TEOLOGI ASY'ARIYAH
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Asy'ariyah sebagai salah satu aliran dalam teologi Islam, mencuat
ke atas secara vulgar sebagai manifestasi sikap kritis dan reaktif terhadap
pemikiran yang berembang sebelumnya terutama aliran Mu'tazilah. Pendiri aliran
ini tidak pernah memberikan label nama tertentu terhadap aliran ini, tapi para
pengikutnyalah yang memberii narna
dengan menisbatkan kepada pendirinya yakni Abu Hasan Ibnu Ismail al-Asy’ari.
Sekalipun pada awal kemunculannya, aliran ini mengesankan hanya
sebagai kelompok sempalan dari aliran Mu'tazilah, namun pada akhirnya dapat
tampil sebagai sosok aliran yang tegar dan eksis, bahkan menjadi aliran
alternatif di antara aliran besar lainnya. Pada lintasan sejarah pemikiran
Islam, apabila kita melihat lebih dekat aliran al-Asy'ariyah ini, maka akan
terlihat jelas betapa aliran ini mengalami perkembangan pesat, bertahan lama,
didukung dan disebarkan oleh para ulama kenamaan di berbagai belahan dunia
Islam. Banyak ulama dari berbagai madzhab sempat berguru kepada Abu Hasan
al-Asy'ari tetap setia kepada aliran pemikiran teologi sang guru. Di antara
mereka adalah Abu Ishaq al-Isfarayani, Abu Bakar al-Qogfal, al-Hafidz
al-Jurjani, Abu Muhammad al-Thobari, al-Iraqi, dan lain-lain. Kemudian disusul
generasi kedua seperti al-Sa'labi, al-Daroini, Abu Bakar al-Baqillani, Abu
Bakar bin Furak dan al-Juaini. Disamping
itu juga ada seorang ulama besar yang merupakan pengikut Asy'ari terpenting dan
terbesar pengaruhnya pada umat Islam, khusunya dikalangan Ahlus Sunnah wa
Al-Jamaa'ah, yakni Abu Hamid al-Ghazali.
Mengingat luasnya cakupan wilayah pembahasan tentang Asy'ariyah
ini, maka dirasa perlu adanya pembatasan wilayah bahasan dalam tulisan ini.
Yaitu sekedar mencoba melakukan telaah kritis terhadap kelanjutan al-Asy’ariyah
Sebagai Aliran Sunni, melalui sudut pandang historis-theologis. Dengan kata
lain tulisan ini akan mencoba mencari jawaban atas sebuah pertanyaan sederhana:
Bagaimanakah al-Asy’ariyah Sebagai Aliran Sunni dalam perspektif
historis-teologis.
B.
Rumusan Masalah
a.
Bagaimana pengertian aliran Sunni?
b.
Bagaimana al-Asy’ariyah Sebagai Aliran Sunni?
C.
Tujuan Masalah
a.
Untuk mengetahui pengertian aliran Sunni.
b.
Untuk mengetahui al-Asy’ariyah Sebagai Aliran Sunni.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian aliran Sunni
Ditinjau dari ilmu bahasa
(lughot/etimologi), Ahlussunah Wal Jama’ah berasal dari kata-kata: Ahl (Ahlun),
berarti “golongan” atau “pengikut”. As-sunnah berarti “tabiat, perilaku, jalan
hidup, perbuatan yang mencakupucapan, tindakan, dan ketetapan Rasulullah
SAW”. Wa, huruf ‘athf yang berarti “dan” atau “serta”. Al jama’ah
berarti jama’ah, yakni jama’ah para sahabat Rasul Saw. Maksudnya ialah perilaku
atau jalan hidup para sahabat.[1]
Secara etimologis, istilah “Ahlus
Sunnah Wal Jamaah” berarti golongan yang senantiasa mengikuti jejak hidup
Rasulallah Saw. dan jalan hidup para sahabatnya. Atau, golongan yang berpegang
teguh pada sunnah Rasul dan Sunnah para sahabat, lebih khusus lagi, sahabat
yang empat, yaitu Abu Bakar As-Siddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin ‘Affan, dan
Ali bin Abi Thalib.
Ahlus Sunnah adalah mereka yang
mengikuti sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan sunnah shahabatnya
radhiyallahu 'anhum. Al-Imam Ibnul Jauzi menyatakan tidak diragukan bahwa Ahli
Naqli dan Atsar pengikut atsar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan
atsar para shahabatnya, mereka itu Ahlus Sunnah.
Kata "Ahlus-Sunnah"
mempunyai dua makna. Pertama, mengikuti sunah-sunah dan atsar-atsar yang
datangnya dari Rasulullah shallallu 'alaihi wa sallam dan para shahabat
radhiyallahu 'anhum, menekuninya, memisahkan yang shahih dari yang cacat dan
melaksanakan apa yang diwajibkan dari perkataan dan perbuatan dalam masalah
aqidah dan ahkam.[2]
Kedua, lebih khusus dari makna
pertama, yaitu yang dijelaskan oleh sebagian ulama di mana mereka menamakan
kitab mereka dengan nama As-Sunnah, seperti Abu Ashim, Al-Imam Ahmad bin
Hanbal, Al-Imam Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Al-Khalal dan lain-lain. Mereka
maksudkan (As-Sunnah) itu i'tiqad shahih yang ditetapkan dengan nash dan ijma'.
Kedua makna itu menjelaskan kepada
kita bahwa madzhab Ahlus Sunnah itu kelanjutan dari apa yang pernah dilakukan
Rasulullah shallallahu 'alaih wa sallam dan para shahabat radhiyallahu 'anhum.
Adapun penamaan Ahlus Sunnah adalah sesudah terjadinya fitnah ketika awal
munculnya firqah-firqah.
Ada beberapa riwayat hadits tentang
firqah atau millah ( golongan atau aliran) yang kemudian dijadikan landasan
bagi firqah ahlussunnah waljamaah. Sedikitnya ada 6 riwayat hadits tentang
firqah/millah yang semuanya sanadnya dapat dijadikan hujjah karena tidak ada
yang dloif tetapi hadits shahih dan hasan. Dari hadits yang kesimpulannya
menjelaskan bahwa umat Rasulullah akan menjadi 73 firqah, semua di nearka
kecuali satu yang di surga. itulah yang disebut firqah yang selamat (الفرقة الناجية). Dari beberpa riwayat
itu ada yang secara tegas menyebutkan; ( أهل الســنة والجمــاعة) ahlussunnah waljamaah”.
ataub “aljamaah”. (الجماعة Tetapi yang paling
banyak dengan kalimat; “ maa ana alaihi wa ashhabi” ( ماأنا عليه وأصحا) .[3]
B.
al-Asy’ariyah Sebagai Aliran Sunni
Dalam sejarah pemikiran Islam, cikal
bakal aliran sunni ini muncul bermula dari bursa pemikirian teologi Al-Asy'ari.
Al-Asy'ari adalah satu aliran dalam ilmu Kalam yang lahir akibat adanya
benturan antara kaum rasionalis (Mu'tazilah) dan kaum Tekstualis (Al-Hasywiyah)
atau dikenal juga sebagai ahli hadits. Aliran ini berupaya mengambil jalan
tengah antara kedua kutub itu yang ternyata berhasil menjadi satu aliran dan
bahkan dianut oleh sebahagian besar kaum muslim yang berkembang sampai abad
ke-20. Pendiri aliran ini adalah Abu
al-Hasan, Ali Ibn Ismail al-Asy'ari yang dilahirkan di Basbrah (260 H / 873-4
M) dan wafat (324 H / 935-6 M). Bertolak
dari bekal ajaran Mu'tazilah yang serba rasional dan filosofis ia berusaha
mempertemukan dua aliran tersebut. Ia telah bergabung dengan aliran Mu'tazilah
dalam rentang waktu yang relatif panjang yaitu 40 tahun.
Sedangkan aliran sunni atau
lengkapnya aliran Ahli Sunnah wal Jama'ah adalah suatu aliran yang lahir akibat
trauma atas perpecahan yang terjadi pada zaman Mu'awiyyah. Mereka tak mau
terlibat dalam perpecahan tersebut dan memusatkan diri pada kegiatan inteletual
saja, dan mengembangkan konsep “jama'ah" yaitu konsep kesatuan yang ideal
seluruh kaum muslim tanpa memandang aliran politik mereka. Sentral tempat
pengembangan intelektual mereka di antaranya adalah kota Madinah dan Bashrah.[4]
Ahlus-Sunnah wal-jama’ah lahir
sebagai reaksi dari penyebaran aqidah Mu’tazilah yang cenderung mengedepankan
akal ketimbang al-Qur’an atau Hadis. Banyak keyakinan Mu’tazilah yang dianggap
oleh al-Asy’ari menyimpang jauh dari dasarnya. Lebih buruknya, ketika
Mu’tazilah sudah menjadi paham penguasa (masa Khalifah al-Ma’mun, al-Mu’tashim,
& al-Watsiq dari Daulah Bani Abbasiyah), banyak ulama yang ditangkap dan
dipaksa untuk meyakini paham tersebut. Di antara ulama yang ditangkap dan
disiksa karena tidak mau mengakui paham Mu’tazilah itu adalah Imam Ahmad bin
Hanbal.
Dalam sejarah pemikiran Islam, masa
Asy'ari sering disebut sebagai masa konsolidasi doktrin kaum Sunni. Meskipun sampai
dengan saat itu ilmu Kalam terutama merupakan kesibukan kaum Mu'tazilah, namun
lama kelamaan golongan Sunnipun menyertainya, karena keperluan mereka kepada
pemikiran sistematis dan rasional tentang pokok-pokok faham mereka. Bahkan
desakan itu tidak saja mendorong mereka berpartisipasi dengan golongan lain
dalam ilmu kalam, tetapi juga dalam pemikiran filsafat. Dalam bidang teologi
ini konsolidasi kaum Sunni diwakili oleh karya-karya intelektual besar Islam
Abu Al-Hasan Al-Asy'ari.[5]
Al-Asy'ari sendiri sesungguhnya dari
segi latihan intelektual dan fahamnya adalah seorang Mu'tazilah dan setelah ia
menekuni dan mendalami aliran ini sampai 40 tahun ia meniggalkannya dan
menyusun teologi baru yang sesuai dengan aliran orang yang berpegang kuat pada
hadits. Alasan mengapa ia keluar dari aliran Mu'tazilah yang telah digetoli
ternyata secara tuntas belum diketemukan jawabnya Menurut pendapat Ibnu Asakir
yang dinukil oleh Jalal Muhammad Musa bahwa suatu malam, al-Asy’ari bermimpi
bertemu Nabi saw. Dalam mimpi tersebut Nabi memerintahkan untuk meninggalkan
aliran yang ia pegangi kemudian. Menguatkan aliran yang berdasar Sunnah. Alasan
lain yang disebutkan Ibnu Asakir adalah timbulnya keraguan dalam hati
al-Asy'ari setelah kemusykilan yang ia temukan tidak mendapat jawaban yang
memuaskan dari gurunya, sehingga diriwayatkan bahwa ia berkata: “Pada suatu
malam saya mendapatkan suatu keraguan dalam masalah akidah kemudian setelah
melakukan salat dua rakaat saya mohon petunjuk kepada Allah dan tidurlah saya.
Dalam tidur itu saya bermimpi bertemu Rasulullah dan sayapun sempat mengadukan
masalah yang saya alami. Rasulullah berkata: "tetaplah pada
Sunnahku". Setelah bangun semua masalah itu dapat saya temukan jawabannya
dalam Alquran dan hadits. Maka saya tinggalkan akidah saya yang terdahulu”.
Karena belum dapat terungkap alasan
al-Asy'ari secara pasti meninggalkan aliran lamanya, wajar kiranya Harun
Nasution menawarkan altenatif lain sebagai alasan baru, yaitu: (a) Al-Asy'ari
melihat bahwa aliran Mu'tazilah tidak dapat diterima oleh umumnya umat Islam
yang bersifat sederhana dalam pemikiran; (2) Perlu adanya aliran teologi lain
yang teratur sebagai substitusi aliran lama untuk menjadi pegangan mereka.
Dalam perajalanan karimya sebagai
seorang pemikir yang nota- bene mantan pengikut bahkan pemuka aliran
Mu'tazilah, tidaklah sedikit hambatan yang ia hadapi kebanyakan umat belum 100%
percaya pada dirinya dan sering menuduhnya menyeleweng atau malah kafir karena
ia tetap menggunakan metode-metode filsafat dalam argumentasinya. Salah satu
risalahnya telah dapat memberikan gambaran kepada kita betapa al-Asy'ari
membela diri dari berbagai serangan dan bagaimana dalam perjuangannya
mengkonsolidasikan faham kaum Sunni itu ia meyerukan pentingnya mempelajari
metode ilmu kalam dan disiplin berpikir saingan utama mereka, kaum Mu'tazilah.
Gebrakan al-Asy'ari dicatat dalam
sejarah sebagai salah satu yang sangat sukses dalam sejarah pemikiran Islam,
karena beberapa alasan, yakni: (a) ia berhasil melumpuhkan gerakan kaum
Mu'tazilah dengan menggunakan logika mereka sendiri; (b) ia berhasil
mengukuhkan paham Sunni, dan (c) ia berhasil menyelamatkan Islam dari
Hellenisasi total.
Karena upaya al-Asy'ari mangambil
jalan tengah antara Jabariyyah dan Qadariyyah, ilmu kalam al-Asy'ari cepat
terkenal di kalangan umat dan bahkan kemudian diterima sebagai rumusan ajaran
pokok agama yang sah.
Berkembangnya aliran al-Asy’ariyyyah
tidak lepas dari dukungan tokoh-tokoh politik Bani Saljuk yang telah berhasil
menguasai dinasti Abbasiyah. Abbasiyah sendiri menganut dan menjadikan paham
Mu’tazilah sebagai aliran negara. Konspirasi politik yang dilakukan oleh Bani
Saljuk terhadap Dinasti Abbasiyah membutuhkan simbol berbeda di segala bidang
termasuk di dalamnya aliran yang harus dianut. Teologi al-Asy’ariyyah
diperlukan dan mampu mengalahkan teologi Mu’tazilah merupakan aliran Dinasti
Abbasiyah.[6]
Dari uraian di atas dapat diketahui
bahwa konsolidasi al-Asy'ari terhadap aliran Ahlus Sunnah wal Jama'ah meskipun
menemui banyak rintangan tetapi dapat dikatakan sangat berhasil, dan
keberhasilan aliran Asy'ariyyah ini didukung oleh beberapa faktor:
a.
Kondisi yang sangat memungkinkan berkembangnya aliran al-Asy'ariyah
sebab aliran Mu'tazilah yang lebih dahulu dirasa sudah tidak dapat membawa umat
Islam pada kondisi yang memungkinkan.
b.
Ajaran yang sangat sederhana dan tidak memerlukan pola pikir yang
tinggi membuat umat Islam yang awam semakin tertarik untuk mengikutnya.
c.
Dukungan pemerintahan Bani Saljuk saat itu cukup besar terutama
dibangunnya sekolah guna menyebarkan ajaran Sunni di kalangan remaja dan usia
sekolah, dan juga pengaruhnya terhadap penguasa-penguasa saat itu.
Di tangan para pengikut al-As’ari,
faham Asy’ariyyah berkembang dan bervariasi sesuai dengan pemahaman tokoh-tokoh
terkemuka saat itu, seperti al-Baqillani, al-Juwaini dan al-Ghazali. Perbedaan
paham yang dianut oleh tokoh-tokoh terkmuka aliran Asy’ariyyah merupakan sebuah
keniscayaan yang dilatari oleh perbedaan latar belakang kehidupan tokoh-tokoh
tersebut, baik dalam bidang disiplin ilmu yang digeluti atau kondisi
perkembangan aliran-aliran lain yang bersamaan dengan masa tokoh-tokoh
tersebut.
Perbedaan paham para tokoh-tokoh
terkemuka aliran al-Asy’ariyyah tidak menjadikan pahamnya keluar dari aliran
al-Asy’ariyyah. Dikarenakan dasar-dasar ajarannya masih memiliki kesamaan.
Mazhab ahlu sunnah wal jaamaah
muncul atas keberanian dan usaha Abul Hasan Al-Asy’ari. Ajaran teologi barunya
kemudian dikenal dengan nama Sunah wal Jamaah. Untuk selanjutnya Ahli Sunah wal
jamaah selalu dikaitkan pada kelompok pahan teologi Asy’ariyah ataupun
Maturidiyah.[7]
Asy'ariyah banyak menggunakan
istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah ini. Kebanyakan di kalangan mereka mengatakan
bahwa madzhab salaf "Ahlus Sunnah wa Jamaah" adalah apa yang
dikatakan oleh Abul Hasan Al-Asy'ari dan Abu Manshur Al-Maturidi. Sebagian dari
mereka mengatakan Ahlus Sunnah wal Jamaah itu Asy'ariyah, Maturidiyah,dan
Madzhab Salaf.
Para Ulama pengikut empat Mazhab
(Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hanbali) adalah penganut aqidah Ahlus-Sunnah
wal-Jama’ah. Ajaran aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah inilah yang dijadikan dasar
oleh para ulama untuk membolehkan kebiasaan-kebiasaan baik seperti: Peringatan
Maulid Nabi Muhammad Saw., Isra’ Mi’raj, tahlilan kematian, ziarah kubur,
menghadiahkan pahala kepada orang meninggal, ziarah ke makam Rasulullah Saw.
dan orang-orang shaleh, tawassul, dan lain sebagainya, yang secara substansial
kesemuanya didasari dengan dalil-dalil yang kuat dari al-Qur’an dan Hadis serta
Atsar para Sahabat Rasulullah Saw.
Barulah pada masa berikutnya, muncul
Abul Hasan Al-Asy’ari yang menyusun aqidah Ahlussunnah Wal-Jama’ah sebagai
sebuah perhatian khusus, dan beliau bekerja keras menyebarluaskannya di
kalangan umat sebagai suatu rumusan yang rapi sekaligus sebagai
bantahan-bantahan terhadap aliran Mu’tazilah. Dengan sebab itulah maka Abul
Hasan al-Asy’ari dianggap sebagai pelopor atau pemimpin Ahlussunnah
Wal-Jama’ah, dan para pengikutnya yang disebut Asya’irah secara otomatis
termasuk Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Perhatikanlah pernyataan para ulama berikut
ini:
إِذَا أُطْلِقَ أَهْلُ السُّنَّةِ فَالْمُرَادُ بِهِ اْلأَشَاعِرَةُ وَالْمَاتُرِيْدِيَّةُ إتحاف سادات المتقين، محمد الزبدي، ج. 2، ص. 6)
“Apabila disebut nama Ahlussunnah secara umum, maka maksudnya adalah
Asya’irah (para pengikut faham Abul Hasan al-Asy’ari) dan Maturidiyah (para
pengikut faham Abu Manshur al-Maturidi”.[8]
وأما حكمه على الإطلاق وهو الوجوب فمجمع عليه في جميع الملل وواضعه أبو الحسن الأشعري وإليه تنسب أهل السنة حتى لقبوا بالأشاعرة (الفواكه الدواني، أحمد النفراوي المالكي، دار الفكر، بيروت، 1415، ج: 1 ص: 38)
“Adapun hukumnya (mempelajari ilmu aqidah) secara umum adalah wajib,
maka telah disepakati ulama pada semua ajaran. Dan penyusunnya adalah Abul
Hasan Al-Asy’ari, kepadanyalah dinisbatkan (nama) Ahlussunnah sehingga dijuluki
dengan Asya’irah (pengikut faham Abul Hasan al-Asy’ari)” . [9]
كذلك عند أهل السنة وإمامهم أبي الحسن الأشعري وأبي منصور الماتريدي (الفواكه الدواني ج: 1 ص: 103)
“Begitu pula menurut Ahlussunnah dan pemimpin mereka Abul Hasan
al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi”[10]
وأهل الحق عبارة عن أهل السنة أشاعرة وماتريدية أو المراد بهم من كان على سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم فيشمل من كان قبل ظهور الشيخين أعني أبا الحسن الأشعري وأبا منصور الماتريدي (حاشية العدوي، علي الصعيدي العدوي، دار الفكر، بيروت، 1412 ج. 1، ص. 151)
“Dan Ahlul-Haqq (orang-orang yang berjalan di atas kebenaran) adalah
gambaran tentang Ahlussunnah Asya’irah dan Maturidiyah, atau maksudnya mereka
adalah orang-orang yang berada di atas sunnah Rasulullah Saw., maka mencakup
orang-orang yang hidup sebelum munculnya
dua orang syaikh tersebut, yaitu Abul Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur
al-Maturidi”.
والمراد بالعلماء هم أهل السنة والجماعة وهم أتباع أبي الحسن الأشعري وأبي منصور الماتريدي رضي الله عنهما (حاشية الطحطاوي على مراقي الفلاح، أحمد الطحطاوي الحنفي، مكتبة البابي الحلبي، مصر، 1318، ج. 1، ص. 4)
“Dan yang dimaksud dengan ulama adalah Ahlussunnah Wal-Jama’ah, dan
mereka adalah para pengikut Abul Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi
radhiyallaahu ‘anhumaa (semoga Allah ridha kepada keduanya)”.[11]
Pernyataan para ulama di atas
menunjukkan bahwa tuduhan dan fitnahan kaum Salafi & Wahabi terhadap
Asy’ariyyah adalah tidak benar dan merupakan kebohongan yang diada-adakan. Di
satu sisi mereka mengeliminasi (meniadakan) Asy’ariyyah dari daftar kumpulan Ahlussunnah
Wal-Jama’ah, di sisi lain mereka malah dengan yakinnya menyatakan diri sebagai
kelompok Ahlussunnah Wal-Jama’ah yang sebenarnya.
Boleh dibilang bahwa aqidah
Ahlussunnah Wal-Jama’ah di masa belakangan yang diajarkan oleh para ulama di
dalam kitab-kitab mereka tidak ada yang tidak berhubungan dengan Asy’ariyyah,
malah hubungan ini seperti sudah menjadi mata rantai yang baku dalam
mempelajari ilmu aqidah. Hanya kaum Salafi & Wahabi lah yang menolak adanya
hubungan itu, dan dalam mengajarkan ilmu aqidah mereka langsung berhubungan
dengan ajaran para ulama salaf. Padahal Abul Hasan al-Asy’ari sudah lebih dulu
menjelaskan ajaran para ulama salaf tersebut jauh-jauh hari sebelum kaum Salafi
& Wahabi muncul, apalagi masa hidup beliau sangat dekat dengan masa hidup
para ulama salaf.
Sebutan Ahlussunnah Wal-Jama’ah bagi
Asy’ariyyah dan “pemimpin Ahlussunnah Wal-Jama’ah” bagi Abul Hasan al-Asy’ari,
hanyalah sebagai suatu penghargaan dari para ulama setelah beliau atas
jasa-jasa beliau dalam menyusun aqidah Ahlussunnah Wal-Jama’ah serta perjuangan
beliau dalam mempopulerkan dan menyebarluaskannya di saat aqidah sesat
Mu’tazilah masih berkuasa. Tentunya, ini tidak berarti bahwa faham Asy’ariyyah
atau Maturidiyyah adalah satu-satunya yang sah disebut sebagai Ahlussunnah
Wal-Jama’ah, sebab baik Abul Hasan al-Asy’ari maupun Abu Manshur al-Maturidi
hanyalah menyusun apa yang sudah diyakini oleh para ulama salaf yang bersumber kepada al-Qur’an, Sunnah
Rasulullah Saw., dan atsar para Shahabat. Jadi, mereka hanya menyusun apa yang
sudah ada, bukan mencipta keyakinan yang sama sekali baru.
Di saat para ulama Ahlussunnah
Wal-Jama’ah merasa berbahagia dengan mengakui diri sebagai pengikut ajaran
Asy’ariyyah, kaum Salafi & Wahabi justeru malah melepaskan diri dari ikatan
itu, dan memberlakukan terminologi umum tentang Ahlussunnah wal-Jama’ah yang
tidak ada hubungannya dengan Asy’ariyyah. Itu memang hak mereka, tetapi
masalahnya, bila di dalam mempelajari aqidah tidak ada format baku yang
disepakati atau tidak ada ikatan yang jelas dengan para ulama terdahulu dalam
memahami al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. serta atsar para Shahabat, maka
akan ada banyak orang yang dapat seenaknya mengaku sebagai Ahlussunnah
Wal-Jama’ah dengan hanya bermodal dalil-dalil yang mereka pahami sendiri. Dan
keadaan ini berbahaya bagi keselamatan aqidah umat Islam.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian diatas dapatlah
diperoleh beberapa kesimpulan, yaitu:
1.
Ditinjau dari ilmu bahasa (lughot/etimologi), Ahlussunah Wal
Jama’ah berasal dari kata-kata: Ahl (Ahlun), berarti “golongan” atau “pengikut”.
2.
Apabila disebut nama Ahlussunnah secara umum, maka maksudnya adalah
Asya’irah (para pengikut faham Abul Hasan al-Asy’ari) dan Maturidiyah (para
pengikut faham Abu Manshur al-Maturidi.
3.
Secara etimologis, istilah “Ahlus Sunnah Wal Jamaah” berarti
golongan yang senantiasa mengikuti jejak hidup Rasulallah Saw. dan jalan hidup
para sahabatnya. Atau, golongan yang berpegang teguh pada sunnah Rasul dan
Sunnah para sahabat, lebih khusus lagi, sahabat yang empat, yaitu Abu Bakar
As-Siddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin ‘Affan, dan Ali bin Abi Thalib.
4.
Keberhasilan aliran al-Asy'anyah ini didukung oleh beberapa faktor,
antara lain:
a.
Kondisi yang sangat memungkinkan berkembangnya aliran al-Asy'ariyah
sebab aliran Mu'tazilah yang lebih dahulu dirasa sudah tidak dapat membawa umat
Islam pada kondisi yang memungkinkan.
b.
Ajaran yang sangat sederhana dan tidak memerlukan pola pikir yang
tinggi membuat umat Islam yang awam semakin tertarik untuk mengikutinya.
c.
Dukungan pemerintahan Bani Saljuk saat itu cukup besar terutama
dibangunnya sekolah guna menyebarkan ajaran Sunni dikalangan remaja dan usia
sekolah, dan juga pengaruhnya terhadap penguasa-penguasa saat itu
5.
Pada akhirnya aliran Ahli Sunnah wa Jama'ah atau aliran Sunni ini
berkembang ke seluruh penjuru dunia Islarn dengan melalui proses panjang.
B.
Kata Penutup
Dengan mengucap segala puji bagi
Allah, akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan dan penyusunan makalah
ini, namun penulis tetap mengharapkan kritik dan saran kepada para pembaca.
Sehingga makalah ini dapat mendekati kekesempurnaan.
Daftar Pustaka
Abdullah, Iwad
Bin. 1404. Al-Mu’tazilah Wa Ushulihim Al-Khomsah Bairut: Alim al-Kutub.
At-Tamimy, Muhammad Bin Abd
Wahab. 1365. Ushul Al-Din Al-Islamy Ma’a Qawa’idihi. Jedah: Maṭba’ah
al-Fath.
Al-Sahristany, Muhammad Bin Abd
Al-Karim 1379. Al-Milal Wa Al-Nihal. Bairut: Dār Al-Makrifat.
Halqan,
Samsudin Ahmad Bin Muhammad Abu. 2008. Wafiyat A’yan Wa Abna’i Anbai
Al-Zaman. Bairut: Dar as-Shodir.
al-Basybisyiy,
Mahmud. 1932. al-Firaq Al-Islamiya. Mesir: Al-Rahmaniyah
Nasir, Sahilun
A. 2010. Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan
Perkembangannya. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
At-Tamimy,
Muhammad Bin Abd Wahab. 1365. Ushul Al-Din Al-Islamy Ma’a Qawa’idihi. Jedah: Maṭba’ah
al-Fath.
Al-Sahristany,
Muhammad Bin Abd Al-Karim. 1379. al-Milal Wa al-Nihal . Bairut: Dār
Al-Makrifat.
Al-Nasyr, Aliy Sami’ t.th. Nasy’ah al-Fikr
al-Falsafiy fiy al-Islam Mesir: Dar al-Ma’arif.
al-Maliki, Ahmad
an-Nafrawi. 1415. Al-Fawakih ad-Duwani. Beirut: Dar al-Fikr.
al-Hanafi,
Ahmad At-Thahthawi. 1318. Hasyiyah At-Thahthawi ‘ala Maraqi al-Falah. Mesir;
Maktabah al-Babi al-Halabi.
[1] Sahilun A.
Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya,
(Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2010), hal. 187
[2] Muhammad Bin Abd Wahab
At-Tamimy, Ushul Al-Din Al-Islamy Ma’a Qawa’idihi (Jedah: Maṭba’ah
al-Fath, 1365) hal. 7.
[3] Muhammad Bin Abd Al-Karim Al-Sahristany, Al-Milal Wa Al-Nihal
(Bairut: Dār Al-Makrifat, 1379), hal. 409
[4] Aliy Sami’ Al-Nasyr, Nasy’ah al-Fikr al-Falsafiy fiy al-Islam
(Cet. VIII; Mesir: Dar al-Ma’arif, t.th.), hal.77
[5] Muhammad Bin Abd Al-Karim Al-Sahristany, Al-Milal Wa Al-Nihal
(Bairut: Dār Al-Makrifat, 1379), hal. 409
[6] Mahmud al-Basybisyiy, al-Firaq Al-Islamiyah (Cet.I; Mesir:
Al-Rahmaniyah, 1932) dan Aliy Sami’ Al-Nasyr, Nasy’ah al-Fikr al-Falsafiy
fiy al-Islam (Cet. VIII; Mesir: Dar al-Ma’arif, t.th.), hal.77
[7] Mahmud al-Basybisyiy, al-Firaq Al-Islamiyah (Cet.I; Mesir:
Al-Rahmaniyah, 1932) hal. 79
[8], Muhammad
Az-Zabidi, Ithaf Sadat al-Muttaqin juz 2, hal. 6. Lihat I’tiqad
Ahlussunnah Wal-Jama’ah, KH. Siradjuddin Abbas, hal. 17
[9] Ahmad
an-Nafrawi al-Maliki, Al-Fawakih ad-Duwani, (Beirut: Dar al-Fikr, 1415,
juz 1), hal. 38
[10] Ibid.,,,hal 42
[11]Ahmad
At-Thahthawi al-Hanafi, Hasyiyah At-Thahthawi ‘ala Maraqi al-Falah (Mesir;
Maktabah al-Babi al-Halabi, 1318, juz 1) hal. 4
0 komentar:
Posting Komentar