Kecenderungan Tafsir
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al-Qur'an sebagai asupan gizi para pemeluk islam, tentu harus siap
setiap saat untuk dikonsumsi. Dari itu, para pemikir muslim tak henti hentinya
mencoba dan terus berlomba-lomba untuk menyajikan kalam tuhan tersebut agar
hasilnya dapat dikunyah oleh akal awam dan sesuai dengan kekinian. Al-Qur`an tidak
hanya berbicara tentang moralitas dan spritualitas, tetapi juga berbicara
tentang ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan kehidupan umat manusia.
Al-Qur’an menggunakan Bahasa Arab yang sempurna. Di dalamnya terdapat penjelasan
mengenai dasar-dasar akidah, kaidah-kaidah hukum, asas-asas perilaku, menuntun
manusia ke jalan yang lurus dalam berpikir dan berbuat. Akan tetapi
penjelasan itu tidak dirinci oleh Allah SWT, sehingga muncullah
banyak penafsiran, terutama terkait dengan susunan kalimat yang singkat dan
sarat makna.
Banyak ulama tafsir yang telah menulis beberapa karya tentang metode
penafsiran al-Qur`an. Dari para ulama itu muncullah berbagai macam model
dan metode penafsiran dalam rangka menyingkap pesan-pesan al-Qur`an secara
optimal sesuai dengan kemampuan dan kondisi sosial mereka. Namun, dalam makalah
ini, kami akan mencoba menjelaskan tentang kecendrungan-kecendrungan penafsiran,
diantaranya: Tafsir berkecendrungan Sufi (penjelasan ilmu tasawuf), Tafsir
berkecendrungan Fiqhi, Tafsir berkecendrungan Falsafi, Tafsir berkecendrungan Ilmi, Tafsir
berkecendrungan Adabi Ijtima’i (sosial masyarakat), Tafsir berkecendrungan
Lughawi (kebahasaan), dan Tafsir berkecendrungan Teologi.
B.
Rumusan Masalah
a.
Bagaimana pengertian kecendrungan tafsir?
b.
Bagaimana pemetaan kecendrungan tafsir dan
aliran tafsir?
C.
Tujuan Masalah
a.
Untuk mengetahui pengertian kecendrungan penafsiran.
b.
Untuk mengetahui pemetaan kecendrungan penafsiran
dan aliran tafsir.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian kecendrungan (al-Ittijah) Tafsir
Tafsir al-Qur`an sebagai usaha untuk memahami
dan menerangkan maksud dan kandungan ayat-ayat suci mengalami perkembangan yang
cukup bervariasi. Kecendrungan
penafsiran al-Qur`an adalah hal yang tak dapat dihindari. Berbicara tentang
karakteristik dan kecendrungan sebuah tafsir, di antara Para Ulama
membuat pemetaan dan kategorisasi yang berbeda-beda. Ada yang menyusun bentuk
pemetaannya dengan tiga arah, yakni; pertama,
metode (misalnya; metode ayat antar ayat, ayat dengan hadis,
ayat dengan kisah Israiliyyat), kedua, teknik
penyajian (misalnya; teknik runtut dan topical), dan ketiga, pendekatan
(misalnya; fiqhi,
falsafi,
sufi dan lain-lain).[1]
Kecendrungan penafsiran dalam literatur sejarah tafsir biasanya diistilahkan
dalam bahasa Arab yaitu (al-Ittijah) yang arti dasarnya ialah condong. Kecendrungan penafsiran yang dimaksud di sini ialah nuansa khusus atau sifat
khusus yang memberikan warna tersendiri pada tafsir.[2]
Misalnya dikatakan المذهبية فى التفسير الاتجاهات
(kecenderungan- kecendrungan aliran dalam tafsir al-Quran). Disamping menggunakan
istilah الاتجاهات (kecenderungan- kecendrungan aliran dalam
tafsir al-Quran), dalam ilmu tafsir juga ditemukan term yang bersinonim
dengannya. Yaitu al-laun, nahiyat, madrasat, al-thariqah, al-uslub, al-ihtimam,
al-manhaj dan lain-lain. Misalnya kata al-laun
dikatakan
الوان التفسير في كل خطوة (kecendrungan-kecendrungan penafsiran al-Qur’an pada setiap fase) dan الوان التفسير في العصر الحديث (corak-corak penafsiran di abad modern).[3]
Adapun pemakaian istilah nahiyat,
misalnya ad-Dzahabi menulis اهتمام الزمخشري بالناحية البلاغية للقران (perhatian al-Zamakhsyari
terhadap aspek sastra al-Quran) sedangkan
pemakaian istilah madrasat, dapat dijumpai dalam kitab Manahij al-Quran seperti
ditulisnyaالمدرسة اللغوية في التفسير (aliran
kebahasaan dalam tafsir) المدرسة العقلية في التفسير (aliran rasional dalam tafsir).[4]
Dari berbagai model istilah yang digunakan
para ulama tafsir untuk menjelaskan sosok penafsiran, semuanya hanya perbedaan
penamaan istilah saja ( والخلف الفظي ).
namun, tampaknya istilah corak dalam bahasa idonesia lebih netral dan lebih
familiar dengan budaya bahasa Indonesia. Jadi yang dimaksud dengan kecendrungan
penafsiran ialah suatu kecondongan penafsir, warna tafsir, arah tafsir, atau
kecenderungan pemikiran atau ide tertentu yang mendominasi sebuah karya tafsir.
B. Macam-macam
Aliran dan Kecendrungan Penafsiran
Quraish Shihab, mengatakan bahwa kecendrungan penafsiran
yang dikenal selama ini, antara lain: kecendrungan sastra bahasa, kecendrungan
filsafat, kecendrungan teologi, kecendrungan penafsiran ilmiah, kecendrungan fiqih atau hukum,
kecendrungan tasawuf, dan kecendrungan sastra budaya.[5]
Sedangkan disini kami menjelaskan ada tujuh kecendrungan
penafsiran yang relatif digunakan para Mufasir
dalam menafsirkan al-Qur`an, walaupun seiring
perkembangan ilmu pengetahuan yang menyebabkan timbulnya kecendrungan-kecendrungan
baru dalam ruang lingkup penafsiran al-Qur`an, diantara tujuh kecendrungan
itu adalah:
- Kecendrungan
Tafsir Sufi
Kecendrungan tafsir sufi ialah tafsir dengan
kecenderungan menta`wilkan al-Qur`an selain dari apa yang tersirat, dengan
berdasarkan isyarat-isyarat yang nampak pada ahli ibadah. Sedangkan tasawuf sendiri
dapat dibagi menjadi dua bagian utama, yaitu:
a. Tasawuf teoritis, yakni tasawuf
yang didasarkan atas hasil pembahasan dan studi yang mendalam. Dari kalangan
tokoh-tokoh tasawuf lahir ulama yang mencurahkan waktunya untuk meneliti,
mengkaji, memahami dan mendalami al-Qur`an dengan sudut pandang sesuai dengan
teori-teori tasawuf mereka. Mereka menta`wilkan ayat-ayat al-Qur`an dengan
tidak mengikuti cara-cara untuk menta`wilkan ayat al-Qur`an dan menjelaskannya
dengan penjelasan yang menyimpang dari pengertian tekstual yang telah dikenal
dan didukung oleh dalil Syar’i serta terbukti kebenarannya dalam bahasa Arab,
yaitu dalam bab perihal Isyarat. Mereka berkeyakinan bahwa pengertian tekstual
sama sekali bukanlah yang dikehendaki (pengertian batin, bukan tektual, itulah
yang dikehendaki). Oleh karena demikianlah keyakinan aliranBathiniyah yang
ekstrim, maka mereka sampai menafikan syari’at secara keseluruhan. Beberapa
tokoh sufi tidaklah bersifat demikian, Lebih jauh Al-Alusy
berkata: “Tidaklah sepantasnya bagi orang yang kemampuannya terbatas dan
keimanannya belum mendalam mengingkari bahwa al-Qur`an mempunyai
bagian-bagian batin yang dilimpahkan oleh Allah yang Maha Pencipta dan Maha
Pelimpah batin-batin hamba-Nya yang dikehendaki”.
b. Tasawuf praktis, yakni tasawuf
yang dihasilkan oleh praktik gaya hidup zuhud dalam rangka melaksanakan
ketaatan kepada Allah. Mereka benar-benar menerapkan sikap di atas untuk hidup,
mereka bersikap zuhud di alam kehidupan dunia dan selalu bersiap diri
menghadapi kehidupan di akhirat.
Perkembangan pemikiran Islam, khususnya dalam dimensi
penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an memunculkan kecendrungan penafsiran
sufi. Maka tidaklah mengherankan bila kecendrungan penafsiran semacam ini
memang bukan hal yang baru, bahkan telah dikenal sejak awal turunnya al-Qur`an
kepada Rasulullah SAW, sehingga dasar yang dipakai dalam penafsiran ini umumnya
juga mengacu pada penafsiran al-Qur`an melalui sumber-sumber Islam yang
disandarkan kepada Nabi SAW, para sahabat, dan pendapat kalangan Tabiin.[6]
Dalam perjalanannya, tafsir ini terbagi ke dalam dua
bagian, yaitu:
a. Tafsir Sufi Isyari, yaitu
penafsiran al-Qur`an dalam bentuk ta`wil, yakni penafsiran yang bersifat
batini. Penafsiran ini dapat diuji validitasnya ketika dibuktikan kesesuaiannya
antara penafsiran yang batini dengan kenyataan lahiriah.
b. Tafsir Sufi Nadzari, yaitu
tafsir yang dibangun atas premis-premis ilmiah yang diterapkan dalam penafsiran
al-Qur`an. Sedangkan Tafsir Sufi Isyaritidak dibangun atas dasar
premis-premis ilmiah. Ia dibangun atas dasar riyadhah ruhiyyah, yaitu
latihan-latihan spiritual yang dilakukan seorang sufi hingga ia mencapai
tingkat menemukan petunjuk melalui hati nuraninya (inkisyaf).
Ada beberapa kriteria tafsir sufi yang diterima yaitu
:
a. Tidak menafikan penafsiran lahiriah
b. Ada kesaksian syar’i yang menguatkan
penafsiranya
c. Tidak bertentangan dengan hukum dan akal
d. Ada kesadaran bahwa Tafsir Isyari itu bukan
satu – satunya yang di maksud Al Qur`an.
Salah satu contoh karya yang menampilkan kecendrungan
tafsir sufi adalah:
a. Tafsir al-Qur`an al-Karim, karya Sahl
al-Tustari (w.283 H);
b. Haqa’iq al-Tafsir, karya Abu
Abd al-Rahman al-Sulami (w.412 H);
c. Latha’if al-Isyarah, karya
al-Qusyairi, dan
d. ‘Ara’is al-Bayan fi Haqa’iq al-Qur`an, karya
al-Syirazi (w.606).[8]
- Tafsir
berkecendrungan fiqhi
Tafsir berkecendrungan fiqhi ialah
kecenderungan tafsir dengan metode fiqh sebagai basisnya, atau dengan kata
lain, tafsir yang berada di bawah pengaruh ilmu fiqh, karena fiqih sudah
menjadi minat dasar mufasirnya sebelum dia melakukan usaha penafsiran.[7] Tafsir semacam ini
seakan-akan melihat al-Qur`an sebagai kitab suci yang berisi ketentuan
perundang-undangan, atau menganggap al-Qur`an sebagai kitab hukum.[8]
Bersamaan dengan lahirnya kecendrungan tafsir bil ma’tsur,
kecendrungan tafsir fiqhi juga muncul pada saat yang bersamaan,
melalui penukilan riwayat yang sama tanpa ada pembedaan di antara keduanya. Ini
terjadi lantaran kebanyakan masalah yang muncul dan menjadi bahan
pertanyaan para sahabat sejak masa awal Islam, sampai pada generasi selanjutnya
adalah masalah yang berkaitan dengan aspek hukum. Di sini, keputusan hukum yang
bersumber dari al-Qur`an bisa muncul dengan cara melakukan penafsiran
terhadapnya.
Pada awal Islam, ketika menemukan sebuah masalah, maka
yang selalu dilakukan oleh para sahabat Nabi SAW adalah mengembalikan permasalahannya
kepada Nabi SAW. Dengan begitu, Nabi SAW kemudian memberikan jawaban.
Jawaban-jawaban Nabi SAW ini digambarkan sebagai bentuk penafsiran bi al-ma’tsur,
yang dengan muatan penjelasan tentang hukum Islam dapat pula disebut dengan
tafsir fiqhi. Oleh karena itu, boleh dikatakan pula bahwa tafsir fiqhi muncul
dan berkembang bersamaan dengan berkembangnya ijtihad, yang hasilnya
tentu saja sudah sangat banyak, dan diteruskan dari generasi ke generasi secara
tulus sejak awal turunnya al-Qur’ān sampai masa penyusunan aliran-aliran hukum
Islam menurut madzhab tertentu.
Pada masa pembentukan madzhab, beragam peristiwa yang
menimpa kaum muslimin mengantarkan pada pembentukan hukum-hukum yang sebelumnya
mungkin tidak pernah ada. Maka masing-masing Imam madzhab melakukan analisis
terhadap kejadian-kejadian ini berdasarkan sandaran al-Qur`an dan al-Sunnah,
serta sumber-sumber ijtihad lainnya. Dengan itu, para imam memberikan keputusan
hukum yang telah melalui pertimbangan pemikiran di dalam hatinya, dan meyakini
bahwa hal yang dihasilkan itu merupakan sesuatu yang benar, yang didasarkan
pada dalil-dalil dan argumentasi.[9]
Faktor yang cukup mencolok berkaitan dengan kemunculan kecendrungan
tafsir fiqhi adalah karya-karya yang menampilkan pandangan fiqh yang
cukup sektarian, ketika kita menemukan tafsir fiqhi sebagai bagian
dari perkembangan kitab-kitab fiqh yang disusun oleh para pendiri madzhab. Meskipun
begitu, ada pula sebagian yang memberikan analisis dengan membandingkan
perbedaan pandangan madzhab yang mereka anut.[10]
Di antara kitab-kitab yang tergolong tafsir fiqhiadalah,
Ahkam al-Qur`an, karya al-Jassas (w. 370 H); Ahkam
al-Qur`an, karya Ibn al-‘Arabi (w. 543 H); dan Al-Jami‘ li
ahkam al-Qur`an, karya al-Qurtubi (w. 671 H).[11]
- Tafsir
berkecendrungan falsafi
Tafsir berkecendrungan falsafi ialah
kecenderungan tafsir dengan menggunakan teori-teori filsafat, atau tafsir
dengan dominasi filsafat sebagai pisau bedahnya. Tafsir semacam ini pada
akhirnya tidak lebih dari deskripsi tentang teori-teori filsafat.[12]Dalam
melakukan tafsirFalsafi, dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: pertama
dengan Metode ta`wil atas teks-teks agama dan hakikat umumnya yang sesuai
dengan pandangan-pandangan filosofis. Dan yang kedua dengan Metode pensyarahan
teks-teks agama dan hakikat hukumnya berdasarkan pandangan-pandangan filosofis.
Tafsir Falsafi berusaha menafsirkan dan menjelaskan ayat-ayat
al-Qur`an berdasarkan pemikiran atau pandangan para ahli falsafi, seperti
tafsir bi al-Ra`yi.
Dalam hal ini ayat lebih berfungsi sebagai sebuah pemikiran yang ditulis, bukan
pemikiran yang tertuju pada ayat. Seperti tafsir yang dilakukan
al-Farabi, ibn Sina, dan Ikhwan al-Shafa.Menurut Al-Dzahabi, tafsir mereka ini
di tolak dan di anggap merusak agama dari dalam.
Al-Qur`an adalah sumber ajaran dan pedoman hidup umat
Islam yang pertama, kitab suci ini menempati posisi sentral dalam segala hal
yaitu dalam pengembangan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan
keislaman. Sejarah telah mencatat perkembangan tafsir yang begitu pesat,
seiring dengan kebutuhan, dan kemampuan manusia dalam menginterpretasikan
ayat-ayat Tuhan. Setiap karya tafsir yang lahir pasti memiliki sisi
positif dan negatif, demikian juga tafsir falsafi yang cenderung
hanya berdasarkan logika dan karena peran logika begitu mendominasi, maka
metode ini kurang memperhatikan aspek historisitas kitab suci. Namun begitu,
tetap ada sisi positifnya yaitu kemampuannya membangun abstraksi makna-makna
yang tersembunyi, yang diangkat dari teks kitab suci untuk
dikomunikasikan lebih luas lagi kepada masyarakat dunia tanpa hambatan budaya
dan bahasa.
Dari pemahaman tersebut tidak terlalu berlebihan kiranya
kalau kita mengharapkan nantinya terwujudnya tafsir falsafi ideal,
sebuah konsep tafsir falsafi yang kontemporer yang tidak
hanya berlandaskan interpretasi pada kekuatan logika bahkan lebih dari itu, juga memberikan perhatian pada realitas
historisitas sejarah yang mengiringinya. Sebab
pada prinsipnya teks al-Qur`an tidak lepas dari struktur historis dan konteks
sosiokultural di mana ia diturunkan. Dengan demikian, akan lahir tafsir-tafsir
filosofis yang logis dan proporsional, tidak spekulatif dan berlebih-lebihan.
Ada beberapa kitab
tafsir falsafi seperti, Mafatih Al-Ghaib, karya Fakhr al-Razi
(w. 606 H), al-Isyarat, karya Imam al-Ghazali (w. 505 H), Rasail Ibn
Sina, karya Ibn Sina (w. 370 H).[13]
- Tafsir
berkecendrungan ‘ilmi
Tafsir berkecendrungan ‘ilmi adalah kecenderungan
menafsirkan al-Qur`an dengan memfokuskan penafsiran pada kajian
bidang ilmu pengetahuan, yakni untuk menjelaskan ayat-ayat yang
berkaitan dengan Ilmu dalam al-Qur`an.
Adapun definisi tafsir berkecendrungan ‘ilmi secara
istilah menurut beberapa ulama di antaranya:
Pertama, Husayn al-Dzahabi, tafsir yang
berkecendrungan ‘Ilmi dalah tafsir yang menetapkan istilah-istilah ilmu
pengetahuan dalam penuturan al-Qur`an.[14]
Kedua, pendapat dari ‘Abd Al-Majid ‘Abd As-Salam Al-Mahrasi
juga memberikan batasan sama terhadap tafsirbi al-Ilmi, yaitu: tafsir
yang mufasirnya mencoba menyingkap
ibarat-ibarat dalam al-Qur`an yaitu mengenai beberapa
pandangan ilmiah dan istilahnya serta mengerahkan segala kemampuan dalam menggali
berbagai problem ilmu pengetahuan.[15]
Ketiga, pendapat dari Yusuf al-Qardhawi seperti yang dikutip
oleh A. Mufakhir Muhammad, tafsir yang berkecendrungan ‘Ilmi adalah
penafsiran yang menggunakan perangkat ilmu-ilmu kontemporer, realita-realita
dan teorinya untuk menjelaskan sasaran untuk menjelaskan sasaran dan makna
al-Qur`an.[16]
Kajian tafsir ini adalah untuk memperkuat teori-teori
ilmiah dan bukan sebaliknya. Alasan yang melahirkan penafsiran bi
al-‘Ilmi adalah karena seruan al-Qur`an pada dasarnya adalah sebuah seruan
ilmiah. Yaitu seruan yang didasarkan pada kebebasan akal dari keragu-raguan dan
prasangka buruk, bahkan al-Qur’an mengajak untuk merenungkan fenomena alam
semesta, atau seperti juga banyak kita jumpai ayat-ayat al-Qur`an ditutup
dengan ungkapan-ungkapan, antara lain: “Telah kami terangkan ayat-ayat ini
bagi mereka yang miliki ilmu”, atau dengan ungkapan: “bagi kaum yang
memiliki pemahaman”, atau dengan ungkpan: “Bagi kaum yang berfikir”.
Apa yang dicakup oleh ayat-ayat kauniyah dengan makna-makna yang mendalam akan
menunjukkan pada sebuah pandangan bagi pemerhati kajian dan pemikiran
khususnya, bahwa merekalah yang dimaksudkan dalam perintah untuk mengungkap
tabir pengetahuannya melalui perangkat ilmiah. Belakangan, pada abad ke-20
perkembangan tafsir bi al-ilmi semakin meluas dan semakin diminati oleh
berbagai kalangan. Banyak orang yang mencoba menafsirkan beberapa ayat
al-Qur`an melalui pendekatan ilmu pengetahuan modern. Tujuan utamanya adalah
untuk membuktikan mukjizat al-Qur`an dalam ranah keilmuwan sekaligus untuk
meyakinkan orang-orang non-muslim akan keagungan dan keunikan al-Qur`an.[17]
Meluasnya minat terhadap kecendrungan tafsir bi
al-‘Ilmi dikarenakan
umat Islam merasa tertinggal dari pada Barat dalam hal ilmu pengetahuannya.
Umat Islam juga takut penyakit pertentangan antara agama dan ilmu pengetahuan
yang pernah dialami Barat akan timbul di dunia mereka. Karenanya, umat Islam
pun bangkit dan mulai melakukan berbagai eksperimen ilmiah dengan mencari kesesuainnya
dalam al-Qur`an.[18]
Al-Qur `an memang sangat terbuka untuk ditafsirkan
dan masing-masing mufassir ketika menafsirkan al-Qur`an biasanya juga
dipengaruhi oleh kondisi
sosio-kultur, bahkan situasi politik yang
melingkupinya juga sangat berpengaruh baginya. Selain
itu, ada kecenderungan dalam diri seorang mufasir untuk memahami al-Qur`an
sesuai dengan disiplin ilmu yang ditekuni sehingga meskipun objek kajiannya
sama yaitu teks al-Qur`an, namun hasil penafsirannya akan berbeda
satu sama lain.
Quraish Shihab menjelaskan bahwa berpikir secara
kontemporer tidak berarti menafsirkan al-Qur`an sesuai dengan teori-teori
ilmiah ataupun penemuan baru. Kita dapat menggunakan pendapat para ulama dan
cendikiawan, hasil percobaan dan pengalaman ilmuwan, mengasah otak dalam
membantu mengadakan ta’ammuldan tadabbur dalam membantu memahami
arti ayat-ayat al-Qur`an tanpa mempercayai hipotesis atau pantangan.[19]
Kajian tafsir al-‘ilmi ini dapat diterima dan
dibolehkan asalkan tidak ada pemaksaan terhadap ayat-ayat al-Qur`an dan tidak
memaksa diri secara berlebihan untuk menangkap makna-makna ilmiah dari ayat
tersebut. Pemilihan arti-arti ayat harus sesuai dengan ketentuan bahasa dengan
tetap mengutamakan pengambilan arti zhahirnya selama tidak dilarang
oleh ‘aql dan naql dan harus tetap berada pada lingkaran
kemungkinan-kemungkinan arti yang dikandung oleh lafaz dan ayat tanpa melakukan
pengurangan atau penambahan.[20]
Beberapa contoh karya tafsir al-‘ilmi ini adalah:
1) Tafsir al-Kabir /
Mafatih Al-Ghaib (Fakhruddin Al-Razi)
2) Al-Jawahir fi
Tafsir al-Qur`an al-Karim (Thanthawi Jauhari)
3) Tafsir al-Ayat
al-Kauniyah (Abdullah Syahatah)
Jadi, kecendrungan dan keberagaman penafsiran
al-Qur`an menunjukkan kekayaan khazanah pemikiran umat Islam yang digali dari
al-Qur`an. Namun, kita harus memiliki sikap yang kritis dalam melihat
produk-produk tafsir tersebut. Apakah ada penyimpangan dan hidden
interest di balik penafsirannya?, Apakah penafsirannya disertai dengan
argument yang kuat ? jika ya, maka kita harus menghormatinya, meskipun kita
tidak mengikutinya.[21]
- Tafsir
berkecendrungan Adabi Ijtima’i (sosial masyarakat)
Tafsir ini adalah tafsir yang memiliki kecenderungan
kepada persoalan sosial kemasyarakatan. Tafsir jenis ini lebih banyak
mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan perkembangan kebudayaan masyarakat
yang sedang berlangsung. Kecendrungan tafsir ini berusaha memahami teks
al-Qur`an dengan cara, pertama dan utama, mengemukakan ungkapan-ungkapan
al-Qur`an secara teliti, selanjutnya menjelaskan makna-makna yang dimaksud oleh
al-Qur`an tersebut dengan gaya bahasa yang indah dan menarik, kemudian berusaha
menghubungkan nash-nash al-Qur'an yang tengah dikaji dengan kenyataan
sosial dan sistem budaya yang ada. Pembahasan tafsir ini sepi dari penggunaan
istilah-istilah ilmu dan teknologi, dan tidak akan menggunakan istilah-istilah
tersebut kecuali jika dirasa perlu dan hanya sebatas kebutuhan.[22]
Metode Adabi Ijtima’i dalam
segi keindahan (balaghah) bahasa dan kemu’jizatan al-Qur`an,
berusaha menjelaskan makna atau maksud yang dituju oleh al-Qur`an, berupaya
mengungkapkan betapa al-Qur`an itu mengandung hukum-hukum alam raya dan
aturan-aturan kemasyarakatan, melalui petunjuk dan ajaran al-Qur`an, suatu
petunjuk yang berorientasi kepada kebaikan dunia dan akhirat, serta berupaya
mempertemukan antara ajaran al-Qur`an dan teori-teori ilmiah yang benar. Juga
berusaha menjelaskan kepada umat, bahwa al-Qur`an itu adalah Kitab Suci yang
kekal, yang mampu bertahan sepanjang perkembangan zaman dan kebudayaan manusia
sampai akhir masa, berupaya melenyapkan segala kebohongan dan keraguan yang
dilontarkan terhadap al-Qur`an dengan argumen-argumen yang kuat yang mampu
menangkis segala kebatilan, karena memang kebatilan itu pasti lenyap.
Unsur yang membentuk masyarakat ada tiga yakni:
Manusia, alam dan hubungan atau interaksi sosial. Unsur ketiga yang harus kita
kaji untuk menemukan di manakah letak posisi manusia dalam interaksi sosial,
sesuai dengan konsepsi yang dikehendaki oleh al-Qur`an. Manusia adalah makhluk
sosial yang memiliki ketergantungan (interdependensi) satu sama lain dalam
kehidupannya. Bertolak dari kebutuhan sosiologisnya itu, seluruh manusia akan
memiliki kecenderungan yang sama, yaitu membentuk kesatuan sosial, yang pada
akhirnya melahirkan sebuah Negara.
Dilihat dari segi sifatnya, hubungan sosial tersebut
terbagi dua, yaitu: pertama hubungan fungsional, hubungan ini adalah hubungan
sosial yang lebih bertendensikan kejasaan. Sedangkan yang kedua
adalah hubungan persaudaraan yang diikat kesamaan agama. ini adalah
hubungan antara manusia dengan sesamanya, berkaitan dengan pemerataan
kesejahteraan, gesekan kebudayaan dan berbagai bidang kehidupan sosial
lainnya.Dan pada hari akhir nanti Allah tidak menanyai manusia
mengenai pendapat para mufasir, dan tentang bagaimana mereka memahami
al-Qur`an. Tetapi ia akan menanyakan kepada kita tentang kitab-Nya yang Ia
wahyukan untuk membimbing dan mengatur manusia. Kesimpulannya adalah
menjelaskan al-Qur`an kepada masyarakat luas dengan maknanya yang praktis, bukan
hanya untuk ulama yang professional. Masyarakat awam maupun ulama, menyadari
relevansi terbatas yang dimiliki tafsir-tafsir tradisional, tidak akan
memberikan pemecahan terhadap masalah-masalah penting yang mereka hadapi
sehari-hari. Agar para ulama itu yakin, bahwa mereka seharusnya membiarkan
al-Qur`an berbicara atas nama dirinya sendiri, bukan malah diperumit
dengan penjelasan-penjelasan
dan keterangan-keterangan yang ada.
Nuansa sosial kemasyarakatan yang dimaksud di sini
adalah tafsir yang menitik beratkan penjelasan ayat al-Qur`an dari:
a. Segi ketelitian redaksinya,
b. Kemudian menyusun kandungan ayat-ayat
tersebut dalam suatu redaksi dengan tujuan utama memaparkan tujuan-tujuan
al-Qur`an yang menonjol pada tujuan utama yang diuraikan al-Qur’an.
c. Penafsiran ayat dikaitkan
dengan Sunnatullahyang berlaku dalam masyarakat.
Tafsir sosial kemasyarakatan ingin menghindari adanya
kesan cara penafsiran yang seolah-olah menjadikan al-Qur`an terlepas dari akar
sejarah kehidupan manusia, baik secara individu maupun sebagai kelompok.
Akibatnya, tujuan al-Qur`an sebagai petunjuk dalam kehidupan manusia terlantar.
Para Pelopor Kitab Tafsir Kecendrungan Adabi Ijtima’i menginginkan
penafsiran al-Qur`an kontemporer adalah upaya melahirkan
konsep-konsep Qur`ani sebagai jawaban terhadap tantangan dan problematika
kehidupan modern dan upaya mempertemukan antara al-Qur`an dan Sains modern yang
selalu berkembang dengan cepat dalam batas yang wajar dan ditoleransi oleh
Islam, dengan motivasi lebih menegaskan I’jaz Ilmi al-Qur`an. Dalam
bidang kemasyarakatan dan politik, maka tafsir yang sangat dibanyak dipelajari
adalah tafsir yang terbit pada abad ke-19 dan 20.[23]
Tokoh utama kecendrungan adabi ijtima’i
ini adalah Muhammad Abduh sebagai peletak dasarnya,
dilanjutkan oleh muridnya Rasyid Ridha, di era selanjutnya adalah Fazlurrahman,
Muhammad Arkoun.
- Tafsir
berkecendrungan Lughawi
Tafsir berkecendrungan Lughawi atau kebahasaan adalah
sebuah tafsir yang cendrung kebidang bahasa. Penafsirannya meliputi segi
I’rab, Harakat, Bacaan, Pembentukan kata, Susunan kalimat dan Kesusastraannya.
Tafsir semacam ini selain menjelaskan maksud-maksud ayat-ayat al-Qur`an juga
menjelaskan segi-segi kemu’jizatannya.
Tafsir yang tergolomg baru di dunia Arab ini, yakni
sekitar abad ke-14 H, yang diperkenalkan oleh Sayyid Quthb pada karyanya “
Fi Dhilal al-Qur`an”. Selain itu, dia pun menulis dua buah buku yang
diberi judul: “al-Taswir al-Fanni Fi al-Qur`an” dan “Masyahid
al-Qiyamat Fi al-Qur`an”. Kedua buku terakhir ini lebih kecil
daripada kitab karangannya yang pertama (Fi Dhilal al-Qur`an). Akan
tetapi, ketiga kitab tersebut memiliki ruh (tujuan atau fungsi) yang
sama yakni berusaha untuk mencapai pemahaman kecendrungan atau kecendrungan
sastra dalam al-Qur`an. Tafsir berkecendrungan Lughawi yang mengandung Adabi
ini tetlepas pemaparannya dari berbagai ungkapan yang berhubungan dengan kajian
Nahwu, aturan-aturan kebahasaan, istilah-istilah Balaghah, atau kajian-kajian
lainnya yang menjadi kecendrungan tafsir-tafsir lain.
Sebagai contoh yang dikemukakan oleh Sayyid Quthb adalah
Q.S. al-Hajj (22): 11;
z`ÏBur Ĩ$¨Z9$# `tB ßç7÷èt ©!$# 4n?tã 7$öym ( ÷bÎ*sù ¼çmt/$|¹r& îöyz ¨br'yJôÛ$#¾ÏmÎ/ ( ÷bÎ)ur çm÷Ft/$|¹r& îpuZ÷FÏù |=n=s)R$# 4n?tã ¾ÏmÎgô_ur uÅ£yz $u÷R9$# notÅzFy$#ur 4y7Ï9ºs uqèd ãb#uô£ãø9$# ßûüÎ7ßJø9$# ÇÊÊÈ
Artinya: “ Dan di antara manusia
ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi Maka jika ia memperoleh
kebajikan, tetaplah ia dalam Keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu
bencana, berbaliklah ia ke belakang. rugilah ia di dunia dan di akhirat. yang
demikian itu adalah kerugian yang nyata”.
Dalam tafsirannya, Sayyid Quthb menggambarkan seseorang
yang sedang berada di tempat yang tinggi, kemudian dia mendekatinya, dan
didapatinya sedang melakukan sembahyang. Akan tetapi orang tersebut tidak
memiliki pijakan yang stabil sehingga tidak dapat menguasai dirinya, dia
bergerak kesana kemari dan hampir jatuh, sementara saya, kata Sayyid Quthb,
berada dihadapannya mengikuti gerakannya dengan nikmat. Demikianlah tafsir
Lughawiyang mengandung Adabi yang dikemukakan Sayyi Quthb terhadap ayat
diatas yang tentu saja dengan menggunakan tutur bahasa Arab yang indah disimak.[24]
- Tafsir
berkecendrungan Teologi (Kalam)
Tafsir berkecendrungan Teologi (Kalam) ialah tafsir
dengan kecendrungan pemikiran Kalam, atau tafsir yang memiliki warna pemikiran
kalam. Tafsir semacam ini merupakan salah satu bentuk penafsiran al-Qur`an yang
tidak hanya ditulis oleh simpatisan kelompok Teologis tertentu, tetapi lebih
jauh lagi merupakan tafsir yang dimanfaatkan untuk membela sudut pandang
Teologi tertentu. Paling tidak tafsir model ini akan lebih banyak membicarakan
tema-tema Teologis dibandingkan mengedepankan pesan-pesan pokok al-Qur`an.
Salah satu kitab tafsir yang berkecendrungan Teologi adalah Tafsir Mu’tazilah.[25]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sebagai penutup dari tulisan ini penulis
mengetengahkan beberapa
kesimpulan yang menjadi poin yang perlu ditegaskan yaitu:
Pertama, tafsir sufi, ialah tafsir
dengan kecenderungan menta`wilkan al-Qur`an selain dari apa yang tersirat,
dengan berdasarkan isyarat-isyarat yang nampak pada ahli ibadah.
Kedua, tafsir fiqhi, ialah
kecenderungan tafsir dengan metode fiqh sebagai basisnya, atau dengan kata
lain, tafsir yang berada di bawah pengaruh ilmu fiqh, karena fiqih sudah
menjadi minat dasar mufasirnya sebelum dia melakukan usaha penafsiran.
Ketiga, tafsir falsafi, ialah
kecenderungan tafsir dengan menggunakan teori-teori filsafat, atau tafsir
dengan dominasi filsafat sebagai pisau bedahnya. Tafsir semacam ini pada
akhirnya tidak lebih dari deskripsi tentang teori-teori filsafat.
Keempat, tafsir Ilmi, adalah
kecenderungan menafsirkan al-Qur`an dengan memfokuskan penafsiran pada kajian
bidang ilmiah, yakni untuk menjelaskan ayat-ayat yang berkaitan dengan alam.
Atau tafsir yang memberikan hukum terhadap istilah alamiah dalam ibarat
al-Qur`an.
Kelima, tafsir adabi ijtima’i atau tafsir sosiologi antropologi adalah
tafsir yang memiliki kecenderungan pemaknaan
ayat al-Qur’an kepada persoalan sosial
kemasyarakatan. Tafsir jenis ini lebih banyak mengungkapkan hal-hal yang berkaitan
dengan perkembangan kebudayaan masyarakat yang sedang berlangsung.
Tafsir adabi ijtima’i merupakan kecenderungan
tafsir baru yang menarik pembaca dan menumbuhkan kecintaan kepada al-Qur’an
serta memotivasi untuk menggali makna-makna dan rahasia-rahasia
al-Qur’an.
Di antara kitab tafsir yang bercorak adabi
ijtima’i adalah Tafsir al-Mannar karya Muhammad
’Abduh dan Rashid Rida.
Keenam, adalah tafsir Lughawi adalah sebuah tafsir yang cendrung
kebidang bahasa. Penafsirannya meliputi segi I’rab, Harakat, Bacaan,
Pembentukan kata, Susunan kalimat dan Kesusastraannya. Tafsir semacam ini
selain menjelaskan maksud-maksud ayat-ayat al-Qur`an juga menjelaskan segi-segi
kemu’jizatannya
Ketujuh, tafsir kecenderungan Teologi (Kalam) ialah
tafsir dengan kecendrungan pemikiran Kalam, atau tafsir yang memiliki warna
pemikiran kalam. Tafsir semacam ini merupakan salah
satu bentuk penafsiran al-Qur`an yang tidak hanya ditulis oleh simpatisan
kelompok Teologis tertentu, tetapi lebih jauh lagi merupakan tafsir yang
dimanfaatkan untuk membela sudut pandang Teologi tertentu.
Demikianlah beberapa hal yang dapat disimpulkan
mengenai pembahasan kecenderungan - kecenderungan tafsir. Sebagaiman yang
dipahami dalam pejalananya selalu mengalami perkembangan sehingga dapat
dipastikan kita akan menemui beraneka corak-corak penafsiran yang lain.
B.
Kata Penutup
Dengan mengucap segala puji bagi Allah,
akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan dan penyusunan makalah ini,
namun penulis tetap mengharapkan kritik dan saran kepada para pembaca. Sehingga makalah ini dapat mendekati kekesempurnaan.
DAFTAR PUSTAKA
al-Dzahabi, Muhammad Husein, al- Tafsir wa
al-Mufassirun. Nasyr: Tuzi’, 2005.
Izzan, Ahmad. Metodologi Ilmu Tafsir. Bandung: TAFAKUR, 2011.
Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur’an. Bandung:
Mizan. 1992.
Baidan, Nashruddin. Wawasan Baru Ilmu
Tafsir, Yogyakarta: pustaka pelajar, 2005.
Mustaqim, Abdul. Aliran-Aliran Tafsir; Dari Periode Klasik hingga
Kontemporer. Yogyakarta: Kreasi Warna, 2005.
Amal, Taufik Adnan dkk. Tafsir Kontekstual al-Qur’an.Bandung: Mizan,
1990.
Al-Farmawi, Abd. Al-hay. Metode Tafsir Mawdhu’i. Jakarta:
PT RajaGraffindo Persada, 1994.
Anwar, Rosihon. Ilmu Tafsir. Bandung: CV PUSTAKA
SETIA, 2005.
Khaeruman, Badri. Sejarah Perkembangan Tafsir
Al-Quran. Bandung: Pustaka Setia, 2004.
Muhammad, A. Mufakhir. Tafsir ‘Ilmi. Banda Aceh: Yayasan
PeNA, 2004.
Mustaqim, Abdul. Pergeseran Epistimologi Tafsir.Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008.
Quthb, Sayyid. Fi Dhilal al-Qur`an. Kairo: Dar al-Syuruq,
1945.
[1] Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung:
Tafakur, 2011), h. 199
[2] Ibid.,,, h.122.
[3]
Jibril, Madkhal ila Manahij al-Mufassirin, (Kairo: al-Risalat, 1978), 135.
[4] Ibid,
443.
[5] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung:
Mizan. 1992). h. 72.
[6] Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: pustaka pelajar, 2005). h, 386
[7] Abdul Mustaqim, Aliran-Aliran
Tafsir; Dari Periode Klasik hingga Kontemporer, (Yogyakarta: Kreasi
Warna, 2005) h. 70
[8] Taufik Adnan Amal,
dkk. Tafsir Kontekstual al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1990), h.
24.
[9] Muhammad Husein
al-Dzahabi, al- Tafsir wa al-Mufassirun, (Nasyr: Tuzi’, 2005), h.
99
[10] Abd. Al-hay Al Farmawî, Metode
Tafsir Mawdhû’î, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h.h. 18
[11] Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir,(Bandung:
CV PUSTAKA SETIA, 2005) h, 169
[12] Muhammad Husein
al-Dzahabi, al- Tafsir wa al-Mufassirun, h. 419.
[13] Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir,,,,. h, 170
[14] Muhammad Husein al-Dzahabi, Tafsir wa al-Mufassirun, (Maktabah
Wahbah: Al-Qahirah, 2000), Juz II h. 349
[15] Badri Khaeruman, Sejarah
Perkembangan Tafsir Al-Quran, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), h.
108
[16] A. Mufakhir
Muhammad, Tafsir ‘Ilmi, (Banda Aceh: Yayasan PeNA,
2004), h. 3
[17] A. Mufakhir
Muhammad, Tafsir ‘Ilmi., h. 81
[18]M. Quraish
Shihab. Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1994), h. 53
[19] ibid.,, h. 57
[20] ‘Abd Al-Hayy
Al-Farmawi, Metode Tafsir .,,, h. 27
[21] Abdul Mustaqim, Pergeseran
Epistimologi Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008) h. 59
[22] Muhammad Husein
al-Dzahabi, Tafsir wa al-Mufassirun, Juz III,. h. 214.
[23] Muhammad Husein
al-Dzahabi, Tafsir wa al-Mufassirun, Juz III,. h. 214
[24] Sayyid Quthb, Fi
Dhilal al-Qur`an. (Kairo: Dar al-Syuruq, 1945), h. 7
[25] Abdul Mustaqim, Aliran-Aliran
Tafsir., h. 70
0 komentar:
Posting Komentar