BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Seiring berjalannya waktu, istilah "Hermeneutika" adalah sebuah metode yang sangat familiar di telinga kita. Pada awalnya hermeneutik diposisikan sebagai bagian dari ilmu filologi, dan baru pada abad 16 memperoleh perhatian akademis setelah para ilmuwan gereja menggunakannya sebagai metode pemahaman dan interpretasi Kitab Suci Bibel. Sejak saat itu posisi hermeneutik mulai berkembang menjadi metode kritik historiografi. Pada abad 18, ketika masyarakat Eropa bangkit dalam upaya penghargaan dan apresiasi terhadap seni klasik, maka peran hermeneutik menjadi semakin penting dan dibutuhkan. Karena yang menjadi obyek kajian adalah pemahaman tentang makna dan pesan yang terkandung dalam karya seni klasik yang merupakan karya cipta masa lalu. Disini, penulis ingin mengajak membahas lebih lanjut, tentang konsep Hermeneutika di dalam kajian keilmuan barat.
B. Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana sejarah Hermeneutika
di dalam tradisi keilmuan barat?
2. Bagaimana konsep Hermeneutika di dalam tradisi keilmuan barat dan siapa saja tokoh
tokohnya?
C.
Tujuan Pembahasan
1.
Mengetahui sejarah Hermeneutika di dalam tradisi keilmuan
barat
2. Mengetahui konsep Hermeneutika di dalam tradisi keilmuan
barat dan siapa saja tokoh tokohnya..
BAB II
PEMBAHASAN
- A.
Sejarah Hermeneutika di Dalam Tradisi
Keilmuan Barat
Istilah yang satu ini bisa dibilang sangat menarik
perhatian para pemikir muslim. Disamping menyajikan cara pandang baru terhadap text juga menimbulkan
polemik diantara sesama pemikir, baik dari muslim maupun non muslim.
Kata Hermeneutika berasal dari bahasa Yunani hermenuein,
harmenus yang berarti penafsiran, ungkapan,
pemeberitahuan, terjemah. Ia diambil dari kata hermes, utusan para dewa dalam
mitologi Yunani. Meskipun ia sendiri adalah
dewa yang mempunyai peran sebagaimana dewa Mesir kuno Theth (dewa kata). Kalau dicermati lebih dalam, sebetulnya kedua
dewa ini mempunyai peran yang berbeda. Dewa Theth kata-katanya bersifat naratif sedangkan Hermes bersifat
formatif ilustraif. Agaknya perpaduan ini merupakan keharusan, karena makna suatu mitos terbentuk dari
narasi dan forma.[1]
Theth disebut juga juru tulis para dewa, dewa tulisan,
pencipta pena dan tinta, penutur agung, penguasa tulisan dari Mesir. Ia juga kata pemula yang menyebabkan
alam ini ada. Di samping itu ia berperan
sebagai jaksa di pengadilan akhir hayat. Secara singkat bisa dikatakan bahwa
Theth adalah symbol dari kata, kata pencipta,
pengatur, pemusnah alam ini sekaligus juga yang berperan mengadili. Dan karakteristik kata ini adalah samar, tidak akan pernah
jelas. Sebab dengan kesamaran itu kehidupan bisa dinamis dan abadi.[2]
Adapun Hermes adalah dewa kata yang fasih. Ia putra Zeus
dan Maya. Ia adalah kata-kata yang menjadi
penghubung (komunikasi) antar manusia dan manusia dengan suatu tempat.
Perkataan gaya Hermes adalah perkataan yng
berputar-putar antara kebenaran dan kebohongan. Hermes memang bersumpah untuk tidak berdusta meskipun ada catatan iapun
tidak berjanji bisa mengungkapkan kebenaran
secara sempurna.
Dengan demikian, hermeneutika ala mitologi Yunani adalah
upaya mendapatkan kebenaran hakiki melalui
ucapan-ucapan Hermes yang sifatnya sangat terbatas (tidak mutlak kebenarannya).
Pada masa abad pertengahan, terjadi perpindahan lapangan
penafsiran teks dari humeira (injil Yunani) ke penafsiran injil-injil Romawi. Para penafsir juga mulai
meletakkan pedoman-pedoman, kaidah-kidah unuk memahami kitab suci, yaitu berpegang pada tekstualitas,
tujuan moral dan kandungan arti spiritual.
Augustin membagi arti-arti yang dicari oleh para penafsir
dari kitab suci menjadi 4 yaitu arti tekstual, tujuan moral, arti simbolik dan penafsiran yang
tersembunyi. Dan ketika Martin Luther menampilakn corak penafsiran barunya dalam gerakan reformasi agama
bermuncullah karya-karya seputar kaidah-kaidah penfsiran. Pada tahun 1654 mulai muncul karya yang
menyebut kata hermeneutika yaitu Hermeneutika sacra sive Methodus exponent darum sacarum literum
(penafsiran kitab suci atau metode penjelasan teks- teks kitab suci) karya Dannhauuer. Dan pada abad XVIII
corak penafsiran kitab suci bertumpu pada filologi.[3]
- B.
Konsep Hermeneutika di Dalam Tradisi Keilmuan
Barat dan Tokohnya
1.
Schleler Marcher ( w 1843 )
Oleh Schleler Marcher, hermeneutika dibawa dari obyek
wilayah ketuhanan (kitab suci) ke wilayah ilmu-ilmu pengetahuan (teks secara umum). Hal ini karena pada
masanya terjadi reaksi keras terhadap faham Hegel yang menfsirkan teks sebagai penjelmaan yang Maha
Kuasa di satu sisi dan faham Feurbagh yang berpandangan bahwa teks keagamaan tidak lain adalah bentuk
alianasi manusia di sisi lain. Bagi marcher,
yang penting bukan Hegel atau Feurbagh, tapi bagaimana memahami teks keagamaan
tersebut.
Sebagaimana teks-teks yang lain. Dalam menafsiri teks ia
tidak mencukupkan pada pendekatan filologi saja, tapi dilengkapi dengan pendekatan psikologi dan
sejarah. Secara garis besar ada 2 dasar yang ditawarkan Marcher dalam menafsiri teks :
a.
Langkah-langkah penafsiran
(hermeneutika) terhadap teks. Dan langkah ini ada dua cara, pertama intuitif struktural yang mendasarkan pada arti keseluruhan
teks. Kedua adalah gramatikal historis, analitis, komparatif yang digunakan untuk mengkaji lebih dalam
komponen-komponen teks
Landasan
pemahaman bahwa teks adalah sarana komunikasi antara penulis (pembuat teks) dan pembaca
(penafsir teks) di satu sisi, dan di sisi lain adalah karakteristik dari
pembuat teks itu sendiri. Dengan demikian, penafsiran
hermeneutik adalah upaya untuk berpadu, menyatu rasa dengan pembuat teks dan mengira-ngira maksud dan tujuannya
di satu sisi. Dan di sisi lain adalah analisa mendalam terhadap teks itu dari segi gramatika,
sejarah yang dengan demikian pembaca (penafsiran) mempunyai otoritas luas untuk menafsirkan
teks tersebut.[4]
2.
Dilthey (1833 – 1911)
Kalau Schleler Marcher tantangannya adalah Hegelisme dan
Feurbaghisme, maka Dilthey adalah ilmu
Fisika di satu sisi dan filsafat idealisme di sisi lain. Masa Dilthey disebut
sebagai masa filsafat positivisme, yang mendasarkan
kebenaran pada eksperimen dan rumus-rumus fisika. Para pengusung positivisme mencela ilmu-ilmu humaniora, karena tidak
adanya kepastian rumus-rumus dan kaidah- kaidah. Dan Dilthey menjawab bahwa ilmu fisika dan humaniora
mempunyai perbedaan obyek, tujuan dan penggarapan. Obyek ilmu fisika adalah alam, sesuatu yang ada di
luar manusia. Sementara humaniora obyeknya
adalah manusia itu sendiri. Dan oleh karena itu, manusia adalah pengkaji dan
obyek sekaligus.
Sedangkan tujuan dari ilmu fisika adalah menguasai alam
sementara humaniora adalah upaya memahami manusia. Dengan demikian, hermeneutika lebih dekat dengat
humaniora. Dan hermeneutika ala Dilthey adalah penafsiran yang mendalam terhadap teks dan bukan sekedar
eksperimen atau pencarian sebab-sebab kemunculan teks.[5]
3.
Heidegger (1889 – 1976)
Bersama Heidegger, hermeneutika mengalami lompatan besar
sebab ia mengaitkannya dengan filsafat
yang dalam hal ini adalah fenomenologi. Keterkaitan ni tidak berarti obyek
kajian hermeneutika adalah hal-hal yang lahiriah atau
kulit kalimat. Tapi konsentrasinya justru pada perspektif kesadaran individu terhadap fenomena itu. Dan ketika obyek kajian
hermeneutika adalah bahasa, sedangkan fenomenologi adalah alam maka dengan cerdas Heidegger menjelaskan
bahwa bahasa adalah ekspresi dari alam.
Dan oleh karena itu, penafsiran teks adalah penafsiran terhadap alam. Fungsi
penafsiran teks adalah (ber)fungsinya kesadaran-
kesadaran terhadap alam. Dan penafsiran teks adalah membaca bahasa alam, mendengar suaranya seakan-akan ia menjelma di
hadapan penafsir.
Heidegger menegaskan bahwa penafsiran dengan cara ini
(dengan hermeneutika) memang memunculkan
beragamnya penafsiran, sebab :
a.
penafsiran hermeneutik adalah
pengalaman ontologis (upaya pencarian wujud dan hakikat sesuatu).
Padahal keberadaan hakikat tersebut adalah antara ada dan
tiada, kesamaran dan kejelasan. Dan oleh
karena itu, penafsiran hermeneutik –dengan tujuan seperti ini- harus dilakukan
terus-menerus. Artinya tidak bisa diklaim bahwa
suatu bentuk atau tahapan penafsiran telah menemukan hakikatnya.
b.
Penafsiran hermeneutik adalah
penafsiran historis. Artinya pertama ia muncul pada satu titik dari rangkaian kesejarahan dan terpengaruh oleh kejadian
sejarah itu. Kedua pemahaman-pemahaman yang kita daptkan dari sejarah (kejadian) senantiasa mempengaruhi
pemahaman kita terhadap teks.
c.
Hakikat sesuatu jauh melampaui
kesadaran kita, lebih panjang dari pada usia dunia, lebih komplek dari pada potongan sejarah di mana kita hidup. Dan oleh
karena itu kesadaran akan sejarah (realitas)
harus dilakukan terus menerus.[6]
4.
Gadammer (1900 - )
Teori Gadammer tentang hermeneutika melalui pendekatan
seni. Ia mengatakan :" Ketika kita menemukan karya seni dengan ciri khas keindahannya bukan wujud
lahirnya . Kita akan merasa bertambah
asing. Sebab karya seni berkaitan dengan kenyataan (wujud
karya seni tersebut) dan persepsi banyak orang sementara itu kita sendiri secara prbadi sulit untuk
menerimanya ". Menanggapi kepelikan semacam ini, Gadammer menawarkan teori dekomparasi keindahan yang
artinya kelangsungan nilai seni. Suatu pemahaman bahwa karya seni (yang dibuat di masa lalu) mempunyai
sifat berkembang, aktual sampai pada
masa kini. Dan dengan hermeneutika hal tersebut bisa diatasi melaui pemahaman,
penafsiran dan dialog. Penafsir dengan cara ini
melakukan pengembaraan untuk menemukan keserasian antara si penafsir tersebut dengan obyek (teks). Keserasian ini tidak berarti
penafsir tergantung pada teks tapi maksudnya si penafsir membuka diri untuk berdialog dengan yang lain.
Meskipun Gadammer menekankan pada hakikat dan kandungan nilai karya seni, ia tidak menafikan bentuk lahir.
Sebab bentuk lahir merupakan media yang memungkinkan penafsir (dalam hal ini pengamat seni) melalui
eksperimen-eksperimennnya yang terus menerus-
bisa mendapatkan suatu makna yang pasti. Demikian juga dengan adanya bentuk
lahir, generasi mendatang bisa turut memberikan
apresiasi terhadap karya seni tersebut. Dengan kata lain, keberadaan wujud luar mempunyai kekuatan yang dinamis, dalam arti
karya seni tidak hanya dilihat dari sisi keindahan belaka, tapi juga makna terdalam yang terkandung. Juga
beragamnya apresiasi, pemahaman menjadi
lestari tidak akan berhenti pada satu tahapan atau orang penafsir tertentu.[7]
Secara garis besar bisa dikatakan bahwa Gadammer –dalam
hermeneutika- menawarkan tiga poros
yaitu penulis (pencipta teks/sejarah/seni), penafsir dan teks dalam pengertian
umum. Si penafsir bergerak merambah dari pemahaman yang
ada menjelang kemunculan teks, beragamnya arti sepanjang sejarah sampai pada arti di mana penafsir hidup, dan dari
penafsir mencoba menyatu rasa dengan penulis (pembuat teks). Dengan demikian, penafsiran hermeneutik
adalah penafsiran yang terus menerus dan berputar-putar antara penafsir, teks dan pembuat teks.[8]
5.
Jauss
Jauss sebagaimana Gadammer juga menawarkan teori dialog.
Ia mempunyai 3 macam bentuk dialog
pertama dialog dengan para pembaca (penafsir) teks. Kedua dialog antar teks,
yaitu teks yang sedang dikaji penafsir dengan
teks-teks yang lain. Ketiga dialog antara teks puitis dan teks biasa (prosa).
Bagi Jauss kemunculan bahasa bukan dari interaksi individu
dengan obyek, tapi interaksi antara individu dengan individu yang lain. Dan pengertian "faham"
bukan monologis ( bagaimana kita memahami suatu obyek) tapi dialogis (sharing pengertian antara individu
dengan individu lain terhadap suatu obyek). Dan dengan demikian, di hadapan teks kita tidak dalam posisi
tersandera tapi justru sebagai tuan yang mempunyai otoritas untuk menguasai teks.
6.
Paul Ricoeur
Sebagaimana Michael Faucoult dan Jack Derrida, pengaruh
ricoeur tidak hanya pada bidang sastra
dan filsafat saja. Tapi merambah ke sejarah, agama, politik, mitologi, ideology
dan lain-lain.
Demikian juga ia juga berdialog, berinteraksi dengan
disiplin-disipli ilmu lain seperti faham-faham filsafat, psikologi, sosial. Bagi Ricoeur hermeneutika bukanlah
metode yang bertentangan dengan disiplin ilmu lain tapi justru sebagai penyerap, pengkritik dan bisa membuat
ilmu-ilmu lain menjadi jaya. Bersama analisa psikologik misalnya kita dalam menafsirkan suatu teks
berangkat dari pemahaman awal, keadaan alam bawah sadar kita yang tersembunyi di balik fenomena. Suatu
keadaan di mana kita belum terpengaruh oleh fenomena di luar kita. Dan dengan analisa fenomenologik
penafsir hermeneutik menunjukkan bagaimana
super ego kita memahami fenomena (teks) di hadapan kita. Hermenutika dalam
menafsiri fenomena melalui 2 media, yaitu
simbol dan kesadaran. Kesadaran dalam Hermeneutika bukan hal yan mutlak tapi penting. Sebab hermeneutika memandang
kesadaran adalah palsu pada mulanya. Dan oleh karena itu harus dilanjutkan dengan memikirkan, memahami
simbol-simbol dan dilakukan terus-menerus supaya teruji dan kepalsuan itu relatif berkurang. Puncak
kesadaran yang dicapai hermeneutic bukan pengetahuan (kebenaran) yang mutlak tapi upaya yang terus menerus
dan terus menyisakan pemahaman yang
baru lagi.
Berbeda dengan fenomenologi Herschell dan Cogito Decart,
Riceour memandang bahwa hakikat sesuatu
tidak diperoleh dengan bagaimana fenomena itu menampakkan pada kita, atau hanya
dengan sekedar memikirkannya, tapi
bagaimana kita membaca, memahami symbol-simbol dari sesuatu tersebut. Dengan demikian, dalam hermenutika (penafsiran teks) Ricouer
tidak mengesampingkan symbol dan struktur
teks tersebut. Meskipun demikian, struktur menurutya hanya satu tahapan dari
tahapan hermeneutika. Struktur hanya
pembuka dari upaya penafsiran hermeneutic. Teks tidak bisa dipahami secara sempurna dengan teori strukturalisme sebagus apapun
teori itu. Dengan demikian, struktur bukan puncak dari penafsiran hermeneutic tapi hanya tahapan
awal.
Berkait dengan semiotika, Ricouer menganggap bahwa
penafsiran teks harus bergerak dari keasadaran
penuh akan tahapan semiotic (simbol) suatu teks menuju tahapan bahwa teks
tersebut mempunyai arti dan kandungan
makna. Kalau semiotika bercirikan teks yang formil dan sederhana, maka hermeneutika lebih jauh dan lebih dalam dari pada itu,
yaitu kedalaman makna.
Dan kalau dekonstruksi Michel Foucoult memporak porandakan
makna suatu teks, maka hermenutika justru mencari nilai
terdalam yang terkandung dalam teks. Relativitas teks bukan pada factor yang menyebabkan berbedanya arti dalam suatu teks, tapi
pada upaya unifikasi makna mengingat perbedaan
pengalaman dan faktor-faktor lain.”
Selain sejarah singkat diatas hermeneutik juga dikenal
sebagai pisau analisis untuk menafsirkan injil ini bisa dilihat dari mulai dibakukannya istilah
hermeneutics sebagai suatu ilmu, metode dan teknik memahami sutu pesan atau teks, baru terjadi pada sekitar
abad ke-18 M, menyusul terjadinya gerakan reformasi yang dicetuskan oleh Marthin Luther di Jerman. Ia sebagai tokoh Protestan menolak klaim otoritas gereja Katolik dalam pemaknaan dan penjabaran
kitab suci.[9]
BAB III
PENUTUP
- A.
Kesimpulan
Walhasil:
1.
Pada awalnya hermeneutik diposisikan sebagai bagian dari ilmu
filologi, dan baru pada abad 16 memperoleh perhatian akademis setelah para
ilmuwan gereja menggunakannya sebagai metode pemahaman dan interpretasi Kitab
Suci Bibel. Sejak saat itu posisi hermeneutik mulai berkembang
menjadi metode kritik historiografi. Pada abad 18, ketika
masyarakat Eropa bangkit dalam upaya penghargaan dan apresiasi
terhadap seni klasik, maka peran hermeneutik menjadi semakin
penting dan dibutuhkan. Karena yang menjadi obyek kajian adalah pemahaman tentang makna dan
pesan yang terkandung dalam karya seni klasik yang merupakan karya cipta masa
lalu, maka faktor pencipta, prosesd
2.
Hermeneutika dibawa dari obyek wilayah
ketuhanan (kitab suci) ke wilayah ilmu-ilmu
pengetahuan (teks secara umum). Hal ini karena pada masanya terjadi reaksi
keras terhadap faham Hegel yang menfsirkan teks
sebagai penjelmaan yang Maha Kuasa di satu sisi dan faham Feurbagh yang berpandangan bahwa teks keagamaan tidak lain adalah
bentuk alianasi manusia di sisi lain. Bagi marcher, yang penting bukan Hegel atau Feurbagh, tapi
bagaimana memahami teks keagamaan tersebut.
- B.
Saran Kajian
Masih
banyak teori yang belum kami sampaikan, terutama dari konsep Herminiotik para
ahli non muslim. Kami juga belum membahsa tuntas ditail dari konsep yang
digagas al-Jabiri. Alangkah
sempurnanya bila dikorelasikan Hermeneutika al-jabiri ini dengan para tokoh non
muslim. Dan penelitian lebih lanjut, kepada siapakah kecendrungan pemikiran
al-Jabiri.
DAFTAR PUSTAKA
Palmer, Richard E. 2003. Hermeneutika Teori
Baru Mengenai Interpretasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Norma, Ahmad. 2003. Hermeneutika
Kontemporer, Hermeneutika Sebagai Metode Filsafat Dan Kritik. Yogyakarta:
Fajar Pustaka Baru.
Raharja, Mudjia. 2008. Dasar-Dasar
Hermeneutika. Yogyakarta: Ar-Ruz Media Group.
[1]
Richard E. Palmer, Hermeneutika Teori Baru Mengenai
Interpretasi ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003) Hal. 31
[2]
Ahmad Norma, Hermeneutika Kontemporer, Hermeneutika Sebagai Metode
Filsafat Dan Kritik (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003) Hal. 34.
[3]
Mudjia Raharja, Dasar-Dasar Hermeneutika
(Yogyakarta: Ar-Ruz Media Group, 2008) Hal. 27
[4]
Ibid,.... Hal. 33
[5]
Ibid,....
Hal. 62
[6]
Richard E. Palmer, Hermeneutika Teori Baru Mengenai .,
Hal. 31
[7]
Richard E. Palmer, Hermeneutika Teori Baru Mengenai
Interpretasi .,,, Hal. 36
[8]
Ibid,....
Hal. 37
[9]
Ibid,....
Hal. 60
0 komentar:
Posting Komentar