Senin, 19 Juli 2021

JALALUDDIN AS-SUYUTHI

JALALUDDIN AS-SUYUTHI

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Pada dasarnya Ketika menggunakan sebuah metode dalam menafsirkan al-Qur’an, seorang mufassir tentu berpegang pada kaidah yang berlaku, dan penafsirannya ini sangat diwarnai oleh latar belakang, kecenderungan, serta disiplin ilmu yang ia kuasai. Kemampuan setiap mufassir dalam memahami lafal dan ungkapan ayat tidak sama. Hal ini menjadikan setiap penafsir memiliki karakteristik atau corak tersendiri dalam menafsirkan al-Qur’an. Corak penafsiran sebuah tafsir sangat beragam, sehingga para peneliti atau para ulama mengelompokkan corak tafsir ini kedalam lima corak umum, corak tersebut adalah fiqhi, falsafi, ilmi dan adabi waijtim’ai.

Imam Jalaluddin as-Suyuthi, adalah mufassir asal Iran yang wafat pada tahun 691 H, telah menafsirkan al-Qur’an dengan gayanya tersendiri. Dengan karakteristik dan kapasitas keilmuan yang dimilikinya ia berusaha memenuhi kebutuhan umat manusia akan penafsiran ayat al-Qur’an pada masa itu. Ia menyumbangkan sebuah tafsir yang tidak terlalu panjang, namun diyakininya adalah tafsir terbaik yang cocok dipelajari pada saat itu.

Bertitik tolak dari latar belakang di atas, penulis tertarik untuk meneliti dan memaparkan dalam bentuk makalah.

B.     Rumusan Masalah

1.         Bagaimana Biografi Imam Jalaluddin as-Suyuthi?

2.         Apa metode dan corak yang digunakan oleh Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam menulis tafsir?

C.    Tujuan Masalah

1.         Untuk mengetahui Biografi as-Suyuthi.

2.         Untuk mengetahui metode dan corak yang digunakan oleh Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam menulis tafsir.

 


 

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Biografi Jalaluddin as-Suyuthi

1.         Tempat Kelahiran dan Wafat Jalaluddin as-Suyuthi

Nama lengkap as-Suyuthi adalah Abdul Rahman bin al-Kamal bin Abu Bakar bin Muhammad bin Sabiq al-Suyuthi. Ada yang menambahkan Al-Hafizh Abdurrahman ibnu Al- Kamal Abi Bakr bin Muhammad bin Sabiq ad-Din Ibn Al-Fakhr Utsman bin Nazhir ad-Din al-Hamam al-Khudairi al-Sayuthi. Dalam kitab Mu’jam al-Mallifin ditambahkan dengan Athaluni al-Mishri Asy-Syafi-i, dan diberi gelar Jalaluddin, serta di panggil dengan nama Abdul Fadhal. Sebutan al-Suyuthi diambil dari nama daerah tempat kelahirannya Suyuth yakni sebuah daerah pedalaman di Mesir.[1]

Ia juga diberi gelar Ibnu Al-Kutub karena dilahirkan di antara buku-buku milik Ayahnya dan karena ketika ia lahir, ia diletakkan ibunya di atas buku. Beliau hidup pada masa dinasti Mamluk pada abad ke-15 M dan berasal dari keluarga keturunan Persia yang pada awalnya bermukim di Baghdad kemudian pindah ke Asyuth. Keluarga ini merupakan orang terhormat pada masanya dan ditempatkan pada posisi-posisi penting dalam pemerintahan.

Beliau dilahirkan di sebuah daerah yang terletak di Mesir yakni Suyuth pada awal bulan Rajab tahun 849 H, dan hidup menjadi seorang piatu setelah ibunya wafat sesaat setelah beliau lahir, dan setelah usianya baru beranjak lima tahun Ayahnya pun pergi menyusul Ibunya. Ia hidup di lingkungan yang penuh dengan keilmuan serta ketakwaan. Kedua matanya terbuka pada keilmuan dan ketakwaan karena Ayahnya tekun mengajarkan membaca Alquran dan ilmu pengetahuan. Ketika ayahnya meninggal pada tahun 855 H, ia telah hafal Alquran sampai surat al-Tahrim padahal usianya masih kurang dari 6 tahun, dan ketika usianya kurang dari 8 tahun, ia telah menghafal seluruh Alquran. Setelah Ayahnya meninggal, ia dibimbing oleh Muhammad bin Abdul Wahid sampai usia 11 tahun.[2]

Dengan keadaan yatim piatu tidak membuat dia patah semangat dalam mengarungi samudera ilmu pengetahuan. Al-Dzahabi menjelaskan bahwa Imam Jalaluddin al-Suyuthi merupakan orang yang paling alim di zamannya dalam segala disiplin ilmu, baik yang berkaitan dengan Alquran, hadits, rijal dan gharib al-hadits.

Dalam sebuah kesempatan Imam Jalaluddin al-Suyuthi pernah mengungkapkan bahwa beliau hafal hadits sebanyak 200.000 hadits, bahkan beliau pernah mengatakansekiranya saya menemukan lagi hadits yang labih banyak dari jumlah tersebut, saya pasti bisa menghafalnya. Salah satu kelebihan al-Suyuthi adalah beliau pernah bermimpi bertemu dengan Rasulullah saw, dalam mimpi tersebut beliau sempat bertanya kepada Nabi “apakah saya termasuk ahli surga? Kemudian Nabi menjawab ya, kemudian beliau bertanya lagi”apakah saya akan diazab terlebih dahulu ya Rasul? Kemudian Rasul menjawab tidak.[3]

Selain dari menghafal Alquran, hadits beliau juga mampu menghafal berbagai kitab yang membahas berbagai ilmu pengetahuan, sebagian diantaranya adalah kitab Umdah al-Ahkam, Alfiyyah ibnu Malik, Minhaj al-Thalibin, dan lain-lain.

Setelah al-Suyuthi berusia 40 tahun yakni sekitar tahun 809 H, beliau mulai sibuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah, berpaling dari dunia dan segala kemewahannya, bahkan beliau sempat tidak mengenal orangorang sekitarnya. Selain dari beribadah, pada usianya yang seperti itu beliau juga meninggalkan profesinya sebagai mufti, mengajar, sekaligus mengurangi kegiatannya dalam menulis. Imam Jalaluddin al-Suyuthi wafat pada malam Jum’at tanggal 19 Jumadil Awal 911 H/ 1505 M, genap berusia 61 tahun 10 bulan 18 hari, seminggu sebelum wafat beliau sempat menderita sakit di bagian tangan kiri sehingga mengakibatkan beliau berpulang ke rahmatullah. Imam Jalaluddin al-Suyuthi dimakamkan di Husy Qushun di luar Bab Qarafah, Kairo.[4]

Imam Suyuthi telah menghabiskan umurnya untuk mengajar, memberikan fatwa dan mengarang. Akan tetapi menjelang usia tuanya ia meninggalkan tugas mengajar dan berfatwa, dan lebih memilih ber-uzlah dari keramaian dunia untuk beribadah dan mengarang saja. Imam agung ini meninggal pada usia 61 tahun 10 bulan 18 hari, yaitu pada malam Jum'at tanggal 19 Jumadil Ula tahun 911 H. Di Khusy Qusun di luar pintu Qarafah Kairo, Mesir, jasad mulianya disemayamkan. Letaknya berdekatan dengan makam Imam Syafi’i dan Imam Waqi’ (guru Imam Syafi’i). Makamnya selalu tertutup, tidak bisa masuk ke dalam kecuali dengan menghubungi juru kunci. Namun menurut al-Idrusi, "Imam as-Suyuthi meninggal pada waktu Ashar tanggal 19 Jumadil Ula tahun 911 H/1505 M. Beliau dishalatkan di Masjid Jami’ al-Afariqi di ruangan bawah. Kemudian beliau dimakamkan di sebelah timur pintu al-Qarafah. Sebelum meninggal dia mengalami sakit selama 3 hari.”[5]

Makam Imam Suyuthi hanya berjarak ± 3 km dari Universitas Al-Azhar, itu artinya hanya butuh belasan menit dengan berkendara bus, taxi atau rent car untuk menuju ke sana. Disamping juga letaknya yang sangat strategis, kurang lebih 50 meter dari Mahattah Sayyidah Aisyah.

2.         Pendidikan dan Profesi Jalaluddin  al-Suyuthi

Imam Jalaluddin al-Suyuthi banyak memperoleh pendidikan dari beberapa ulama besar di zamannya, ketekunan dan kearifannya dalam menuntut ilmu menjadikannya sebagai ulama yang sangat diperhitungkan dan ahli dalam segala disiplin ilmu pengetahuan. Diantara ulama yang pernah beliau kunjungi adalah: Imam Sirajuddin al-Qalyubi dan syaikh al-Islam Ilmu al-Din al-Bulqaini dari keduanya beliau mempelajari fiqh, ilmu fara’id dari Taqiyuddin al-Samni dan Syihabuddin, ilmu Hadits dan Bahasa Arab dari Imam  Taqiyuddin  al-Hanafi,  dalam  ilmu  Tafsir  beliau  belajar dari  ulama besar   yang   sangat   terkenal   dikalangan   madzhab   Syafi’i   yakni   Imam Jalaluddin al-Mahalli yaitu salah seorang penulis tafsir jalalain.[6]

Selain dari para imam tersebut, Jalaluddin al-suyuthi juga pernah belajar kitab shahih muslim  kepada  al-Syams  al-Syairami,  Berkaitan  dengan  ilmu  kedokteran Imam Jalaluddin al-Suyuthi belajar dari Muhammad ibn al- Dawani  yakni seorang pakar kedokteran berasal dari Roma yang pindah ke Mesir Selain memperoleh pengetahuan dari kaum laki-laki, Imam Jalaluddin al- Suyuthi juga  memiliki  guru  dari  kalangan  perempuan,  seperti:  Aisyah  binti  Ali, Niswan binti Abdullah al-Kanani, Hajar binti Muhammad al-Misriyah.

Dalam menimba ilmu pengetahuan, Imam Jalaluddin al-Suyuthi selalu berpindah dari suatu negara ke negara yang lain. Sebagian diantara Negara yang pernah dikunjungi oleh al-Suyuthi adalah Syam (Syiria), Hijaz, Yaman, India, Maroko, dan lain-lain.  Selain dari sibuk dalam mengarang berbagai karya tulis,  Imam Jalaluddin al-Suyuthi juga berprofesi sebagai tenaga pengajar di madrasah al- Syaikhuniqah selama 12 tahun dan menjabat sebagai mufti pada waktu yang sangat lama.

Sewaktu  mengabdi  di  al-Syaikhuniqah  beliau  sempat  mendapatkan gelar al-ustadz oleh pimpinan madrasah tersebut, dan sempat berpindah tugas ke madrasah yang lebih terkenal ketika itu yakni al-Bibersiyah, di madrasah ini beliau juga mendapatkan gelar yang sama, namun gelar tersebut tidak lama disandangnya, sebab beliau dianggap ulama yang menentangpemerintah Dinasti Mamluk pada abad ke 15 M yang sewaktu dengan Daulah Jarakisah tahun 789- 992 H. Sehingga dengan tudingan yang dilontarkan kepada al-Suyuthi akhirnya gelar al-Ustadz yang disandangkan, beliau tanggalkan pada tahun 906 H.21   Dalam masalah ijtihad, Imam Jalaluddin al-Suyuthi berpendapat bahwa keilmuan yang dimilikinya sudah sampai kepada derajat seorang mujtahid. Ungkapan tersebut dikemukakan oleh al-Suyuthi bukan karena kesombongannya, melainkan karena nikmat keilmuan yang sangat luar biasa diberikan oleh Allah kepadanya, dan setelah mengemukakan ungkapan tersebut, al-Suyuthi menambahkan bahwa upaya mencapai keilmuan tersebut bukan karena kemampuannya, sebab tiada daya upaya kecuali dengan Allah swt.[7]

Beliau juga berpandangan bahwa pintu ijtihad selalu terbuka di setiap zaman dan tidak boleh ada zaman yang kosong dari mujtahid, karena nash terbatas, sementara persoalan yang menuntut jawaban hukum tidak terbatas. Menurut al-Suyuthi ada beberapa disipllin ilmu yang mesti dikuasai oleh seseorang yang melakukan ijtihad, diantaranya adalah; ilmu Alquran, ilmu hadits, ilmu ushul fiqh, ilmu bahasa Arab, ilmu tentang Ijma’ Khilafiyah, ilmu  Hitung,  ilmu  al-Nafs,  dan  ilmu  Akhlak.  Ilmu-ilmu  tersebut  sudah dikuasai oleh al-Suyuthi dengan metode hafalan.

Pernyataan Jalaluddin al-Suyuthi tersebut mendapat beberapa pandangan dan kritikan dari para ulama sezamannya. Sebagian diantara mereka mengatakan bahawa walaupun al-Suyuthi memiliki keilmuan yang sangat luar biasa akan tetapi beliau tidak menguasai ilmu mantiq, menurut jumhur ulama salah  satu  syarat  mutlak  yang harus  dimiliki  oleh  seorang mujtahid  hendaklah  ia  memiliki  pengetahuan  yang  mapan  dalam  segala disiplin ilmu, tidak terkecuali ilmu mantiq.

Menurut Abdul Wahab kritikan dilontarkan kepada al-Suyuthi tersebut disebabkan karena beberapa faktor antara lain: pengakuannya bahwa ia adalah seorang mujtahid dan pembaharu keagamaan pada abad ke 9 H, disamping itu al-Suyuthi juga mempunyai pendapat-pendapat fiqh yang tidak sejalan dengan kebanyakan fuqaha pada masanya, seperti al-Suyuthi berpendapat bahwa kedua orang tua Nabi Muhammad saw. akan selamat dari siksaan pada hari akhir, orang yang telah meninggal akan ditanya oleh malaikat sebanyak tujuh kali. Dalam   masalah   politik,   Jalaluddin   al-Suyuthi seolah   tidak   ingin melibatkan dirinya dengan urusan yang berkaitan dengan pemerintahan.

Hal ini dilihat dari suatu peristiwa dimana beliau pernah mendapat titipan berupa buah-buahan dan uang sebanyak 1.000 dinar dari pihak pemerintah, namun dari dua titipan tersebut beliau hanya mengambil buah-buahan dan beliau mengatakan kepada utusan pemerintah “janganlah anda bersusah payah membawakan bingkisan, cukuplah hanya kali ini saja, sebab Allah sudah memberikan kecukupan bagi saya dalam masalah yang seperti ini”. Selain dari peristiwa tersebut beliau juga sering mendapat undangan dari pihak pemerintah, akan tetapi beliau tidak pernah hadir untuk  memenuhi undangan tersebut.[8]

3.         Aktifitas Keilmuan dan Perjuangan Imam As-Suyuthi

Tanda-tanda kealiman dan keilmuan beliau sudah tampak sejak umur 6 tahun. Ketika berusia kurang dari 8 tahun, beliau telah hafal Alquran, juga kitab al-‘Umdah, Minhaj dan Alfiyah Ibnu Malik. Pada usia yang cukup muda, beliau telah mulai mengarang buku. Buku pertama yang menjadi buah karyanya adalah Syarh al-Istifadah wa al-Basmalah. Buku tersebut kemudian diperlihatkan pada gurunya, Syaikh Alamuddin al-Bulqini, dan sang guru pun bekenan menulis kata pengantar dalam kitab tersebut.

Pada awal tahun 864 H (usia 15 tahun) Imam as-Suyuthi semakin mendalami belajarnya. Ia belajar ilmu fikih dan nahwu dari beberapa guru dan belajar ilmu faraidh dari al-Allamah asy-Syaikh Syihabuddin asy-Syarimsahi. Diceritakan bahwa umur Syaikh tersebut telah melewati lebih dari seratus tahun. Dan dari Syaikh tersebut, as-Suyuthi belajar ilmu faraidh dari kitab Majmu'. Pada awal tahun 866 H ia mulai mengajar bahasa Arab. [9]

Kendatipun sudah mengajar dan mengarang namun aktivitas belajar masih giat ia lakukan. Sebab semakin seseorang belajar semakin merasa bodoh dan semakin tahu betapa banyak hal yang belum dan mesti diketahui. Oleh karena itu as-Suyuthi juga belajar kitab Minhaj, Syarh al-Bahjah dan Hasyiyah-nya serta Tafsir Baidhawi pada Syaikh Syarafuddin al-Munawi.

Dalam bidang ilmu hadits dan ilmu tata bahasa, Imam Suyuthi berguru pada Syaikh Taqiyuddin asy-Syibli al-Hanafi selama 4 tahun. Dia juga telah memberikan kata pengantar dalam kitab Syarh Alfiyyah dan kitab Jam' al-Jawami' dalam ilmu tata bahasa Arab. Imam Suyuthi juga berguru pada Syaikh Muhyiddin al-Kafiji dan Syaikh Saifuddin al-Hanafi dalam berbagai disiplin ilmu. Belajar, mengajar dan mengarang hampir menjadi nafas guru besar ini.

Dalam pengembaraan mencari ilmu, beliau pernah singgah di Syam, Hijaz, Yaman Hindia, Maroko dan Takrur. Ketika melaksanakan ibadah haji beliau mengharap berkah dengan minum air zam-zam dengan tujuan bisa seperti Imam Sirajuddin al-Bulqini yang alim dalam bidang fikih dan Imam Ibnu Hajar dalam bidang hadits.

Dengan kapasitas keilmuannya, Imam Suyuthi telah menghasilkan buah karya yang sangat banyak, mencapai 600 atau lebih karangan dari berbagai ilmu. Beberapa karangan yang terkenal adalah bidang tafsir dan ilmu tafsir seperti Tafsir Jalalain, al-Itqan, Lubab an-Nuqul, dll. Karena itulah beliau mendapat julukan Punggawa Alquran abad ke-8, meski ini bukan satu-satunya julukan yang disematkan beliau.

Menurut as-Sa’id Mamduh, karya Imam Suyuthi mencapai 725 kitab. Di antaranya ialah al-Itqan fi 'Ulum al-Quran, ad-Dur al-Mantsur fi at-Tafsir bi al- Ma’tsur, Lubab an-Nuqul fi Asbab an-Nuzul, Mufahhamat al-Aqran fi Mubhamat al-Quran, al-Iklil fi Istinbath at-Tanzil, Takammulah Tafsir Syaikh Jalauddin al- Mahalli, Hasyiyah 'ala Tafsir al-Baidhawi, Tanasuq ad-Durar fi Tanasub as- Suwar, Syarh asy-Syathibiyyah, al-Alfiyyah fi al-Qiraat al-‘Asyr, Syarh Ibnu Majah, Tadrib ar-Rawi, ath-Thib an-Nabawi, Is’af al-Mubattha bi ar-Rijal al- Muwattha, al-'Alai Mashnu'ah fi al-Ahadits al-Maudhu'ah, an-Nakt al-Badi'at 'ala al-Maudhu'at, Syarh ash-Shudur bi Syarh Hal al-Maut wa al-Qubur, al-Budur as- Safirah 'an Umur al-Akhirah, ar-Riyadh al-‘Aniqah fi Syarh Asma' Khair al- Khalifah, al-Asybah wa an-Nadzair, Jam’ al-Jawawi', Tarjumah an-Nawawi, Diwan Syi’r, Tuhfah adz-Dzarfa' bi Asma' al-Khulafa', Tarikh Asyuth, Tarikh al- Khulafa' dan Badai' az-Zuhur fi Waqai' ad-Duhur.[10]

Dalam penguasaan ilmu, beliau mengelompokkanya dalam beberapa kelompok. Pertama, adalah kelompok ilmu-ilmu yang paling beliau kuasai. Kedua, ilmu-ilmu yang kadar pengusaan beliau di bawah kelompok pertama. Sedang ketiga, ilmu-ilmu dengan kadar penguasaan yang di bawah kelompok kedua, begitu seterusnya.

Adapun kelompok pertama ada tujuh ilmu yaitu ilmu tafsir, hadits, fiqih, nahwu, ma’ani, bayan dan badi’. Kelompok kedua ilmu ushul fiqh, ilmu jadal dan tashrif. Kelompok ketiga ilmu insya’ tarassul dan ilmu faraidh. Kelompok keempat ilmu qira’at dan kelompok kelima ilmu kedokteran. Untuk ilmu hisab, beliau menganggap yang paling sulit dikuasai. Demikian sulitnya ilmu tersebut

diibaratkan sepeti memikul gunung. Namun demikian, hal ini tidak mengurangi kapasitas keilmuan beliau karena begitu banyaknya ilmu selain ilmu hisab yang beliau kuasai. Maka sangat layak beliau mampu melaksanakan ijtihad, karena memang telah memiliki perangkat dalam berijtihad.

4.         Karomah Imam As-Suyuthi

Syaikh Syuaib Khatib Masjid Al-Azhar bercerita, ketika Imam Suyuthi sedang sakit yang menyebabkan kemangkatannya dia datang menjenguknya. Ia mencium kakinya, lalu meminta supaya Imam Suyuthi berkenan memaafkan kesalahan orang-orang ahli fikih yang pernah menyakitinya. Dengan tenang Imam Suyuthi menjawab: "Wahai Saudaraku, sebetulnya aku telah memaafkan mereka ketika pertama kali mereka menyakitiku. Aku menampakkkan kemarahanku pada mereka, lalu aku menulis sanggahan untuk mereka. Semua itu aku lakukan supaya mereka tidak berani lagi menyakiti orang lain." Mendengar kelapangan hati Imam Suyuthi, Syaikh Syuaib berkomentar: "Memang inilah yang sudah kuduga dari kebaikan tuanku."

Meskipun Imam Suyuthi telah memaafkan mereka, tapi masih saja ada dari mereka yang terkena bencana dari Allah swt. sebagai pelajaran bagi diri mereka sendiri dan orang lain. Imam asy-Sya'roni pernah bercerita: "Aku melihat salah seorang yang pernah memukul Imam Suyuthi dengan bakiyak (sandal dari kayu), walaupun sudah dicoba oleh Allah dengan kefakiran tapi dia masih sangat tamak dengan dunia. Setiap kali dia melihat orang membawa ayam, gula, madu atau beras, persis seperti orang gila dia selalu mengatakan: "Juallah barang ini padaku!" Setelah diambilnya barang tadi, seperti merampas, dia pergi bersembunyi dan tidak mau membayarnya. Setiap ditagih selalu saja ia mencari- cari alasan untuk mengulur-ulur. Sampai pemilik barang bosan untuk menagihnya. Maka si tamak ini akan memikul tanggungan yang jauh lebih besar dan berat kelak di hari kiamat. Dan ketika orang yang menyakiti Imam Suyuthi ini meninggal, tak seorangpun yang bersedia mengiringi jenazahnya.".[11]

Suatu ketika di siang hari, Imam Suyuthi berada di zawiyah (mushala kecil) Syaikh Abdullah al-Juyusyi di daerah al-Qarrafah. Sang alim nan sufi ini berkata pada pembantunya: "Aku ingin salat Ashar di Masjidil Haram, tapi dengan syarat kamu harus menyimpan rahasia ini sampai aku meninggal!" Pembantunya itu pun menyanggupi. Imam Suyuthi kemudian menggandeng tangan pembantunya seraya berkata: "Pejamkan matamu." Lalu Imam Suyuthi berlari kecil kira-kira 27 langkah. "Bukalah matamu," perintah Imam Suyuthi kemudian.[12]

Tiba-tiba mereka sudah sampai di pintu Ma'la. Kemudian mereka ziarah ke makam Sayyidah Khadijah, Imam Fudhail bin Iyadh, Abdullah bin Uyainah, dan lain-lainnya. Setelah itu mereka masuk Masjidil Haram, tawaf, shalat dan minum zam-zam. Di sini Imam Suyuthi mengatakan: "Wahai Fulan, yang mengherankan bukanlah karena bumi dilipat sehingga kita bisa menempuh jarak ribuan mil dalam beberapa saat. Tapi yang mengherankan adalah karena orang- orang Mesir yang bermukim di sini tidak ada yang mengetahui kita." "Baiklah, kita sudah ziarah, shalat dan tawaf. Kamu mau pulang lagi bersamaku atau menetap di sini sampai datangnya musim Haji?" Tanya Imam Suyuthi pada pembantunya. "Aku mau bersama Tuan saja," demikian jawab pembantu itu lugu.

Lalu mereka pergi ke Ma'la, dan seperti pada keberangkatan tadi Imam Suyuthi memintanya untuk memejamkan mata. Setelah Imam Suyuthi melangkah beberapa jengkal, dan mereka membuka mata, tiba-tiba di hadapan mereka adalah zawiyah Syaikh al-Juyusyi. Adalah Syaikh Abdul Qadir asy-Syadzili, murid Imam Suyuthi, dalam kitab Tanwir al-Hawalik Imam Suyuthi pernah mengatakan: "Aku pernah melihat Nabi Saw. dalam keadaan terjaga."

Kemudian muridnya itu bertanya: "Berapa kali Tuan melihat Nabi Saw. dalam keadaan terjaga?" "Lebih dari 70 kali," jawab Imam Suyuthi. 

5.         Karya Imam Jalaluddin as-Suyuthi  

Imam as-Suyuthi telah meninggalkan karya-karyanya begitu banyak dalam berbagai disiplin ilmu, dikarenakan beliau rajin menulis buku semenjak masih sangat muda. Dalam kitab ”Kasyfudh Dhunun” karya Haji Kholifah dijelaskan bahwa karya tulis Imam Suyuthi mencapai 540 kitab. Dalam ”An-Nurus Safir ’An Akhbaril Qurnil Asyir” yang ditulis oleh Syaikh As-Sayyid Abdul Qodir bin Abdulloh Al-Idrus dijelaskan bahwa arya-karya beliau telah mencapai jumlah hingga 600 karya selain yang dia perbaiki kembali dan yang dicuci (tidak jadi diedarkan)”. Sedangkan menurut Sayyid Muhammad Abdul Hayy Al-Kattani, jumlah keseluruhan karya Imam Suyuthi adalah 904 kitab dalam berbagai disiplin ilmu. Di antara karya-karyanya yang terkenal, antara lain :[13]

a.    ”Al-Itqan Fi ’Ulum al-Quran”. Kitab yang menjadi rujukan utama dalam disiplin ilmu ulumul qur’an, kitab ini sebenarnya adalah muqoddimah (kata pengantar) kitab tafsir yang beliau berikan judul ”Majma’ul Bahro’in Wa Mathla’ul Badroin Al-Jami’ Li Tahririr Riwayah Wa Taqrirud Diroyah” satu kitab tafsir yang menggabungkan tafsir bil ma’tsur (tafsir berdasarkan riwayat) dan tafsir bir ro’yi (tafsir berdasarkan pemikiran) yang rencananyanya akan beliau tulis namun beliau wafat sebelum menyelsaikan penulisan kitab tafsir tersebut, para ulama’ mengatakan; seandainya kitab itu telah ditulis dengan sempurna tentu tak akan ada tandingannya.

b.    Ad-Durrul Mantsur fit-Tafsir Bil Ma’tsur. Kitab tafsir yang mengikuti metode tafsir bil ma’tsur, baru-baru ini kitab ini dicetak dalam 16 jilid. kitab ini adalah ringkasan dari kitab tafsir yang lebih besar lagi yang bernama “Tarjumanul Qur’an”, sayangnya sampai sekarang kitab tarjumanul qur’an tidak diketahui keberadaannya.

c.    “Tafsir Jalalain”. Kitab tafsir ini merupakan kitab tafsir yang dikenal dan diajarkan diseluruh kawasan dunia islam karena tidak terlalu tebal namun sarat kandungan ilmu. Kitab ini adalah kitab tafsir yang ditulis oleh Imam Suyuthi yang menyempurnakan kitab tafsir yang ditulis oleh guru beliau, Imam Mahalli yang wafat sebelum merampungkan penulisannya, karena itulah kitab ini dikenal dengan nama; “Tafsir Jalalain” artinya kitab tafsir yang ditulis oleh 2 orang yang agung, 2 orang yang dimaksud adalah Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuthi.

d.    Al-Iklil fi Istinbath at-Tanzil”. Kitab ini termasuk dalam kategori ”Tafsir Ahkam”, maksudnya yaitu kitab tafsir yang mengkhususkan pembahasan tafsir dari sudut pandang penunjukan suatu ayat mengenai satu hukum, sayangnya kitab ini kurang begitu populer dikalangan para pelajar fiqih madzhab syafi’i di Indonesia.

e.    ”Alfiyah As-Suyuthi Fi Ilmil Hadits”. Judul asli kitab ini adalah ”Nadhmud Duror Fi ’Ilmil Atsar”, namun lebih populer dengan sebutan ”Alfiyah As-Suyuthi” karena kitab ini memuat 1000  nadhom (bilangan tepatnya 994 nadhom) yang menjelaskan tentang ilmu hadits.

f.     ”Tadribur Rowi Syarah Taqribun Nawawi”. Kitab ini merupakan syarah dari kitab ”At-Taqrib Wat-Taisir Li Ma’rifati Sunanil Basyir An-Nadzir” atau yang lebih dikenal dengan sebutan ”Taqrib An-nawawi” karya Imam Nawawi. Kitab Tadriburt Rowi merupakan salah satu rujukan utama dalam bidang ilu hadita.

g.    “Jami’us Shoghir”. Kitab ini merupakan kitab hadits yang mencantumkan lebih dari 10.000 hadits yang disusun berdasarkah huruf hija’iyah, sehingga menjadi salah satu rujukan utama saat mencari keberadaan matan suatu hadits dengan mencarinya dikitab ini dengan melihat huruf pertama dari matan hadits tersebut, selain itu keistimewaannya terletak dari ditunjukkannya dalam kitab apa hadits tersebut ditulis dan ditambah penjelasan mengenai derajat hadits tersebut yang keduanya diisyaratkan dengan symbol-simbol huruf dakhir setiap hadita. Kitab ini sebetulnya merupakan ringkasan dari kitab “Jawami’ull Jawami’” yang lebih dikenal dengan sebutan “Jamiul Kabir” yang kitabnya mencapai 25 jilid.

h.     “Al-Asybah Wan-Nadho’ir Fi Qowa’id Wa Furu’is Syafi’iyyah”. Kitab ini merupakan kitab induk dalam bidang ilmu qo’idah fiqih dalam madzhab syafi’i secara khusus dan dalam ilmu fiqih islam secara umum, selain itu kitab ini juga membahas mengenai beberapa faedah-faedah yang sangat bermanfaat dalam fiqih sehingga tak heran bila kitab ini diajarkan dihampir semua pondok pesantren salaf pada tingkat aliyah di pulau jawa khususnya.

i.      “Al-hawi Lil-Fatawi”. Kitab ini memuat fatwa-fatwa beliau dalam berbagai disiplin ilmu, mulai dari masalah-masalah yang berkaitan dengan tauhid, al-qur’an, hadits, fiqih, nahwu dan tasawuf.

Tasir Jalalain adalah satu dari sekian tafsir Alquran yang mudah ditemukan di Indonesia. Bahkan, Tafsir Jalalain adalah kitab tafsir yang ditempatkan sebagai kitab pertama yang dibaca dan di kaji oleh para santri yang telah menginjak kajiannya pada bidang tafsir Alquran di setiap pesantren.

Tafsir Jalalain adalah suatu kitab tafsir Alquran yang termasuk kepada kelompok tafsir yang diterbitkan pada ke-9 dan ke-10 Hijriyah. Pada dua abad ini, setidaknya enam kitab tafsir yang diterbitkan, dan enam kitab di antaranya adalah merupakan karya Jalaluddin al-Suyuthi (911 H). Keenam kitab tafsir itu adalah:

a.         Tanwirul Miqbas min Tafsir Ibnu Abbas. Karya Thahir Muhammad ibn Yakub al-Fairuzabady (817 H).

b.        Al-Jalalain. Karya Jalaluddin al-Mahally dan Jalaluddin al-Suyuthi (911 H).

c.         Tarjuman al-Quran. Karya Jalaluddin al-Suyuthi (911 H).

d.        Al Durrul Mantsur Mukhtashar Tarjuman al-Quran. Karya Jalaluddin al- Suyuthi (911 H)

e.         Al–Iklil fi Istinbat al-Tanzil. Karya Jalaluddin al-Suyuthi (911 H).

f.          Al-Siraj al-Munir. Karya al-Khatib al-Syarbiny (977 H).[14]

Tafsir Jalalain ditulis oleh dua orang penulis: Jalaluddin al-Mahally dan Jalaluddin al-Suyuthi. Namun, tidak didapatkan informasi yang jelas, sampai dimana pembagian pekerjaan kedua mufassir ini. Yang ada adalah bahwa bagian awal ditulis oleh Jalaluddin al-Mahally, dan sisanya dilanjutkan oleh Jalaluddin al-Suyuthi.  Tafsir Jalalain termasuk kerpada kelompok tafsir bira’yi. Hal ini dicirikan dengan banyak cara menafsirkan kata-kata dalam Alquran dengan memberi kata- kata lain yang maknanya semakna atau berdekatan maknanya dengan yang disebutkan dalam Alquran. Pemilihan kata-kata yang dijadikannya sebagai bahasa tafsir itu, tidak berdasarkan kepada dalil naqli, tetapi didasarkan kepada pertimbangan akal (ra’yu). Karenya, tafsir Jalalain ini secara umum dikategorikan sebagai tafsir bi al-ra’yu, Karena Tafsir Jalalain ini sebagai tafsir bi al-ra’yu, maka dalam salah satu pendekatan, aspek ra’yu nya dalam tafsir ini bisa menjadi objek penelitian.[15]

Al-Dawidi juga menjelaskan bahwa jumlah kitab yang disusun oleh al- Suyuthi mencapai 500 judul.[16] Sedangkan menurut Brockelmann, seorang orientalis berkebangsaan Jerman mencatat jumlah karya al-suyuthi 415 buah, ibn Iyas seorang ahli sejarah dan murid suyuthi menjelaskan jumlah karya Imam Jalaluddin al-Suyuthi sebanyak 600 judul lebih jauh lagi Syaikh Ahmad al-Syarqawi menjelaskan dalam bukunya bahwa jumlah kitab yang disusun oleh al-Suyuthi mencapai 725 judul.[17]

Jumlah kitab tersebut terbagi kepada beberapa bagian disiplin ilmu. Sayyid Muhammad Abdul Hayy al-Kanani sebagaimana dikutip oleh Mani’ Abdul  Halim  mengatakan  bahwa Imam Jalaluddin  al-Suyuthi  menyusun kitab sebanyak 538 judul, jumlah tersebut terbagi kedalam beberapa  kelompok, diantaranya: Dalam bidang Tafsir karyanya berjumlah 73, dalam bidang Hadits sebanyak 205, Musthalah al-Hadits sebanyak 32, dalam bidang Fiqh sebanyak 71, dalam bidang Ushul Fiqh, Ushuluddin, dan Tashawuf sebanyak 20, dalam bidang Bahasa Arab  sebanyak 66, dalam bidang Ma’ani, Bayan, dan Badi’ sebanyak 6, kitab yang dihimpun dalam berbagai disiplin ilmu sebanyak 80, dalam bidang Sejarah sebannyak 30, dan al-Jami’ 37. Berikut ini penulis akan mengemukakan beberapa nama kitab hasil karya Imam Jalaluddin al-Suyuthi:[18]

a.      Bidang Tafsir

1)      Tafsir Turjuman al-Qur’an

2)      Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim (Tafsir Jalalain)

3)      Tafsir al-Durr al-Mantsur fi Tafsir bi al-Ma’tsur.

b.      Bidang Ulum al-Qur’an

1)      Al-Itqan Fi Ulum al-Qur’an

2)      Mutasyabih al-Qur’an

3)      Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul

4)      Al-Madzhab fi Ma Waqa’a fi al-Qur’an Min al-Mu’rab

5)      Mufhamat al-Aqran fi Mubhamat al-Qur’an.

c.      Bidang Hadits

1)      Al-Dibaj ’Ala Shahih Muslim bin al-Hajjaj

2)      Tanwir al-Hawalik Syarh Muwaththa’ al-Imam Malik

3)      Jami’ al-Shaghir d. Jam’u al-Jawami’ (Jami’ al-Kabir)

4)      Misbah al-Zujajah fi Syarh Sunan ibn Majah

d.      Bidang Ulum al-Hadits

1)      Tadrib al-Rawi a. Al-Alfiyah fi Mushthalah al-Hadits

2)      Itmam al-Dirayah li Qurra’ al-Niqayah

3)      Al-Ahadits al-Manfiyyah.

4)      Al-Durar al-Munatstsarah fi al-Ahadits al-Musytaharah

e.      Bidang Fiqih

1)      Syarh al-Taqrib al-Nawawi

2)      Al-Arju fi al-Farji

3)      Nahzah al-Julasa’ fi Asya’ar al-Nisa’

f.       Bidang Ushul Fiqh

al-Asybah wa al-Nazha’ir

g.      Bidang Bahasa Arab

1)      Asbah wa Al-Nazha’ir fi al-Arabiyah

2)      Al-Fiyyah fi al-Nahwi

3)      Bughiyah al-Wi’at fi Thabaqat al-Nuhat

4)      Al-Iqtirah fi Ushul al-Nahwi

5)      Al-Taj fi I’rab Musykil al-Minhaj

6)      Ham’u al-Hawam’i

7)      Al-Muzhir fi ‘Ulum al-Lughat

h.      Bidang Sejarah

1)      Manaqib Abi Hanifah

2)      Manaqib Malik

3)      Tarikh Asyuth.

4)      Tarikh al-Khulafah

5)      Husn al- Muhadarah fi Akhbar Misr wa al-Qahirah

6.         Pandangan Ulama Terhadap Tafsir Imam Jalaluddin as-Suyuthi

Muhammad al-Syaukani (seorang ahli fakih dan ahli hadis) mengatakan, bahwa Imam Jalaluddin as-Suyuthi adalah seorang imam dalam bidang Alquran dan sunnah serta menguasai ilmu yang diperlukan untuk melakukan ijtihad. Asy-Syaukani berkata lagi tentang Imam Jalaluddin As- Suyuthi: “Beliau terkenal menguasai semua disiplin ilmu (agama), melampaui teman-temannya dan namanya terkenal di mana-mana dengan sebutan yang baik dan beliau juga telah mengarang kitab-kitab yang, berguna”.

Ibn ‘Imad (1032 H/1623M-1089H/1679M), seorang ahli fikih dari mazhab hanbali dari Suriyah mengatakan, bahwa Imam Jalaluddin as-Suyuthi adalah seorang penulis produktif kitab-kitab berharga 3. Ibnu Ammar Al-Hambali pernah memujinya dengan perkataannya: “Beliau adalah sandaran peneliti yang cermat, juga mempunyai banyak karangan yang unggul dan bermanfaat”. 

Menurut as-Shabuni penafsiran Alquran dengan Alquran dalam penafsiran Imam Jalaluddin as-Suyuthi termasuk jenis tafsir yang paling luhur dan tidak ragu lagi untuk diterima. Karena Allah swt. lebih mengetahui maksudnya dari pada yang lainnya. Kitab Allah adalah yang paling benar, tidak terdapat pertentangan antara yang satu dengan yang lainnya, dari awal sampai akhirnya.[19]

Dengan demikian nilai dan keandalan tafsir Alqurn dengan Alquran yang ditafsirkan oleh Imam Jalaluddin as-Suyuthi adalah yang paling baik dan tinggi. Implikasinya, mufassir semestinya dalam proses kerja menafsirkan dan memahami munasabah satu ayat dengan ayat yang lainnya, oleh karenanya as-Shabuni menganggap bahwa Imam Jalaluddin as-Suyuthi merupakan sosok yang pantas untuk diikuti melalui tafsir bi ma’tsur nya. 

Sedangkan Ulama yang menolak keilmuan Imam Jalaluddin as-Suyuthi adalah; Al-Sakhawi (831H/1427M-902H/1479M) dalam kitab sejarahnya yang berjudul ad-Dau’ al-Lai’fi Tarikh Al-Qarn at-Tasiallah, mengatakan bahwa Imam Jalaluddin as-Suyuthi telah melakukan penciplakan karangan ulama sebelumnya, lalu mengakui sebagai karangannya sendiri, seperti menciplak karya Ibnu Taimiyah yang membahas tentang pengharaman ilmu mantiq, selain dari itu Imam Jalaluddin as- Suyuthi juga banyak menciplak karya Ibnu Hajar al-Asqalani yang membahas tentang ilmu hadis seperti Nasyr ahli al-Tarikh Ahadis al- Syarh al-Kabir, serta kitab-kitabnya dalam ilmu-ilmu Alquran seperti al-Lubab an-Nuqul fi Asbab an-Nuzul.[20]

Kemudian Al-Sakhawi mengatakan bahwa dalam ad-Durusu al-Mansūr fi Tafsir al-Ma’tsūr banyak menghadapi kritik keras karena banyak riwayat hadis sahih bercampur dengan riwayat-riwayat hadis-hadis yang tidak sahih. Selain itu, juga karena kegiatan yang tidak asing lagi dari orang-orang zindiq dari kaum Yahudi dan Persia yang berusaha menghancurkan agama Islam dan mengacaukan ajaran-ajarannya. Lagi pula dengan pengaruh tokoh berbagai macam mazhab dan golongan yang memiliki kegemaran aneh yaitu menafsirkan Alquran dan menceritakan asbab an-nuzul menurut sesuka hatinya. Karena itu penafsiran berdasarkan riwayat hadis dituntut kecermatan dalam mengungkapkan sesuatu, keketatan dalam menyaring berbagai riwayat hadis dan kehati-hatian serta ketelitian dalam mengetengahkan isnadnya.[21]

B.     Corak Karya Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam Tafsir

1.    Metode Tafsir Jalaluddin as-Suyuthi

Menurut ad-Zahabi sebagaimana juga diakui Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam muqaddimah kitab, karya ini merupakan kitab musnad hadis,30 yang berisikan tafsir atau penjelasan terhadap al-Qur’an. Di dalamnya memuat sekitar 10.000 hadits marfu‘ dan hadits mauqūf,31 diselesaikan dalam 4 jilid dan diberi nama Tarjumān al-Qurān. .[22]

Kemudian untuk memudahkan pembaca dalam memahami kitab tersebut, Imam Jalaluddin as-Suyuthi meringkasnya dengan hanya mencantumkan matnatau teks hadits tanpa menyebutkan sanadnya. Meskipun demikian, dijelaskan bahwa sumber hadis-hadis tersebut merupakan hasil takhrij dari kitab-kitab yang mu’tabar, kitab tersebut diberi nama ad-Durr al-Mansūr fi at-Tafsir al-Ma’sūr. (Mutiara yang bertebaran dalam penafsiran berdasarkan al-Qurān dan Hadis). Sepanjang penelusuran (crosscheck), penulis tidak menemukan kitab Tarjumān al-Qurān sebagaimana dimaksud, penulis hanya menemukan kitab ad-Dūru al- Mansūr  fi at-Tafsir al-Ma’sūr, Mukhtasār Tarjumān al-Qurān dalam beberapa terbitan, di antaranya yang diterbitkan oleh Darr al-Kutub al-Islami, Beirut, Libanon cetakan tahun 1990 yang terdiri dari 6 jilid besar. Jilid pertama setebal 670 halaman, jilid kedua 617 halaman, jilid ketiga 646 halaman, jilid keempat 673 halaman, jilid kelima 762 halaman dan jilid kelima 767 halaman. Selain itu, sepanjang penelusuran, kitab tersebut belum pernah disitasi dalam karya tafsir dan karya-karya lainnya. Dalam hal ini, menurut asumsi pribadi penulis, kitab Tarjumān al-Qurān belum pernah dipublikasikan oleh Imam Jalaluddin as- Suyuthi. Namun tentunya diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai keberadaan kitab tersebut.

Periode pertengahan ini berada dalam kurun waktu yang panjang, karena dimulai dengan munculnya produk penafsiran yang sistematis dan terkodifikasi dengan baik hingga lahirnya periode kontemporer. Sebagai konseksuensi dari perkembangan ilmu pengetahuan, kondisi sosio-kultural dan politik, disamping Alquran itu sendiri yang memang sangat terbuka untuk ditafsirkan, maka muncul berbagai corak ideologi penafsiran. Meskipun tidak pernah menyatakan secara langsung, oleh para ulama pada masanya Imam Jalaluddin as-Suyuthi disebut-sebut berteologi Asy’ariyah hal itu terlihat dalam corak penafsirannya, selain itu semenjak kecil ia dibesarkan dan menapaki karir dalam lingkungan madzhab syafi’i.[23]

Secara keseluruhan kitab tafsir (ad-Dūru al-Mansūr  fi at-Tafsir al- Ma’sūr) ini menggunakan penjelasan Nabi maupun shahabat yang dikutip dan dirujuk dari kitab-kitab hadits dan tafsir. Menurut ad-Dzahabi riwayat-riwayat dalam kitab ini diambil dari karya al-Bukhāri (w. 256 H/ 870 M), Muslim (w. 261 H/ 875 M), an-Nasa’i (w. 303 H/ 915 M), at-Turmuzi (w. 279 H/ 892 M), Ahmad (w. 241 H/ 855 M), Abu Dāwud (275 H/ 892 M), Ibn Jarir (w. 310 H/ 923), Ibn Abi Hātim (w. 327 H), ‘Abd ibn Hamid, Ibn Abi ad-Dunya (w. 281 H/ 894 M).[24]

Senada dengan namanya, karya tafsir ini tergolong bil-ma’sūr karena secara keseluruhan dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran, tafsir ini menggunakan penjelasan nabi maupun shahabat yang dikutip dan dirujuk dari kitab-kitab hadits dan tafsir. Sistematika penulisan kitab ini mengikuti tartib mushāfi (sesuai dengan urutan mushaf), dimulai surat al-Fātihah dan diakhiri surat an-Nās.

Pada awal pembahasan dicantumkan ayat-ayat yang hendak dibahas kemudian dikutip riwayat-riwayat yang menjelaskan asbāb an-nuzūl dan riwayat- riwayat lain yang menunjukkan penjelasan nabi atau sahabat berkenaan dengan ayat-ayat tersebut secara sistematis. Metode yang digunakan dalam penyusunan kitab ini adalah metode tahlili dengan bentuk bil-ma’sūr.

Meskipun dikategorikan dalam metode tahlili (analitis) dengan menafsirkan secara analitis menurut urutan mushaf, Imam Jalaluddin as-Suyuthi sama sekali tidak memberikan komentar baik dari sisi bahasa (kosakata/ lafaz},menjelaskan arti yang dikehendaki, unsur i’jāz dan balāghah) maupun penjelasan- penjelasan lain seperti aspek kandungan pengetahuan, hukum, asbāb an-nuzūl, munāsabah dan tambahan ijtihad yang lazim digunakan oleh para mufassir pada zamannya.

Ia hanya mecantumkan riwayat-riwayat, yang diawali kata akhraja dilanjutkan dengan hadits atau kata akhraja diikuti sepintas nama kitab atau pengarang kitab yang dirujuk kemudian riwayat yang berisi penjelasan terhadap ayat yang terkait tanpa menjelaskan sahih atau dha’if-nya riwayat tersebut. Namun dilihat dari sisi periwayatan, dengan asumsi bahwa kitab ini adalah mukhtasār (ringkasan) dari kitab Tarjumān al-Qurān yang dipotong sanadnya, dengan alasan untuk memudahkan pembaca sebagaimana yang ditulis oleh ad- Zhahabi, maka dimungkinkan bahwa sanad lengkap dan kualitasnya dapat ditemui pada kitab tersebut.

Menurut penulis, adalah sebuah ciri khas yang jarang ditemukan dalam karya-karya kitab tafsir lain, bahwa secara konsisten Imam Jalaluddin as-Suyuthi menggunakan riwayat-riwayat yang terkait tanpa sedikit pun ijtihad pribadi. Meskipun secara lahir tidak ada sedikit pun penggunaan ra’yi, suatu tafsir akan mencerminkan keterbatasan kemampuan penafsirnya dan tidak akan terlepas dari subyektifitas dirinya sendiri. Ketika seseorang menafsirkan sebuah ayat, dalam benaknya juga hadir sekian banyak subyek sebagai rujukannya. Karena tafsir ini tergolong tafsir bil-ma’sūr dengan menggunakan riwayat Nabi dan shahabat yang langsung menjelaskan hal-hal yang terkait dengan ayat- ayat Alquran, lebih jauh dapat dikatakan bahwa Imam Jalaluddin as-Suyuthi  hanya berperan sebagai penghimpun riwayat dan tidak berperan aktif (passif) maka relatif sulit bagi penulis untuk memberikan penilaian. Namun beberapa hal yang patut untuk mendapat kritikan adalah adalah sebagai berikut:

Pertama, secara keseluruhan, tidak ditemukannya kelengkapan sanad yang dapat memperkuat riwayat yang disampaikan, meskipun pada setiap awal riwayat terdapat rujukan singkat seperti nama ulama dan kitab-nya yang memang terkenal seperti yang diakui Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam muqoddimah kitab.

Kedua, Imama Jalaluddin as-Suyuthi tidak menentukan kualitas riwayat yang dikutip sehingga dimungkinkan masuknya isra‘iliyyat. Sebagai contoh, dalam menafsirkan QS. Al-Maidah (5): 22 Imam Jalaluddin as-Suyuthi mengutip riwayat tentang keengganan kaum Nabi Musa untuk memasuki Palestina karena mendapati orang-orang yang gagah perkasa (kaum jabbarūn). Hal ini tentunya memunculkan kecurigaan ketika tidak dibarengi dengan validitas riwayat yang dicantumkan. Selain itu, dalam riwayat yang dikutipnya terdapat banyak pengulangan (at–tikrar).

Ketiga, tidak menggunakan ayat-ayat Alquran yang lain sebagai sumber penafsiran sehingga memberikan kesan bahwa petunjuk Alquran bersifat parsial. Sebagai contoh dan perbandingan, dalam tafsir Ibn Katsir menafsirkan kata (   هُدٗى لِّلۡمُتَّقِينَ  ) dalam QS. Al-Baqarah (2): 2 dengan ayat-ayat lain yaitu QS. Fushshilat (41): 44, QS. al-Isra’ (17): 82 dan QS. Yunus (10): 82.[25] Sedangkan dalam Tafsir ad-Durr al-Mans|ur lebih menjelaskan apa yang yang disebut dan dipahami sebagai  (  هُدٗى لِّلۡمُتَّقِينَ   ) tentunya melalui riwayat-riwayat yang berkaitan secara berurutan.[26]

Keempat, sepi dari penggunaan ijtihad & aplikasi penafsiran terhadap kajian tertentu baik dari sisi bahasa (kosakata/ lafaz}, menjelaskan arti yang dikehendaki, unsur i’jāz dan balaghah) maupun penjelasan-penjelasan lain seperti aspek kandungan pengetahuan, hukum asbāb an-nuzūl, munāsabah dan tambahan ijtihad yang lazim digunakan oleh para mufassir. Karena secara keseluruhan berisi riwayat, maka objek material tafsir ini adalah riwayat-riwayat hadits. Sedangkan dalam proses penelitian hadis, yang menjadi awal penelitian adalah kaidah kesahihan yang telah dikemukakan oleh para ulama. Kaidah yang dimaksud adalah segala syarat atau kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu hadis yan berkualitas sahih.

 Selain serentetan metodologi (kaidah) yang digunakan untuk menentukan kualitas sanad, juga digunakan metodologi untuk menentukan kualitas matan hadis, karena kualitas sanad dan matan tidak selalu sejalan, Ada kalanya sanad-nya shahi akan tetapi matannya mardūd. Dengan melakukan penelitian sanad, dapat diketahui kualitas periwayatan sebuah hadis. Sedangkan dengan melakukan penelitian matan, dapat diketahui matan sebuah hadits tersebut maqbūl atau mardūd (diterima atau ditolak). Selain itu, standar untuk menentukan status hadis yang berkaitan dengan akidah, ibadah dan muamalah jelas berbeda dengan standar yang berkaitan dengan yang lainnya. Ada yang terkesan longgar (mutasāhil), moderat (mutawāsit}) dan ketat (mutasyaddid).

Sementara dari sisi penunjukannya (dalālah), secara umum para ulama sepakat bahwa hadis dapat dijadikan hujjah, namun dalam beberapa hal berkenaan dengan hadis secara keseluruhan masih terjadi diskusi panjang terhadap jenis- jenis hadis yang dapat dijadikan hujjah. Tidak diragukan lagi semua ulama berpendapat bahwa hadis mutawātir dapat dijadikan hujjah, namun terhadap hadis ahād masih meinmbulkan berbagai perbedaan pendapat. Ada yang menolak menjadikan hujjah dan ada yang menerimanya dengan persyaratan bahwa hadis tersebut bernilai sahh dan h}asan serta tidak dha’if.

2.    Sumber penafsiran Jalaluddin as-Suyuthi

Sedangkan apabila ditinjau dari segi sumber, kitab Durr al-Matsur dan Tafsir jalalain ini menggunakan pendekatan tafsir bi al-ma’tsūr dan bi alra’yi sekaligus. Yakni pengambilan sumber panafsirannya berasal dari ayat al- Qur’an itu sendiri, hadits Nabi saw, pendapat para sahabat dan tabi’in, dan musnad, dan juga dari mushannaf-mushannaf yang menghimpun pendapat- pendapat para sahabat dan tabi’in. seperti Mushannaf Abdurrazzaq, Ibnu Abdi Syaibah, dan kitab-kitab tafsir bi al-Ma’tsur yang bersambung, seperti tafsir Ibnu Jarir al-Thabari, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Mundzir, Ibnu Mardawaih, Abd bin Hamid dan lain-lain. serta tidak meninggalkan ra’yunya sendiri. Terkadang beliau menafsirkan al-Qur’an hanya dengan bersandar pada akal pikirannya sendiri dan memasukkan begitu saja kedalam tafsirnya.[27]

Sistematika tafsir ini mengikuti tartib mushhaf, begitu juga dengan ayat-ayat sumpah. Pada awal pembahasan dicantumkan ayat-ayat yang hendak dibahas kemudian dikutip riwayat-riwayat yang menjelaskan asbabun nuzul dan riwayat-riwayat lain yang menunjukkan penjelasan Nabi atau sahabat berkenaan dengan ayat-ayat secara sistematis.

Metode yang digunakan dalam penyusunan kitab ini adalah metode tahlili dengan bi al-ma’tsur. Dalam menyusun tafsirnya, Imam Jalaluddin as-Suyuthi mempunyai metode yang terbilang berbeda dari lazimnya mufassir bi al-Ma’tsur lainnya. Bila disimpulkan, metode Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam kitab Durr al-Mantsur maka sebagai berikut: 

a.      Beliau di dalam tafsirnya memuat riwayat-riwayat dari para ulama salaf tanpa menerangkan kedudukan riwayat tersebut, apakah shahih atau dha’if, dengan kata lain riwayat tersebut masih tercampur baur akan kualitasnya. Beliau juga tidak menjelaskan atau mengkritik riwayat- riwayat tersebut, yang menurut pengakuan beliau riwayat-riwayat tersebut bersumber dari kitab-kitab yang ditakhrij. Di antara kitab-kitab tersebut adalah: Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan an-Nasa’I, Abu Dawud, al-Tirmidzi, dan Ahmad bin Hambal, serta kitab-kitab yang lainnya seperti yang ditulis Ibnu Jarir al-Thabari, Ibn Abi Hatim, Abdullah bin Hamid, Ibn Abi Dunya, Abdurrazzaq, Ibnu Abi Syaibah, Ibn Mundzir, Ibn Mardawaih dan lain-lain.

b.      Dalam riwayat-riwayat atau atsar dan hadis-hadis yang menjadi penafsiran bagi ayat, Imam as-Suyuthi meringkas sebagian jalur periwayatnya (sanad).

c.      Pada penafsirannya as-Suyuthi konsisten memberi penjelasan terhadap ayat yang dibahas dengan riwayat-riwayat hadis maupun atsar. Beliau tidak menafsirkan ayat dengan pemikiran pribadinya atau pendapat- pendapat yang menguatkan periwayatan tersebut, sebagaimana yang telah dilakukan Ibnu Jarir dan Ibnu Katsir. Itulah yang kami maksud dengan berbeda dari mufassir bi al-Ma’tsur lainnya. Imam as-Suyuthi sama sekali tidak memberikan komentar baik dari sisi bahasa, unsur I’jaz, dan balaghah, maupun penjelasan-penjelasan lain seperti aspek kandungan pengetahuan, hukum, serta tambahan ijtihad yang lazim digunakan oleh para mufassir pada zamannya. Belian hanya mencantumkan riwayat- riwayat yang diawali dengan kata akhraja dilanjutkan dengan redaksi yang terkait dengan penjelasan ayat.


 

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Dari pemaparan makalah ini ada beberapa halyang dapat penulis simpulkan, yaitu sebagai berikut :

1.         Nama lengkap as-Suyuthi adalah Abdul Rahman bin al-Kamal bin Abu Bakar bin Muhammad bin Sabiq al-Suyuthi.

2.         Beliau dilahirkan di sebuah daerah yang terletak di Mesir yakni Suyuth pada awal bulan Rajab tahun 849 H.

3.         Karya beliau telah mencapai jumlah hingga 600 karya.

4.         Karyanya tafsir ad-Dūru al-Mansūr  fi at-Tafsir al- Ma’sūr ini menggunakan penjelasan Nabi maupun shahabat yang dikutip dan dirujuk dari kitab-kitab hadits dan tafsir.

5.         Menggunakan metode tahlili (analitis) dengan menafsirkan secara analitis menurut urutan mushaf.

 

 


 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Ahmad, Qadi Syihab al-Din. Hasyiyah al-Syihab ‘ala Tafsir al-Baidhawiy. Beirut: Daar al-Kitab Ilmiyah, 1997.

Ad-Dinawari, Ahmad Bin Muhammad. Thabaqah Al-Mufasirin. Beirut: Dār al-Kitāb,1999.

Al-Qaththan, Manna’. Mabahits fi Ulum al-Qu’an. Kairo: Maktabah Wahbah, 2007.

Syuhbah, Muhammad Ibnu Muhammad Abu, Al-Israiliyyat wa Al-Maudhu’at fi

Kutub al-Tafsir cet.IV, Mesir: Maktabah al-Sunnah, 1408.

http://ar.wikipedia.org/wiki/ عبد لله بن عمر البیضاوي ,

As-Suyuthi,Jalaluddin, al-Durr al-Mantsur fi al-Tafsir al-Ma’tsur. Bairut: Darr al- Fikr,  1994. 

As-Suyuthi,Jalaluddin, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an Cet.I. Mesir:  Darr al-Salam,  2008.

Al-Shalih,Shubhi, Mabahits fi Ulum Alquran. Beirut; Dár al-‘Ilm li  al-Malayin, 1977 

Abd al-Rahman,Aisyah Binti al-Sayathi’, al-Tafsir al-Bayani li al-Quran al- Karim. Kairo: Dar al-Ma‟arif. 1977.

Amin  Ghofur,Saiful dan  M.Alaika  Salamullah(Ed.), Profil  Para  Mufassir al- Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008. 

Abdul Halim Mahmud,Mani’, Manhaj al-Mufassirin, penerj Faisal Saleh dan Syahdianor, Cet.I. Jakarta:  PT.  Raja Grapindo Persada,  2006.



[1] Jalaluddin al-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an (Mesir: Dár al-Salam,2008), Cet. Ke- 1, juz I, hal. 6-7.

[2] Ahmad Bin Muhammad Ad-Dinawari, Thabaqah Al-Mufasirin (Beirut: Dār al-Kitāb,1999), hal.67

[3] Abi al-Falah Abdu al-Hayy ibn Ahmad bin Muhammad ibn al-Imad, Syadzarat al- Dzahab, Juz VIII, hal. 52. Diakses melalui Maktabah Syamilah.

[4] Mani’Abdul Halim Ahmad, Manhaj al-Mufassirin, Terj: Faisal Saleh dan Syahdianor (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), Cet.1, h. 126

[5]  Manna’ Khalil al-Qaththan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an; Penerj: Ainur Rafiq el- Muzni) Cet.II (Jakarta, Pustaka al-Kautsar, 2007), h. 109.

[6] Ahmad Bin Muhammad Ad-Dinawari, Thabaqah Al-Mufasirin (Beirut: Dār al-Kitāb,1999), hal.67

[7] Ahmad Bin Muhammad Ad-Dinawari, Thabaqah Al-Mufasirin (Beirut: Dār al-Kitāb,1999), hal.67 dan Saiful  Amin  Ghofur,  M.Alaika  Salamullah(Ed.), Profil  Para  Mufassir al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008), h. 112.

[8] Ahmad Bin Muhammad Ad-Dinawari, Thabaqah Al-Mufasirin (Beirut: Dār al-Kitāb,1999), hal.67

[9] Ahmad Bin Muhammad Ad-Dinawari, Thabaqah Al-Mufasirin (Beirut: Dār al-Kitāb,1999), hal.67

[10] Ahmad Bin Muhammad Ad-Dinawari, Thabaqah Al-Mufasirin (Beirut: Dār al-Kitāb,1999), hal.67

[11] Mani ‘Abdul Halim Mahmud, Manhaj al-Mufassirin, penerj Faisal Saleh dan Syahdianor, Cet.I ( Jakarta:  PT.  Raja Grapindo Persada,  2006), h. 83.

[12]  Jalaluddin al-Suyuthi, al-Durr al-Mantsur fi al-Tafsir al-Ma’tsur (Bairut: Darr al- Fikr,  1994),  Juz1, h. 94.

[13] http://ar.wikipedia.org/wiki/ عبد لله بن عمر , diakses pada 31 Oktober 2017.

[14] Ahmad Bin Muhammad Ad-Dinawari, Thabaqah Al-Mufasirin (Beirut: Dār al-Kitāb,1999), hal.67

[15] Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassrun Cet. 8. Juz I (Mesir: Maktabah Wahbah,  2003), h. 84.

[16] Imam Jalaluddin al-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an Cet.1 Juz I (Mesir: Dár al- Salam,  2008), h. 10.

[17] Saiful  Amin  Ghofur,  M.Alaika  Salamullah(Ed.), Profil  Para  Mufassir al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008), h. 113.

[18] Imam Jalaluddin al-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an Cet.1 Juz I (Mesir: Dár al- Salam,  2008), h. 19-21

[19] Muhammmad ali, As-shabuni, Al-Tibyan Fi ‘Ulum Al-Qur’an( Beirut; Dár al-Fikr, 1985), h. 24.

[20] Ahmad Bin Muhammad Ad-Dinawari, Thabaqah Al-Mufasirin (Beirut: Dār al-Kitāb,1999), hal.67

[21] Ahmad Bin Muhammad Ad-Dinawari, Thabaqah Al-Mufasirin (Beirut: Dār al-Kitāb,1999), hal.67

[22] Al-Dzahabi, op.cit., hal.254. ad-Zháhabi, at-Tafsir wa al-Mufassirūn, h. 252. Lihat juga Imam Jalaluddin as-Suyuthi ad-Dūr al-Mansūr  fi at-Tafsir al-Ma’sūr (Beirut: Dār al-Kutub al-Islami, 1990), Jilid I, h. 14.

[23]  Imam Jalaluddin as-Suyuthi, at-Tahbir fi ‘Ilm at-Tafsir, h. 29-31.

[24] Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassrun Cet. 8. Juz I (Mesir: Maktabah Wahbah,  2003), h. 254.

[25] Al-Hāfiz Ibn Kasir, Tafsir al-Qurān al-Azim (Beirut: Maktabah an-Nūr al-‘Ilmiyyah, 1991), Jilid I, h. 37-38

[26] Imam Jalaluddin as-Suyuthi, ad-Durr al-Mansūr fi Tafsir al-Ma’tsūr, Jilid I, h. 57.

[27] Ibid,,,. hal. 346.

0 komentar:

Posting Komentar

Contact

Contact Person

Untuk saling berbagi dan sharing, mari silaturrahmi!

Address:

Mojo-Kediri-Jawa Timur (64162)

Work Time:

24 Hours

Phone:

085735320773

Diberdayakan oleh Blogger.