JARHU DAN TA'DIL
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Seiring berjalannya perkembangan keilmuan yang berbau keislaman, keberagaman permasalahn agama, sering muncul dari sebuah aturan yang sudah baku atau sudah menjadi kesepakatan para penganut agama. Contoh seperti aturan baku dalam Ilmu Jarhu wa Ta'dil, yang semuanya menjadi acuan pokok dalam rangka menjaga keaslian hadis nabi. Tentu saja hal seperti ini memunculkan permasalahan dari aturan yang sudah baku tersebut. Karena, semua permasalahan yang muncul harus dimasukkan dalam aturan itu. Maka tak jarang pula, ada penggugatan dari aturan tersebut.
Diantara permasalahan yang harus terjawab adalah, seperti, apakah menyebutkan penyebab Jarh dan Ta'dik menjadi sebuah keharusan?. Untuk menjawabnya, kita harus memahami latar belakang dari sebuah aturan tersebut. Seperti, mengapa ada aturan harus menyebutkan Jarhu dan Ta'dil. Dan lain sebagainya. Untuk itu, disini kami akan paparkan beberapa permasalahan dalam ilmu Jarhu wa Ta'dil sekaligus jawabannya. Selamat membaca!.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah menyebutkan penyebab Jarh dan Ta'dil menjadi sebuah
keharusan?
2.
Ada berapakah kritikus yang dianggap sah?
3.
Kontradiksi antara Jarhu dan Ta'dil?
4.
Apakah orang perempuan,anak kecil dan teman sepadan dalam
mengkritik?
5.
Menghukumi adil dengan samar?
C.
Tujuan Pembahasan
1.
Untuk mengetahui menyebutkan penyebab Jarh dan Ta'dik
menjadi sebuah keharusan.
2.
Untuk mengetahui kritikus yang dianggap sah.
3.
Untuk mengetahui Kontradiksi antara Jarhu dan Ta'dil.
4.
Untuk mengetahui apakah orang perempuan,anak kecil dan
teman sepadan dalam mengkritik.
5.
Untuk mengetahui konsep menta'dil dengan samar.
BAB II
PEMBAHASAN
Hiruk pikuk materi Jarhu wa Ta'dil
semakin runcing, hingga permasalahan apa yang
harus diangkat harus memeras otak. Namun, bukan materi yang sullit. Lebih
dari itu adalah permasalah-permasalahn dari gagasan yang sudah muncul dari para
pakar terdahulu, telah memunculkan permasalahan tersendiri itu yang haruss
terjawab.
Diantara permasalahan yang
harus terjawab adalah, pertama, Apakah menyebutkan penyebab Jarh dan Ta'dik
sebuah keharusan? Kedua, Ada berapakah kritikus yang dianggap sah ? ketiga,
Apakah orang perempuan dan anak kecil dalam mengkritik perowi? Keempat,
Kontradiksi antara Jarhu dan Ta'dil? Kelima, Hokum mengkritik dan mengkritik
teman sepadan? Dan terahir adalah bagaimana seorang kritikus menghukumi adil
dengan samar.
A.
Menyebutkan Penyebab Jarhu dan Ta'dik Menjadi Sebuah
Keharusan
Menyebutkan
penyebab Jarh dan Ta'dik apakah sebuah keharusan? Dan jika sebuah keharusan,
lantas bagaimana dengan para kritikus yang tidak menyebutkan sebab-sebab Jarhu
wa Ta'dil?. Apakah kritikan mereka dapat diterima atau tidak?. Sebab, seorang
kritikus berani men-Jarhu atau men-Ta'dil pastilah mempunyai alasan. Jadi,
alasan seorang kritikus inilah yang menjadi materi bagi kritikannya pada
seorang perowi.
Ternyata, pada kasus ini
ulama' terjadi perbedaan pendapat. Kami perinci dahulu dengan masalah
penyebutan sebab dalam men-Ta'dil terlebih dahulu. Menurut mayoritas ulama'
penyebutan sebab dalam men-Ta'dil tidak menjadi sebuah keharusan bagi muzakki.
Artinya, bagi muzakki yang tidak menyebutkan sebab-sebab pen-Ta'dilannya,
kritikannya tetap bisa diterima. Dengan alasan, sebuah pen-Ta'dilan adalah asal
sebuah sifat perowi yang jumlahnya tidaklah mungkin terhitung untuk memaparkannya.
Jadi, sangat sulit bagi kritikus untuk memaparkan satu persatu. Oleh karenanya,
penyebutan sebab bukan menjadi kaharusan dapat diterima atau tidaknya sebuah
kritikan muzakki.
Pendapat jumhur inilah
pendapat yang shohih. Pendapat shohih adalah pendapat yang mutlaq benar dan
menjadi sebuah kesepakatanpara ahli. Lantas pendapat yang minoritas (Muqobi
Al-Shohih) adalah pendapat tidak benar serta tidak bisa digunakan untuk
berfatwa bagi seorang mufti. Hanya bisa diriwayatkan dan termasuk dalam konsep
naqilul qoul atau pencerita pendapat.
Berbeda dengan muzakki,
dalam permasalahn mentajrih. Bagi mujarrih menyebutkan sebab-sebab Jarhu adalah
sebagai keharusan. Dengan alasan negative dari alasan men-Ta'dil diatas.
Yakni, Jarhu adalah cabang dari sifat perowi hadis. Artinya, Jarhu adalah
sebagian sifat atau sebuah penyakit bagi perowi. Maka, menyebutkan Jarhu
tidaklah sulit bagi mujarrih. Oleh karena itu, menyebutkan sebab-sebab Jarhu bagi
mujarrih menjadi sebuah keharusan dalam mengkritik, dengan orientasi dapat
tidaknya kritikan itu bisa diterima.[1]
B.
Kritikus Yang Dianggap Sah
Dengan melihat kapan benih
ilmu Jarhu dan Ta'dil ini, ternyata kegiatan Jarhu dan ta'dil sudah dimulai
sejak zaman sahabat. Akan tetapi, pada waktu itu belum berdiri sendiri sebagai
sebuah fan ilmu. Dari sini bisa kita deteksi, bahwa sejak zaman sahabat sudah
banyak muzakki dan mujarrih. Oleh karenanya, penghitungan muzakki dan mujarrih
ini harus dimulai sejak zaman sahabat. Al-Imam As-Sahowi memberikan lebel para
kritikus dengan istilah "Mashobihu Ad-Dzulam" artinya para
pelita kegelapan.
Penghitungan muzakki dan
mujarrih ini ternyata sudah muncul pada abad pertama Hijriyah. Ulama'-ulama' yang
pertama kali mengumpulkan nama-nama muzakki dan mujarrih adalah As-Sa'abi dan
Ibnu Sirrin. Pada abad kedua dan ketiga, tepatnya pada zaman ahir tabi'in
muncul seperti Abu Hanifah, Al-A'mas, Su'bah, Al-Auza'i dan Ats-Stauri.[2]
Baru pada abad keempat
muncul ulama' besar, yang bernama Ibnu Al-'Adi yang wafat pada tahun 365 Hijriyah.
Dengan kitabnya yang bernama Al-Kamil Fi Dlu'afa. Beliau mengelompokkan
para muzakki dan mujarrih dalam kitabnya dengan metode menyebutkan nama-nama
kritikus mulai zaman sahabat sampai penyusunan kitab itu, sekaligus beliau
paparkan pen-Ta'dilan serta
tajrihan masing masing kritikus.[3]
Kemudian muncul pada abad
kelima, yakni Abu Abdullah Al-Hakim An-Naisaburi dengan kitabnya berjudul Ma'rifat
Al-Ulumi Al-Hadis. Disana beliau membagi pada 10 tingkatan muzakki dan
mujarrih yang bisa diterima kritikanya. Pada masa itu, beliau menghitung ada 40
muzakki dan mujarrih.[4]
Pada abad kedelapan, muncul Al-Imam
Adz-Dzahabi yang dikenal sebagi bapak dari ilmu Jarhu wa ta'dil. Beliau wafat
pada tahun 748 H. dengan kitabnya yang berjudul "Dzikru Man Yu'tamadu
Qouluhu Fi Jarhi Wa Ta'dil". Disini, Al-Imam Adz-Dzahabi berhasil
mengumpulkan para muzakki dan mujarrih yang bisa diterima kritikanya hingga
mencapai 715 muzakki dan mujarrih dan 1212 hufat. Al-Imam Adz-Dzahabi mengelompokkan
715 kritikus itu dengan kurun dimana kritikus itu hidup serta dari thobaqohnya.[5]
Setelah Al-Imam Adz-Dzahabi dan
masih diabad yang sama, muncul tulisan gemilang dari murid kesayangan beliau. Dia
adalah Al –Imam Taqiyuddin As-Subuky. Dengan kitabnya yang berjudul Thobaqoh
Al-Syafi'iyyah Al-Qubro. Berbeda dengan Al-Imam Adz-Dzahabi, beliau hanya
mencatat 212 muzakki dan mujarrih yang bisa diterima kritikanya.[6]
Di abad kesembilan, muncul
kitab Al-I'lan Bi At-Tabih Liman Dzamma At-Tarih. Karangan Al-Imam
As-Sahowi yang wafat pada tahun 902 H. lebih sedikit dari Imam As-Subuki,
beliau menghitung ada 210 kritikus pada saat itu. Dengan membaginya menjadi 9
kurun dimulai dari sahabat Abu Bakar As-Sidiq.[7]
Sedangkan pendapat yang kuat
adalah paparan dari al-imam adz-dzahabi, karena penghitungan beliau ini
berdasarkan hitungan keseluruhan. Tidak sperti yang lainnya yang hanya
memaparkan contoh dari keseluruhan muzakki dan mujarrih.[8]
C.
Kontradiksi antara Jarhu dan Ta'dil
Sebelum menjawab
permasalahan kontradiksi antara Jarhu dan Ta'dil apa yang harus diketahui bagi
seorang peneliti. Yakni harus dijawab terlebih dahulu, apakah hal ini sama
dengan perhilafan yang terjadi dalam fan fiqih atau tidak?. Dalam fan fiqih,
jika ada kontradiksi sebuah pendapat ahli fiqih maka harus dilakukan ijtihad
akan pertentangan tersebut. Baik ijtihad itu berupa mencari titik temu,
mentarjih atau nasah wa mansuh.
Ternyata, menurut Imam
Al-Mndir, bahwa Kontradiksi dalam Jarhu dan Ta'dil ini sama dengan fan fiqih.[9]
Bukti kesamaan dua fan ini Seperti contoh, Jika terdapat ijma' dalam Jarhu dan Ta'dil.
Maka kesepakatan inilah yang dipakai dan tidak boleh untuk ijtihad lagi.
Kemudian jika ada
pertentangan antara Jarhu dan Ta'dil, dilihat dari segi satu objek kajiannya
(perowi) itu ada dua kemungkinan. Yakni:
1.
Menggunakan metode Al-Jam'u atau mencari titik temu. seperti,
Jika pertentengan antara ulama' yang mentajrih dari satu sifat dan ada lagi muzakki
yang men-Ta'dil dari sifat yang lain dalam satu perowi. Kasus ini memungkinkan tiga
bentuk.
Pertama, tatkala ada muzakki dengan bertendensi atas sifat
adil yang dia terima dari kemashuran di daerahnya perowi. Dan ada mujarrih yang
mendapat berita dari Negara lain. Seperti kritikan yang ditujukan kepada Isma'il
Bbin Abbas Al-humasy.
Kedua, perbedaan dari segi waktu. Semisal muzakki men-Ta'dil
perowi tatkala berumur 30 tahun. Setalah itu, ada mujarih yang mentajrih
tatkala perowi berumur lebih dari 30 tahun. Seperti kritikan yang ditujukan
kepada Ato' Bin As-Saib.
Ketiga, perbedaan berita dari para gurunya perowi. Seperti kritikan
yang ditujukan kepada Himad Bin Salamah.
2.
Jika metode Al-Jam'u tidak bisa menyelesaikannya, maka
dengan cara nasih wal mansuh. Selanjutnya bila tidak ditemukan mana yang lebih
dahulu, maka dengan cata mentarjih mana yang lebih falid antara Jarhu dan
takdinya. atau mendahulukan penTa'dilan dari muzakki. Hal ini disebabkan
muzakki memberikan nilai dari sifat yang asli dan sudah jelas. Berbeda dengan
mujarrih, dia memberikan kritikan dari sifat yang jarang dan sifat yang samar.
Jika dilihat dari segi pertentangan
kritikan dari dua mujarrih atau lebih, maka ada beberapa kemungkinan. [10]
1.
jika pertentangan itu bersumber dari muzakki atau
mujarrih yang sama. Namun periwayatanya yang berbeda. Seperti dua riwayat dari penTa'dilan yahya bin
muin. Maka, solusinya adalah dengan mencari kejelasan istilah yang dipakai
masing masing perowi.
2.
Jika pertentangan itu muncul dari dua kritikus atau
lebih banyak. Maka ada berberapa macam kasus seperti:
a. Mendahulukan qoul
kritikus yang sudah pasti bisa diterima kritikannya, baik dalam hal mentajrih
atau menta'dil.
b. Mencegah mendahulukan
ta'dil kecuali dengan tiga syarat. Yakni: pertama kritikus sebagai mufasir atas
perowi. kedua, tajrihnya sudah terbukti salah. Ketiga, tajrihnya ditangguhkan
pada adanya kelemahan pada gurunya perowi.
D.
Menghukumi Adil dengan Samar
Untuk menjawab pertanyaan
ini, cukup kita kembalikan pada syarat yang harus dipenuhi oleh kritikus.
Diantara syarat mutlaq yang harus dipenuhi sebagai seorang kritikus adalah,
kritikus haruslah tahu betul akan keadaan perowi hadis yang akan dikritik. Karena,
tujuan utema kritikus ini adalah menilai keaadaan si perowi. Keaadaan perowi
inilah yang menjadi modal utama bagi kritikus. maka sudah barang tentu, yang
namanya orang mau menilai tidaklah mungkin dia tidak tau keaadaan objek yang
akan dinilai.
Kemudian dalam hal ketahuan
kritikus dalam menilai perowi ini apakah cukup dengan hanya sangkaan atau harus
sebuah keyakinan pada sesuatu yang pasti. Ternyata, syarat tahu keaadaan perowi
bagi kritikus disana haruslah berangkat dari sebuah keyakinan dan bukan berupa
kesamaran akan objek dari penilaiannya itu, yakni keadaan perowi. Oleh karena
itu, penilaiaan kritikus, baik dalam rangka menJarhu dan menTa'dil diharuskan
tahu dengan yakin dan tidak samar akan keaadaan perowi.
Alasan kedua, tujuan utama
dan pertama mengkritik adalah dalam rangka memberikan berita akan status hadis
itu apakah shohih atau sebaliknya. Berbeda halnya dengan pemberi berita murni,
kebenaran atau keshohihan berita, disana tidaklah menjadi tujuan utama dan
pertama. Melainkan hanya member berita sajalah yang harus tercapai. Oleh karena
itu, pemberi berita harus tau betul dan tidak boleh ragu dalam menyampaikan
keshahihan hadis.[11]
E.
Kritikus Perempuan, Anak Kecil atau teman sepadan
Dalam Mengkritik.
Sebelum menjawab ketiga
permasalahan dibawah ini, kembali saya ingatkan tentang syarat seorang
kritikus. Pertama, punya sifat wira'I dan taqwa. Kedua, selalu
menjaga dari kekangan hawa nafsu. Ketiga, tidak terlalu lentur dan
terlalu kaku dalam mengkritik sanad. Keempat, terbebas dari dorongan
hawa nafsu tatkala mengkritik sanad. Kelima, bersifat adil. Keenam, tahu
betul tentang keadaan perowi yang akan dikritik. Ketujuh, kritikus harus
tahu betul sabab sebab Jarhu.[12]
1.
Muzakki Wanita
Pada dasarnya, permasalahan
ini sudah terjawab dari hadis Nabi Muhammad SAW. ketika beliau bertanya kepada Baroroh
tentang kedustaan. Dimana, Rosullah disana menerima berita yang disampaikan
wanita yang bernama Baroroh perihal setatus Sayyidah Aisah RA.
Artinya, tak ada nas yang
jelas (tauqifi) maupun ijma' atau bahkan manhaj qiyas yang berbicara tentang
penolakan atas kritikan seorang wanita. Dari sini maka bagi wanita tidaklah
tertutupi baginya pintu ijtihad dan bisa diterimanya kritikan wanita bila dia
telah memenuhi syarat seorang kritikus. Dan bahkan hadis diatas dengan jelas
memberikan indikasi bahwa habar dari wanita itu dapat diterima. Walaupun dalam
kasus ini, mayoritas ulama' fiqih menolak dengan tegas atas kasaksian wanita
dalam hal syahadah dan riwayah.
Disi lain, permasalahn penTa'dilan
ini lebih tepatnya dengan alasan bahwa diterima atau tidaknya kritik adil
perowi itu dari segi kridebiletas seorang mu'adil. Artinya, jika memang wanit
itu bisa memenuhi syarat menjadi seorang kritikus maka jawaban yang tepat
adalah bisa diterima menjadi sebagi kritikus.[13]
Akan tetapi dipungkiri atau
tidak, para ulama’ terjadi hilaf dalam menanggapi permasalahan ini. Hal ini
dilator belakangi dengan adanya perbedaan pendapat tentang tidak diterimanya
wanita sebagai saksi atau perowi. Karena, jika seorang kritikus menta'dil pasti
secara otomatis dia juga sebagai perowi atau saksi dari sifat seorang perowi.
Perbedaan pendapat itu ada tiga. Yakni:[14]
1. Wanita tidak bisa
diterima kritikannya secara mutlak. Baik penTa'dilan untuk persaksian atau
periwayatan. Ini adalah pendapat yang diceritakan oleh Al-Qodli Abu Bakar
Al-Baqilani dari mayoritas ulama' ahli fiqih.
2. Wanita bisa menjadi
muzakki secara mutlaq. dengan alasan bahwa keotentikan sebuah persaksian atau
riwayah itu tergantung pada pembawanya. Artinya, wanita juga bisa menjadi
kritikus jika memang kerdibilitannya bisa dipercaya. Ini adalah pendapat yang
di pakai oleh Al-Qodli Abu Bakar Al-Baqilani. Pendapat yang kedua ini juga
memutlakan baik muzakki itu anak kecil, seorang budak atau wanita.
3. Pendapat ketiga ini
memilah milah dari konsep riwayah atau syahadah. Jadi, jika penTa'dilan itu
dalam rangka menta'dil perowi maka wanita bisa menjadi muzakki. Dan bila penTa'dilan
itu dalam rangka mengkritik persaksian maka wanita tidak bisa menjadi muzakki.
Pendapat ini ditarjih oleh Al-Imam Fahruddin dan Imam Al-Amudy.[15]
2.
Muzakki Anak Kecil
Berbeda dengan permasalahan wanita, anak kecil
tidak lah bisa menjadi seorang muzakki. Hal ini dengan dua alasan. Pertama,
karena adanya kesepakatan ulama' atau ijma' yang menegaskan bahwa anak kecil
tidaklah bisa menjadi muzakki. Kedua, anak kecil sangat minim sekali
untuk mengetahui keadaan sebenarnya yang dilakukan oleh orang yang sudah
dewasa.[16]
Terlepas dari dua alasan
diatas, apakah muzakki dimonopoli oleh orang dewasa saja atau tidak ulama'
terjadi perbedaan pendapat seperti yang sudah kami tuturkan diatas perihal
wanita menjadi seorang muzakki.
Ulama’ yang memperbolehkan
anak kecil menjadi seorang muzakki adalah Al-Qodli Abu Bakar Al-Baqilani. Yang
penting bagi beliau adalah kredibilitas muzakki dan bukan setatus muzakki. Baik
dia laki-laki, perempuan, anak kecil, atau budak. Semuanya mungkin untuk
menjadi muzakki yang sejati dan bisa diterima pendapatnya.
3.
Muzakki dan
Mujarih Mengkritik Teman Sepadan
Untuk hokum mengkritik teman
sepadan ini, ulama’ juga terjadi perbedaan pendapat seperti halnya kedua kasus
diatas. Untuk ulama' yang memperbolehkannya, dengan alasan bahwa kegiatan
mengkritik ini titik tekannya pada kritikus itu sendiri. Artinya, jika
kredibilitasnya sudah terpenuhi maka kritikan dia bisa diterima walaupun perowi
yang dia kritik adalah teman sepadan atau bahkan lebih tinggi kemampuannya. Akan
tetapi perlu diketahui, bahwasanya, pokok utama dari seorang kritikus tatkala
mengkritik haruslah memenuhi syarat syarat diatas.[17]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
- Permasalahan :
a.
Apakah menyebutkan penyebab Jarh
dan Ta'dik menjadi sebuah keharusan?
b.
Ada berapakah kritikus yang
dianggap sah?
c.
Kontradiksi antara Jarhu dan
Ta'dil?
d.
Menghukumi adil dengan samar?
e.
Apakah orang perempuan,anak kecil dan teman sepadan dalam
mengkritik?
- Jawaban:
a.
menyebutkan penyebab Jarhu adalah
sebuah keharusan dan menyebutkan ta'dil bagi muzakki tidak menjadi sebuah
keharusan.
b.
Menurut Adz-Dzahabi, Ada 715
kritikus yang dianggap sah.
c.
Kontradiksi antara Jarhu dan
Ta'dil solusinya sama dengan kontradiksi yang ada dalam peraturan fan fiqih.
d.
Menghukumi adil dengan samar
tidaklah bisa diterima.
Saran Kajian
Kajian
ilmiah ini masih sangat umum dan sederhana, karena kajian tentang masalah
masalah yang menyelimuti ilmu jarhu wa ta'dil ini sangatlah kompleks sekali.
Apalagi ditail para ulama' yang berkenaan dengan masalah ini sekaligus hilafnya
juga sangatlah banyak. Disini kami hanya mengangkat 7 permasalahan dengan
mengikuti silabi yang kami terima. Alahkah lebih lengkapnya jika, mencantumkan
segala isu tentang permaslahan ilmu ini yang berkenaan dengan sejarah atau
ketetapan yang sudah paten, sekaligus memberikan jawannya dari pihak ahli
kritik moderen.
[1] Ali As-Suhudy, Al-Hulashoh Fil Ilmi
Jarhi Wa Takdil, (Maktabah Tsamilaa: Tt.), Hlm: 7
[2] Aiman Mahmud Muhdy, Al-Jarhu Wa Ta'dil
Baina An-Nadzoriyah Wa Tatbiiq (Maktabah Tsamilaa: Tt.), Hlm: 67
[3] Aiman Mahmud Muhdy, Al-Jarhu Wa Ta'dil
Baina An-Nadzoriyah Wa Tatbiiq (Maktabah Tsamilaa: Tt.), Hlm: 7 Lihat: الجرح والتعديل بين النظرية والتطبيق
[4] Taqiyyudin, Muhtasyor Al-Kamil fi Adl-Dlu'afa,
(Maktabah Tsamilaa: Tt.), Hlm: 7. Lihat:الضعفاء
[5] Ali As-Suhudy, Al-Hulashoh Fil Ilmi
Jarhi Wa Takdil, (Maktabah Tsamilaa: Tt.), Hlm: 7
[6] Tajuddin bin Ali bin Abdul Al-Kafi
As-Subuky, Thobaqoh Asy-Syafi'iyyah Al-Kubro, (Libanon: Dar Al-Kutub
Al-Ilmiyah, 2007), Hlm: 314-318.
[7] Samsudin Muhammad bin Abdurrohman
As-Sahowi, Fathu Al-Mughits (Libanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, Tt.),
Hlm: 266-270.
[8] Aiman Mahmud Muhdy, Al-Jarhu Wa Ta'dil
Baina An-Nadzoriyah Wa Tatbiiq (Maktabah Tsamilaa: Tt.), Hlm: 7
[9] Ali As-Suhudy, Al-Hulashoh Fil Ilmi
Jarhi Wa Takdil, (Maktabah Tsamilaa: Tt.), Hlm: 387
[10] Ali As-Suhudy, Al-Hulashoh Fil Ilmi
Jarhi Wa Takdil, (Maktabah Tsamilaa: Tt.), Hlm: 389. lihat :
والصورة الثانية : تعارضُ الجرح والتعديل
الصادرين من ناقدين أو أكثر
[11] Muhammad bin Ismail Al-AmirAs-Shon'any, Taudlihul
Afkar Li Ma'ani Tanqihul Andzor, (Makkah: Maktabah As-Salafiyyah, Tt.),
Hlm: 112. Lihat: فلا بد من تعيين الراوي الموثق ولا
يقبل توثيقه مبهما "بخلاف الأخبار المحضة"
[12] Ali As-Suhudy, Al-Hulashoh Fil Ilmi
Jarhi Wa Takdil, (Maktabah Tsamilaa: Tt.), Hlm: 44
[13] Ahmad bin Ali bin Tsabit Abu Bakar Al-Hotib
Al-Bagdady, Al-Kifayah Fi ilmi Riwayah, (Madinah: Maktabah Al-Ilmiyyah,
Tt.) Hlm: 97. Lihat: ( باب
ما جاء في كون المعدل امرأة أو عبد أو صبيا )
[14] Al-Hafid Al-'Iroqy, Syarhu Al-Tabsyiroh
Wa Tadzkiroh, (Maktabah tsamila: 20.000, Tt.), Hlm: 105. Lihat: واختلفوا هل تثبتُ العدالةُ والجرحُ بالنسبةِ إلى
الروايةِ
[15] Muhammad bin Ismail Al-AmirAs-Shon'any, Taudlihul
Afkar Li Ma'ani Tanqihul Andzor, (Makkah: Maktabah As-Salafiyyah, Tt.),
Hlm: 112. Lihat: في
تزكية الصبي المراهق والغلام الضابط لما يسمعه أتقبل أم لا
[16] Ibid.,,,
[17] Ali As-Suhudy, Al-Hulashoh Fil Ilmi
Jarhi Wa Takdil, (Maktabah Tsamilaa: Tt.), Hlm: 44
0 komentar:
Posting Komentar