Senin, 19 Juli 2021

MENGUNGKAP KESETARAAN GENDER DALAM AL-QUR’AN (Telaah Pemikiran Amina Wadud dan Nasiruddin Umar)

 MENGUNGKAP KESETARAAN GENDER DALAM AL-QUR’AN (Telaah Pemikiran Amina Wadud dan Nasiruddin Umar)


A.       Latar Belakang

Kajian tafsir al-Qur’an merupakan sebuah petunjuk bagi orang yang hidup dala muka bumi ini, yang bisa membimbing umatnya kejalan yang benar da bisa menjawab problem yang ada dibumi yang sudah terbingkai dalam ayat-ayat tersebut.

Kesetaraan merupakan keadaan yang menunjukkan adanya tingkatan yang sama, kedudukan yang sama, tidak lebih tinggi atau tidak lebih rendah antara satu sama lain. Kesetaraan manusia bermakna bahwa manusia sebagai mahkluk Tuhan memiliki tingkat atau kedudukan yang sama. Tingkatan atau kedudukan yang sama itu bersumber dari pandangan bahwa semua manusia tanpa dibedakan adalah diciptakan dengan kedudukan yang sama, yaitu sebagai makhluk mulia dan tinggi derajatnya dibanding makhluk lain.

Al Qur’an memandang sama antara kedudukan laki-laki dan perempuan. Tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, kalaupun ada maka itu adalah akibat fungsi dan tugas-tugas utama yang dibebankan agama kepada masing-masing jenis kelamin melalui ajaran al qur’an dan as sunnah.[1] Sehingga perbedaan yang ada tidak mengakibatkan yang satu merasa memiliki kelebihan atas yang lain, melainkan mereka saling melengkapi dan perbedaan yang mendasar adalah dalam dalam ketaqwaan dan amal shaleh.Pembahasan mengenai jender memang sudah sangat banyak dibicarakan ditegah-tengah masyarakat kita, akan tetapi banyak hal yang harus difahami bahkan dipelajari tentang hal ini, karena keasalahan dalam memaknai kata “jender” akan menimbulkan permasalahan yang besar dan yang sering terjadi ditengah-tengah masyarakat kita adalah adanya diskriminasi. Hal ini karena minim pengetahuan dan pemahaman akan konsep jender yang sebenarnya.[2]

Adapun Berbagai kajian tentang perempuan digelar, di kampus-kampus, dalam berbagai seminar, tulisan-tulisan di media massa, diskusi-diskusi, berbagai penelitian dan sebagainya, yang hampir semuanya mempersoalkan tentang diskriminasi dan ketidakadilan yang menimpa kaum perempuan. Pusat-pusat studi wanita pun menjamur di berbagai universitas yang semuanya muncul karena dorongan kebutuhan akan konsep baru untuk memahami kondisi dan kedudukan perempuan dengan menggunakan perspektif yang baru.

Namun ironisnya, di tengah gegap gempitanya upaya kaum feminis memperjuangkan keadilan dan kesetaraan gender itu, masih banyak pandangan sinis, cibiran dan perlawanan yang datang tidak hanya dari kaum laki-laki, tetapi juga dari kaum perempuan sendiri. Masalah tersebut mungkin muncul dari ketakutan kaum laki-laki yang merasa terancam oleh kebangkitan perempuan atau mungkin juga muncul dari ketidaktahuan mereka, kaum laki-laki dan perempuan akan istilah gender itu sendiri dan apa hakekat dari perjuangan gender tersebut.

Pembedaan laki-laki dan perempuan berlandaskan gender mungkin tidak akan mendatangkan masalah jika  pembedaan itu tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities) baik bagi kaum laki-laki maupun bagi kaum perempuan.[3] Meski ketidakadilan itu lebih banyak dirasakan oleh kaum perempuan, sehingga bermunculanlah gerakan-gerakan perjuangan gender. Ketidakadilan gender tersebut antara lain termanifestasi pada penempatan perempuan dalam stratifikasi sosial masyarakat, yang pada kelanjutannya telah menyebabkan kaum perempuan mengalami apa yang disebut dengan marginalisasi dan subordinasi.[4]

Keironisan itu akan bertambah komplek lagi ketika tema gender ini dikaitkan dengan peran keagamaan lebih-lebih lagi yang dilegimitasi dengan ayat dan hadis yang dihubungkan dengan gerakan feminisme. Diskursus gender yang menjadi wacana perbincangan ini yang akan dilihat dan disorot dalam tulisan ini namun dengan spesifik melihat pada perspektif Alquran dan Hadis yang berbicara tentang tema-tema yang mengandung bias gender. Tulisan ini akan dibingkai dalam pembahasan tentang pengertian gender dan sejarahnya dan kemudian akan dilihat dari perspektif Alquran dan Hadis-hadis yang berbicara tentang bias gender seperti asal kejadian laki-laki dan perempuan, masalah kepemimpinan perempuan, waris dan pernikahan.

Berkaitan dengan hal ini ada beberapa tema hangat seputar konsepsi gender yang menjadi diskursus perbincangan lebih-lebih yang dilegitimasi dengan ayat-ayat Alquran yang memang mengandung unsur bias gender, diantaranya adalah hal-hal berikut: tentang asal kejadian manusia

Mengenai asal kejadian manusia ini, Alquran menyatakan dalam surah An-Nisa’(4): 1, sebagai berikut:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا (1) [النساء : 1

Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain,[5] dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.[6]

 

Alquran, yang diwahyukan dalam bahasa Arab yang fasih, mengenal pembedaan antara  kata-ganti (dhamir/pronoun) laki-laki dan perempuan, baik sebagai lawan bicara atau orang kedua (mukhatab),  maupun sebagai orang ketiga (ghaib), namun perbedaan itu tidak ada sebagai orang pertama (mutakallim). Dalam tradisi penggunaan bahasa Arab, penggunaan bentuk maskulin, sebagai orang kedua atau ketiga, mencakup juga yang feminin. Pengucapan salam, assalamu ‘alaikum, misalnya, yang memakai bentuk maskulin (kum), mencakup juga audiensi perempuan, hingga terasa ‘berlebihan’ untuk menambahi ‘alaikunna  yang secara langsung menunjuk kaum perempuan.

Mengingat tradisi bahasa Arab di atas, Alquran merasa penting untuk mengulang-ulang kedua bentuk (maskulin dan feminin) secara berpasangan untuk menekankan kesetaraan pria dan wanita dalam berbagai aspek kehidupan, disebutkan dalam QS. al-Ahzab (33):35, sebagai berikut:

إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا (35) [الأحزاب : 35

Artinya: Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin,[7] laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.[8]

 

Al Qur’an memandang sama antara kedudukan laki-laki dan perempuan. Tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, kalaupun ada maka itu adalah akibat fungsi dan tugas-tugas utama yang dibebankan agama kepada masing-masing jenis kelamin melalui ajaran al qur’an dan as sunnah. Sehingga perbedaan yang ada tidak mengakibatkan yang satu merasa memiliki kelebihan atas yang lain, melainkan mereka saling melengkapi dan perbedaan yang mendasar adalah dalam dalam ketaqwaan dan amal shaleh.

Adapun Pemikiran feminisme Amina Wadud pada hakikatnya merupakan suatu afirmasi bahwa perempuan adalah manusia utuh. Maka itu, dia menolak wacana patriarkal yang tampil secara agresif terhadap perempuan. Menurut Wadud, ketimpangan gender dalam masyarakat Islam adalah karena penafsiran Alquran didominasi oleh budaya patriarki, yaitu budaya yang mentolerir adanya penindasan terhadap perempuan. Patriarki merupakan alat yang digunakan laki-laki untuk mendukung hegemoninya dalam dominasi dan superioritas. Oleh karena itu, Wadud menggagas ide tentang Islam tanpa patriarki dan menurutnya, ide bisa tumbuh dari imajinasi, maka dia mengimajinasikan akhir dari patriarki..          Pemikiran feminisme Wadud berfokus pada masalah eksistensi, hak-hak dan peran perempuan menurut Alquran.  Perspektif Wadud melihat masalah di atas menunjukkan bahwa Wadud menerima perspektif feminisme liberal dan eksistensialis. Wadud merasa perlu menggali makna terdalam mengenai  eksistensi, hak dan peran perempuan dalam Alquran. Disisi lain, perjuangan Wadud untuk menghapus seksisme (paham yang membenci perempuan) melalui perjuangan menjadi imam perempuan, memperlihatkan bahwa  pemikiran Wadud mendapat pengaruh dari teori feminisme radikal.

Menurut Wadud, tafsir klasik yang bercorak atomistik telah menghasilkan produk tafsir yang membatasi peran perempuan bahkan membenarkan kekerasan terhadap perempuan. Disamping itu, muffasir klasik hampir semua laki-laki, sehingga hanya kepentingan dan pengalaman laki-laki yang mempengaruhi produk tafsirnya, sedangkan kepentingan perempuan dan pengalamannya diabaikan. Sementara itu,  dalam studi Islam modern, sekalipun  banyak ditawarkan berbagai hermeneutika yang berpihak kepada keadilan sosial tapi belum ada metode hermeneutika yang berpihak kepada keadilan gender. Sehubungan dengan itu, maka terlihat pentingnya penafsiran Alquran berbasis feminis, yaitu mengacu kepada ide kesetaraan dan keadilan gender dan menolak sistem patriarki. Metode penafsiran Alquran yang mengacu kepada ide kesetaraan dan keadilan gender diberi nama hermeneutika feminisme.

Sehingga problem metodologis dalam penafsiran Alquran telah melahirkan penafsiran yang bias gender dan telah membuat perempuan menjadi subordinat dan tertindas. Isu-isu gender dalam tafsir klasik  telah melahirkan  pandangan bahwa kedudukan perempuan lebih rendah dari laki-laki dan  kemanusiaan perempuan tidak utuh. Dalam upaya mencapai kesetaraan dan keadilan gender, bias gender dalam penafsiran Alquran perlu dibongkar untuk direinterpretasi dengan pendekatan hermeneutika feminisme.

Akan tetapi Nasaruddin Umar melihat bahwa setiap kata dalam al-Qur'an tidak hanya mempunyai makna literal. Dalam disertasinya Nasaruddin Umar  mendapati ketika pengungkapan laki-laki dan perempuan dari segi biologis maka al-Qur'an menggunakan al-zakr dan al-unsa. Sementara dari segi beban sosial seringkali menggunakan istilah al-rajul/al-rijal dan al-mar'ah alnisa'. Dari sini cukup jelas sekali bahwa perbedaan-perbedaan laki-laki dan perempuan tidaklah menjadi justification dan menolak jika perempuan lebih unggul dari laki-laki. Maka bisa saja seseorang yang secara biologis dikategorikan sebagai perempuan, tetapi dari sudut gender dapat berperan sebagai laki-laki atau sebagai perempuan. Dengan kapasitas intelektual yang dimiliki, suatu keniscayaan bagi perempuan menjadi yang lebih unggul dari laki-laki (menjadi pemimpin). Dengan demikian konsep dan manifestasi dari relasi gender lebih dinamis. Jadi pada intinya antara laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki potensi, sama-sama memiliki tanggung jawab sebagai hamba allah, dan sama-sama memiliki peluang untuk berprestasi dalam bidang apapun sehingga tidak ada diskriminasi antara keduanya.[9] Tentunya model dari pemikira ini sangat menarik dengan sisi persamaan dan perbedaannya sebagai jalan untuk memahai penafsiran ataupun pengertian Gender yang sesungguhnya. Untuk memfokuskan dalam sebuah penelitian, makan peneliti membatasi dalam bingkai judul “MENGUNGKAP KESETARAAN GENDER DALAM AL-QUR’AN (Telaah Pemikiran Amina Wadud dan Nasiruddin Umar)”

B.            Rumusan Masalah

Dari uraian diatas penulis dapat mengambil pokok permasalahan:

1.    Bagaimana Konsep kesetaraan gender Amina Wadud dan Nasaruddin Umar ?

2.    Sejauh mana Kesamaan dan perbedaan konsep kesetaraan gender Amina Wadud dan Nasaruddin Umar ?

3.    Bagaimana implikasi pemikiran kedua model pendekatan feminisme/gender tersebut ?  

C.         Tujuan Pembahasan

1.    Untuk menjelaskan konsep kesetaraan gender Amina Wadud dan Nasaruddin Umar

2.    Untuk membandingkan sejauh mana Kesamaan dan perbedaan kesetaraan gender Amina Wadud dan Nasaruddin Umar

3.    Untuk mengetahui implikasi pemikiran kedua model pendekatan feminism/gender

D.         Pembatasan Masalah

Penelitian ini hanya akan mengkaji tentang ayat-ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan gender yang berkiblat pada telaah pemikiran kedua  tokoh Amina wadud dan Nasaruddin Umar.

E.            Tinjauan Pustaka

Kesetaraan Gender Menurut Nasaruddin Umar Dan Ratna Megawangi (Studi Komparasi Pemikiran Dua Tokoh) [10] ia menulis tentang pemikiran feminisme nasaruddin umar dan ratna Megawangi, yang mengkomparasikan pemikiranya.

Kesetaraan Gender Dalam Islam (studi atas pemikiran nasaruddin umar dan kh. Husein muhammad)[11] ia mengungkap tentang ayat-ayat yang bersifat global tidak bertolok ukur dalam tokoh tertentu. Dalam penelitian ini yang akan peneliti teliti tentunya berbeda dengan penelitian yang sudah ada. Penelitian ini, akan lebih aplikatif dengan mengungkap pengertian-pengertian gender secara global ataupun yang berada dalam al-Qur’an, yang mengusung pemikiran dari kedua tokoh yang sifatnya sebagai wacana baru yang lebih ke-obyek yakni perempuan.

F.        Kajian Teori

1.      Feminisme

Sekalipun telah banyak ditawarkan berbagai hermeneutika bagi Alquran yang berpihak kepada keadilan social seperti yang dibawa oleh Hassan Hanafi, Shahrur, Nasr Hamid Abu Zayd, Falur Rahman, tapi belum ada metode hermeneutika yang berpihak kepada keadilan gender. Oleh karena itu, untuk memproduksi tafsir yang berkeadilan gender, diperlukan hermeneutika feminisme. Para intelektual feminis Islam menawarkan hermeneutika feminisme sebagai  metode penafsiran Alquran yang mengacu kepada ide kesetaraan dan keadilan gender.

Munculnya penafsiran Alquran dengan pendekatan hermeneutika feminisme  disebabkan dominannya sistem patriarki dalam penafsiran Alquran, sehingga produk tafsir terkait perempuan bersifat seksime, yaitu pemisahan peran perempuan dan laki-laki, dimana peran domestik untuk perempuan dan peran publik untuk laki-laki sehingga melahirkan dominasi laki-laki atas perempuan. Implikasi lebih jauh adalah  meminggirkan  perempuan dalam segala aspek kehidupan. Sehubungan dengan itu, para intelektual feminis Islam yang lahir dari perkembangan sosial dan politik menawarkan cara baru penafsiran Alquran atau melakukan rekonstruksi metodologis penafsiran Alquran. Berangkat dari pandangan bahwa penafsiran Alquran bersifat universal, tidak hanya untuk masyarakat Arab abad ke 7 (waktu dan tempat Alquran turun) serta berpegang pada prinsip-prinsip dasar Alquran, keadilan, harmoni, kesetaraan manusia dan keesaan Allah,  maka intelektual feminis Islam, mengkritisi tafsir Alquran terkait perempuan dan melakukan penafsiran ulang. Hal ini menandai munculnya penafsiran Alquran dengan pendekatan hermeneutika feminisme.

Hermeneutika feminisme muncul pada akhir abad 20 ketika timbul gerakan pembaharuan  Islam di seluruh dunia muslim. Para intelektual feminis Islam mulai melakukan studi Alquran terkait perempuan dan menafsirkan ayat-ayat Alquran dengan menggunakan hermeneutika feminisme. Tujuan digunakan hermeneutika feminisme sebagai metode penafsiran Alquran adalah  untuk memproduk tafsir yang adil terhadap perempuan. Hal ini, penting untuk menghilangkan relasi gender yang tidak adil dikalangan umat Islam, dimana laki-laki dipandang lebih tinggi derajatnya dari perempuan. Keadilan gender merupakan prinsip utama sebuah relasi fungsional untuk  merealisasikan misi penciptaan manusia di dunia, yaitu khalifah fi al-ardi dan membentuk etika moralitas manusia.

Tafsir Alquran terkonstruksi secara kultural dan terstruktur secara historis. Karenanya, kandungan tafsir tekstual, seperti metode tafsir klasik (tafsir lama)  tidak berlaku sepanjang zaman. Sementara itu, ilmu tentang penafsiran secara ilmiah telah berkembang luar biasa. Praktek tafsir tidak lagi berkutat di ranah epistemologis, seperti dalam pemikiran F. Schleimacher dan W.Dilthey, tapi telah merambah kedalam ranah ontologis  seperti yang dibawa oleh Heidegger dan Gadamer. Heidegger dan Gadamer telah mengingatkan bahwa ada dimensi ontologis yang harus dipertimbangkan dalam sebuah penafsiran.  Disisi lain, menydari bahwa otoritas religius klasik telah memonopoli semua bidang pengetahuan Islam, termasuk tafsir Alquran, maka terlihat urgensinya untuk melakukan studi tafsir Alquran berbasis feminis untuk mengevaluasi peran dan kedudukan perempuan dalam Alquran, dengan fokus perhatian pada kesetaraan gender dan keadilan social.

Teori-teori feminisme yang berintikan ide kesetaraan dan keadilan gender menjadi bingkai untuk membangun hermeneutika feminisme. Hermeneutika feminisme didasari pemahaman teori feminisme yang kuat. Pemikiran feminisme beragam, ada yang mempersoalkan eksistensi perempuan, menolak seksisme dan menegakkan hak-hak dan martabat perempuan dan lainnya.  Hermeneutika feminisme membuktikan bahwa Alquran tidak membedakan perlakuan terhadap laki-laki dan perempuan, yang membedakan antara kedua gender ini adalah  taqwa.

Tokoh-tokoh intelektual feminis Islam yang menggunakan hermeneutika feminisme bagi Alquran dapat dikategorikan  dalam dua generasi. Generasi pertama  adalah, Riffat Hassan, Azizah al-Hibri dan Amina Wadud dan generasi kedua adalah, Asma Barlas, Sadiyya Shaikh and Kecia Ali. Menurut Hidayatullah dalam bukunya Feminist Edges of the Qur’an (2014), generasi pertama telah berjasa memunculkan penafsiran Alquran dengan pendekatan hermeneutika feminisme. Generasi pertama ini bekerja sebagai “Trailblazers”, karena dalam menghasikan karya, mereka berada di bawah tekanan yang luar biasa. Generasi pertama mengalami dominasi kaum laki-laki, baik berbasis intelektual, gender maupun ras dan kompetensi intelektual mereka sering dipertanyakan. Hal ini menyebabkan karya mereka bernuansa melawan sistem patriarki dengan keras dan banyak memuat pengalaman personal yang menunjukkan mereka tertindas.  Generasi kedua dalam membangun karyanya tanpa tekanan dan penindasan seperti generasi pertama. Jadi tulisan mereka tidak menyertakan pengalaman personal.

Pengkategorian di atas didasarkan pada karakteristik karya mereka. Ada perbedaan karakteristik dari kedua generasi ini dalam membangun karyanya. Generasi pertama, terfokus pada karyanya masing-masing, tidak ada saling mengutip dan mendiskusikan tema-tema yang mereka bahas dan tidak ada tidak ada saling mendukung pandangan yang dikemukakan. Perjuangan generasi pertama ini dipicu oleh peningkatan pergerakan perempuan dalam memperjuangkan hak-hak asasi perempuan secara internasional, seperti konferensi Perempuan sedunia di Beijing tahun 1995 yang melahirkan komitmen untuk membangun manusia melalui kesetaraan gender dan CEDAW (Convention on the elimination of all forms of discrimination against women) yang melahirkan komitmen penghapusan diskriminasi terhadap perempuan.[12] Generasi kedua muncul tahun 1990. Mereka meneruskan usaha yang telah dirintis generasi pertama. Cara kerja generasi kedua ini lebih maju, terdapat  kutip-mengutip pemikiran-pemikiran para pendahulunya dan mereka mendiskusikan  karya-karya mereka. Pemikiran generasi kedua menunjukkan perkembangan dimana mereka saling mendukung dan saling terkait antara satu sama lain.[13]

Hermeneutika feminisme dipublikasi atas nama organisasi perempuan seperti Women Living Under Muslim Laws (jaringan internasional), Sister in Islam (Malaysia) dan Zanan Magazine (Iran). Disamping itu, ada pula yang merupakan karya-karya individual. Hermeneutika feminisme dapat dilihat dalam pemikiran Riffat Hassan melalui karyanya Made from Adam’s Rib: The Woman’s Creation Question (Jurnal, 1985),  Azizah al Hibri melalui  Hagar on My Mind, Amina Wadud melalui Qur’an and Women, Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective (1992), Asma Barlas melalui  Believing Woman in Islam: Unreading Patriarchal Interpretations of the Qur’an (2002), Kecia Ali melalui Sexual Ethics &Islam : Feminist Reflections on Qur’an,Hadith and Jurisprudency (2006). Sadiyya Shaikh melalui Sufi Narratives of Intimacy: Ibn ‘Arabi, Gender, and Sexuality (2014).

2.      Kategori

Hermeneutika feminisme bercorak holistik. Kategori ini termasuk baru belum ada pembahasan yang substansial mengenai isu khusus perempuan dari sudut Alquran secara menyeluruh dan sesuai prinsip-prinsip utamanya. Secara metodologis penafsiran Alquran terkait perempuan dibedakan dalam  tiga kategori: tafsir klasik, reaktif dan holistik. Kategori pertama adalah tafsir klasik, yaitu menginterpretasikan seluruh isi  Alquran baik dari periode modern maupun klasik dengan tujuan  tertentu, seperti hukum, isoteris, gramatika, ritorika dan sejarah. Sekalipun tujuan ini menimbulkan perbedaan dalam berbagai tafsir, tetapi metodologi yang digunakan adalah sama yaitu  atomistik. Kategori kedua, adalah tafsir reaktif yaitu tafsir Alquran yang merupakan reaksi para ulama modern terhadap berbagai  kendala  berat yang dihadapi perempuan baik secara individual  maupun sosial. Tujuan yang dicari adalah sesuai dengan cita-cita kaum feminis dan metode yang digunakan berakar dari  dasar pemikiran feminis. Di sini tidak ada analisis Alquran yang komprehensif sehingga  tafsir  ini tidak berhasil membedakan antara penafsiran dan muatan  Alquran.  Kategori ketiga adalah tafsir Alquran yang bersifat holistik, yaitu  mempertimbangkan semua metode tafsir tentang berbagai persoalan kehidupan sosial, politik, budaya, moral dan agama dan perempuan serta memecahkan masalah secara komprehensif dengan mempertimbangkan berbagai aspek. Hermeneutika feminisme mempertimbangkan tiga aspek penafsiran yaitu, konteks, gramatika dan  welstanchauung (pandangan dunia) dari ayat yang ditafsirkan. Hal ini dilakukan melalui analisis linguistik ,,asbab al-nuzul dan weltanschauung Alquran. Dalam analisis linguistik selain melakukan kajian terhadap makna kata dan istilah,  perlu diprhatikan istilah netral dan bergender. Istilah netral tidak dapat dilihat sebagai istilah bergender dan hal-hal universal dan partikular  perlu didudukkan secara jelas.

      Dalam analisis asbab al-nuzul diperhatikan latar belakang turunnya ayat, diperhatikan hal-hal universal dan partikular dan informasi  historis dari peristiwa turunnya ayat. Asbab al-nuzul, adalah konsep yang menjelaskan latar belakang sosial dan historis turunnya ayat. Ada dua katagori ayat-ayat Alquran, yaitu ayat yang turun tanpa latar belakang sosial tertentu dan ayat yang turun setelah ada peristiwa atau persoalan yang perlu dijawab. Latar belakang sosial itu banyak dan berubah-ubah, maka ayat dengan tema yang sama turun berkali-kali. Bila tidak memperhatikan asbab al-nuzul dalam penafsiran Alquran, maka muncul produk tafsir yang sempit dan terbatas.[14]

G.       Metodologi Penelitian

Peniliti akan menggunakan metode penelitian kualitatif dengan menggunakan jenis penelitian library research.[15] Dengan sumber primer karya-karya Nasiruddin umar dan Amina Wadud. Sedagkan Sumber sekundernya adalah kitab-kitab tafsir dan buku lain yang menjelaskan tentang pemikiran kedua tokoh

H.       Sistematika Pembahasan

Bab pertama pendahuluan berisi tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan pembahasan, kajian teori, telaah pustaka, metodologi penelitian dan sistematika penulisan

Bab kedua akan membahas feminisme, gender dan perkembangannya berisi tentang gambaran tentang wacana gender, menyebutkab ayat-ayat al-Qur’an yang berisi tentang gender, ketidak-adilan dalam gender, dan aliran-aliran femunisme.

Bab ketiga biografi Anima Wadud dan Nasaruddin Umar berisi tentang riwayat hidup, pendidikan dan karya-karyanya.

Bab keempat komparasi gagasan kedua Tokoh berisi tentang telaaj kritis komparatif dan Pola pemikiran kedua tokoh.

Bab kelima berisi tentang penutup yang berisi kesimpulan dan saran.

 

 

Daftar Pustaka

 

       Ibnu Kastir. 1996. Tafsir al-Quran al-‘Adzim. Bairut: Darul Fikr.

Muhammad bin Isma’il Al-Amiru Al-Yamani Ash-Shan’ani. 1995 M/1415H. Subulus Salam Syarah Bulughul Maram. Riyadh: Maktabah Nazzar Musthafa Al-Baz.

Setda, 2000. Buku Saku Pemberdayaan Perempuan. Medan: buku pres.

   John M. Echols dan Hassan Shadily. 1983. Kamus Inggris-Indonesia cet. XII. Jakarta: Gramedia.

Nasaruddin Umar. 1999. Perspektif Jender Dalam Al-Qur’an, Disertasi, Program  Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1

.Asyhari, (Studi Komparasi Pemikiran Dua Tokoh). Skripsi thesis, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Suprianto, , (Kesetaraan gender dalam Islam (studi atas pemikiran Nasaruddin Umar dan KH. Husein Muhammad).Undergraduate (S1) (thesis, IAIN Walisongo,2014)

Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obir Indonesia, 2008

  M Quraish Shihab. 2000. Tafsir Al- Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati.

Nasaruddin Umar, Arqumen Kesetaraan Gender: Perspektif   Alquran (Jakarta : Paramadina, 1999

 

                



[1] Muhammad bin Isma’il Al-Amiru Al-Yamani Ash-Shan’ani, Subulus Salam Syarah Bulughul Maram, (Riyadh: Maktabah Nazzar Musthafa Al-Baz, 1995 M/1415H), h.1924

[2] Setda Kota Medan, Buku Saku Pemberdayaan Perempuan (Medan: buku pres, 2000), h. 1.

    [3] John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia (Jakarta: Gramedia, cet. XII, 1983), h. 265.

[4] Nasaruddin Umar, Perspektif Jender Dalam Al-Qur’an, Disertasi, Program  Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1999, 1

[5] Menurut kebiasaan orang Arab, apabila mereka menanyakan sesuatu atau memintanya kepada orang lain mereka mengucapkan nama Allah seperti: As aluka billah artinya saya bertanya atau meminta kepadamu dengan nama Allah.

[6] M Quraish Shihab., Tafsir Al- MisbahPesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati; 2000), h. 234.

[7] Yang dimaksud dengan Muslim di sini ialah orang-orang yang mengikuti perintah dan larangan pada lahirnya, sedang yang dimaksud dengan orang-orang mukmin di sini ialah orang yang membenarkan apa yang harus dibenarkan dengan hatinya.

[8] Ibnu Kastir, Tafsir al-Quran al-‘Adzim, (Bairut: Darul Fikr, 1996), h. 200.

[9] Ibid, h. 20

[10] Asyhari, (Studi Komparasi Pemikiran Dua Tokoh). Skripsi thesis, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

[11] Suprianto, , (Kesetaraan gender dalam Islam (studi atas pemikiran Nasaruddin Umar dan KH. Husein Muhammad).Undergraduate (S1) (thesis, IAIN Walisongo,2014)

[12] Hidayatullah, Feminist  Edges of the Qur’an, h. 3

[13] Hidayatullah,  Feminist  Edges of the Qur’an, h. 8

[14]  Wadud, Qur’an and Woman  h. 130

[15] Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obir Indonesia, 2008), h. 1

0 komentar:

Posting Komentar

Contact

Contact Person

Untuk saling berbagi dan sharing, mari silaturrahmi!

Address:

Mojo-Kediri-Jawa Timur (64162)

Work Time:

24 Hours

Phone:

085735320773

Diberdayakan oleh Blogger.