Senin, 19 Juli 2021

TEOLOGI ASY'ARIYAH

 

TEOLOGI ASY'ARIYAH

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.    Latar Belakang

Asy'ariyah sebagai salah satu aliran dalam teologi Islam, mencuat ke atas secara vulgar sebagai manifestasi sikap kritis dan reaktif terhadap pemikiran yang berembang sebelumnya terutama aliran Mu'tazilah. Pendiri aliran ini tidak pernah memberikan label nama tertentu terhadap aliran ini, tapi para pengikutnyalah yang  memberii narna dengan menisbatkan kepada pendirinya yakni Abu Hasan Ibnu Ismail al-Asy’ari.

Sekalipun pada awal kemunculannya, aliran ini mengesankan hanya sebagai kelompok sempalan dari aliran Mu'tazilah, namun pada akhirnya dapat tampil sebagai sosok aliran yang tegar dan eksis, bahkan menjadi aliran alternatif di antara aliran besar lainnya. Pada lintasan sejarah pemikiran Islam, apabila kita melihat lebih dekat aliran al-Asy'ariyah ini, maka akan terlihat jelas betapa aliran ini mengalami perkembangan pesat, bertahan lama, didukung dan disebarkan oleh para ulama kenamaan di berbagai belahan dunia Islam. Banyak ulama dari berbagai madzhab sempat berguru kepada Abu Hasan al-Asy'ari tetap setia kepada aliran pemikiran teologi sang guru. Di antara mereka adalah Abu Ishaq al-Isfarayani, Abu Bakar al-Qogfal, al-Hafidz al-Jurjani, Abu Muhammad al-Thobari, al-Iraqi, dan lain-lain. Kemudian disusul generasi kedua seperti al-Sa'labi, al-Daroini, Abu Bakar al-Baqillani, Abu Bakar bin Furak dan al-Juaini.  Disamping itu juga ada seorang ulama besar yang merupakan pengikut Asy'ari terpenting dan terbesar pengaruhnya pada umat Islam, khusunya dikalangan Ahlus Sunnah wa Al-Jamaa'ah, yakni Abu Hamid al-Ghazali.

Mengingat luasnya cakupan wilayah pembahasan tentang Asy'ariyah ini, maka dirasa perlu adanya pembatasan wilayah bahasan dalam tulisan ini. Yaitu sekedar mencoba melakukan telaah kritis terhadap kelanjutan al-Asy’ariyah Sebagai Aliran Sunni, melalui sudut pandang historis-theologis. Dengan kata lain tulisan ini akan mencoba mencari jawaban atas sebuah pertanyaan sederhana: Bagaimanakah al-Asy’ariyah Sebagai Aliran Sunni dalam perspektif historis-teologis.

B.     Rumusan Masalah

a.         Bagaimana pengertian aliran Sunni?

b.         Bagaimana al-Asy’ariyah Sebagai Aliran Sunni?

C.    Tujuan Masalah

a.         Untuk mengetahui pengertian aliran Sunni.

b.         Untuk mengetahui al-Asy’ariyah Sebagai Aliran Sunni.


BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Pengertian aliran Sunni

Ditinjau dari ilmu bahasa (lughot/etimologi), Ahlussunah Wal Jama’ah berasal dari kata-kata: Ahl (Ahlun), berarti “golongan” atau “pengikut”. As-sunnah berarti “tabiat, perilaku, jalan hidup, perbuatan yang mencakupucapan, tindakan, dan ketetapan Rasulullah SAW”.  Wa, huruf ‘athf yang berarti “dan” atau “serta”. Al jama’ah  berarti jama’ah, yakni jama’ah para sahabat Rasul Saw. Maksudnya ialah perilaku atau jalan hidup para sahabat.[1]

Secara etimologis, istilah “Ahlus Sunnah Wal Jamaah” berarti golongan yang senantiasa mengikuti jejak hidup Rasulallah Saw. dan jalan hidup para sahabatnya. Atau, golongan yang berpegang teguh pada sunnah Rasul dan Sunnah para sahabat, lebih khusus lagi, sahabat yang empat, yaitu Abu Bakar As-Siddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin ‘Affan, dan Ali bin Abi Thalib.

Ahlus Sunnah adalah mereka yang mengikuti sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan sunnah shahabatnya radhiyallahu 'anhum. Al-Imam Ibnul Jauzi menyatakan tidak diragukan bahwa Ahli Naqli dan Atsar pengikut atsar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan atsar para shahabatnya, mereka itu Ahlus Sunnah.

Kata "Ahlus-Sunnah" mempunyai dua makna. Pertama, mengikuti sunah-sunah dan atsar-atsar yang datangnya dari Rasulullah shallallu 'alaihi wa sallam dan para shahabat radhiyallahu 'anhum, menekuninya, memisahkan yang shahih dari yang cacat dan melaksanakan apa yang diwajibkan dari perkataan dan perbuatan dalam masalah aqidah dan ahkam.[2]

Kedua, lebih khusus dari makna pertama, yaitu yang dijelaskan oleh sebagian ulama di mana mereka menamakan kitab mereka dengan nama As-Sunnah, seperti Abu Ashim, Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Al-Imam Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Al-Khalal dan lain-lain. Mereka maksudkan (As-Sunnah) itu i'tiqad shahih yang ditetapkan dengan nash dan ijma'.

Kedua makna itu menjelaskan kepada kita bahwa madzhab Ahlus Sunnah itu kelanjutan dari apa yang pernah dilakukan Rasulullah shallallahu 'alaih wa sallam dan para shahabat radhiyallahu 'anhum. Adapun penamaan Ahlus Sunnah adalah sesudah terjadinya fitnah ketika awal munculnya firqah-firqah.

Ada beberapa riwayat hadits tentang firqah atau millah ( golongan atau aliran) yang kemudian dijadikan landasan bagi firqah ahlussunnah waljamaah. Sedikitnya ada 6 riwayat hadits tentang firqah/millah yang semuanya sanadnya dapat dijadikan hujjah karena tidak ada yang dloif tetapi hadits shahih dan hasan. Dari hadits yang kesimpulannya menjelaskan bahwa umat Rasulullah akan menjadi 73 firqah, semua di nearka kecuali satu  yang di surga. itulah yang disebut firqah yang selamat (الفرقة الناجية). Dari beberpa riwayat itu ada yang secara tegas menyebutkan; ( أهل الســنة والجمــاعة) ahlussunnah waljamaah”. ataub “aljamaah”.   (الجماعة Tetapi yang paling banyak dengan kalimat;  “ maa ana alaihi wa ashhabi” ( ماأنا عليه وأصحا) .[3]

 

B.     al-Asy’ariyah Sebagai Aliran Sunni

Dalam sejarah pemikiran Islam, cikal bakal aliran sunni ini muncul bermula dari bursa pemikirian teologi Al-Asy'ari. Al-Asy'ari adalah satu aliran dalam ilmu Kalam yang lahir akibat adanya benturan antara kaum rasionalis (Mu'tazilah) dan kaum Tekstualis (Al-Hasywiyah) atau dikenal juga sebagai ahli hadits. Aliran ini berupaya mengambil jalan tengah antara kedua kutub itu yang ternyata berhasil menjadi satu aliran dan bahkan dianut oleh sebahagian besar kaum muslim yang berkembang sampai abad ke-20.  Pendiri aliran ini adalah Abu al-Hasan, Ali Ibn Ismail al-Asy'ari yang dilahirkan di Basbrah (260 H / 873-4 M) dan wafat (324 H / 935-6 M).  Bertolak dari bekal ajaran Mu'tazilah yang serba rasional dan filosofis ia berusaha mempertemukan dua aliran tersebut. Ia telah bergabung dengan aliran Mu'tazilah dalam rentang waktu yang relatif panjang yaitu 40 tahun.

Sedangkan aliran sunni atau lengkapnya aliran Ahli Sunnah wal Jama'ah adalah suatu aliran yang lahir akibat trauma atas perpecahan yang terjadi pada zaman Mu'awiyyah. Mereka tak mau terlibat dalam perpecahan tersebut dan memusatkan diri pada kegiatan inteletual saja, dan mengembangkan konsep “jama'ah" yaitu konsep kesatuan yang ideal seluruh kaum muslim tanpa memandang aliran politik mereka. Sentral tempat pengembangan intelektual mereka di antaranya adalah kota Madinah dan Bashrah.[4]

Ahlus-Sunnah wal-jama’ah lahir sebagai reaksi dari penyebaran aqidah Mu’tazilah yang cenderung mengedepankan akal ketimbang al-Qur’an atau Hadis. Banyak keyakinan Mu’tazilah yang dianggap oleh al-Asy’ari menyimpang jauh dari dasarnya. Lebih buruknya, ketika Mu’tazilah sudah menjadi paham penguasa (masa Khalifah al-Ma’mun, al-Mu’tashim, & al-Watsiq dari Daulah Bani Abbasiyah), banyak ulama yang ditangkap dan dipaksa untuk meyakini paham tersebut. Di antara ulama yang ditangkap dan disiksa karena tidak mau mengakui paham Mu’tazilah itu adalah Imam Ahmad bin Hanbal.

Dalam sejarah pemikiran Islam, masa Asy'ari sering disebut sebagai masa konsolidasi doktrin kaum Sunni. Meskipun sampai dengan saat itu ilmu Kalam terutama merupakan kesibukan kaum Mu'tazilah, namun lama kelamaan golongan Sunnipun menyertainya, karena keperluan mereka kepada pemikiran sistematis dan rasional tentang pokok-pokok faham mereka. Bahkan desakan itu tidak saja mendorong mereka berpartisipasi dengan golongan lain dalam ilmu kalam, tetapi juga dalam pemikiran filsafat. Dalam bidang teologi ini konsolidasi kaum Sunni diwakili oleh karya-karya intelektual besar Islam Abu Al-Hasan Al-Asy'ari.[5]

Al-Asy'ari sendiri sesungguhnya dari segi latihan intelektual dan fahamnya adalah seorang Mu'tazilah dan setelah ia menekuni dan mendalami aliran ini sampai 40 tahun ia meniggalkannya dan menyusun teologi baru yang sesuai dengan aliran orang yang berpegang kuat pada hadits. Alasan mengapa ia keluar dari aliran Mu'tazilah yang telah digetoli ternyata secara tuntas belum diketemukan jawabnya Menurut pendapat Ibnu Asakir yang dinukil oleh Jalal Muhammad Musa bahwa suatu malam, al-Asy’ari bermimpi bertemu Nabi saw. Dalam mimpi tersebut Nabi memerintahkan untuk meninggalkan aliran yang ia pegangi kemudian. Menguatkan aliran yang berdasar Sunnah. Alasan lain yang disebutkan Ibnu Asakir adalah timbulnya keraguan dalam hati al-Asy'ari setelah kemusykilan yang ia temukan tidak mendapat jawaban yang memuaskan dari gurunya, sehingga diriwayatkan bahwa ia berkata: “Pada suatu malam saya mendapatkan suatu keraguan dalam masalah akidah kemudian setelah melakukan salat dua rakaat saya mohon petunjuk kepada Allah dan tidurlah saya. Dalam tidur itu saya bermimpi bertemu Rasulullah dan sayapun sempat mengadukan masalah yang saya alami. Rasulullah berkata: "tetaplah pada Sunnahku". Setelah bangun semua masalah itu dapat saya temukan jawabannya dalam Alquran dan hadits. Maka saya tinggalkan akidah saya yang terdahulu”.

Karena belum dapat terungkap alasan al-Asy'ari secara pasti meninggalkan aliran lamanya, wajar kiranya Harun Nasution menawarkan altenatif lain sebagai alasan baru, yaitu: (a) Al-Asy'ari melihat bahwa aliran Mu'tazilah tidak dapat diterima oleh umumnya umat Islam yang bersifat sederhana dalam pemikiran; (2) Perlu adanya aliran teologi lain yang teratur sebagai substitusi aliran lama untuk menjadi pegangan mereka.

Dalam perajalanan karimya sebagai seorang pemikir yang nota- bene mantan pengikut bahkan pemuka aliran Mu'tazilah, tidaklah sedikit hambatan yang ia hadapi kebanyakan umat belum 100% percaya pada dirinya dan sering menuduhnya menyeleweng atau malah kafir karena ia tetap menggunakan metode-metode filsafat dalam argumentasinya. Salah satu risalahnya telah dapat memberikan gambaran kepada kita betapa al-Asy'ari membela diri dari berbagai serangan dan bagaimana dalam perjuangannya mengkonsolidasikan faham kaum Sunni itu ia meyerukan pentingnya mempelajari metode ilmu kalam dan disiplin berpikir saingan utama mereka, kaum Mu'tazilah.

Gebrakan al-Asy'ari dicatat dalam sejarah sebagai salah satu yang sangat sukses dalam sejarah pemikiran Islam, karena beberapa alasan, yakni: (a) ia berhasil melumpuhkan gerakan kaum Mu'tazilah dengan menggunakan logika mereka sendiri; (b) ia berhasil mengukuhkan paham Sunni, dan (c) ia berhasil menyelamatkan Islam dari Hellenisasi total.

Karena upaya al-Asy'ari mangambil jalan tengah antara Jabariyyah dan Qadariyyah, ilmu kalam al-Asy'ari cepat terkenal di kalangan umat dan bahkan kemudian diterima sebagai rumusan ajaran pokok agama yang sah.

Berkembangnya aliran al-Asy’ariyyyah tidak lepas dari dukungan tokoh-tokoh politik Bani Saljuk yang telah berhasil menguasai dinasti Abbasiyah. Abbasiyah sendiri menganut dan menjadikan paham Mu’tazilah sebagai aliran negara. Konspirasi politik yang dilakukan oleh Bani Saljuk terhadap Dinasti Abbasiyah membutuhkan simbol berbeda di segala bidang termasuk di dalamnya aliran yang harus dianut. Teologi al-Asy’ariyyah diperlukan dan mampu mengalahkan teologi Mu’tazilah merupakan aliran Dinasti Abbasiyah.[6]

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa konsolidasi al-Asy'ari terhadap aliran Ahlus Sunnah wal Jama'ah meskipun menemui banyak rintangan tetapi dapat dikatakan sangat berhasil, dan keberhasilan aliran Asy'ariyyah ini didukung oleh beberapa faktor:

a.         Kondisi yang sangat memungkinkan berkembangnya aliran al-Asy'ariyah sebab aliran Mu'tazilah yang lebih dahulu dirasa sudah tidak dapat membawa umat Islam pada kondisi yang memungkinkan.

b.         Ajaran yang sangat sederhana dan tidak memerlukan pola pikir yang tinggi membuat umat Islam yang awam semakin tertarik untuk mengikutnya.

c.         Dukungan pemerintahan Bani Saljuk saat itu cukup besar terutama dibangunnya sekolah guna menyebarkan ajaran Sunni di kalangan remaja dan usia sekolah, dan juga pengaruhnya terhadap penguasa-penguasa saat itu.

Di tangan para pengikut al-As’ari, faham Asy’ariyyah berkembang dan bervariasi sesuai dengan pemahaman tokoh-tokoh terkemuka saat itu, seperti al-Baqillani, al-Juwaini dan al-Ghazali. Perbedaan paham yang dianut oleh tokoh-tokoh terkmuka aliran Asy’ariyyah merupakan sebuah keniscayaan yang dilatari oleh perbedaan latar belakang kehidupan tokoh-tokoh tersebut, baik dalam bidang disiplin ilmu yang digeluti atau kondisi perkembangan aliran-aliran lain yang bersamaan dengan masa tokoh-tokoh tersebut.

Perbedaan paham para tokoh-tokoh terkemuka aliran al-Asy’ariyyah tidak menjadikan pahamnya keluar dari aliran al-Asy’ariyyah. Dikarenakan dasar-dasar ajarannya masih memiliki kesamaan.

Mazhab ahlu sunnah wal jaamaah muncul atas keberanian dan usaha Abul Hasan Al-Asy’ari. Ajaran teologi barunya kemudian dikenal dengan nama Sunah wal Jamaah. Untuk selanjutnya Ahli Sunah wal jamaah selalu dikaitkan pada kelompok pahan teologi Asy’ariyah ataupun Maturidiyah.[7]

Asy'ariyah banyak menggunakan istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah ini. Kebanyakan di kalangan mereka mengatakan bahwa madzhab salaf "Ahlus Sunnah wa Jamaah" adalah apa yang dikatakan oleh Abul Hasan Al-Asy'ari dan Abu Manshur Al-Maturidi. Sebagian dari mereka mengatakan Ahlus Sunnah wal Jamaah itu Asy'ariyah, Maturidiyah,dan Madzhab Salaf.

Para Ulama pengikut empat Mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hanbali) adalah penganut aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Ajaran aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah inilah yang dijadikan dasar oleh para ulama untuk membolehkan kebiasaan-kebiasaan baik seperti: Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw., Isra’ Mi’raj, tahlilan kematian, ziarah kubur, menghadiahkan pahala kepada orang meninggal, ziarah ke makam Rasulullah Saw. dan orang-orang shaleh, tawassul, dan lain sebagainya, yang secara substansial kesemuanya didasari dengan dalil-dalil yang kuat dari al-Qur’an dan Hadis serta Atsar para Sahabat Rasulullah Saw.

Barulah pada masa berikutnya, muncul Abul Hasan Al-Asy’ari yang menyusun aqidah Ahlussunnah Wal-Jama’ah sebagai sebuah perhatian khusus, dan beliau bekerja keras menyebarluaskannya di kalangan umat sebagai suatu rumusan yang rapi sekaligus sebagai bantahan-bantahan terhadap aliran Mu’tazilah. Dengan sebab itulah maka Abul Hasan al-Asy’ari dianggap sebagai pelopor atau pemimpin Ahlussunnah Wal-Jama’ah, dan para pengikutnya yang disebut Asya’irah secara otomatis termasuk Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Perhatikanlah pernyataan para ulama berikut ini:

 

    إِذَا أُطْلِقَ أَهْلُ السُّنَّةِ فَالْمُرَادُ بِهِ اْلأَشَاعِرَةُ وَالْمَاتُرِيْدِيَّةُ إتحاف سادات المتقين، محمد الزبدي، ج. 2، ص. 6)

    “Apabila disebut nama Ahlussunnah secara umum, maka maksudnya adalah Asya’irah (para pengikut faham Abul Hasan al-Asy’ari) dan Maturidiyah (para pengikut faham Abu Manshur al-Maturidi”.[8]

    وأما حكمه على الإطلاق وهو الوجوب فمجمع عليه في جميع الملل وواضعه أبو الحسن الأشعري  وإليه تنسب أهل السنة حتى لقبوا بالأشاعرة (الفواكه الدواني، أحمد النفراوي المالكي، دار الفكر، بيروت، 1415، ج: 1 ص: 38)

    “Adapun hukumnya (mempelajari ilmu aqidah) secara umum adalah wajib, maka telah disepakati ulama pada semua ajaran. Dan penyusunnya adalah Abul Hasan Al-Asy’ari, kepadanyalah dinisbatkan (nama) Ahlussunnah sehingga dijuluki dengan Asya’irah (pengikut faham Abul Hasan al-Asy’ari)” . [9]

    كذلك عند أهل السنة وإمامهم أبي الحسن الأشعري وأبي منصور الماتريدي (الفواكه الدواني ج: 1 ص: 103)

    “Begitu pula menurut Ahlussunnah dan pemimpin mereka Abul Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi”[10]

    وأهل الحق عبارة عن أهل السنة أشاعرة وماتريدية أو المراد بهم من كان على سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم فيشمل من كان قبل ظهور الشيخين أعني أبا الحسن الأشعري وأبا منصور الماتريدي (حاشية العدوي، علي الصعيدي العدوي، دار الفكر، بيروت، 1412 ج. 1، ص. 151)

 

    “Dan Ahlul-Haqq (orang-orang yang berjalan di atas kebenaran) adalah gambaran tentang Ahlussunnah Asya’irah dan Maturidiyah, atau maksudnya mereka adalah orang-orang yang berada di atas sunnah Rasulullah Saw., maka mencakup orang-orang yang hidup  sebelum munculnya dua orang syaikh tersebut, yaitu Abul Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi”.

    والمراد بالعلماء هم أهل السنة والجماعة وهم أتباع أبي الحسن الأشعري وأبي منصور الماتريدي رضي الله عنهما (حاشية الطحطاوي على مراقي الفلاح، أحمد الطحطاوي الحنفي، مكتبة البابي الحلبي، مصر، 1318، ج. 1، ص. 4)

    “Dan yang dimaksud dengan ulama adalah Ahlussunnah Wal-Jama’ah, dan mereka adalah para pengikut Abul Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi radhiyallaahu ‘anhumaa (semoga Allah ridha kepada keduanya)”.[11]

Pernyataan para ulama di atas menunjukkan bahwa tuduhan dan fitnahan kaum Salafi & Wahabi terhadap Asy’ariyyah adalah tidak benar dan merupakan kebohongan yang diada-adakan. Di satu sisi mereka mengeliminasi (meniadakan) Asy’ariyyah dari daftar kumpulan Ahlussunnah Wal-Jama’ah, di sisi lain mereka malah dengan yakinnya menyatakan diri sebagai kelompok Ahlussunnah Wal-Jama’ah yang sebenarnya.

Boleh dibilang bahwa aqidah Ahlussunnah Wal-Jama’ah di masa belakangan yang diajarkan oleh para ulama di dalam kitab-kitab mereka tidak ada yang tidak berhubungan dengan Asy’ariyyah, malah hubungan ini seperti sudah menjadi mata rantai yang baku dalam mempelajari ilmu aqidah. Hanya kaum Salafi & Wahabi lah yang menolak adanya hubungan itu, dan dalam mengajarkan ilmu aqidah mereka langsung berhubungan dengan ajaran para ulama salaf. Padahal Abul Hasan al-Asy’ari sudah lebih dulu menjelaskan ajaran para ulama salaf tersebut jauh-jauh hari sebelum kaum Salafi & Wahabi muncul, apalagi masa hidup beliau sangat dekat dengan masa hidup para ulama salaf.

Sebutan Ahlussunnah Wal-Jama’ah bagi Asy’ariyyah dan “pemimpin Ahlussunnah Wal-Jama’ah” bagi Abul Hasan al-Asy’ari, hanyalah sebagai suatu penghargaan dari para ulama setelah beliau atas jasa-jasa beliau dalam menyusun aqidah Ahlussunnah Wal-Jama’ah serta perjuangan beliau dalam mempopulerkan dan menyebarluaskannya di saat aqidah sesat Mu’tazilah masih berkuasa. Tentunya, ini tidak berarti bahwa faham Asy’ariyyah atau Maturidiyyah adalah satu-satunya yang sah disebut sebagai Ahlussunnah Wal-Jama’ah, sebab baik Abul Hasan al-Asy’ari maupun Abu Manshur al-Maturidi hanyalah menyusun apa yang sudah diyakini oleh para ulama salaf  yang bersumber kepada al-Qur’an, Sunnah Rasulullah Saw., dan atsar para Shahabat. Jadi, mereka hanya menyusun apa yang sudah ada, bukan mencipta keyakinan yang sama sekali baru.

Di saat para ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah merasa berbahagia dengan mengakui diri sebagai pengikut ajaran Asy’ariyyah, kaum Salafi & Wahabi justeru malah melepaskan diri dari ikatan itu, dan memberlakukan terminologi umum tentang Ahlussunnah wal-Jama’ah yang tidak ada hubungannya dengan Asy’ariyyah. Itu memang hak mereka, tetapi masalahnya, bila di dalam mempelajari aqidah tidak ada format baku yang disepakati atau tidak ada ikatan yang jelas dengan para ulama terdahulu dalam memahami al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. serta atsar para Shahabat, maka akan ada banyak orang yang dapat seenaknya mengaku sebagai Ahlussunnah Wal-Jama’ah dengan hanya bermodal dalil-dalil yang mereka pahami sendiri. Dan keadaan ini berbahaya bagi keselamatan aqidah umat Islam.

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

A.    Kesimpulan

Dari uraian diatas dapatlah diperoleh beberapa kesimpulan, yaitu:

1.      Ditinjau dari ilmu bahasa (lughot/etimologi), Ahlussunah Wal Jama’ah berasal dari kata-kata: Ahl (Ahlun), berarti “golongan” atau “pengikut”.

2.      Apabila disebut nama Ahlussunnah secara umum, maka maksudnya adalah Asya’irah (para pengikut faham Abul Hasan al-Asy’ari) dan Maturidiyah (para pengikut faham Abu Manshur al-Maturidi.

3.      Secara etimologis, istilah “Ahlus Sunnah Wal Jamaah” berarti golongan yang senantiasa mengikuti jejak hidup Rasulallah Saw. dan jalan hidup para sahabatnya. Atau, golongan yang berpegang teguh pada sunnah Rasul dan Sunnah para sahabat, lebih khusus lagi, sahabat yang empat, yaitu Abu Bakar As-Siddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin ‘Affan, dan Ali bin Abi Thalib.

4.      Keberhasilan aliran al-Asy'anyah ini didukung oleh beberapa faktor, antara lain:

a.       Kondisi yang sangat memungkinkan berkembangnya aliran al-Asy'ariyah sebab aliran Mu'tazilah yang lebih dahulu dirasa sudah tidak dapat membawa umat Islam pada kondisi yang memungkinkan.

b.      Ajaran yang sangat sederhana dan tidak memerlukan pola pikir yang tinggi membuat umat Islam yang awam semakin tertarik untuk mengikutinya.

c.       Dukungan pemerintahan Bani Saljuk saat itu cukup besar terutama dibangunnya sekolah guna menyebarkan ajaran Sunni dikalangan remaja dan usia sekolah, dan juga pengaruhnya terhadap penguasa-penguasa saat itu

5.      Pada akhirnya aliran Ahli Sunnah wa Jama'ah atau aliran Sunni ini berkembang ke seluruh penjuru dunia Islarn dengan melalui proses panjang.

 

B.     Kata Penutup

Dengan mengucap segala puji bagi Allah, akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan dan penyusunan makalah ini, namun penulis tetap mengharapkan kritik dan saran kepada para pembaca. Sehingga makalah ini dapat mendekati kekesempurnaan.


 

 

Daftar Pustaka

 

Abdullah, Iwad Bin. 1404. Al-Mu’tazilah Wa Ushulihim Al-Khomsah Bairut: Alim al-Kutub.

At-Tamimy, Muhammad Bin Abd Wahab. 1365. Ushul Al-Din Al-Islamy Ma’a Qawa’idihi. Jedah: Maṭba’ah al-Fath.

Al-Sahristany, Muhammad Bin Abd Al-Karim 1379. Al-Milal Wa Al-Nihal. Bairut: Dār Al-Makrifat.

Halqan, Samsudin Ahmad Bin Muhammad Abu. 2008. Wafiyat A’yan Wa Abna’i Anbai Al-Zaman. Bairut: Dar as-Shodir.

al-Basybisyiy, Mahmud. 1932. al-Firaq Al-Islamiya. Mesir: Al-Rahmaniyah

Nasir, Sahilun A. 2010. Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya. Jakarta: Rajagrafindo Persada.

At-Tamimy, Muhammad Bin Abd Wahab. 1365. Ushul Al-Din Al-Islamy Ma’a Qawa’idihi. Jedah: Maṭba’ah al-Fath.

Al-Sahristany, Muhammad Bin Abd Al-Karim. 1379. al-Milal Wa al-Nihal . Bairut: Dār Al-Makrifat.

Al-Nasyr,  Aliy Sami’ t.th. Nasy’ah al-Fikr al-Falsafiy fiy al-Islam Mesir: Dar al-Ma’arif.

al-Maliki, Ahmad an-Nafrawi. 1415. Al-Fawakih ad-Duwani. Beirut: Dar al-Fikr.

al-Hanafi, Ahmad At-Thahthawi. 1318. Hasyiyah At-Thahthawi ‘ala Maraqi al-Falah. Mesir; Maktabah al-Babi al-Halabi.



[1] Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2010), hal. 187

[2] Muhammad Bin Abd Wahab At-Tamimy, Ushul Al-Din Al-Islamy Ma’a Qawa’idihi (Jedah: Maṭba’ah al-Fath, 1365) hal. 7.

[3] Muhammad Bin Abd Al-Karim Al-Sahristany, Al-Milal Wa Al-Nihal (Bairut: Dār Al-Makrifat, 1379), hal. 409

[4] Aliy Sami’ Al-Nasyr, Nasy’ah al-Fikr al-Falsafiy fiy al-Islam (Cet. VIII; Mesir: Dar al-Ma’arif, t.th.), hal.77

[5] Muhammad Bin Abd Al-Karim Al-Sahristany, Al-Milal Wa Al-Nihal (Bairut: Dār Al-Makrifat, 1379), hal. 409

[6] Mahmud al-Basybisyiy, al-Firaq Al-Islamiyah (Cet.I; Mesir: Al-Rahmaniyah, 1932) dan Aliy Sami’ Al-Nasyr, Nasy’ah al-Fikr al-Falsafiy fiy al-Islam (Cet. VIII; Mesir: Dar al-Ma’arif, t.th.), hal.77

[7] Mahmud al-Basybisyiy, al-Firaq Al-Islamiyah (Cet.I; Mesir: Al-Rahmaniyah, 1932) hal. 79

[8], Muhammad Az-Zabidi, Ithaf Sadat al-Muttaqin juz 2, hal. 6. Lihat I’tiqad Ahlussunnah Wal-Jama’ah, KH. Siradjuddin Abbas, hal. 17

[9] Ahmad an-Nafrawi al-Maliki, Al-Fawakih ad-Duwani, (Beirut: Dar al-Fikr, 1415, juz 1), hal. 38

[10] Ibid.,,,hal 42

[11]Ahmad At-Thahthawi al-Hanafi, Hasyiyah At-Thahthawi ‘ala Maraqi al-Falah (Mesir; Maktabah al-Babi al-Halabi, 1318, juz 1) hal. 4

0 komentar:

Posting Komentar

Contact

Contact Person

Untuk saling berbagi dan sharing, mari silaturrahmi!

Address:

Mojo-Kediri-Jawa Timur (64162)

Work Time:

24 Hours

Phone:

085735320773

Diberdayakan oleh Blogger.