Senin, 19 Juli 2021

JARHU DAN TA'DIL


JARHU DAN TA'DIL

BAB  I

PENDAHULUAN

A.             Latar Belakang Masalah

Seiring berjalannya perkembangan keilmuan yang berbau keislaman, keberagaman permasalahn agama, sering muncul dari sebuah aturan yang sudah baku atau sudah menjadi kesepakatan para penganut agama. Contoh seperti aturan baku dalam Ilmu Jarhu wa Ta'dil, yang semuanya menjadi acuan pokok dalam rangka menjaga keaslian hadis nabi. Tentu saja hal seperti ini memunculkan permasalahan dari aturan yang sudah baku tersebut. Karena, semua permasalahan yang muncul harus dimasukkan dalam aturan itu. Maka tak jarang pula, ada penggugatan dari aturan tersebut.

Diantara permasalahan yang harus terjawab adalah, seperti, apakah menyebutkan penyebab Jarh dan Ta'dik menjadi sebuah keharusan?. Untuk menjawabnya, kita harus memahami latar belakang dari sebuah aturan tersebut. Seperti, mengapa ada aturan harus menyebutkan Jarhu dan Ta'dil. Dan lain sebagainya. Untuk itu, disini kami akan paparkan beberapa permasalahan dalam ilmu Jarhu wa Ta'dil sekaligus jawabannya. Selamat membaca!.

B.             Rumusan Masalah

1.         Apakah menyebutkan penyebab Jarh dan Ta'dil menjadi sebuah keharusan?

2.         Ada berapakah kritikus yang dianggap sah?

3.         Kontradiksi antara Jarhu dan Ta'dil?

4.         Apakah orang perempuan,anak kecil dan teman sepadan dalam mengkritik?

5.         Menghukumi adil dengan samar?

C.             Tujuan Pembahasan

1.         Untuk mengetahui menyebutkan penyebab Jarh dan Ta'dik menjadi sebuah keharusan.

2.         Untuk mengetahui kritikus yang dianggap sah.

3.         Untuk mengetahui Kontradiksi antara Jarhu dan Ta'dil.

4.         Untuk mengetahui apakah orang perempuan,anak kecil dan teman sepadan dalam mengkritik.

5.         Untuk mengetahui konsep menta'dil dengan samar.

BAB  II

PEMBAHASAN

Hiruk pikuk materi Jarhu wa Ta'dil semakin runcing, hingga permasalahan apa yang  harus diangkat harus memeras otak. Namun, bukan materi yang sullit. Lebih dari itu adalah permasalah-permasalahn dari gagasan yang sudah muncul dari para pakar terdahulu, telah memunculkan permasalahan tersendiri itu yang haruss terjawab.

Diantara permasalahan yang harus terjawab adalah, pertama, Apakah menyebutkan penyebab Jarh dan Ta'dik sebuah keharusan? Kedua, Ada berapakah kritikus yang dianggap sah ? ketiga, Apakah orang perempuan dan anak kecil dalam mengkritik perowi? Keempat, Kontradiksi antara Jarhu dan Ta'dil? Kelima, Hokum mengkritik dan mengkritik teman sepadan? Dan terahir adalah bagaimana seorang kritikus menghukumi adil dengan samar.

A.            Menyebutkan Penyebab Jarhu dan Ta'dik Menjadi Sebuah Keharusan

  Menyebutkan penyebab Jarh dan Ta'dik apakah sebuah keharusan? Dan jika sebuah keharusan, lantas bagaimana dengan para kritikus yang tidak menyebutkan sebab-sebab Jarhu wa Ta'dil?. Apakah kritikan mereka dapat diterima atau tidak?. Sebab, seorang kritikus berani men-Jarhu atau men-Ta'dil pastilah mempunyai alasan. Jadi, alasan seorang kritikus inilah yang menjadi materi bagi kritikannya pada seorang perowi.

Ternyata, pada kasus ini ulama' terjadi perbedaan pendapat. Kami perinci dahulu dengan masalah penyebutan sebab dalam men-Ta'dil terlebih dahulu. Menurut mayoritas ulama' penyebutan sebab dalam men-Ta'dil tidak menjadi sebuah keharusan bagi muzakki. Artinya, bagi muzakki yang tidak menyebutkan sebab-sebab pen-Ta'dilannya, kritikannya tetap bisa diterima. Dengan alasan, sebuah pen-Ta'dilan adalah asal sebuah sifat perowi yang jumlahnya tidaklah mungkin terhitung untuk memaparkannya. Jadi, sangat sulit bagi kritikus untuk memaparkan satu persatu. Oleh karenanya, penyebutan sebab bukan menjadi kaharusan dapat diterima atau tidaknya sebuah kritikan muzakki.

Pendapat jumhur inilah pendapat yang shohih. Pendapat shohih adalah pendapat yang mutlaq benar dan menjadi sebuah kesepakatanpara ahli. Lantas pendapat yang minoritas (Muqobi Al-Shohih) adalah pendapat tidak benar serta tidak bisa digunakan untuk berfatwa bagi seorang mufti. Hanya bisa diriwayatkan dan termasuk dalam konsep naqilul qoul atau pencerita pendapat.

Berbeda dengan muzakki, dalam permasalahn mentajrih. Bagi mujarrih menyebutkan sebab-sebab Jarhu adalah sebagai keharusan. Dengan alasan negative dari alasan men-Ta'dil diatas. Yakni, Jarhu adalah cabang dari sifat perowi hadis. Artinya, Jarhu adalah sebagian sifat atau sebuah penyakit bagi perowi. Maka, menyebutkan Jarhu tidaklah sulit bagi mujarrih. Oleh karena itu, menyebutkan sebab-sebab Jarhu bagi mujarrih menjadi sebuah keharusan dalam mengkritik, dengan orientasi dapat tidaknya kritikan itu bisa diterima.[1]

B.             Kritikus Yang Dianggap Sah

Dengan melihat kapan benih ilmu Jarhu dan Ta'dil ini, ternyata kegiatan Jarhu dan ta'dil sudah dimulai sejak zaman sahabat. Akan tetapi, pada waktu itu belum berdiri sendiri sebagai sebuah fan ilmu. Dari sini bisa kita deteksi, bahwa sejak zaman sahabat sudah banyak muzakki dan mujarrih. Oleh karenanya, penghitungan muzakki dan mujarrih ini harus dimulai sejak zaman sahabat. Al-Imam As-Sahowi memberikan lebel para kritikus dengan istilah "Mashobihu Ad-Dzulam" artinya para pelita kegelapan.

Penghitungan muzakki dan mujarrih ini ternyata sudah muncul pada abad pertama Hijriyah. Ulama'-ulama' yang pertama kali mengumpulkan nama-nama muzakki dan mujarrih adalah As-Sa'abi dan Ibnu Sirrin. Pada abad kedua dan ketiga, tepatnya pada zaman ahir tabi'in muncul seperti Abu Hanifah, Al-A'mas, Su'bah, Al-Auza'i dan Ats-Stauri.[2]

Baru pada abad keempat muncul ulama' besar, yang bernama Ibnu Al-'Adi yang wafat pada tahun 365 Hijriyah. Dengan kitabnya yang bernama Al-Kamil Fi Dlu'afa. Beliau mengelompokkan para muzakki dan mujarrih dalam kitabnya dengan metode menyebutkan nama-nama kritikus mulai zaman sahabat sampai penyusunan kitab itu, sekaligus beliau paparkan  pen-Ta'dilan serta tajrihan masing masing kritikus.[3]

Kemudian muncul pada abad kelima, yakni Abu Abdullah Al-Hakim An-Naisaburi dengan kitabnya berjudul Ma'rifat Al-Ulumi Al-Hadis. Disana beliau membagi pada 10 tingkatan muzakki dan mujarrih yang bisa diterima kritikanya. Pada masa itu, beliau menghitung ada 40 muzakki dan mujarrih.[4]

Pada abad kedelapan, muncul Al-Imam Adz-Dzahabi yang dikenal sebagi bapak dari ilmu Jarhu wa ta'dil. Beliau wafat pada tahun 748 H. dengan kitabnya yang berjudul "Dzikru Man Yu'tamadu Qouluhu Fi Jarhi Wa Ta'dil". Disini, Al-Imam Adz-Dzahabi berhasil mengumpulkan para muzakki dan mujarrih yang bisa diterima kritikanya hingga mencapai 715 muzakki dan mujarrih dan 1212 hufat. Al-Imam Adz-Dzahabi mengelompokkan 715 kritikus itu dengan kurun dimana kritikus itu hidup serta dari thobaqohnya.[5]

Setelah Al-Imam Adz-Dzahabi dan masih diabad yang sama, muncul tulisan gemilang dari murid kesayangan beliau. Dia adalah Al –Imam Taqiyuddin As-Subuky. Dengan kitabnya yang berjudul Thobaqoh Al-Syafi'iyyah Al-Qubro. Berbeda dengan Al-Imam Adz-Dzahabi, beliau hanya mencatat 212 muzakki dan mujarrih yang bisa diterima kritikanya.[6]

Di abad kesembilan, muncul kitab Al-I'lan Bi At-Tabih Liman Dzamma At-Tarih. Karangan Al-Imam As-Sahowi yang wafat pada tahun 902 H. lebih sedikit dari Imam As-Subuki, beliau menghitung ada 210 kritikus pada saat itu. Dengan membaginya menjadi 9 kurun dimulai dari sahabat Abu Bakar As-Sidiq.[7]

Sedangkan pendapat yang kuat adalah paparan dari al-imam adz-dzahabi, karena penghitungan beliau ini berdasarkan hitungan keseluruhan. Tidak sperti yang lainnya yang hanya memaparkan contoh dari keseluruhan muzakki dan mujarrih.[8]

C.            Kontradiksi antara Jarhu dan Ta'dil

Sebelum menjawab permasalahan kontradiksi antara Jarhu dan Ta'dil apa yang harus diketahui bagi seorang peneliti. Yakni harus dijawab terlebih dahulu, apakah hal ini sama dengan perhilafan yang terjadi dalam fan fiqih atau tidak?. Dalam fan fiqih, jika ada kontradiksi sebuah pendapat ahli fiqih maka harus dilakukan ijtihad akan pertentangan tersebut. Baik ijtihad itu berupa mencari titik temu, mentarjih atau nasah wa mansuh.

Ternyata, menurut Imam Al-Mndir, bahwa Kontradiksi dalam Jarhu dan Ta'dil ini sama dengan fan fiqih.[9] Bukti kesamaan dua fan ini Seperti contoh, Jika terdapat ijma' dalam Jarhu dan Ta'dil. Maka kesepakatan inilah yang dipakai dan tidak boleh untuk ijtihad lagi.

Kemudian jika ada pertentangan antara Jarhu dan Ta'dil, dilihat dari segi satu objek kajiannya (perowi) itu ada dua kemungkinan. Yakni:

1.                Menggunakan metode Al-Jam'u atau mencari titik temu. seperti, Jika pertentengan antara ulama' yang mentajrih dari satu sifat dan ada lagi muzakki yang men-Ta'dil dari sifat yang lain dalam satu perowi. Kasus ini memungkinkan tiga bentuk.

Pertama, tatkala ada muzakki dengan bertendensi atas sifat adil yang dia terima dari kemashuran di daerahnya perowi. Dan ada mujarrih yang mendapat berita dari Negara lain. Seperti kritikan yang ditujukan kepada Isma'il Bbin Abbas Al-humasy.

Kedua, perbedaan dari segi waktu. Semisal muzakki men-Ta'dil perowi tatkala berumur 30 tahun. Setalah itu, ada mujarih yang mentajrih tatkala perowi berumur lebih dari 30 tahun. Seperti kritikan yang ditujukan kepada Ato' Bin As-Saib.

Ketiga, perbedaan berita dari para gurunya perowi. Seperti kritikan yang ditujukan kepada Himad Bin Salamah.

2.                Jika metode Al-Jam'u tidak bisa menyelesaikannya, maka dengan cara nasih wal mansuh. Selanjutnya bila tidak ditemukan mana yang lebih dahulu, maka dengan cata mentarjih mana yang lebih falid antara Jarhu dan takdinya. atau mendahulukan penTa'dilan dari muzakki. Hal ini disebabkan muzakki memberikan nilai dari sifat yang asli dan sudah jelas. Berbeda dengan mujarrih, dia memberikan kritikan dari sifat yang jarang dan sifat yang samar.

Jika dilihat dari segi pertentangan kritikan dari dua mujarrih atau lebih, maka ada beberapa kemungkinan. [10]

1.                jika pertentangan itu bersumber dari muzakki atau mujarrih yang sama. Namun periwayatanya yang berbeda.  Seperti dua riwayat dari penTa'dilan yahya bin muin. Maka, solusinya adalah dengan mencari kejelasan istilah yang dipakai masing masing perowi.

2.                Jika pertentangan itu muncul dari dua kritikus atau lebih banyak. Maka ada berberapa macam kasus seperti:

a.       Mendahulukan qoul kritikus yang sudah pasti bisa diterima kritikannya, baik dalam hal mentajrih atau menta'dil.

b.       Mencegah mendahulukan ta'dil kecuali dengan tiga syarat. Yakni: pertama kritikus sebagai mufasir atas perowi. kedua, tajrihnya sudah terbukti salah. Ketiga, tajrihnya ditangguhkan pada adanya kelemahan pada gurunya perowi.

D.            Menghukumi Adil dengan Samar

Untuk menjawab pertanyaan ini, cukup kita kembalikan pada syarat yang harus dipenuhi oleh kritikus. Diantara syarat mutlaq yang harus dipenuhi sebagai seorang kritikus adalah, kritikus haruslah tahu betul akan keadaan perowi hadis yang akan dikritik. Karena, tujuan utema kritikus ini adalah menilai keaadaan si perowi. Keaadaan perowi inilah yang menjadi modal utama bagi kritikus. maka sudah barang tentu, yang namanya orang mau menilai tidaklah mungkin dia tidak tau keaadaan objek yang akan dinilai.

Kemudian dalam hal ketahuan kritikus dalam menilai perowi ini apakah cukup dengan hanya sangkaan atau harus sebuah keyakinan pada sesuatu yang pasti. Ternyata, syarat tahu keaadaan perowi bagi kritikus disana haruslah berangkat dari sebuah keyakinan dan bukan berupa kesamaran akan objek dari penilaiannya itu, yakni keadaan perowi. Oleh karena itu, penilaiaan kritikus, baik dalam rangka menJarhu dan menTa'dil diharuskan tahu dengan yakin dan tidak samar akan keaadaan perowi.

Alasan kedua, tujuan utama dan pertama mengkritik adalah dalam rangka memberikan berita akan status hadis itu apakah shohih atau sebaliknya. Berbeda halnya dengan pemberi berita murni, kebenaran atau keshohihan berita, disana tidaklah menjadi tujuan utama dan pertama. Melainkan hanya member berita sajalah yang harus tercapai. Oleh karena itu, pemberi berita harus tau betul dan tidak boleh ragu dalam menyampaikan keshahihan hadis.[11]

E.             Kritikus Perempuan, Anak Kecil atau teman sepadan Dalam Mengkritik.

Sebelum menjawab ketiga permasalahan dibawah ini, kembali saya ingatkan tentang syarat seorang kritikus. Pertama, punya sifat wira'I dan taqwa. Kedua, selalu menjaga dari kekangan hawa nafsu. Ketiga, tidak terlalu lentur dan terlalu kaku dalam mengkritik sanad. Keempat, terbebas dari dorongan hawa nafsu tatkala mengkritik sanad. Kelima, bersifat adil. Keenam, tahu betul tentang keadaan perowi yang akan dikritik. Ketujuh, kritikus harus tahu betul sabab sebab Jarhu.[12]

1.                     Muzakki Wanita

Pada dasarnya, permasalahan ini sudah terjawab dari hadis Nabi Muhammad SAW. ketika beliau bertanya kepada Baroroh tentang kedustaan. Dimana, Rosullah disana menerima berita yang disampaikan wanita yang bernama Baroroh perihal setatus Sayyidah Aisah RA.

Artinya, tak ada nas yang jelas (tauqifi) maupun ijma' atau bahkan manhaj qiyas yang berbicara tentang penolakan atas kritikan seorang wanita. Dari sini maka bagi wanita tidaklah tertutupi baginya pintu ijtihad dan bisa diterimanya kritikan wanita bila dia telah memenuhi syarat seorang kritikus. Dan bahkan hadis diatas dengan jelas memberikan indikasi bahwa habar dari wanita itu dapat diterima. Walaupun dalam kasus ini, mayoritas ulama' fiqih menolak dengan tegas atas kasaksian wanita dalam hal syahadah dan riwayah.

Disi lain, permasalahn penTa'dilan ini lebih tepatnya dengan alasan bahwa diterima atau tidaknya kritik adil perowi itu dari segi kridebiletas seorang mu'adil. Artinya, jika memang wanit itu bisa memenuhi syarat menjadi seorang kritikus maka jawaban yang tepat adalah bisa diterima menjadi sebagi kritikus.[13]

Akan tetapi dipungkiri atau tidak, para ulama’ terjadi hilaf dalam menanggapi permasalahan ini. Hal ini dilator belakangi dengan adanya perbedaan pendapat tentang tidak diterimanya wanita sebagai saksi atau perowi. Karena, jika seorang kritikus menta'dil pasti secara otomatis dia juga sebagai perowi atau saksi dari sifat seorang perowi. Perbedaan pendapat itu ada tiga. Yakni:[14]

1.       Wanita tidak bisa diterima kritikannya secara mutlak. Baik penTa'dilan untuk persaksian atau periwayatan. Ini adalah pendapat yang diceritakan oleh Al-Qodli Abu Bakar Al-Baqilani dari mayoritas ulama' ahli fiqih.

2.       Wanita bisa menjadi muzakki secara mutlaq. dengan alasan bahwa keotentikan sebuah persaksian atau riwayah itu tergantung pada pembawanya. Artinya, wanita juga bisa menjadi kritikus jika memang kerdibilitannya bisa dipercaya. Ini adalah pendapat yang di pakai oleh Al-Qodli Abu Bakar Al-Baqilani. Pendapat yang kedua ini juga memutlakan baik muzakki itu anak kecil, seorang budak atau wanita.

3.       Pendapat ketiga ini memilah milah dari konsep riwayah atau syahadah. Jadi, jika penTa'dilan itu dalam rangka menta'dil perowi maka wanita bisa menjadi muzakki. Dan bila penTa'dilan itu dalam rangka mengkritik persaksian maka wanita tidak bisa menjadi muzakki. Pendapat ini ditarjih oleh Al-Imam Fahruddin dan Imam Al-Amudy.[15]

2.                     Muzakki Anak Kecil

 Berbeda dengan permasalahan wanita, anak kecil tidak lah bisa menjadi seorang muzakki. Hal ini dengan dua alasan. Pertama, karena adanya kesepakatan ulama' atau ijma' yang menegaskan bahwa anak kecil tidaklah bisa menjadi muzakki. Kedua, anak kecil sangat minim sekali untuk mengetahui keadaan sebenarnya yang dilakukan oleh orang yang sudah dewasa.[16]

Terlepas dari dua alasan diatas, apakah muzakki dimonopoli oleh orang dewasa saja atau tidak ulama' terjadi perbedaan pendapat seperti yang sudah kami tuturkan diatas perihal wanita menjadi seorang muzakki.

Ulama’ yang memperbolehkan anak kecil menjadi seorang muzakki adalah Al-Qodli Abu Bakar Al-Baqilani. Yang penting bagi beliau adalah kredibilitas muzakki dan bukan setatus muzakki. Baik dia laki-laki, perempuan, anak kecil, atau budak. Semuanya mungkin untuk menjadi muzakki yang sejati dan bisa diterima pendapatnya.

3.                      Muzakki dan Mujarih Mengkritik Teman Sepadan

Untuk hokum mengkritik teman sepadan ini, ulama’ juga terjadi perbedaan pendapat seperti halnya kedua kasus diatas. Untuk ulama' yang memperbolehkannya, dengan alasan bahwa kegiatan mengkritik ini titik tekannya pada kritikus itu sendiri. Artinya, jika kredibilitasnya sudah terpenuhi maka kritikan dia bisa diterima walaupun perowi yang dia kritik adalah teman sepadan atau bahkan lebih tinggi kemampuannya. Akan tetapi perlu diketahui, bahwasanya, pokok utama dari seorang kritikus tatkala mengkritik haruslah memenuhi syarat syarat diatas.[17]

BAB  III

PENUTUP

A.            Kesimpulan

  1. Permasalahan :

a.              Apakah menyebutkan penyebab Jarh dan Ta'dik menjadi sebuah keharusan?

b.              Ada berapakah kritikus yang dianggap sah?

c.              Kontradiksi antara Jarhu dan Ta'dil?

d.              Menghukumi adil dengan samar?

e.              Apakah orang perempuan,anak kecil dan teman sepadan dalam mengkritik?

  1. Jawaban:

a.              menyebutkan penyebab Jarhu adalah sebuah keharusan dan menyebutkan ta'dil bagi muzakki tidak menjadi sebuah keharusan.

b.              Menurut Adz-Dzahabi, Ada 715 kritikus yang dianggap sah.

c.              Kontradiksi antara Jarhu dan Ta'dil solusinya sama dengan kontradiksi yang ada dalam peraturan fan fiqih.

d.              Menghukumi adil dengan samar tidaklah bisa diterima.

 Saran Kajian

Kajian ilmiah ini masih sangat umum dan sederhana, karena kajian tentang masalah masalah yang menyelimuti ilmu jarhu wa ta'dil ini sangatlah kompleks sekali. Apalagi ditail para ulama' yang berkenaan dengan masalah ini sekaligus hilafnya juga sangatlah banyak. Disini kami hanya mengangkat 7 permasalahan dengan mengikuti silabi yang kami terima. Alahkah lebih lengkapnya jika, mencantumkan segala isu tentang permaslahan ilmu ini yang berkenaan dengan sejarah atau ketetapan yang sudah paten, sekaligus memberikan jawannya dari pihak ahli kritik moderen.



[1] Ali As-Suhudy, Al-Hulashoh Fil Ilmi Jarhi Wa Takdil, (Maktabah Tsamilaa: Tt.), Hlm: 7

[2] Aiman Mahmud Muhdy, Al-Jarhu Wa Ta'dil Baina An-Nadzoriyah Wa Tatbiiq (Maktabah Tsamilaa: Tt.), Hlm: 67

[3] Aiman Mahmud Muhdy, Al-Jarhu Wa Ta'dil Baina An-Nadzoriyah Wa Tatbiiq (Maktabah Tsamilaa: Tt.), Hlm: 7 Lihat:  الجرح والتعديل بين النظرية والتطبيق

[4] Taqiyyudin,  Muhtasyor Al-Kamil fi Adl-Dlu'afa, (Maktabah Tsamilaa: Tt.), Hlm: 7. Lihat:الضعفاء

[5] Ali As-Suhudy, Al-Hulashoh Fil Ilmi Jarhi Wa Takdil, (Maktabah Tsamilaa: Tt.), Hlm: 7

[6] Tajuddin bin Ali bin Abdul Al-Kafi As-Subuky, Thobaqoh Asy-Syafi'iyyah Al-Kubro, (Libanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2007), Hlm: 314-318.

[7] Samsudin Muhammad bin Abdurrohman As-Sahowi, Fathu Al-Mughits (Libanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, Tt.), Hlm: 266-270.

[8] Aiman Mahmud Muhdy, Al-Jarhu Wa Ta'dil Baina An-Nadzoriyah Wa Tatbiiq (Maktabah Tsamilaa: Tt.), Hlm: 7

[9] Ali As-Suhudy, Al-Hulashoh Fil Ilmi Jarhi Wa Takdil, (Maktabah Tsamilaa: Tt.), Hlm: 387

[10] Ali As-Suhudy, Al-Hulashoh Fil Ilmi Jarhi Wa Takdil, (Maktabah Tsamilaa: Tt.), Hlm: 389. lihat :

والصورة الثانية : تعارضُ الجرح والتعديل الصادرين من ناقدين أو أكثر

[11] Muhammad bin Ismail Al-AmirAs-Shon'any, Taudlihul Afkar Li Ma'ani Tanqihul Andzor, (Makkah: Maktabah As-Salafiyyah, Tt.), Hlm: 112. Lihat:  فلا بد من تعيين الراوي الموثق ولا يقبل توثيقه مبهما "بخلاف الأخبار المحضة"

[12] Ali As-Suhudy, Al-Hulashoh Fil Ilmi Jarhi Wa Takdil, (Maktabah Tsamilaa: Tt.), Hlm: 44

[13] Ahmad bin Ali bin Tsabit Abu Bakar Al-Hotib Al-Bagdady, Al-Kifayah Fi ilmi Riwayah, (Madinah: Maktabah Al-Ilmiyyah, Tt.) Hlm: 97. Lihat: ( باب ما جاء في كون المعدل امرأة أو عبد أو صبيا )

[14] Al-Hafid Al-'Iroqy, Syarhu Al-Tabsyiroh Wa Tadzkiroh, (Maktabah tsamila: 20.000, Tt.), Hlm: 105. Lihat:  واختلفوا هل تثبتُ العدالةُ والجرحُ بالنسبةِ إلى الروايةِ

[15] Muhammad bin Ismail Al-AmirAs-Shon'any, Taudlihul Afkar Li Ma'ani Tanqihul Andzor, (Makkah: Maktabah As-Salafiyyah, Tt.), Hlm: 112. Lihat: في تزكية الصبي المراهق والغلام الضابط لما يسمعه أتقبل أم لا

[16] Ibid.,,,

[17] Ali As-Suhudy, Al-Hulashoh Fil Ilmi Jarhi Wa Takdil, (Maktabah Tsamilaa: Tt.), Hlm: 44

0 komentar:

Posting Komentar

Contact

Contact Person

Untuk saling berbagi dan sharing, mari silaturrahmi!

Address:

Mojo-Kediri-Jawa Timur (64162)

Work Time:

24 Hours

Phone:

085735320773

Diberdayakan oleh Blogger.