imam Suyuthi dengan bakiyak (sandal dari kayu), walaupun sudah
dicoba oleh Allah dengan kefakiran tapi dia masih sangat tamak dengan dunia.
Setiap kali dia melihat orang membawa ayam, gula, madu atau beras, persis
seperti orang gila dia selalu mengatakan: "Juallah barang ini
padaku!" Setelah diambilnya barang tadi, seperti merampas, dia pergi
bersembunyi dan tidak mau membayarnya. Setiap ditagih selalu saja ia mencari-
cari alasan untuk mengulur-ulur. Sampai pemilik barang bosan untuk menagihnya.
Maka si tamak ini akan memikul tanggungan yang jauh lebih besar dan berat kelak
di hari kiamat. Dan ketika orang yang menyakiti Imam Suyuthi ini meninggal, tak
seorangpun yang bersedia mengiringi jenazahnya.".[11]
Suatu
ketika di siang hari, Imam Suyuthi berada di zawiyah (mushala kecil) Syaikh
Abdullah al-Juyusyi di daerah al-Qarrafah. Sang alim nan sufi ini berkata pada
pembantunya: "Aku ingin salat Ashar di Masjidil Haram, tapi dengan syarat
kamu harus menyimpan rahasia ini sampai aku meninggal!" Pembantunya itu
pun menyanggupi. Imam Suyuthi kemudian menggandeng tangan pembantunya seraya
berkata: "Pejamkan matamu." Lalu Imam Suyuthi berlari kecil kira-kira
27 langkah. "Bukalah matamu," perintah Imam Suyuthi kemudian.[12]
Tiba-tiba
mereka sudah sampai di pintu Ma'la. Kemudian mereka ziarah ke makam Sayyidah
Khadijah, Imam Fudhail bin Iyadh, Abdullah bin Uyainah, dan lain-lainnya.
Setelah itu mereka masuk Masjidil Haram, tawaf, shalat dan minum zam-zam. Di
sini Imam Suyuthi mengatakan: "Wahai Fulan, yang mengherankan bukanlah
karena bumi dilipat sehingga kita bisa menempuh jarak ribuan mil dalam beberapa
saat. Tapi yang mengherankan adalah karena orang- orang Mesir yang bermukim di
sini tidak ada yang mengetahui kita." "Baiklah, kita sudah ziarah,
shalat dan tawaf. Kamu mau pulang lagi bersamaku atau menetap di sini sampai
datangnya musim Haji?" Tanya Imam Suyuthi pada pembantunya. "Aku mau
bersama Tuan saja," demikian jawab pembantu itu lugu.
Lalu
mereka pergi ke Ma'la, dan seperti pada keberangkatan tadi Imam Suyuthi
memintanya untuk memejamkan mata. Setelah Imam Suyuthi melangkah beberapa
jengkal, dan mereka membuka mata, tiba-tiba di hadapan mereka adalah zawiyah
Syaikh al-Juyusyi. Adalah Syaikh Abdul Qadir asy-Syadzili, murid Imam Suyuthi,
dalam kitab Tanwir al-Hawalik Imam Suyuthi pernah mengatakan: "Aku pernah
melihat Nabi Saw. dalam keadaan terjaga."
Kemudian
muridnya itu bertanya: "Berapa kali Tuan melihat Nabi Saw. dalam keadaan
terjaga?" "Lebih dari 70 kali," jawab Imam Suyuthi.
5.
Karya
Imam Jalaluddin as-Suyuthi
Imam
as-Suyuthi telah meninggalkan karya-karyanya begitu banyak dalam berbagai
disiplin ilmu, dikarenakan beliau rajin menulis buku semenjak masih sangat
muda. Dalam kitab ”Kasyfudh Dhunun” karya Haji Kholifah dijelaskan bahwa karya
tulis Imam Suyuthi mencapai 540 kitab. Dalam ”An-Nurus Safir ’An Akhbaril
Qurnil Asyir” yang ditulis oleh Syaikh As-Sayyid Abdul Qodir bin Abdulloh
Al-Idrus dijelaskan bahwa arya-karya beliau telah mencapai jumlah hingga 600
karya selain yang dia perbaiki kembali dan yang dicuci (tidak jadi diedarkan)”.
Sedangkan menurut Sayyid Muhammad Abdul Hayy Al-Kattani, jumlah keseluruhan
karya Imam Suyuthi adalah 904 kitab dalam berbagai disiplin ilmu. Di antara
karya-karyanya yang terkenal, antara lain :[13]
a. ”Al-Itqan Fi ’Ulum al-Quran”. Kitab yang
menjadi rujukan utama dalam disiplin ilmu ulumul qur’an, kitab ini sebenarnya
adalah muqoddimah (kata pengantar) kitab tafsir yang beliau berikan judul
”Majma’ul Bahro’in Wa Mathla’ul Badroin Al-Jami’ Li Tahririr Riwayah Wa
Taqrirud Diroyah” satu kitab tafsir yang menggabungkan tafsir bil ma’tsur
(tafsir berdasarkan riwayat) dan tafsir bir ro’yi (tafsir berdasarkan
pemikiran) yang rencananyanya akan beliau tulis namun beliau wafat sebelum menyelsaikan
penulisan kitab tafsir tersebut, para ulama’ mengatakan; seandainya kitab itu
telah ditulis dengan sempurna tentu tak akan ada tandingannya.
b. Ad-Durrul Mantsur fit-Tafsir Bil Ma’tsur.
Kitab tafsir yang mengikuti metode tafsir bil ma’tsur, baru-baru ini kitab ini
dicetak dalam 16 jilid. kitab ini adalah ringkasan dari kitab tafsir yang lebih
besar lagi yang bernama “Tarjumanul Qur’an”, sayangnya sampai sekarang kitab
tarjumanul qur’an tidak diketahui keberadaannya.
c. “Tafsir Jalalain”. Kitab tafsir ini
merupakan kitab tafsir yang dikenal dan diajarkan diseluruh kawasan dunia islam
karena tidak terlalu tebal namun sarat kandungan ilmu. Kitab ini adalah kitab
tafsir yang ditulis oleh Imam Suyuthi yang menyempurnakan kitab tafsir yang
ditulis oleh guru beliau, Imam Mahalli yang wafat sebelum merampungkan
penulisannya, karena itulah kitab ini dikenal dengan nama; “Tafsir Jalalain”
artinya kitab tafsir yang ditulis oleh 2 orang yang agung, 2 orang yang
dimaksud adalah Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuthi.
d. Al-Iklil fi Istinbath at-Tanzil”. Kitab
ini termasuk dalam kategori ”Tafsir Ahkam”, maksudnya yaitu kitab tafsir yang
mengkhususkan pembahasan tafsir dari sudut pandang penunjukan suatu ayat
mengenai satu hukum, sayangnya kitab ini kurang begitu populer dikalangan para
pelajar fiqih madzhab syafi’i di Indonesia.
e. ”Alfiyah As-Suyuthi Fi Ilmil Hadits”.
Judul asli kitab ini adalah ”Nadhmud Duror Fi ’Ilmil Atsar”, namun lebih
populer dengan sebutan ”Alfiyah As-Suyuthi” karena kitab ini memuat 1000 nadhom (bilangan tepatnya 994 nadhom) yang
menjelaskan tentang ilmu hadits.
f. ”Tadribur Rowi Syarah Taqribun Nawawi”.
Kitab ini merupakan syarah dari kitab ”At-Taqrib Wat-Taisir Li Ma’rifati
Sunanil Basyir An-Nadzir” atau yang lebih dikenal dengan sebutan ”Taqrib
An-nawawi” karya Imam Nawawi. Kitab Tadriburt Rowi merupakan salah satu rujukan
utama dalam bidang ilu hadita.
g. “Jami’us Shoghir”. Kitab ini merupakan
kitab hadits yang mencantumkan lebih dari 10.000 hadits yang disusun
berdasarkah huruf hija’iyah, sehingga menjadi salah satu rujukan utama saat
mencari keberadaan matan suatu hadits dengan mencarinya dikitab ini dengan
melihat huruf pertama dari matan hadits tersebut, selain itu keistimewaannya
terletak dari ditunjukkannya dalam kitab apa hadits tersebut ditulis dan
ditambah penjelasan mengenai derajat hadits tersebut yang keduanya diisyaratkan
dengan symbol-simbol huruf dakhir setiap hadita. Kitab ini sebetulnya merupakan
ringkasan dari kitab “Jawami’ull Jawami’” yang lebih dikenal dengan sebutan
“Jamiul Kabir” yang kitabnya mencapai 25 jilid.
h. “Al-Asybah Wan-Nadho’ir Fi Qowa’id Wa Furu’is
Syafi’iyyah”. Kitab ini merupakan kitab induk dalam bidang ilmu qo’idah fiqih
dalam madzhab syafi’i secara khusus dan dalam ilmu fiqih islam secara umum,
selain itu kitab ini juga membahas mengenai beberapa faedah-faedah yang sangat
bermanfaat dalam fiqih sehingga tak heran bila kitab ini diajarkan dihampir
semua pondok pesantren salaf pada tingkat aliyah di pulau jawa khususnya.
i. “Al-hawi Lil-Fatawi”. Kitab ini memuat
fatwa-fatwa beliau dalam berbagai disiplin ilmu, mulai dari masalah-masalah
yang berkaitan dengan tauhid, al-qur’an, hadits, fiqih, nahwu dan tasawuf.
Tasir
Jalalain
adalah satu dari sekian tafsir Alquran yang mudah ditemukan di Indonesia.
Bahkan, Tafsir Jalalain adalah kitab tafsir yang ditempatkan sebagai kitab
pertama yang dibaca dan di kaji oleh para santri yang telah menginjak kajiannya
pada bidang tafsir Alquran di setiap pesantren.
Tafsir
Jalalain adalah suatu kitab tafsir Alquran yang termasuk kepada kelompok tafsir
yang diterbitkan pada ke-9 dan ke-10 Hijriyah. Pada dua abad ini, setidaknya
enam kitab tafsir yang diterbitkan, dan enam kitab di antaranya adalah
merupakan karya Jalaluddin al-Suyuthi (911 H). Keenam kitab tafsir itu adalah:
a.
Tanwirul
Miqbas min Tafsir Ibnu Abbas. Karya Thahir Muhammad ibn Yakub al-Fairuzabady
(817 H).
b.
Al-Jalalain.
Karya Jalaluddin al-Mahally dan Jalaluddin al-Suyuthi (911 H).
c.
Tarjuman
al-Quran. Karya Jalaluddin al-Suyuthi (911 H).
d.
Al
Durrul Mantsur Mukhtashar Tarjuman al-Quran. Karya Jalaluddin al- Suyuthi (911
H)
e.
Al–Iklil
fi Istinbat al-Tanzil. Karya Jalaluddin al-Suyuthi (911 H).
f.
Al-Siraj
al-Munir. Karya al-Khatib al-Syarbiny (977 H).[14]
Tafsir
Jalalain ditulis oleh dua orang penulis: Jalaluddin al-Mahally dan Jalaluddin
al-Suyuthi. Namun, tidak didapatkan informasi yang jelas, sampai dimana
pembagian pekerjaan kedua mufassir ini. Yang ada adalah bahwa bagian awal ditulis
oleh Jalaluddin al-Mahally, dan sisanya dilanjutkan oleh Jalaluddin
al-Suyuthi. Tafsir Jalalain termasuk
kerpada kelompok tafsir bira’yi. Hal ini dicirikan dengan banyak cara
menafsirkan kata-kata dalam Alquran dengan memberi kata- kata lain yang maknanya
semakna atau berdekatan maknanya dengan yang disebutkan dalam Alquran.
Pemilihan kata-kata yang dijadikannya sebagai bahasa tafsir itu, tidak
berdasarkan kepada dalil naqli, tetapi didasarkan kepada pertimbangan akal
(ra’yu). Karenya, tafsir Jalalain ini secara umum dikategorikan sebagai tafsir
bi al-ra’yu, Karena Tafsir Jalalain ini sebagai tafsir bi al-ra’yu, maka dalam
salah satu pendekatan, aspek ra’yu nya dalam tafsir ini bisa menjadi objek
penelitian.[15]
Al-Dawidi
juga menjelaskan bahwa jumlah kitab yang disusun oleh al- Suyuthi mencapai 500
judul.[16]
Sedangkan menurut Brockelmann, seorang orientalis berkebangsaan Jerman mencatat
jumlah karya al-suyuthi 415 buah, ibn Iyas seorang ahli sejarah dan murid
suyuthi menjelaskan jumlah karya Imam Jalaluddin al-Suyuthi sebanyak 600 judul
lebih jauh lagi Syaikh Ahmad al-Syarqawi menjelaskan dalam bukunya bahwa jumlah
kitab yang disusun oleh al-Suyuthi mencapai 725 judul.[17]
Jumlah
kitab tersebut terbagi kepada beberapa bagian disiplin ilmu. Sayyid Muhammad Abdul
Hayy al-Kanani sebagaimana dikutip oleh Mani’ Abdul Halim
mengatakan bahwa Imam
Jalaluddin al-Suyuthi menyusun kitab sebanyak 538 judul, jumlah
tersebut terbagi kedalam beberapa
kelompok, diantaranya: Dalam bidang Tafsir karyanya berjumlah 73, dalam
bidang Hadits sebanyak 205, Musthalah al-Hadits sebanyak 32, dalam bidang Fiqh
sebanyak 71, dalam bidang Ushul Fiqh, Ushuluddin, dan Tashawuf sebanyak 20,
dalam bidang Bahasa Arab sebanyak 66,
dalam bidang Ma’ani, Bayan, dan Badi’ sebanyak 6, kitab yang dihimpun dalam
berbagai disiplin ilmu sebanyak 80, dalam bidang Sejarah sebannyak 30, dan
al-Jami’ 37. Berikut ini penulis akan mengemukakan beberapa nama kitab hasil
karya Imam Jalaluddin al-Suyuthi:[18]
a. Bidang Tafsir
1) Tafsir Turjuman al-Qur’an
2) Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim (Tafsir
Jalalain)
3) Tafsir al-Durr al-Mantsur fi Tafsir bi
al-Ma’tsur.
b. Bidang Ulum al-Qur’an
1) Al-Itqan Fi Ulum al-Qur’an
2) Mutasyabih al-Qur’an
3) Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul
4) Al-Madzhab fi Ma Waqa’a fi al-Qur’an Min
al-Mu’rab
5) Mufhamat al-Aqran fi Mubhamat al-Qur’an.
c. Bidang Hadits
1) Al-Dibaj ’Ala Shahih Muslim bin al-Hajjaj
2) Tanwir al-Hawalik Syarh Muwaththa’ al-Imam
Malik
3) Jami’ al-Shaghir d. Jam’u al-Jawami’
(Jami’ al-Kabir)
4) Misbah al-Zujajah fi Syarh Sunan ibn Majah
d. Bidang Ulum al-Hadits
1) Tadrib al-Rawi a. Al-Alfiyah fi Mushthalah
al-Hadits
2) Itmam al-Dirayah li Qurra’ al-Niqayah
3) Al-Ahadits al-Manfiyyah.
4) Al-Durar al-Munatstsarah fi al-Ahadits
al-Musytaharah
e. Bidang Fiqih
1) Syarh al-Taqrib al-Nawawi
2) Al-Arju fi al-Farji
3) Nahzah al-Julasa’ fi Asya’ar al-Nisa’
f. Bidang Ushul Fiqh
al-Asybah
wa al-Nazha’ir
g. Bidang Bahasa Arab
1) Asbah wa Al-Nazha’ir fi al-Arabiyah
2) Al-Fiyyah fi al-Nahwi
3) Bughiyah al-Wi’at fi Thabaqat al-Nuhat
4) Al-Iqtirah fi Ushul al-Nahwi
5) Al-Taj fi I’rab Musykil al-Minhaj
6) Ham’u al-Hawam’i
7) Al-Muzhir fi ‘Ulum al-Lughat
h. Bidang Sejarah
1) Manaqib Abi Hanifah
2) Manaqib Malik
3) Tarikh Asyuth.
4) Tarikh al-Khulafah
5) Husn al- Muhadarah fi Akhbar Misr wa
al-Qahirah
6.
Pandangan
Ulama Terhadap Tafsir Imam Jalaluddin as-Suyuthi
Muhammad
al-Syaukani (seorang ahli fakih dan ahli hadis) mengatakan, bahwa Imam
Jalaluddin as-Suyuthi adalah seorang imam dalam bidang Alquran dan sunnah serta
menguasai ilmu yang diperlukan untuk melakukan ijtihad. Asy-Syaukani berkata
lagi tentang Imam Jalaluddin As- Suyuthi: “Beliau terkenal menguasai semua
disiplin ilmu (agama), melampaui teman-temannya dan namanya terkenal di
mana-mana dengan sebutan yang baik dan beliau juga telah mengarang kitab-kitab
yang, berguna”.
Ibn
‘Imad (1032 H/1623M-1089H/1679M), seorang ahli fikih dari mazhab hanbali dari
Suriyah mengatakan, bahwa Imam Jalaluddin as-Suyuthi adalah seorang penulis
produktif kitab-kitab berharga 3. Ibnu Ammar Al-Hambali pernah memujinya dengan
perkataannya: “Beliau adalah sandaran peneliti yang cermat, juga mempunyai
banyak karangan yang unggul dan bermanfaat”.
Menurut
as-Shabuni penafsiran Alquran dengan Alquran dalam penafsiran Imam Jalaluddin
as-Suyuthi termasuk jenis tafsir yang paling luhur dan tidak ragu lagi untuk
diterima. Karena Allah swt. lebih mengetahui maksudnya dari pada yang lainnya.
Kitab Allah adalah yang paling benar, tidak terdapat pertentangan antara yang
satu dengan yang lainnya, dari awal sampai akhirnya.[19]
Dengan
demikian nilai dan keandalan tafsir Alqurn dengan Alquran yang ditafsirkan oleh
Imam Jalaluddin as-Suyuthi adalah yang paling baik dan tinggi. Implikasinya,
mufassir semestinya dalam proses kerja menafsirkan dan memahami munasabah satu
ayat dengan ayat yang lainnya, oleh karenanya as-Shabuni menganggap bahwa Imam
Jalaluddin as-Suyuthi merupakan sosok yang pantas untuk diikuti melalui tafsir
bi ma’tsur nya.
Sedangkan
Ulama yang menolak keilmuan Imam Jalaluddin as-Suyuthi adalah; Al-Sakhawi
(831H/1427M-902H/1479M) dalam kitab sejarahnya yang berjudul ad-Dau’ al-Lai’fi
Tarikh Al-Qarn at-Tasiallah, mengatakan bahwa Imam Jalaluddin as-Suyuthi telah
melakukan penciplakan karangan ulama sebelumnya, lalu mengakui sebagai
karangannya sendiri, seperti menciplak karya Ibnu Taimiyah yang membahas
tentang pengharaman ilmu mantiq, selain dari itu Imam Jalaluddin as- Suyuthi
juga banyak menciplak karya Ibnu Hajar al-Asqalani yang membahas tentang ilmu
hadis seperti Nasyr ahli al-Tarikh Ahadis al- Syarh al-Kabir, serta
kitab-kitabnya dalam ilmu-ilmu Alquran seperti al-Lubab an-Nuqul fi Asbab
an-Nuzul.[20]
Kemudian
Al-Sakhawi mengatakan bahwa dalam ad-Durusu al-Mansūr fi Tafsir al-Ma’tsūr
banyak menghadapi kritik keras karena banyak riwayat hadis sahih bercampur
dengan riwayat-riwayat hadis-hadis yang tidak sahih. Selain itu, juga karena
kegiatan yang tidak asing lagi dari orang-orang zindiq dari kaum Yahudi dan
Persia yang berusaha menghancurkan agama Islam dan mengacaukan
ajaran-ajarannya. Lagi pula dengan pengaruh tokoh berbagai macam mazhab dan
golongan yang memiliki kegemaran aneh yaitu menafsirkan Alquran dan
menceritakan asbab an-nuzul menurut sesuka hatinya. Karena itu penafsiran
berdasarkan riwayat hadis dituntut kecermatan dalam mengungkapkan sesuatu,
keketatan dalam menyaring berbagai riwayat hadis dan kehati-hatian serta ketelitian
dalam mengetengahkan isnadnya.[21]
B. Corak Karya Imam Jalaluddin as-Suyuthi
dalam Tafsir
1. Metode Tafsir Jalaluddin as-Suyuthi
Menurut ad-Zahabi sebagaimana juga diakui
Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam muqaddimah kitab, karya ini merupakan kitab
musnad hadis,30 yang berisikan tafsir atau penjelasan terhadap al-Qur’an. Di
dalamnya memuat sekitar 10.000 hadits marfu‘ dan hadits mauqūf,31 diselesaikan
dalam 4 jilid dan diberi nama Tarjumān al-Qurān. .[22]
Kemudian untuk memudahkan pembaca dalam
memahami kitab tersebut, Imam Jalaluddin as-Suyuthi meringkasnya dengan hanya
mencantumkan matnatau teks hadits tanpa menyebutkan sanadnya. Meskipun
demikian, dijelaskan bahwa sumber hadis-hadis tersebut merupakan hasil takhrij
dari kitab-kitab yang mu’tabar, kitab tersebut diberi nama ad-Durr al-Mansūr fi
at-Tafsir al-Ma’sūr. (Mutiara yang bertebaran dalam penafsiran berdasarkan
al-Qurān dan Hadis). Sepanjang penelusuran (crosscheck), penulis tidak
menemukan kitab Tarjumān al-Qurān sebagaimana dimaksud, penulis hanya menemukan
kitab ad-Dūru al- Mansūr fi at-Tafsir
al-Ma’sūr, Mukhtasār Tarjumān al-Qurān dalam beberapa terbitan, di antaranya
yang diterbitkan oleh Darr al-Kutub al-Islami, Beirut, Libanon cetakan tahun
1990 yang terdiri dari 6 jilid besar. Jilid pertama setebal 670 halaman, jilid
kedua 617 halaman, jilid ketiga 646 halaman, jilid keempat 673 halaman, jilid
kelima 762 halaman dan jilid kelima 767 halaman. Selain itu, sepanjang
penelusuran, kitab tersebut belum pernah disitasi dalam karya tafsir dan
karya-karya lainnya. Dalam hal ini, menurut asumsi pribadi penulis, kitab
Tarjumān al-Qurān belum pernah dipublikasikan oleh Imam Jalaluddin as- Suyuthi.
Namun tentunya diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai keberadaan kitab
tersebut.
Periode pertengahan ini berada dalam kurun
waktu yang panjang, karena dimulai dengan munculnya produk penafsiran yang
sistematis dan terkodifikasi dengan baik hingga lahirnya periode kontemporer.
Sebagai konseksuensi dari perkembangan ilmu pengetahuan, kondisi sosio-kultural
dan politik, disamping Alquran itu sendiri yang memang sangat terbuka untuk
ditafsirkan, maka muncul berbagai corak ideologi penafsiran. Meskipun tidak
pernah menyatakan secara langsung, oleh para ulama pada masanya Imam Jalaluddin
as-Suyuthi disebut-sebut berteologi Asy’ariyah hal itu terlihat dalam corak
penafsirannya, selain itu semenjak kecil ia dibesarkan dan menapaki karir dalam
lingkungan madzhab syafi’i.[23]
Secara keseluruhan kitab tafsir (ad-Dūru
al-Mansūr fi at-Tafsir al- Ma’sūr) ini
menggunakan penjelasan Nabi maupun shahabat yang dikutip dan dirujuk dari
kitab-kitab hadits dan tafsir. Menurut ad-Dzahabi riwayat-riwayat dalam kitab
ini diambil dari karya al-Bukhāri (w. 256 H/ 870 M), Muslim (w. 261 H/ 875 M),
an-Nasa’i (w. 303 H/ 915 M), at-Turmuzi (w. 279 H/ 892 M), Ahmad (w. 241 H/ 855
M), Abu Dāwud (275 H/ 892 M), Ibn Jarir (w. 310 H/ 923), Ibn Abi Hātim (w. 327
H), ‘Abd ibn Hamid, Ibn Abi ad-Dunya (w. 281 H/ 894 M).[24]
Senada dengan namanya, karya tafsir ini
tergolong bil-ma’sūr karena secara keseluruhan dalam menafsirkan ayat-ayat
Alquran, tafsir ini menggunakan penjelasan nabi maupun shahabat yang dikutip
dan dirujuk dari kitab-kitab hadits dan tafsir. Sistematika penulisan kitab ini
mengikuti tartib mushāfi (sesuai dengan urutan mushaf), dimulai surat
al-Fātihah dan diakhiri surat an-Nās.
Pada awal pembahasan dicantumkan ayat-ayat
yang hendak dibahas kemudian dikutip riwayat-riwayat yang menjelaskan asbāb
an-nuzūl dan riwayat- riwayat lain yang menunjukkan penjelasan nabi atau
sahabat berkenaan dengan ayat-ayat tersebut secara sistematis. Metode yang
digunakan dalam penyusunan kitab ini adalah metode tahlili dengan bentuk
bil-ma’sūr.
Meskipun dikategorikan dalam metode
tahlili (analitis) dengan menafsirkan secara analitis menurut urutan mushaf,
Imam Jalaluddin as-Suyuthi sama sekali tidak memberikan komentar baik dari sisi
bahasa (kosakata/ lafaz},menjelaskan arti yang dikehendaki, unsur i’jāz dan
balāghah) maupun penjelasan- penjelasan lain seperti aspek kandungan
pengetahuan, hukum, asbāb an-nuzūl, munāsabah dan tambahan ijtihad yang lazim
digunakan oleh para mufassir pada zamannya.
Ia hanya mecantumkan riwayat-riwayat, yang
diawali kata akhraja dilanjutkan dengan hadits atau kata akhraja diikuti
sepintas nama kitab atau pengarang kitab yang dirujuk kemudian riwayat yang
berisi penjelasan terhadap ayat yang terkait tanpa menjelaskan sahih atau
dha’if-nya riwayat tersebut. Namun dilihat dari sisi periwayatan, dengan asumsi
bahwa kitab ini adalah mukhtasār (ringkasan) dari kitab Tarjumān al-Qurān yang
dipotong sanadnya, dengan alasan untuk memudahkan pembaca sebagaimana yang
ditulis oleh ad- Zhahabi, maka dimungkinkan bahwa sanad lengkap dan kualitasnya
dapat ditemui pada kitab tersebut.
Menurut penulis, adalah sebuah ciri khas
yang jarang ditemukan dalam karya-karya kitab tafsir lain, bahwa secara
konsisten Imam Jalaluddin as-Suyuthi menggunakan riwayat-riwayat yang terkait
tanpa sedikit pun ijtihad pribadi. Meskipun secara lahir tidak ada sedikit pun
penggunaan ra’yi, suatu tafsir akan mencerminkan keterbatasan kemampuan
penafsirnya dan tidak akan terlepas dari subyektifitas dirinya sendiri. Ketika
seseorang menafsirkan sebuah ayat, dalam benaknya juga hadir sekian banyak
subyek sebagai rujukannya. Karena tafsir ini tergolong tafsir bil-ma’sūr dengan
menggunakan riwayat Nabi dan shahabat yang langsung menjelaskan hal-hal yang
terkait dengan ayat- ayat Alquran, lebih jauh dapat dikatakan bahwa Imam
Jalaluddin as-Suyuthi hanya berperan
sebagai penghimpun riwayat dan tidak berperan aktif (passif) maka relatif sulit
bagi penulis untuk memberikan penilaian. Namun beberapa hal yang patut untuk
mendapat kritikan adalah adalah sebagai berikut:
Pertama,
secara keseluruhan, tidak ditemukannya kelengkapan sanad yang dapat memperkuat
riwayat yang disampaikan, meskipun pada setiap awal riwayat terdapat rujukan
singkat seperti nama ulama dan kitab-nya yang memang terkenal seperti yang
diakui Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam muqoddimah kitab.
Kedua,
Imama Jalaluddin as-Suyuthi tidak menentukan kualitas riwayat yang dikutip
sehingga dimungkinkan masuknya isra‘iliyyat. Sebagai contoh, dalam menafsirkan
QS. Al-Maidah (5): 22 Imam Jalaluddin as-Suyuthi mengutip riwayat tentang
keengganan kaum Nabi Musa untuk memasuki Palestina karena mendapati orang-orang
yang gagah perkasa (kaum jabbarūn). Hal ini tentunya memunculkan kecurigaan
ketika tidak dibarengi dengan validitas riwayat yang dicantumkan. Selain itu,
dalam riwayat yang dikutipnya terdapat banyak pengulangan (at–tikrar).
Ketiga,
tidak menggunakan ayat-ayat Alquran yang lain sebagai sumber penafsiran
sehingga memberikan kesan bahwa petunjuk Alquran bersifat parsial. Sebagai
contoh dan perbandingan, dalam tafsir Ibn Katsir menafsirkan kata ( هُدٗى لِّلۡمُتَّقِينَ ) dalam QS. Al-Baqarah (2): 2 dengan ayat-ayat
lain yaitu QS. Fushshilat (41): 44, QS. al-Isra’ (17): 82 dan QS. Yunus (10):
82.[25]
Sedangkan dalam Tafsir ad-Durr al-Mans|ur lebih menjelaskan apa yang yang
disebut dan dipahami sebagai ( هُدٗى لِّلۡمُتَّقِينَ ) tentunya melalui riwayat-riwayat yang
berkaitan secara berurutan.[26]
Keempat,
sepi dari penggunaan ijtihad & aplikasi penafsiran terhadap kajian tertentu
baik dari sisi bahasa (kosakata/ lafaz}, menjelaskan arti yang dikehendaki,
unsur i’jāz dan balaghah) maupun penjelasan-penjelasan lain seperti aspek
kandungan pengetahuan, hukum asbāb an-nuzūl, munāsabah dan tambahan ijtihad
yang lazim digunakan oleh para mufassir. Karena secara keseluruhan berisi
riwayat, maka objek material tafsir ini adalah riwayat-riwayat hadits.
Sedangkan dalam proses penelitian hadis, yang menjadi awal penelitian adalah
kaidah kesahihan yang telah dikemukakan oleh para ulama. Kaidah yang dimaksud
adalah segala syarat atau kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu hadis yan berkualitas
sahih.
Selain serentetan metodologi (kaidah) yang
digunakan untuk menentukan kualitas sanad, juga digunakan metodologi untuk
menentukan kualitas matan hadis, karena kualitas sanad dan matan tidak selalu
sejalan, Ada kalanya sanad-nya shahi akan tetapi matannya mardūd. Dengan
melakukan penelitian sanad, dapat diketahui kualitas periwayatan sebuah hadis.
Sedangkan dengan melakukan penelitian matan, dapat diketahui matan sebuah
hadits tersebut maqbūl atau mardūd (diterima atau ditolak). Selain itu, standar
untuk menentukan status hadis yang berkaitan dengan akidah, ibadah dan muamalah
jelas berbeda dengan standar yang berkaitan dengan yang lainnya. Ada yang
terkesan longgar (mutasāhil), moderat (mutawāsit}) dan ketat (mutasyaddid).
Sementara dari sisi penunjukannya
(dalālah), secara umum para ulama sepakat bahwa hadis dapat dijadikan hujjah,
namun dalam beberapa hal berkenaan dengan hadis secara keseluruhan masih
terjadi diskusi panjang terhadap jenis- jenis hadis yang dapat dijadikan
hujjah. Tidak diragukan lagi semua ulama berpendapat bahwa hadis mutawātir
dapat dijadikan hujjah, namun terhadap hadis ahād masih meinmbulkan berbagai
perbedaan pendapat. Ada yang menolak menjadikan hujjah dan ada yang menerimanya
dengan persyaratan bahwa hadis tersebut bernilai sahh dan h}asan serta tidak
dha’if.
2. Sumber penafsiran Jalaluddin as-Suyuthi
Sedangkan apabila ditinjau dari segi
sumber, kitab Durr al-Matsur dan Tafsir jalalain ini menggunakan
pendekatan tafsir bi al-ma’tsūr dan bi alra’yi sekaligus. Yakni
pengambilan sumber panafsirannya berasal dari ayat al- Qur’an itu sendiri,
hadits Nabi saw, pendapat para sahabat dan tabi’in, dan musnad, dan juga
dari mushannaf-mushannaf yang menghimpun pendapat- pendapat para sahabat dan
tabi’in. seperti Mushannaf Abdurrazzaq, Ibnu Abdi Syaibah, dan kitab-kitab
tafsir bi al-Ma’tsur yang bersambung, seperti tafsir Ibnu Jarir al-Thabari,
Ibnu Abi Hatim, Ibnu Mundzir, Ibnu Mardawaih, Abd bin Hamid dan lain-lain. serta
tidak meninggalkan ra’yunya sendiri. Terkadang beliau menafsirkan
al-Qur’an hanya dengan bersandar pada akal pikirannya sendiri dan memasukkan
begitu saja kedalam tafsirnya.[27]
Sistematika tafsir ini mengikuti tartib
mushhaf, begitu juga dengan ayat-ayat sumpah. Pada awal pembahasan dicantumkan
ayat-ayat yang hendak dibahas kemudian dikutip riwayat-riwayat yang menjelaskan
asbabun nuzul dan riwayat-riwayat lain yang menunjukkan penjelasan Nabi atau
sahabat berkenaan dengan ayat-ayat secara sistematis.
Metode yang digunakan dalam penyusunan
kitab ini adalah metode tahlili dengan bi al-ma’tsur. Dalam menyusun tafsirnya,
Imam Jalaluddin as-Suyuthi mempunyai metode yang terbilang berbeda dari
lazimnya mufassir bi al-Ma’tsur lainnya. Bila disimpulkan, metode Imam
Jalaluddin as-Suyuthi dalam kitab Durr al-Mantsur maka sebagai berikut:
a. Beliau di dalam tafsirnya memuat
riwayat-riwayat dari para ulama salaf tanpa menerangkan kedudukan riwayat
tersebut, apakah shahih atau dha’if, dengan kata lain riwayat tersebut masih
tercampur baur akan kualitasnya. Beliau juga tidak menjelaskan atau mengkritik
riwayat- riwayat tersebut, yang menurut pengakuan beliau riwayat-riwayat
tersebut bersumber dari kitab-kitab yang ditakhrij. Di antara kitab-kitab
tersebut adalah: Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan an-Nasa’I, Abu Dawud,
al-Tirmidzi, dan Ahmad bin Hambal, serta kitab-kitab yang lainnya seperti yang
ditulis Ibnu Jarir al-Thabari, Ibn Abi Hatim, Abdullah bin Hamid, Ibn Abi
Dunya, Abdurrazzaq, Ibnu Abi Syaibah, Ibn Mundzir, Ibn Mardawaih dan lain-lain.
b. Dalam riwayat-riwayat atau atsar dan
hadis-hadis yang menjadi penafsiran bagi ayat, Imam as-Suyuthi meringkas
sebagian jalur periwayatnya (sanad).
c. Pada penafsirannya as-Suyuthi konsisten
memberi penjelasan terhadap ayat yang dibahas dengan riwayat-riwayat hadis
maupun atsar. Beliau tidak menafsirkan ayat dengan pemikiran pribadinya atau
pendapat- pendapat yang menguatkan periwayatan tersebut, sebagaimana yang telah
dilakukan Ibnu Jarir dan Ibnu Katsir. Itulah yang kami maksud dengan berbeda
dari mufassir bi al-Ma’tsur lainnya. Imam as-Suyuthi sama sekali tidak
memberikan komentar baik dari sisi bahasa, unsur I’jaz, dan balaghah, maupun
penjelasan-penjelasan lain seperti aspek kandungan pengetahuan, hukum, serta
tambahan ijtihad yang lazim digunakan oleh para mufassir pada zamannya. Belian
hanya mencantumkan riwayat- riwayat yang diawali dengan kata akhraja
dilanjutkan dengan redaksi yang terkait dengan penjelasan ayat.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pemaparan makalah ini ada beberapa
halyang dapat penulis simpulkan, yaitu sebagai berikut :
1.
Nama
lengkap as-Suyuthi adalah Abdul Rahman bin al-Kamal bin Abu Bakar bin Muhammad
bin Sabiq al-Suyuthi.
2.
Beliau
dilahirkan di sebuah daerah yang terletak di Mesir yakni Suyuth pada awal bulan
Rajab tahun 849 H.
3.
Karya
beliau telah mencapai jumlah hingga 600 karya.
4.
Karyanya
tafsir ad-Dūru al-Mansūr fi at-Tafsir
al- Ma’sūr ini menggunakan penjelasan Nabi maupun shahabat yang dikutip dan
dirujuk dari kitab-kitab hadits dan tafsir.
5.
Menggunakan
metode tahlili (analitis) dengan menafsirkan secara analitis menurut urutan
mushaf.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad,
Qadi Syihab al-Din. Hasyiyah al-Syihab ‘ala Tafsir al-Baidhawiy. Beirut:
Daar al-Kitab Ilmiyah, 1997.
Ad-Dinawari,
Ahmad Bin Muhammad. Thabaqah Al-Mufasirin. Beirut: Dār al-Kitāb,1999.
Al-Qaththan,
Manna’. Mabahits fi Ulum al-Qu’an. Kairo: Maktabah Wahbah, 2007.
Syuhbah,
Muhammad Ibnu Muhammad Abu, Al-Israiliyyat wa Al-Maudhu’at fi
Kutub al-Tafsir cet.IV,
Mesir: Maktabah al-Sunnah, 1408.
http://ar.wikipedia.org/wiki/
عبد
لله بن عمر البیضاوي ,
As-Suyuthi,Jalaluddin, al-Durr al-Mantsur fi
al-Tafsir al-Ma’tsur. Bairut: Darr al- Fikr,
1994.
As-Suyuthi,Jalaluddin, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an
Cet.I. Mesir: Darr al-Salam, 2008.
Al-Shalih,Shubhi, Mabahits fi Ulum Alquran. Beirut;
Dár al-‘Ilm li al-Malayin, 1977
Abd al-Rahman,Aisyah Binti al-Sayathi’, al-Tafsir
al-Bayani li al-Quran al- Karim. Kairo: Dar al-Ma‟arif. 1977.
Amin
Ghofur,Saiful dan M.Alaika Salamullah(Ed.), Profil Para
Mufassir al- Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008.
Abdul Halim Mahmud,Mani’, Manhaj al-Mufassirin,
penerj Faisal Saleh dan Syahdianor, Cet.I. Jakarta: PT.
Raja Grapindo Persada, 2006.
[1] Jalaluddin al-Suyuthi, al-Itqan
fi Ulum al-Qur’an (Mesir: Dár al-Salam,2008), Cet. Ke- 1, juz I, hal. 6-7.
[2] Ahmad Bin Muhammad
Ad-Dinawari, Thabaqah Al-Mufasirin (Beirut: Dār al-Kitāb,1999), hal.67
[3] Abi al-Falah Abdu al-Hayy
ibn Ahmad bin Muhammad ibn al-Imad, Syadzarat
al- Dzahab, Juz VIII, hal. 52. Diakses melalui Maktabah Syamilah.
[4] Mani’Abdul Halim Ahmad, Manhaj
al-Mufassirin, Terj: Faisal Saleh dan Syahdianor (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2006), Cet.1, h. 126
[5] Manna’ Khalil al-Qaththan, Mabahits fi Ulum
al-Qur’an; Penerj: Ainur Rafiq el- Muzni) Cet.II (Jakarta, Pustaka al-Kautsar,
2007), h. 109.
[6] Ahmad Bin Muhammad
Ad-Dinawari, Thabaqah Al-Mufasirin (Beirut: Dār al-Kitāb,1999), hal.67
[7] Ahmad Bin Muhammad
Ad-Dinawari, Thabaqah Al-Mufasirin (Beirut: Dār al-Kitāb,1999), hal.67
dan Saiful Amin Ghofur,
M.Alaika Salamullah(Ed.),
Profil Para Mufassir al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka
Insan Madani, 2008), h. 112.
[8] Ahmad Bin Muhammad
Ad-Dinawari, Thabaqah Al-Mufasirin (Beirut: Dār al-Kitāb,1999), hal.67
[9] Ahmad Bin Muhammad
Ad-Dinawari, Thabaqah Al-Mufasirin (Beirut: Dār al-Kitāb,1999), hal.67
[10] Ahmad Bin Muhammad
Ad-Dinawari, Thabaqah Al-Mufasirin (Beirut: Dār al-Kitāb,1999), hal.67
[11] Mani ‘Abdul Halim Mahmud, Manhaj al-Mufassirin, penerj Faisal
Saleh dan Syahdianor, Cet.I ( Jakarta:
PT. Raja Grapindo Persada, 2006), h. 83.
[12] Jalaluddin al-Suyuthi, al-Durr al-Mantsur fi al-Tafsir al-Ma’tsur (Bairut: Darr al-
Fikr, 1994), Juz1, h. 94.
[13]
http://ar.wikipedia.org/wiki/ عبد لله بن عمر , diakses
pada 31 Oktober 2017.
[14] Ahmad Bin Muhammad
Ad-Dinawari, Thabaqah Al-Mufasirin (Beirut: Dār al-Kitāb,1999), hal.67
[15] Muhammad Husain
al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassrun
Cet. 8. Juz I (Mesir: Maktabah Wahbah,
2003), h. 84.
[16] Imam Jalaluddin
al-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an Cet.1
Juz I (Mesir: Dár al- Salam, 2008), h.
10.
[17] Saiful Amin
Ghofur, M.Alaika Salamullah(Ed.), Profil Para
Mufassir al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008), h. 113.
[18] Imam Jalaluddin
al-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an
Cet.1 Juz I (Mesir: Dár al- Salam,
2008), h. 19-21
[19] Muhammmad ali, As-shabuni,
Al-Tibyan Fi ‘Ulum Al-Qur’an( Beirut; Dár al-Fikr, 1985), h. 24.
[20] Ahmad Bin Muhammad
Ad-Dinawari, Thabaqah Al-Mufasirin (Beirut: Dār al-Kitāb,1999), hal.67
[21] Ahmad Bin Muhammad
Ad-Dinawari, Thabaqah Al-Mufasirin (Beirut: Dār al-Kitāb,1999), hal.67
[22] Al-Dzahabi, op.cit., hal.254. ad-Zháhabi, at-Tafsir wa al-Mufassirūn, h.
252. Lihat juga Imam Jalaluddin as-Suyuthi ad-Dūr al-Mansūr fi at-Tafsir al-Ma’sūr (Beirut: Dār al-Kutub
al-Islami, 1990), Jilid I, h. 14.
[23] Imam Jalaluddin as-Suyuthi, at-Tahbir fi ‘Ilm
at-Tafsir, h. 29-31.
[24] Muhammad Husain
al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassrun Cet. 8. Juz I (Mesir: Maktabah
Wahbah, 2003), h. 254.
[25] Al-Hāfiz Ibn Kasir, Tafsir
al-Qurān al-Azim (Beirut: Maktabah an-Nūr al-‘Ilmiyyah, 1991), Jilid I, h.
37-38
[26] Imam Jalaluddin
as-Suyuthi, ad-Durr al-Mansūr fi Tafsir al-Ma’tsūr, Jilid I, h. 57.
[27] Ibid,,,. hal. 346.
0 komentar:
Posting Komentar