MENGUNGKAP KESETARAAN GENDER DALAM AL-QUR’AN (Telaah Pemikiran Amina Wadud dan Nasiruddin Umar)
A.
Latar Belakang
Kajian tafsir
al-Qur’an merupakan sebuah petunjuk bagi orang yang hidup dala muka bumi ini,
yang bisa membimbing umatnya kejalan yang benar da bisa menjawab problem yang
ada dibumi yang sudah terbingkai dalam ayat-ayat tersebut.
Kesetaraan
merupakan keadaan yang menunjukkan adanya tingkatan yang sama, kedudukan yang
sama, tidak lebih tinggi atau tidak lebih rendah antara satu sama lain.
Kesetaraan manusia bermakna bahwa manusia sebagai mahkluk Tuhan memiliki
tingkat atau kedudukan yang sama. Tingkatan atau kedudukan yang sama itu
bersumber dari pandangan bahwa semua manusia tanpa dibedakan adalah diciptakan
dengan kedudukan yang sama, yaitu sebagai makhluk mulia dan tinggi derajatnya
dibanding makhluk lain.
Al Qur’an
memandang sama antara kedudukan laki-laki dan perempuan. Tidak ada perbedaan
antara laki-laki dan perempuan, kalaupun ada maka itu adalah akibat fungsi dan
tugas-tugas utama yang dibebankan agama kepada masing-masing jenis kelamin
melalui ajaran al qur’an dan as sunnah.[1]
Sehingga perbedaan yang ada tidak mengakibatkan yang satu merasa memiliki
kelebihan atas yang lain, melainkan mereka saling melengkapi dan perbedaan yang
mendasar adalah dalam dalam ketaqwaan dan amal shaleh.Pembahasan mengenai
jender memang sudah sangat banyak dibicarakan ditegah-tengah masyarakat kita,
akan tetapi banyak hal yang harus difahami bahkan dipelajari tentang hal ini,
karena keasalahan dalam memaknai kata “jender” akan menimbulkan permasalahan
yang besar dan yang sering terjadi ditengah-tengah masyarakat kita adalah
adanya diskriminasi. Hal ini karena minim pengetahuan dan pemahaman akan konsep
jender yang sebenarnya.[2]
Adapun Berbagai kajian tentang
perempuan digelar, di kampus-kampus, dalam berbagai seminar, tulisan-tulisan di
media massa, diskusi-diskusi, berbagai penelitian dan sebagainya, yang hampir
semuanya mempersoalkan tentang diskriminasi dan ketidakadilan yang menimpa kaum
perempuan. Pusat-pusat studi wanita pun menjamur di berbagai universitas yang
semuanya muncul karena dorongan kebutuhan akan konsep baru untuk memahami
kondisi dan kedudukan perempuan dengan menggunakan perspektif yang baru.
Namun ironisnya, di tengah gegap
gempitanya upaya kaum feminis memperjuangkan keadilan dan kesetaraan gender
itu, masih banyak pandangan sinis, cibiran dan perlawanan yang datang tidak
hanya dari kaum laki-laki, tetapi juga dari kaum perempuan sendiri. Masalah
tersebut mungkin muncul dari ketakutan kaum laki-laki yang merasa terancam oleh
kebangkitan perempuan atau mungkin juga muncul dari ketidaktahuan mereka, kaum
laki-laki dan perempuan akan istilah gender itu sendiri dan
apa hakekat dari perjuangan gender tersebut.
Pembedaan laki-laki dan
perempuan berlandaskan gender mungkin tidak akan mendatangkan masalah
jika pembedaan itu tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities)
baik bagi kaum laki-laki maupun bagi kaum perempuan.[3]
Meski ketidakadilan itu lebih banyak dirasakan oleh kaum perempuan, sehingga
bermunculanlah gerakan-gerakan perjuangan gender. Ketidakadilan gender tersebut
antara lain termanifestasi pada penempatan perempuan dalam stratifikasi sosial
masyarakat, yang pada kelanjutannya telah menyebabkan kaum perempuan mengalami
apa yang disebut dengan marginalisasi dan subordinasi.[4]
Keironisan itu akan bertambah
komplek lagi ketika tema gender ini dikaitkan dengan peran keagamaan
lebih-lebih lagi yang dilegimitasi dengan ayat dan hadis yang dihubungkan
dengan gerakan feminisme. Diskursus gender yang menjadi wacana perbincangan ini
yang akan dilihat dan disorot dalam tulisan ini namun dengan spesifik melihat
pada perspektif Alquran dan Hadis yang berbicara tentang tema-tema yang
mengandung bias gender. Tulisan ini akan dibingkai dalam pembahasan tentang
pengertian gender dan sejarahnya dan kemudian akan dilihat dari perspektif
Alquran dan Hadis-hadis yang berbicara tentang bias gender seperti asal
kejadian laki-laki dan perempuan, masalah kepemimpinan perempuan, waris dan
pernikahan.
Berkaitan
dengan hal ini ada beberapa tema hangat seputar konsepsi gender yang menjadi
diskursus perbincangan lebih-lebih yang dilegitimasi dengan ayat-ayat Alquran
yang memang mengandung unsur bias gender, diantaranya adalah hal-hal berikut:
tentang asal kejadian manusia
Mengenai
asal kejadian manusia ini, Alquran menyatakan dalam surah An-Nisa’(4): 1,
sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي
خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا
كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ
اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا (1) [النساء : 1
Artinya: Hai sekalian manusia,
bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan
dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah
memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah
kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama
lain,[5]
dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
mengawasi kamu.[6]
Alquran,
yang diwahyukan dalam bahasa Arab yang fasih, mengenal pembedaan
antara kata-ganti (dhamir/pronoun) laki-laki dan perempuan,
baik sebagai lawan bicara atau orang kedua (mukhatab), maupun
sebagai orang ketiga (ghaib), namun perbedaan itu tidak ada sebagai
orang pertama (mutakallim). Dalam tradisi penggunaan bahasa Arab,
penggunaan bentuk maskulin, sebagai orang kedua atau ketiga, mencakup juga yang
feminin. Pengucapan salam, assalamu ‘alaikum, misalnya, yang
memakai bentuk maskulin (kum), mencakup juga audiensi perempuan, hingga
terasa ‘berlebihan’ untuk menambahi ‘alaikunna yang
secara langsung menunjuk kaum perempuan.
Mengingat
tradisi bahasa Arab di atas, Alquran merasa penting untuk mengulang-ulang kedua
bentuk (maskulin dan feminin) secara berpasangan untuk menekankan kesetaraan
pria dan wanita dalam berbagai aspek kehidupan, disebutkan dalam QS. al-Ahzab
(33):35, sebagai berikut:
إِنَّ الْمُسْلِمِينَ
وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ
وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ
وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ
وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ
أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا (35) [الأحزاب : 35
Artinya: Sesungguhnya laki-laki dan perempuan
yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin,[7]
laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan
yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang
khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang
berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan
perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk
mereka ampunan dan pahala yang besar.[8]
Al Qur’an
memandang sama antara kedudukan laki-laki dan perempuan. Tidak ada perbedaan
antara laki-laki dan perempuan, kalaupun ada maka itu adalah akibat fungsi dan
tugas-tugas utama yang dibebankan agama kepada masing-masing jenis kelamin
melalui ajaran al qur’an dan as sunnah. Sehingga perbedaan yang ada tidak
mengakibatkan yang satu merasa memiliki kelebihan atas yang lain, melainkan
mereka saling melengkapi dan perbedaan yang mendasar adalah dalam dalam
ketaqwaan dan amal shaleh.
Adapun
Pemikiran feminisme Amina Wadud pada hakikatnya merupakan suatu afirmasi bahwa
perempuan adalah manusia utuh. Maka itu, dia menolak wacana patriarkal yang
tampil secara agresif terhadap perempuan. Menurut Wadud, ketimpangan gender
dalam masyarakat Islam adalah karena penafsiran Alquran didominasi oleh budaya
patriarki, yaitu budaya yang mentolerir adanya penindasan terhadap perempuan.
Patriarki merupakan alat yang digunakan laki-laki untuk mendukung hegemoninya
dalam dominasi dan superioritas. Oleh karena itu, Wadud menggagas ide tentang
Islam tanpa patriarki dan menurutnya, ide bisa tumbuh dari imajinasi, maka dia
mengimajinasikan akhir dari patriarki..
Pemikiran feminisme Wadud berfokus pada masalah eksistensi, hak-hak dan
peran perempuan menurut Alquran.
Perspektif Wadud melihat masalah di atas menunjukkan bahwa Wadud
menerima perspektif feminisme liberal dan eksistensialis. Wadud merasa perlu
menggali makna terdalam mengenai
eksistensi, hak dan peran perempuan dalam Alquran. Disisi lain,
perjuangan Wadud untuk menghapus seksisme (paham yang membenci perempuan)
melalui perjuangan menjadi imam perempuan, memperlihatkan bahwa pemikiran Wadud mendapat pengaruh dari teori
feminisme radikal.
Menurut
Wadud, tafsir klasik yang bercorak atomistik telah menghasilkan produk tafsir
yang membatasi peran perempuan bahkan membenarkan kekerasan terhadap perempuan.
Disamping itu, muffasir klasik hampir semua laki-laki, sehingga hanya
kepentingan dan pengalaman laki-laki yang mempengaruhi produk tafsirnya,
sedangkan kepentingan perempuan dan pengalamannya diabaikan. Sementara
itu, dalam studi Islam modern,
sekalipun banyak ditawarkan berbagai
hermeneutika yang berpihak kepada keadilan sosial tapi belum ada metode
hermeneutika yang berpihak kepada keadilan gender. Sehubungan dengan itu, maka
terlihat pentingnya penafsiran Alquran berbasis feminis, yaitu mengacu kepada
ide kesetaraan dan keadilan gender dan menolak sistem patriarki. Metode
penafsiran Alquran yang mengacu kepada ide kesetaraan dan keadilan gender
diberi nama hermeneutika feminisme.
Sehingga problem
metodologis dalam penafsiran Alquran telah melahirkan penafsiran yang bias
gender dan telah membuat perempuan menjadi subordinat dan tertindas. Isu-isu
gender dalam tafsir klasik telah
melahirkan pandangan bahwa kedudukan
perempuan lebih rendah dari laki-laki dan
kemanusiaan perempuan tidak utuh. Dalam upaya mencapai kesetaraan dan
keadilan gender, bias gender dalam penafsiran Alquran perlu dibongkar untuk
direinterpretasi dengan pendekatan hermeneutika feminisme.
Akan tetapi Nasaruddin Umar melihat bahwa setiap kata dalam al-Qur'an tidak hanya mempunyai makna literal. Dalam disertasinya Nasaruddin Umar mendapati ketika pengungkapan laki-laki dan perempuan dari segi biologis maka al-Qur'an menggunakan al-zakr dan al-unsa. Sementara dari segi beban sosial seringkali menggunakan istilah al-rajul/al-rijal dan al-mar'ah alnisa'. Dari sini cukup jelas sekali bahwa perbedaan-perbedaan laki-laki dan perempuan tidaklah menjadi justification dan menolak jika perempuan lebih unggul dari laki-laki. Maka bisa saja seseorang yang secara biologis dikategorikan sebagai perempuan, tetapi dari sudut gender dapat berperan sebagai laki-laki atau sebagai perempuan. Dengan kapasitas intelektual yang dimiliki, suatu keniscayaan bagi perempuan menjadi yang lebih unggul dari laki-laki (menjadi pemimpin). Dengan demikian konsep dan manifestasi dari relasi gender lebih dinamis. Jadi pada intinya antara laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki potensi, sama-sama memiliki tanggung jawab sebagai hamba allah, dan sama-sama memiliki peluang untuk berprestasi dalam bidang apapun sehingga tidak ada diskriminasi antara keduanya.[9] Tentunya model dari pemikira ini sangat menarik dengan sisi persamaan dan perbedaannya sebagai jalan untuk memahai penafsiran ataupun pengertian Gender yang sesungguhnya. Untuk memfokuskan dalam sebuah penelitian, makan peneliti membatasi dalam bingkai judul “MENGUNGKAP KESETARAAN GENDER DALAM AL-QUR’AN (Telaah Pemikiran Amina Wadud dan Nasiruddin Umar)”
B.
Rumusan Masalah
Dari
uraian diatas penulis dapat mengambil pokok permasalahan:
1.
Bagaimana Konsep kesetaraan gender Amina Wadud dan Nasaruddin Umar
?
2.
Sejauh mana Kesamaan dan perbedaan konsep kesetaraan gender Amina
Wadud dan Nasaruddin Umar ?
3.
Bagaimana implikasi pemikiran kedua model pendekatan feminisme/gender
tersebut ?
C.
Tujuan Pembahasan
1.
Untuk menjelaskan konsep kesetaraan gender Amina Wadud dan
Nasaruddin Umar
2.
Untuk membandingkan sejauh mana Kesamaan dan perbedaan kesetaraan
gender Amina Wadud dan Nasaruddin Umar
3.
Untuk mengetahui implikasi pemikiran kedua model pendekatan feminism/gender
D.
Pembatasan Masalah
Penelitian ini hanya akan mengkaji tentang ayat-ayat al-Qur’an yang
berhubungan dengan gender yang berkiblat pada telaah pemikiran kedua tokoh Amina wadud dan Nasaruddin Umar.
E.
Tinjauan Pustaka
Kesetaraan Gender Menurut Nasaruddin Umar Dan Ratna Megawangi (Studi
Komparasi Pemikiran Dua Tokoh) [10]
ia menulis tentang pemikiran feminisme nasaruddin umar dan ratna Megawangi,
yang mengkomparasikan pemikiranya.
Kesetaraan
Gender Dalam Islam (studi atas pemikiran nasaruddin umar dan kh. Husein
muhammad)[11]
ia mengungkap tentang ayat-ayat yang bersifat global tidak bertolok ukur dalam
tokoh tertentu. Dalam penelitian ini yang akan peneliti teliti tentunya berbeda
dengan penelitian yang sudah ada. Penelitian ini, akan lebih aplikatif dengan
mengungkap pengertian-pengertian gender secara global ataupun yang berada dalam
al-Qur’an, yang mengusung pemikiran dari kedua tokoh yang sifatnya sebagai
wacana baru yang lebih ke-obyek yakni perempuan.
F.
Kajian Teori
1.
Feminisme
Sekalipun telah banyak ditawarkan berbagai hermeneutika bagi
Alquran yang berpihak kepada keadilan social seperti yang dibawa oleh Hassan
Hanafi, Shahrur, Nasr Hamid Abu Zayd, Falur Rahman, tapi belum ada metode
hermeneutika yang berpihak kepada keadilan gender. Oleh karena itu, untuk
memproduksi tafsir yang berkeadilan gender, diperlukan hermeneutika feminisme.
Para intelektual feminis Islam menawarkan hermeneutika feminisme sebagai metode penafsiran Alquran yang mengacu kepada
ide kesetaraan dan keadilan gender.
Munculnya penafsiran Alquran dengan pendekatan hermeneutika
feminisme disebabkan dominannya sistem
patriarki dalam penafsiran Alquran, sehingga produk tafsir terkait perempuan
bersifat seksime, yaitu pemisahan peran perempuan dan laki-laki, dimana peran domestik
untuk perempuan dan peran publik untuk laki-laki sehingga melahirkan dominasi
laki-laki atas perempuan. Implikasi lebih jauh adalah meminggirkan
perempuan dalam segala aspek kehidupan. Sehubungan dengan itu, para
intelektual feminis Islam yang lahir dari perkembangan sosial dan politik
menawarkan cara baru penafsiran Alquran atau melakukan rekonstruksi metodologis
penafsiran Alquran. Berangkat dari pandangan bahwa penafsiran Alquran bersifat
universal, tidak hanya untuk masyarakat Arab abad ke 7 (waktu dan tempat
Alquran turun) serta berpegang pada prinsip-prinsip dasar Alquran, keadilan,
harmoni, kesetaraan manusia dan keesaan Allah,
maka intelektual feminis Islam, mengkritisi tafsir Alquran terkait
perempuan dan melakukan penafsiran ulang. Hal ini menandai munculnya penafsiran
Alquran dengan pendekatan hermeneutika feminisme.
Hermeneutika feminisme muncul pada akhir abad 20 ketika timbul
gerakan pembaharuan Islam di seluruh
dunia muslim. Para intelektual feminis Islam mulai melakukan studi Alquran
terkait perempuan dan menafsirkan ayat-ayat Alquran dengan menggunakan
hermeneutika feminisme. Tujuan digunakan hermeneutika feminisme sebagai metode
penafsiran Alquran adalah untuk
memproduk tafsir yang adil terhadap perempuan. Hal ini, penting untuk menghilangkan
relasi gender yang tidak adil dikalangan umat Islam, dimana laki-laki dipandang
lebih tinggi derajatnya dari perempuan. Keadilan gender merupakan prinsip utama
sebuah relasi fungsional untuk
merealisasikan misi penciptaan manusia di dunia, yaitu khalifah fi
al-ardi dan membentuk etika moralitas manusia.
Tafsir Alquran terkonstruksi secara kultural dan terstruktur secara
historis. Karenanya, kandungan tafsir tekstual, seperti metode tafsir klasik
(tafsir lama) tidak berlaku sepanjang
zaman. Sementara itu, ilmu tentang penafsiran secara ilmiah telah berkembang
luar biasa. Praktek tafsir tidak lagi berkutat di ranah epistemologis, seperti
dalam pemikiran F. Schleimacher dan W.Dilthey, tapi telah merambah kedalam
ranah ontologis seperti yang dibawa oleh
Heidegger dan Gadamer. Heidegger dan Gadamer telah mengingatkan bahwa ada
dimensi ontologis yang harus dipertimbangkan dalam sebuah penafsiran. Disisi lain, menydari bahwa otoritas religius
klasik telah memonopoli semua bidang pengetahuan Islam, termasuk tafsir
Alquran, maka terlihat urgensinya untuk melakukan studi tafsir Alquran berbasis
feminis untuk mengevaluasi peran dan kedudukan perempuan dalam Alquran, dengan
fokus perhatian pada kesetaraan gender dan keadilan social.
Teori-teori feminisme yang berintikan ide kesetaraan dan keadilan
gender menjadi bingkai untuk membangun hermeneutika feminisme. Hermeneutika
feminisme didasari pemahaman teori feminisme yang kuat. Pemikiran feminisme
beragam, ada yang mempersoalkan eksistensi perempuan, menolak seksisme dan
menegakkan hak-hak dan martabat perempuan dan lainnya. Hermeneutika feminisme membuktikan bahwa
Alquran tidak membedakan perlakuan terhadap laki-laki dan perempuan, yang
membedakan antara kedua gender ini adalah
taqwa.
Tokoh-tokoh intelektual feminis Islam yang menggunakan hermeneutika
feminisme bagi Alquran dapat dikategorikan
dalam dua generasi. Generasi pertama
adalah, Riffat Hassan, Azizah al-Hibri dan Amina Wadud dan generasi
kedua adalah, Asma Barlas, Sadiyya Shaikh and Kecia Ali. Menurut Hidayatullah
dalam bukunya Feminist Edges of the Qur’an (2014), generasi pertama telah
berjasa memunculkan penafsiran Alquran dengan pendekatan hermeneutika
feminisme. Generasi pertama ini bekerja sebagai “Trailblazers”, karena dalam
menghasikan karya, mereka berada di bawah tekanan yang luar biasa. Generasi
pertama mengalami dominasi kaum laki-laki, baik berbasis intelektual, gender
maupun ras dan kompetensi intelektual mereka sering dipertanyakan. Hal ini
menyebabkan karya mereka bernuansa melawan sistem patriarki dengan keras dan
banyak memuat pengalaman personal yang menunjukkan mereka tertindas. Generasi kedua dalam membangun karyanya tanpa
tekanan dan penindasan seperti generasi pertama. Jadi tulisan mereka tidak
menyertakan pengalaman personal.
Pengkategorian di atas didasarkan pada karakteristik karya mereka.
Ada perbedaan karakteristik dari kedua generasi ini dalam membangun karyanya.
Generasi pertama, terfokus pada karyanya masing-masing, tidak ada saling
mengutip dan mendiskusikan tema-tema yang mereka bahas dan tidak ada tidak ada
saling mendukung pandangan yang dikemukakan. Perjuangan generasi pertama ini
dipicu oleh peningkatan pergerakan perempuan dalam memperjuangkan hak-hak asasi
perempuan secara internasional, seperti konferensi Perempuan sedunia di Beijing
tahun 1995 yang melahirkan komitmen untuk membangun manusia melalui kesetaraan
gender dan CEDAW (Convention on the elimination of all forms of discrimination
against women) yang melahirkan komitmen penghapusan diskriminasi terhadap
perempuan.[12]
Generasi kedua muncul tahun 1990. Mereka meneruskan usaha yang telah dirintis
generasi pertama. Cara kerja generasi kedua ini lebih maju, terdapat kutip-mengutip pemikiran-pemikiran para
pendahulunya dan mereka mendiskusikan
karya-karya mereka. Pemikiran generasi kedua menunjukkan perkembangan
dimana mereka saling mendukung dan saling terkait antara satu sama lain.[13]
Hermeneutika feminisme dipublikasi atas nama organisasi perempuan
seperti Women Living Under Muslim Laws (jaringan internasional), Sister in
Islam (Malaysia) dan Zanan Magazine (Iran). Disamping itu, ada pula yang
merupakan karya-karya individual. Hermeneutika feminisme dapat dilihat dalam
pemikiran Riffat Hassan melalui karyanya Made from Adam’s Rib: The Woman’s
Creation Question (Jurnal, 1985), Azizah
al Hibri melalui Hagar on My Mind, Amina
Wadud melalui Qur’an and Women, Rereading the Sacred Text from a Woman’s
Perspective (1992), Asma Barlas melalui
Believing Woman in Islam: Unreading Patriarchal Interpretations of the
Qur’an (2002), Kecia Ali melalui Sexual Ethics &Islam : Feminist
Reflections on Qur’an,Hadith and Jurisprudency (2006). Sadiyya Shaikh melalui
Sufi Narratives of Intimacy: Ibn ‘Arabi, Gender, and Sexuality (2014).
2.
Kategori
Hermeneutika feminisme bercorak holistik. Kategori ini termasuk
baru belum ada pembahasan yang substansial mengenai isu khusus perempuan dari
sudut Alquran secara menyeluruh dan sesuai prinsip-prinsip utamanya. Secara
metodologis penafsiran Alquran terkait perempuan dibedakan dalam tiga kategori: tafsir klasik, reaktif dan
holistik. Kategori pertama adalah tafsir klasik, yaitu menginterpretasikan
seluruh isi Alquran baik dari periode
modern maupun klasik dengan tujuan
tertentu, seperti hukum, isoteris, gramatika, ritorika dan sejarah.
Sekalipun tujuan ini menimbulkan perbedaan dalam berbagai tafsir, tetapi
metodologi yang digunakan adalah sama yaitu
atomistik. Kategori kedua, adalah tafsir reaktif yaitu tafsir Alquran
yang merupakan reaksi para ulama modern terhadap berbagai kendala
berat yang dihadapi perempuan baik secara individual maupun sosial. Tujuan yang dicari adalah
sesuai dengan cita-cita kaum feminis dan metode yang digunakan berakar
dari dasar pemikiran feminis. Di sini
tidak ada analisis Alquran yang komprehensif sehingga tafsir
ini tidak berhasil membedakan antara penafsiran dan muatan Alquran.
Kategori ketiga adalah tafsir Alquran yang bersifat holistik, yaitu mempertimbangkan semua metode tafsir tentang
berbagai persoalan kehidupan sosial, politik, budaya, moral dan agama dan
perempuan serta memecahkan masalah secara komprehensif dengan mempertimbangkan
berbagai aspek. Hermeneutika feminisme mempertimbangkan tiga aspek penafsiran
yaitu, konteks, gramatika dan
welstanchauung (pandangan dunia) dari ayat yang ditafsirkan. Hal ini
dilakukan melalui analisis linguistik ,,asbab al-nuzul dan weltanschauung
Alquran. Dalam analisis linguistik selain melakukan kajian terhadap makna kata
dan istilah, perlu diprhatikan istilah
netral dan bergender. Istilah netral tidak dapat dilihat sebagai istilah
bergender dan hal-hal universal dan partikular
perlu didudukkan secara jelas.
Dalam analisis asbab al-nuzul diperhatikan latar belakang turunnya ayat, diperhatikan hal-hal universal dan partikular dan informasi historis dari peristiwa turunnya ayat. Asbab al-nuzul, adalah konsep yang menjelaskan latar belakang sosial dan historis turunnya ayat. Ada dua katagori ayat-ayat Alquran, yaitu ayat yang turun tanpa latar belakang sosial tertentu dan ayat yang turun setelah ada peristiwa atau persoalan yang perlu dijawab. Latar belakang sosial itu banyak dan berubah-ubah, maka ayat dengan tema yang sama turun berkali-kali. Bila tidak memperhatikan asbab al-nuzul dalam penafsiran Alquran, maka muncul produk tafsir yang sempit dan terbatas.[14]
G.
Metodologi Penelitian
Peniliti akan menggunakan metode penelitian kualitatif dengan
menggunakan jenis penelitian library research.[15] Dengan
sumber primer karya-karya Nasiruddin umar dan Amina Wadud. Sedagkan Sumber
sekundernya adalah kitab-kitab tafsir dan buku lain yang menjelaskan tentang
pemikiran kedua tokoh
H.
Sistematika Pembahasan
Bab pertama pendahuluan berisi tentang latar belakang, rumusan
masalah, tujuan pembahasan, kajian teori, telaah pustaka, metodologi penelitian
dan sistematika penulisan
Bab kedua akan membahas feminisme, gender dan perkembangannya
berisi tentang gambaran tentang wacana gender, menyebutkab ayat-ayat al-Qur’an
yang berisi tentang gender, ketidak-adilan dalam gender, dan aliran-aliran
femunisme.
Bab ketiga biografi Anima Wadud dan Nasaruddin Umar berisi tentang
riwayat hidup, pendidikan dan karya-karyanya.
Bab keempat komparasi gagasan kedua Tokoh berisi tentang telaaj
kritis komparatif dan Pola pemikiran kedua tokoh.
Bab kelima berisi tentang penutup yang berisi kesimpulan dan saran.
Daftar Pustaka
Ibnu Kastir. 1996.
Tafsir al-Quran al-‘Adzim. Bairut: Darul Fikr.
Muhammad bin Isma’il Al-Amiru Al-Yamani Ash-Shan’ani. 1995 M/1415H.
Subulus Salam Syarah Bulughul Maram. Riyadh: Maktabah Nazzar Musthafa
Al-Baz.
Setda,
2000. Buku Saku Pemberdayaan Perempuan. Medan: buku pres.
John M. Echols dan Hassan Shadily. 1983. Kamus
Inggris-Indonesia cet. XII. Jakarta: Gramedia.
Nasaruddin Umar. 1999. Perspektif
Jender Dalam Al-Qur’an, Disertasi, Program
Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1
.Asyhari, (Studi
Komparasi Pemikiran Dua Tokoh). Skripsi thesis, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Suprianto, , (Kesetaraan
gender dalam Islam (studi atas pemikiran Nasaruddin Umar dan KH. Husein
Muhammad).Undergraduate (S1) (thesis, IAIN Walisongo,2014)
Mestika Zed, Metode Penelitian
Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obir Indonesia, 2008
M Quraish Shihab. 2000. Tafsir Al- Misbah,
Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati.
Nasaruddin
Umar, Arqumen Kesetaraan Gender: Perspektif
Alquran (Jakarta : Paramadina, 1999
[1]
Muhammad bin Isma’il Al-Amiru Al-Yamani Ash-Shan’ani, Subulus Salam Syarah
Bulughul Maram, (Riyadh: Maktabah Nazzar Musthafa Al-Baz, 1995 M/1415H),
h.1924
[2] Setda Kota
Medan, Buku Saku Pemberdayaan Perempuan (Medan: buku pres,
2000), h. 1.
[3] John M. Echols
dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia (Jakarta:
Gramedia, cet. XII, 1983), h. 265.
[4] Nasaruddin Umar, Perspektif Jender Dalam Al-Qur’an, Disertasi,
Program Pascasarjana IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1999, 1
[5] Menurut kebiasaan orang Arab, apabila
mereka menanyakan sesuatu atau memintanya kepada orang lain mereka mengucapkan
nama Allah seperti: As aluka billah artinya saya bertanya atau
meminta kepadamu dengan nama Allah.
[6] M Quraish
Shihab., Tafsir Al- Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian
Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati; 2000), h. 234.
[7] Yang dimaksud
dengan Muslim di sini ialah orang-orang yang mengikuti perintah dan larangan
pada lahirnya, sedang yang dimaksud dengan orang-orang mukmin di sini ialah
orang yang membenarkan apa yang harus dibenarkan dengan hatinya.
[8] Ibnu Kastir,
Tafsir al-Quran al-‘Adzim, (Bairut: Darul Fikr, 1996), h. 200.
[9] Ibid,
h. 20
[10] Asyhari, (Studi Komparasi Pemikiran Dua Tokoh). Skripsi thesis, UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta
[11]
Suprianto, , (Kesetaraan gender dalam Islam (studi atas pemikiran Nasaruddin
Umar dan KH. Husein Muhammad).Undergraduate (S1) (thesis, IAIN
Walisongo,2014)
[12]
Hidayatullah, Feminist Edges of the
Qur’an, h. 3
[13]
Hidayatullah, Feminist Edges of the Qur’an, h. 8
[14] Wadud, Qur’an
and Woman h. 130
[15] Mestika
Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obir Indonesia,
2008), h. 1
0 komentar:
Posting Komentar