Senin, 19 Juli 2021

KRITIK PEMIKIRAN MAHMUD SYALTUT DALAM KONSEP SUNNAH TASYRI' DAN GHOIRU TASYRI'

 

 


KRITIK PEMIKIRAN MAHMUD SYALTUT DALAM KONSEP SUNNAH TASYRI' DAN GHOIRU TASYRI'


A.            LATAR BELAKANG MASALAH

Kajian ilmu hadis sampai saat ini ternyata tidak berhenti begitu saja. Banyak pemikir muslim yang terum-menerus menggali keilmuan hadis. Hal ini menunjukkan bahwa hadis adalah laboratorium hidup di kalangan para akademik. Sebab, Selain hadis sebagai sumber pedoman agama Islam, hadis juga lahan basah bagi pemikir untuk mendapatkan karya penelitian. Atau ibarat bola hadis telah ditendang kesana kemari hingga seluruh pori-porinya telah terjamah oleh para peneliti namun akan terus tetap berputar dan tidak kelihatan dari sisi mana pemikir itu menendang sisi hadis itu.

Dalam perkembangannya, ilmu hadis tidak pernah ada kesepakatan konsep yang dijadikan patokan kebenaran. Hadis seperti sebuah karet yang masih bisa di seret kemana-mana. Dari sana, banyak pemikir yang berhasil membangun konsep baru yang sebelumnya belum pernah terjamah oleh orang-orang sebelumnya. Misalnya Dr. Mahmud Syaltut.

Mahmud Syaltut berhasil membangun konsep baru yang disebut dengan sunnah tasyri' dan ghoiru tasyri'. Dianggap baru lantaran belum pernah ada sebelumnya. Seperti penegasan Dr. Yusuf Qordlowi mengomentari pembagian sunnah mahmud syaltut:

ﻭﻋﻦ اﻟﺸﻴﺦ ﺷﻠﺘﻮﺕ ﺃﺧﺬ اﻟﻜﺜﻴﺮ ﻣﻦ اﻟﻤﻌﺎﺻﺮﻳﻦ ﻓﻴﻤﺎ ﻛﺘﺒﻮﻩ ﻋﻦ اﻟﺴﻨﺔ ﻭﺗﻘﺴﻴﻤﻬﺎ ﺇﻟﻰ ﺗﺸﺮﻳﻌﻴﺔ ﻭﻏﻴﺮ ﺗﺸﺮﻳﻌﻴﺔ» 

Artinya: Dan dari al-Syeh Syaltut, beliau mengambil kesimpulan dari sekian banyak ulama' moderen perihal hadis yang telah mereka tulis dan pembagian hadis menjadi sunnah yang disyari'atkan dan yang tidak disyari'atkan.[1]

Bagi beliau, hadis secara garis besar dibagi menjadi dua. Yakni pertama, sunnah yang menjadi sumber rujuakan umat Islam sebagai syariat Islam. Kedua, sunnah yang tidak bermuatan syariah. Artinya ada banyak hadis yang mana hanya menunjukkan tabiat Rasul sebagai manusia biasa dan bukan unsur syariah agama Islam.

Bagi Mahmud Syaltut, sunnah yang tidak mengandung unsur syariah ada tiga. Beliau berkata:

ﻣﺎ ﻭﺭﺩ ﻋﻦ اﻟﻨﺒﻰ - ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ - ﻭﺩﻭﻥ ﻓﻲ ﻛﺘﺐ اﻟﺤﺪﻳﺚ ﻣﻦ ﺃﻗﻮاﻟﻪ ﻭﺃﻓﻌﺎﻟﻪ ﻭﺗﻘﺮﻳﺮاﺗﻪ ﻋﻠﻰ ﺃﻗﺴﺎﻡ: ﺃﺣﺪﻫﺎ: ﻣﺎ ﺳﺒﻴﻠﻪ ﺳﺒﻴﻞ اﻟﺤﺎﺟﺔ اﻟﺒﺸﺮﻳﺔ ﻛﺎﻷﻛﻞ ﻭاﻟﺸﺮﺏ ﻭاﻟﻨﻮﻡ ﻭاﻟﻤﺸﻲ ﻭاﻟﺘﺰاﻭﺭ ﻭاﻟﻤﺼﺎﻟﺤﺔ ﺑﻴﻦ ﺷﺨﺼﻴﻦ ﺑﺎﻟﻄﺮﻕ اﻟﻌﺮﻓﻴﺔ ﻭاﻟﺸﻔﺎﻋﺔ ﻭاﻟﻤﺴﺎﻭﻣﺔ ﻓﻲ اﻟﺒﻴﻊ ﻭاﻟﺸﺮاء. ﺛﺎﻧﻴﻬﺎ: ﻣﺎ ﺳﺒﻴﻠﻪ ﺳﺒﻴﻞ اﻟﺘﺠﺎﺭﺏ ﻭاﻟﻌﺎﺩﺓ اﻟﺸﺨﺼﻴﺔ ﺃﻭ اﻻﺟﺘﻤﺎﻋﻴﺔ، ﻛﺎﻟﺬﻱ ﻭﺭﺩ ﻓﻲ ﺷﺆﻭﻥ اﻟﺰﺭاﻋﺔ ﻭاﻟﻄﺐ ﻭﻃﻮﻝ اﻟﻠﺒﺎﺱ ﻭﻗﺼﺮﻩ. ﺛﺎﻟﺜﻬﺎ: ﻣﺎ ﺳﺒﻴﻠﻪ اﻟﺘﺪﺑﻴﺮ اﻹﻧﺴﺎﻧﻲ ﺃﺧﺬا ﻣﻦ اﻟﻈﺮﻭﻑ اﻟﺨﺎﺻﺔ، ﻛﺘﻮﺯﻳﻊ اﻟﺠﻴﻮﺵ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﻮاﻗﻊ اﻟﺤﺮﺑﻴﺔ، ﻭﺗﻨﻈﻴﻢ اﻟﺼﻔﻮﻑ ﻓﻲ اﻟﻤﻮﻗﻌﺔ اﻟﻮاﺣﺪﺓ.[2]

Artinya: Hadis yang datang dari Nabi SAW. Dan yang telah tercatat baik dari tindakan, ucapan atau ketetapan Nabi itu ada tiga bagian.

Pertama, sesuatu yang memang kebutuhan primer manusia biasa seperti makan, minum, tidur, jalan, saling berkunjung, pendamai dua orang yang berseteru, mengasihi, tawar menawar dalam jual beli.

Kedua, segala sesuatu yang bersifat kebiasaan adat istiadat, baik secara individual atau kelompok, misalnya tatkala dalam masalah bercocok tanam, kedokteran, atau tren busana seperti panjang pendeknya baju yang beliau kenakan.

Ketiga, pemikiran manusiawi ketika menempati peran tertentu. Misalnya, siasat pembagian tentara di medan peperangan atau menata barisan di satu tempat.      

Kemudian beliau menegaskan posisi tiga prilaku Nabi di atas, bahwa:

وكل ما نقل من هذه الأنواع الثلاثة ليس شرعا يتعلق به طلب الفعل و الترك وانما هو من الشؤون البشرية التي ليس مسلك الرسول فيها تشريعا ولا مصدر تشريع.

Setiap hadis yang tergolong dari tiga bentuk prilaku di atas, bukanlah syariat Islam yang berhubungan dengan anjuran melakukan atau meninggalkan. ketiganya murni prilaku tabiat manusia biasa yang hal ini Nabi tidak mendaku sebagi Rasul pembawa syariat dan bukan sumber syariat Islam.

Pemahaman indipenden umat Islam selama ini adalah seluruh yang datang dari Nabi berisikan syariat Islam. Sebab ketika Rasulloh di angkat sebagai utusan Allah, maka semuanya menjadi tuntunan umat manusia. Meskipun beliau berwujud manusia biasa.  Hal ini didasarkan pada ayat :

{لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا (21) } [الأحزاب: 21، 22]

Artinya: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.(Q.S. Al-Ahzab: 21-22)

Bila ditinjau dari terma sunnah secara istilah, di dalam al-Qur'an muncul pada surat Al-Kahfi yang maknanya hukum allah.

{ وَمَا مَنَعَ النَّاسَ أَنْ يُؤْمِنُوا إِذْ جَاءَهُمُ الْهُدَى وَيَسْتَغْفِرُوا رَبَّهُمْ إِلَّا أَنْ تَأْتِيَهُمْ سُنَّةُ الْأَوَّلِينَ أَوْ يَأْتِيَهُمُ الْعَذَابُ قُبُلًا (55)} [الكهف: 55] 

 Artinya: Dam tidak ada sesuatupun yang menghalangi manusia dari beriman, ketika petunjuk telah datang kepada mereka, dan dari memohon ampun kepada Tuhannya, kecuali (keinginan menanti) datangnya hukum (Allah yang telah berlalu pada) umat-umat yang dahulu atau datangnya azab atas mereka dengan nyata. .(Q.S. Al-Kahfiy: 55)

Sedangkan di dalam Hadis, sunnah bermakna perilaku tradisi. Yakni hadis riwayat Imam Muslim:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ ».

Rasullah bersabda, " barang siapa yang membuat tradisi baru yang bagus kemudian dilakukan oleh orang-orang setelahnya maka ia mendapatkan pahala seperti yang melakukanya. Dan sama sekali tidak mengurangi pahala orang yang melakukanya. Dan barang siapa yang membuat tradisi jelek dalam Islam kemudian diikuti oleh orang-orang setelahnya maka ia juga mendapatkan dosa seperti orang yang melakukanya (meskipun ia tidak melakukanya) dan sama sekali tidak mengurangi dosa para pelaku kejelakan yang telah dilakukan oleh orang-orang yang mengikutinya. " (H.R. Muslim).[3]

Selama ini, ada beberapa istilah sunnah yang telah dipakai oleh para ulama' dan sudah menggelinding sampai saat ini. Diantaranya sunnah menurut ulama' fiqih. Yakni:

أما السنة عند الفقهاء: فهي ما يثاب فاعلها ولا يعاقب تاركها.

Artinya: Sunnah menurut ahli fiqih adalah sesuatu yang mana bila dikerjakan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak mendapat dosa.[4]

Hal ini didasarkan penafsiran ibnu Abbas, "sunnah adalah prilaku yang dilakukan orang mukalaf yang mempunyai konsekuensi pahala bagi pelakunya dan tanpa ada dosa bagi yang meninggalkannya".

Sunnah menurut para ahli hadis:

السنة : ما أثر عن النبي - صلى الله عليه وسلم - من قول أو فعل أو تقرير أو صفة خَلْقية أو خُلُقية او سيرة سواء كان بعد البعثة او قبلها.

Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad baik berupa ucapan, pekerjaan, penetapan, perangai, budi pakerti, sifat atauperjalanan hidup Rasulloh, baik sebelum atau sesudah menjadi Nabi.[5]

Menurut Al-Qosimi dari definisi tersebut, bagi ahli Hadis sunnah tidak ada bedanya dengan istilah hadis. Artinya, seluruh perilaku yang mengandung syariat atau tidak, namanya juga sunnah. Hanya saja sunnah lebih husus, sebab keotentikan sudah akui.[6]

Sunnah menurut ulama' usul fiqh:

أما السنة عند الأصوليين: فهي ما صدر عن النبي - صلى الله عليه وسلم - غير القرآن من قول أو فعل أو تقرير.

Artinya," sunnah menurut para ahli usul fiqih adalah segala sesuat yang datang dari Rasul yang selain al-Qur'an baik dari perkataan, perbuatan atau ketatapan Rasullah.[7]

Sunnah menurut para pakar teologi:

أما السنة عند علماء العقيدة: فهي ما يقابل البدعة، وهي ما ثبت عن النبي - صلى الله عليه وسلم - في الأمور الاعتقادية،

Artinya: sunnah adalah definisi negatif dari istilah bid'ah. Maksudnya, segala bentuk aqidah yang otentik dari Rasullah.[8]

Sedangkan bila dilihat dari semua istilah diatas, maka bisa bisa disimpulkan bahwa sunnah adalah : prilaku yang telah diotentikan yang datang dari Nabi baik berupa aqidah, hukum atau adat istiadat. Oleh karenanya, prilaku Rasul yang belum otentik tidak dipakai istilah sunnah, melainkan hadis. Hal ini terbukti tak ada istilah sunnah dho'if, adanya hadis dho'if.

Kesimpulan ini didasarkan pada firman allah berupa:

{وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (7)} [الحشر: 7][9]

Apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.

Adapun perihal terma tasyri' menurut istilah adalah hukum syariat Islam pada setiap perilaku orang mukalaf, baik berupa hukum wajib, haram, sunnah, makruh dan mubah. Namun, menurut sebagian ahli Usul fiqh, istilah mubah tidak termasuk pada hukum syariat Islam.

Imam al-Amudi mendefinisikan mubah dengan segala prilaku orang mukalaf yang ada dalilnya dari syara' untuk memilih antara melakukan atau meninggalkannya tanpa pengganti.[10]

Imam ar-Rozi mengklarifikasi konsep mubah bisa ditetapkan bila ada indikasi dari syara dengan 3 model. Pertama, bila ada penegasan dari syari' berupa kaliamat, " apabila engkau mau maka kerjakan, bila tidak maka tinggalkanlah". Kedua, adanya indikasi tidak adanya dosa atau pahala bagi pelaku yang mengerjakan atau yang meninggalkannya. Ketiga, tidak ada kejelasan dari syara', namun adanya ketetapan kesepakatan ulama' bahwa selama tidak ada anjuran mengerjakan atau meninggalkan maka bagi orang mukalaf tidak diperkenankan memilih.[11]

Imam al-Juwainiy berkata, " mubah adalah hukum yang diberikan oleh syari' kepada orang mukalaf, antara memilih untuk melakukan atau meninggalkan dengan tanpa adanya konsekuensi balasan baik berupa pahala atau dosa serta tidak ada rabaan hukum bagi akal yang sehat sebelum adanya ketetapan syara'. Hal ini bila berangkat dari konsep bahwa hukum itu adalah syariat Islam itu sendiri. Berbeda halnya dengan konsep hukum yang diusung golongan mu'tazilah. Sebagian dari mereka memberikan batasan hukum dengan adalah segala sesuatu yang dianggap buruk oleh akal sebelun ada kejelasan dari syariat maka hukumnya adalah dosa. Sebagian yang lain memberikan penegasan bukan dosa, akan tetapi termasuk dalam kategori mubah.[12]

Terlepas dari pendapat para ulama' perihal definisi mubah, yang perlu diperuncing pada pembahasan ini adalah apakah perilaku Nabi yang bersifat manusiawi termasuk sunnah yang disyariatkan atau bukan. Misalnya, dalam hadis perihal Rasulloh makan dalam hadis Al-Buhoriy :

5440- حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللهِ ، قَالَ : حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ ، عَنْ أَبِيهِ ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ جَعْفَرِ بْنِ أَبِي طَالِبٍ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، قَالَ : رَأَيْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم يَأْكُلُ الرُّطَبَ بِالْقِثَّاءِ.

Artinya: diriwatkan dari abdul aziz bin abdillah dari ibrohim bin sa'id dari ayahnya dari abdullah bin ja'far berkata, " saya pernah melihat Nabi sedang makan kurma basah dengan mentimun".[13]

Tatkala kita melihat hadis diatas, tentu hadis tersebut menunjukkan beberapa pertanyaan, diantaranya:

1.        Apakah hadis tersebut menunjukkan bolehnya makan kurma basah dengan mentimun atau tidak?

2.        Apakah menunjukan bolehnya menggabungkan dua makan?

3.         Apakah makan tersebut tergolong boleh atau wajib?

Menurut ibnu Hajar, hadis tersebut menunjukkan bolehnya memakan kurma basah dengan mentimun dan hukummya jawaz.[14] Selanjutnya bila kita ditanya, apa dalil yang menunjukkan bolehnya makan kurma basah dengan mentimun? Maka sudah barang tentu hadis di ataslah yang menjadi dalil tentang bolehnya kurma basah dengan mentimun.  

Sedangkan bagaiamana proses ulama' dari sebuah hadis diatas bisa manjadi hukum jawaz? Kenapa tidak pada hukum sunnah atau bahkan wajib?.

Menurut ulama' ahli usul fiqh, misalnya Imam Haromain memberi batasan petunjuk dalil bahwa hukum anjuran wajib itu bisa muncul bila ada dalil yang mempunya petunjuk kuatnya perintah dan tidak ada pilihan lain selain makan model diatas. Sedangkan hukum sunnah bisa muncul bila ada petunjuk anjuran yang masih ada pilihan lain.[15]

Bagi Imam Haromain, prilaku Nabi yang murni tabiat manusia seperti bergerak, duduk, diam, berdiri dan seterusnya, selama tidak ada petunjuk dalam rangka ibadah  maka bukan termasuk hukum sunnah atau wajib. Sebab, maksud dari sebuah preilaku Rasul adalah legalitas kepada umatnya bahwa perilaku itu tidak ada dosa bila dikerjakan. Hal ini didasarkan pada tradisi sahabat yang mana mereka tatkala berbeda pendapat pada sebuah perkara apakah haram atau jawaz maka mereka langsung melihat pada perilaku Rasul. Jadi perilaku Rasul menjadi jawaban akan bolehnya perbuatan itu untuk dilakukan oleh umatnya.[16]

Senada dengan imam haromain adalah penelitian yang dipaparkan oleh imam as-Syatibiy. Beliau berkata: menurut mayoritas ulama' usul fiqih, dalil yang masih menunjukkan keumuman izin dari perilaku Rasul dan masih memungkinkan hukum wajib, sunnah atau mubah maka selama tidak ada petunjuk akan terhususnya perilaku itu dan perilaku itu tergolong sifat manusiawi seperti makan, minum, dan lain-lain maka orientasi hukumnya adalah jawaz.[17]

Jadi, bila disimpulkan sunnah adalah segala sesuatu yang datang dari Nabi baik berupa ucapan, perilaku atau ketetapan Nabi. Sedangkan tasyri' adalah penetapan hukum oleh syara' kepada orang mukalaf meskipun berupa hukum jawaz guna menunjukkan akan bolehnya perilaku itu untuk dikerjakan.

Ibnu Taimiyah mengatakan, "segala sesuatu yang datang dari Rasul setelah diangkat menjadi Nabi dan tidak dihapus hukumnya maka termasuk syariat Islam yang memungkinkan pada lima hukum, wajib, makruh, sunnah haram dan jawaz. Dan masuk didalamnya adalah tentang manfaat obat dan bolehnya obat obatan. Maka hal tersebut masuk kategori hukum yang dibolehkan oleh syariat.[18]

Sementara itu, konsep yang dibangun oleh Mahmud Syaltut memberikan indikasi bahwa hadis Nabi ada yang tidak berbau syariah Islam. Hal ini nampak sangat jelas ketika beliau mengatakan:

وكل ما نقل من هذه الأنواع الثلاثة ليس شرعا يتعلق به طلب الفعل و الترك وانما هو من الشؤون البشرية التي ليس مسلك الرسول فيها تشريعا ولا مصدر تشريع.

Setiap hadis yang tergolong dari tiga bentuk prilaku di atas, bukanlah syariat Islam yang berhubungan dengan anjuran melakukan atau meninggalkan. ketiganya murni prilaku tabiat manusia biasa yang hal ini Nabi tidak mendaku sebagi Rasul pembawa syariat dan bukan sumber syariat Islam.

Ada 2 hal besar yang muncul dari ungkapan Mahmud Syaltut.

1.             Menafikan lima hukum syariat

Beliau menafikan lima hukum syariat yakni sunnah, makruh, haram, mubah dan wajib pada tiga macam perilaku Nabi diatas. Dengan ungkapan yang sangat jelas, yakni:

وكل ما نقل من هذه الأنواع الثلاثة ليس شرعا يتعلق به طلب الفعل و الترك

Artinya: setiap hadis Nabi yang tergolong tiga macam di atas bukanlah termasuk syariat Islam yang berhubungan anjuran agama guna mengerjakan atau meninggalkan.

Ada kealpaan dalam rumusan beliau dalam menentukan hadis yang tidak berisikan anjuran agama. hal ini nampak jelas tatkala kita benturkan dengan hadis Nabi yang berisikan anjuran namun masih termasuk dalam tiga kategori perilaku Nabi yang telah divonis Mahmud Syaltut bukan syariat agama. Misalnya hadis tetang makannya Rasul.

فَقَالَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ , : هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ ، الْحِلُّ مَيْتَتُهُ.

Artinya: Rasulloh bersabda, "laut itu suci airnya dan halal bangkainya".[19]

Pesan dasar dari hadis ini adalah penghalalan Rasulloh pada hewan yang hidup dilaut untuk dimakan, meskipun telah berubah menjadi bangkai. Artinya, Rasululloh sedang menyampaikan syariat agama dalam rangka menghalalkan hewan yang hidup di laut sekalipun telah menjadi bangkai untuk dimakan oleh umat Islam. Atau dengan kata lain, meskipun makan adalah kodrat manusia, namun Rasulloh masih harus memberikan rambu-rambu pada hal apa saja yang diperkenankan untuk dimakan.

Coba kita bayangkan, bila mengikuti konsep Mahmud Syaltut bahwa hadis Nabi yang berkaitan dengan makan bukanlah anjuran agama, tentu hadis diatas tidak bisa dipakai dalil akan kehalalan bangkai hewan laut. Sebab, bangkai telah divonis haram dalam Al-Qur'an.

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ دِينِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (3) [المائدة: 3]

Artinya: Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa  karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Posisi hadis Nabi disini adalah mengecualikan bangkai yang disebutkan dalam Al-Qur'an. Lantas, bagaimana bisa hadis Nabi yang berisikan makan bukan dalam rangka mensyariatkan makanan apa saja yang boleh dilahap oleh umat Islam dan makanan apa saja yang tidak boleh dimakan oleh umat Islam. Dari sudah mulai nampak posisi sunnah Nabi yang murni tabiat manusia.

Masih berkaitan dengan hadis Nabi tentang makan. Yakni hadis yang berisikan adab makan. Misalnya hadis  

عن عُمَرَ بْنَ أَبِي سَلَمَةَ يَقُولُ قَال لِي رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَا غُلاَمُ سَمِّ اللَّهَ وَكُلْ بِيَمِينِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ

Artinya: diriwayatkan dari sahabat umar bin abi salamah berkata, Nabi bersabda kepadaku, " hai nak, bacalah nama allah dan makanlah dengan tangan kananmu serta makanlah apa yang ada didekatmu".[20]

Perintah Rasulloh kepada Ibnu Umar telah jelas berisikan tata cara makan yang baik dan benar. Menurut sebagian ulama' perintah Rasul diatas mempunyai muatan hukum anjuran wajib. Akan tetapi menurut Imam an-Nawawi, dan mayoritas ulama' madzhab syafiiyah sebagai mana yang telah dikutip oleh ibnu Hajar al-'Asqolani adalah sunnah. Dengan alasan bahwa ungkapan Nabi meskipun memakai lafat perintah namun memakai hitob tunggal dan bukan jama'. Jadi, lagi-lagi hadis yang berbau sifat murni manusia yang telah dilakukan oleh Rasul adalah bermuatan anjuran kepada umat manusia. Tergantung bagi pembaca hadis tersebut apakah dia bisa melihat pesan dasar hadis atau tidak. Selain hadis diatas, ada banyak anjuran Rasulloh dalam hal makan, minum, tidur dan lainnya. Dan semua itu adalah jelas bukanlah sifat dasar manusia biasa atau murni siasat Rasul dalam menyampaikan syariat Islam.

2.             Menafikan keNabian Muhammad

Beliau juga menafikan keRasulan Nabi Muhammad tatkala beliau memposisikan tiga macam prilaku Nabi di atas bukan berisi syariah dalam rangka Tabligh Ar-Risalah. Hal ini sangat tegas dalam pernyataan Mahmud Syaltut. Beliau mengatakan:

وانما هو من الشؤون البشرية التي ليس مسلك الرسول فيها تشريعا ولا مصدر تشريع.

Artinya: (tiga model hadis di atas) hanyalah murni sifat dasar manusia biasa yang mana Nabi bukanlah berjalan dalam ril keRasulan yang sedang membawa syariat Islam serta tidak bisa menjadi sumber hukum Islam.

Rasulloh mendaku sebagai Nabi selama 23 tahun. Tepatnya dimulai sejak diangkatnya beliau pada umur 40 tahun hingga beliau wafat umur 63 tahun. Seluruh waktu setelah terangkatnya menjadi pembawa syariat adalah mendaku menjadi utusan allah. Sebab, tidak ada indikasi satupun yang menunjukkan Rasululloh di waktu-waktu tertentu menjadi manusia biasa dan bukan Nabi.  

Jadi, dalam hal ini Nabi Muhammad mendaku sebagai utusan tidak terus menerus, melainkan ada pada waktu-waktu tertentu. Hal inilah yang mengharuskan adanya pengkajian ulang terhadap rumusan Mahmud Syaltut. Lebih ironis lagi, predikat Nabi Muhammad sebagai Nabi adalah masuk pada ranah keimanan. Artinya, kemungkinan buruk dari imbas konsep ini adalah kefasikan atau bahkan bisa sampai taraf kekufuran.

Oleh karena itu semua, menurut hemat penulis hal ini sangat penting sekali untuk dikaji ulang dan lebih mendalam. Selain dalam rangka membentengi keyakinan atau iman umat muslim akan setatus keRasulan Nabi Muhammad dalam dunia akademik, penelitian ini juga dalam rangka menjaga hadis dari ketersia-sian. Sebab, bila kita bertumpu pada kesimpulan bahwa ada hadis yang tidak berisikan syariah Islam tentu hadis itu bukanlah subtansi agama. maka ada sekian banyak hadis tidak berfungsi dan hanya cerita seorang tokoh Islam dan bukan Nabi.

Kalau melihat konsep Mahmud Syaltut bahwa ada sunnah yang bukan tasyri' maka yang perlu dicermati adalah bagaimana beliau bisa sampai pada kesimpulan tersebut. Hal apa sajakah yang menurut beliau tidak berisikan ajaran agama atau bagai mana pengkategorian beliau dalam mengklarifikasi sunnah antara yang berisi syariah dan tidak berisi syariah.

Banyak alasan mengapa penelitian ini perlu dinampakkan kepermukaan. Diantaranya, banyakanya pemikir era kekinian yang mengikuti konsep Mahmud Syaltut. Misalnya Dr. abdul Mun'im yang mengatakan,

ان كثير من افعال النبي واقواله ليست للتشريع وليست خاضعة للوحي بل صادرة عن اجتهادات بشرية التي لم ترد في القران الكريم

" sesungguhnya banyak sekali hadis Nabi baik berupa perilaku atau ucapan Nabi, tidak berisikan syariat Islam dan bukan berisikan wahyu bahkan hanya bersumber ijtihat manusia belaka yang tidak ada kesesuaian dengan al-qur'an.[21]

Disisi lain, penelitian ini guna menetralkan kembali istilah sunnah dan hadis yang kian lama kian cumbuh dikalangan para akademik. Terlebih lagi para mahasiswa tafsir hadis. Mungkin salah satu penyebabnya adalah pemikiran Mahmud Syaltut yang mengklarifikasi sunnah yang bukan syariah Islam.

Lebih jauh lagi, para pemikir liberal yang kelewat semangat tatkala mereka berpijak dengan satu dua hadis untuk menjastifikasi sebuah parameter hukum. Setidaknya kajian ini akan memberi gamabaran bahwa syariat Islam tidaklah sempurna bidikan hukumnya bila hanya menilik dari satu atau dua hadis saja.

B.           PERUMUSAN MASALAH

Bertitik tolak dari uraian di atas, maka penulis akan menarik suatu rumusan pokok masalah agar pembahasan dalam skripsi ini lebih terarah dan sistematis. Pokok masalahnya adalah sebagai berikut :

1.             Bagiamana konsep sunnah tasyri' dan goiru tasyri' Mahmud Syaltut?

2.             Apakah sunnah ada yang goiru tasyri'?

C.           TUJUAN PENELITIAN

1.             Tujuan Umum

Secara umum tujuan umum yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah menemukan kejelasan konsep sunnah tasyri' dan goiru tasyri'  yang telah dicetuskan oleh Mahmud Syaltut dalam karya-karyanya. Untuk memperoleh kejelasan tersebut, penulis berusaha mencermati tulisan-tulisan karya Mahmud Syaltut dan dibantu dengan kitab-kitab ulum al-hadis karya ulama' terdahulu yang terpercaya.

2.             Tujuan Husus

Adapun tujuan husus penulis yang hendak dicapai dalam penelitian ini diantaranya adalah sebagai berikut:

a.             Metode, sumber dan rumusan Mahmud Syaltut dalam pembagian sunnah menjadi sunnah tasyri' dan goiru tasyri'.

b.             Mengkomperasikan rumusan Mahmud Syaltut dengan hasil ijtihad para pemikir-pemikir besar terdahulu.

c.             Memberikan kritik pemikiran terhadap rumusan Mahmud Syaltut dalam membagi sunnah menjadi sunnah Tasyri' dan dan sunnah goiru tasyri' secara ilmiyah dan transparan.

d.             Bidikan terahir dari penelitian ini adalah mengembalikan pemahaman yang bagi penulis memungkinkan kemunduran iman yang berimbas pada kekufuran.

e.             Meneliti kembali dan menegaskan kembali bahwa seluruh sunnah berisikan syariat Islam.

D.            MANFAAT PENELITIAN

Secara konseptual hasil dari penelitian ini adalah agar bisa dijadikan bahan pengembangan dan penyempurnaan ulum al-hadis. atau lebih jauh lagi, penelitian ini untuk memperkaya konsep ulum al-hadis.

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kirtis kearah penyempurnaan ilmu-ilmu hadis. Sehingga secara oprasional dapat memberi informasi dan kajian empiric bagi para pengenyam ilmu hadis hususnya dalam hal memperluas pemahaman hadis. Serta dalam mengembangkan pormula yang tepat mengenai pemahaman ilmu hadis dewasa ini. Lebih tepatnya, memperkaya ide cara pandang pemikir untuk melihat hadis dari sisi yang berbeda.

Dan lebih husus lagi, kajian ini juga untuk membudayakan mengkritik kajian yang sudah ada. Bisa juga kajian ini lebih memperkaya keilmuan hadis di lingkungan IAIN Tulungagung.

E.            KAJIAN PUSTAKA

Kajian ini lebih cenderung menganalisis konsep Mahmud Syaltut tentang adanya pembagian sunnah yang berisikan syariah Islam dan tidak, dalam karya-karyanya. Setelah dirasa cukup dalam menganalisis konsep, metode dan rumusan Mahmud Syaltut dalam karyanya, penulis mencoba mengkritik poin-poin yang masih bocor dan selanjutnya membenahinya dengan rumusan ulama' ahli hadis terdahulu melalui kitab-kitabnya.  

Adapun kajian yang senada dengan penelitian ini dan sempat ditulis oleh para pemikir hadis terdahulu diantaranya:

1.             Sunnah Kulluha Tasyri'

Sunnah Kulluha Tasyri' yang ditulis oleh sarjana muslim asal Qatar bernama Musa Syahin Lasyin. Dalam karyanya beliau mengulas tentang analisa hadis yang bermuatan syariah. Namun, penelitian ini tidak menilik lebih jauh, pandangan pencetus sunnah goiru tasyri' Mahmud Syaltut.

2.             As-Sunnah wa Makanatuha  min Al-Tasyri'

Karya Abdul Halim Mahmud, beliau membidik kajiannya pada posisi sunnah dalam mencetuskan hukum syariah. Kajian ini lebih kepada ma'anil hadis atau usul fiqih. Sebab, beliau memberikan gambaran umum bagaimana cara atau proses para ulama' usul fiqih menggali hukum dari as-sunnah. Kajian ini masih sangat umum dan memberikan kontribusi sedikit dalam menganalisa sunnah yang bermuatan syariah Islam.

F.           METODE PENELITIAN

1.        Metode yang digunakan

Penelitian ini berupa penelitian kualitatif yang bersifat diskriptif analitis, oleh karena itu, metode yang digunakan adalah Library research (penelitian kepustakaan) dan conten analysis kritis (telaah isi dan konsepsi). Dalam operasionalnya akan digunakan pendekatan kualitatif melalui analisi logis. Oleh karenanya, praktek lapangannya adalah survey terhadap berbagai sumber buku, bahan-bahan bacaan yang dianggap terpercaya akan keotentikannya serta mencari permasalahan yang akan dan sedang dikaji.

2.        Jenis Data

Data penelitian ini bukan berupa wawancara lapangan atau angka-angka, sebab penelitian ini bersifat kualitatif. Oleh karenanya, jenis data panelitian ini adalah berupa pendapat-pendapat, teori-teori yang dicetuskan para ahli baik yang diperoleh dari kajian literature dari buku-buku turast, buku, tesis, karya ilmiyah yang masih dalam topik pembahasan penelitian ini.

3.        Sumber data

Data disini ada dua sumber yaitu sumber data primer dan skunder. Data primer meliputi karya-karya Mahmud Syaltut. Utamanya pada karya besarnya yang berjudul "Al-Islam "Aqidatun Wa Syari'atun" terbitan Maktabah Wahbah di Kairo pada tahun 1985.  Sumber data skunder yakni karya-karya pendukung yang ditulis Ulama' lain atau peneliti-peneliti sebelumnya. Utamanya pada kajian ulumAl-hadis pada permasalahan Ma'anil Hadis dan Usul Fiqih. misalnya kitab Al-Mahsul Fi Ulumil Usul karya Fahrudin Ar-Rozi, kitab Al-Ahkam Fi Ilmi Al-Ahkam karya Imam Haromain, kitab Al-Muwafaqot Li Syathibiy karya imam as-Syatibiy.

4.        Prosedur memperoleh data

Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan adalah teknik Book Survey. Teknik Book Survey adalah Prosedur dimana penulis akan mencari data dengan cara melakukan telaah dan analisa terhadap buku-buku, catatan, transkip, surat kabar, majalah dokumen pribadi, dan dokumen lain yang dianggap penting dan madih dalam topik pembahasan.

Sedangkan dalam memperoleh data mengutamakan karya primer sebagai bahan penelitian awal guna memahami secara komplit pemikiran serta metode yang dipakai oleh Mahmud Syaltut. Sedangkan karya-karya sekunder hanya sebagai perbandingan atau pelengkap penelitian.

5.        Teknis analisis data.

 Data penelitian yang telah terkumpul, akan dianalisis secara kualitatif dengan langkah-langkah: verifikasi data, deskriptif, analisis, interpretasi, komparasi data dan konsklusi.

Sedangkan guna melakukan analisis kualitatif dan interpretasi data penelitian akan mengacu pada beberpa kitab karya Mahmud Syaltut yang berjudul "Al-Islam "Aqidatun Wa Syari'atun" terbitan Maktabah Wahbah di Kairo pada tahun 1985.  Sumber data skunder yakni karya-karya pendukung yang ditulis Ulama' lain atau peneliti-peneliti sebelumnya. Utamanya pada kajian ulumAl-hadis pada permasalahan Ma'anil Hadis dan Usul Fiqih. misalnya kitab Al-Mahsul Fi Ulumil Usul karya Fahrudin Ar-Rozi, kitab Al-Ahkam Fi Ilmi Al-Ahkam karya Imam Haromain, kitab Al-Muwafaqot Li Syathibiy karya imam as-Syatibiy.

6.        Pendekatan yang digunakan

Pendekatan atau cara pandang yang digunakan penulis adalah dengan kajian usul fiqih. Dengan kata lain, pemikiran Mahmud Syaltut ini bagi penulis lebih mengarah kepada kajian usul Fiqih. Ahirnya untuk menjamah pemikiranya oleh penulis dipandang dengan pendekatan bagaiamana metode ulama' fiqih menggali hukum dari sebuah dalil.

G.           LANGKAH PENELITIAN

Adapun langkah penelitian dalam kajian pustaka yang dipakai oleh penulis untuk membuat penelitian iniadalah dengan sikap selektif yang terdiri dari 2 prinsip, yakni:

1.             Kemutakhiran

Sebelum mengkaji lebih jauh, peneliti telah menelaah perkembangan ilmu hadis yang baru. Selanjunya menimbang, seberapa penting tema ini bila diulas. Hasil dari seleksi penulis adalah konsep ini sangat baru dan cukup menarik untuk dikritik.

2.             Relevansi

Kelayakan akan tema yang akan dikaji sangatlah menjadi prioritas utama setiap peneliti. Konsep mahmud syaltut sangat cocok dan cukup relevan bila dimunculkan pada kajian ilmu hadis dilingkungan IAIN Tulungagung. Sebab, corak pemikiran para akademik di IAIN lebih kelihatan taqlid buta dan menerima apa adanya. Maka, penelitian ini dirasa cukup bagus untuk dikembangkan.

Penulis juga mengkaji secara komprehensif atas karya-karya Mahmud Syaltut dengan cara memahami secara utuh pada konsep sunnah tasyri'nya.

Sedangkan dalam prakteknya, penulis akan melakukan penelitian ini dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1.             Mendata dan menganalisa ujaran Mahmud Syaltut

2.             Mengelompokkan konsep Mahmud Syaltut dalam fan ulum al-hadis

3.             Menentukan konsep dan metode yang dipakai Mahmud Syaltut

4.             Mendata dan menganalisa konsep tokoh-tokoh lain

5.             Mengkomparasikan seluruh data

6.             Menentukan persamaan dan perbedaan konsep antara tokoh utama Mahmud Syaltut dengan tokoh-tokoh lainya.

7.             Menafsirkan hasil analisa data para tokoh secara keseluruhan

8.             Menyimpulkan hasil kajian

Langkah terahir dari penelitian ini adalah membuat kesimpulan atas konsep yang dipakai Mahmud Syaltut serta mengkritik konsep tersebut secara ilmiyah dan transparan. Menuurut Harsimi Arikunto, kesimpulan pada penelitian merupakan hasil dari suatu proses panjang. Lebih tepatnya menarik kesimpulan adalah memindahkan sesuatu dari satu tempat ke tempat lain. Dalam menarik kesimpulan, yang paling penting adalah hasil kesimpulan harus berdasarkan data yang telah terkumpul dan terolah serta tidak keluar dari batas-batas data yang ada. jadi kesimpulan adalah ahir dari sebuah pembahasan penelitian dan keluar dari jawaban pertanyaan yang telah diajuakan diawal penelitian.[22]

 

H.              SISTEMATIKA

BAB I PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

B.     Pembatasan Masalah

C.     Rumusan Masalah

D.    Tujuan Penelitian

E.     Manfaat Penelitian

F.      Metode Penelitian

G.    Kajian Pustaka

H.    Langkah Penelitian

I.        Sistemaiika Penulisan

BAB II BIOGRAFI MAHMUD SYALTUT

A.    Biografi Mahmud Syaltut

B.     latar belakang pendidikan Mahmud Syaltut

C.     aktifitas ilmiyah Mahmud Syaltut

D.    Karya-karya Mahmud Syaltut

BAB III KONSEP SUNNAH TASYRI' MAHMUD SYALTUT

A.    Pengertian Sunnah, Hadis dan Tasyri'

1.      Sunnah

2.      Hadis

3.      Tasyri'

B.     Pembagian Sunnah

1.      Sunnah Tasri'

a.       Aqidah

b.      Ibadah

c.       Undang-Undang

2.      Sunnah ghoiru Tasyri'

a.       Tabiat Manusia

b.      Adat Kebiasaan Manusia

c.       Posisi Manusia di Masyarakat

C.     Kategori Tasyri'

BAB IV SELURUH SUNNAH TASYRI'

A.    Pembagian Syariah Islam

1.      Wajib

2.      Haram

3.      Sunnah

4.      Makruh

5.      Mubah

B.     Pandangan Ulama' Hadis terhadap Sunnah Tasyri'

1.      Masa sahabat

2.      Masa Tabi'in

3.      Masa tabi'it Tabi'in

4.      Masa Holaf

5.      Masa Pertengahan

6.      Masa Moderen

C.     Komparasi konsep Mahmud Syaltut dengan Ulama' Hadis

BAB V KESIMPULAN

A.    Kesimpulan

B.     Implikasi Konsep Mahmud Syaltut

C.     Daftar pustaka


 

 

I.             DAFTA PUSTAKA

 

Al-Qosimy, Muhammad Jamaluddin.  1961. Qowaid Al-Tahdist Min Funun Mustholah Hadist. Mesir: Maktabah MusthofaAl-Babiy Al-Halabiy.

As-Subukiy, Tajuddin Abdul Wahab. 1990. Jam'ul Jawami'. Semarang: Toha Putra.

Al-Amudi, Muhammad bin Salim As-Tsa'labi. TT. Al-Ihkam Fi Usuli Al-Ahkam. Libanon: Al-maktab Al-islamiy.

Ar-Rozi, Fahruddin.  1997. Al-Mahsul Lil Ilmi Usul. Mesir: Muassyisu Ar-Risalah.

Al-Juwaini, Abdul Malik Bin Abdullah Bin Yusuf. 1997. Al-Burhan Fi Usul Al-Fiqih (Bairut: Darr al-kutub.

Al-Buhoriy, Muhammad Bin Ismail Abu Abdullah 2002. Shohih al-Buhoriy (Bairut: Darr al-kutub.

As-Syatibiy, Ibrohim Bin Musa Bin Muhammad.  1997. Al-Muwafaqot. Mesir: Daru Ibnu Affan.

Al- Haroniy, Taqiyudin Abul Abbas Ibnu Taymiyah. 2005. Majmu'atul Al-Fatawa. Bairut; Dar Al-Wafa'.

Abdul Kholiq, Abdul ghoni. TT.  Buhust fi Al-Sunnah Al-Masrufah. Qatar: Al-Jami'ah.

An-Naisaburiy, Abu Al-Husain Muslim bin Hasan. 1998. Al-Jami' As-Shihih al-Musamma Shohih Muslim. Bairut: Dar Al-Afaq Al-Jadidah.

At-Tirmisiy, Muhammad Mahfud. 1974. Manhaj Dzawi An-Nadlor. Jiddah: Maktabah Al-Haromain.

Syaltut, Mahmud. 1985. Al-Islam 'Aqidatun Wa Syari'atun. Kairo: Maktabah Wahbah.

Musthofa, Al-Syibai. TT. Al-Sunnah Wa Makanuhu Fi Al-Tasyri'iy Al-Islamiy. Mesir: Maktabah MusthofaAl-Babiy Al-Halabiy.

Yazid, Ibnu Majjah Abu Abdullah Bin. TT. Sunan Ibnu Majjah. Arab: Darr Ihya' Al-Kutub.

Suharsimi, Arikunto. 1996Prosedur Penelitiansuatu Pendekatan Praktis. Jakarta: Rineka Cipta.

 



[1] Abdul ghoni Abdul Kholiq, Buhust fi Al-Sunnah Al-Masrufah (Qatar: Al-Jami'ah, TT) hal. 15.

[2] Mahmud Syaltut, Al-Islam 'Aqidatun Wa Syari'atun (Kairo: Maktabah Wahbah, 1985) Hal. 508

[3]  Abu Al-Husain Muslim bin Hasan An-Naisaburiy, Al-Jami' As-Shihih al-Musamma Shohih Muslim (Bairut: Dar Al-Afaq Al-Jadidah, 1998) hal. 61

[4] Muhammad Mahfud at-Tirmisiy, Manhaj Dzawi An-Nadlor (Jiddah: Maktabah Al-Haromain, 1974) Hal. 87.

[5]  Al-Syibai Musthofa, Al-Sunnah Wa Makanuhu Fi Al-Tasyri'iy Al-Islamiy (Mesir: Maktabah MusthofaAl-Babiy Al-Halabiy, Tth), Hal. 55.

[6]  Muhammad Jamaluddin Alqosimy, Qowaid Al-Tahdist Min Funun Mustholah Hadist (Mesir: Maktabah MusthofaAl-Babiy Al-Halabiy, Cet II, 1961), Hal. 55.

[7]  Ibid.,,hal. 55

[8]  Ibid.,,hal. 56

[9] Dalam kajian ilmu ma'anil, Lafat yang di pakai dalam ayat diatas adalah huruf mausul "Maa" yang berarti umum tanpa pengecualian selama tidak ada dalil yang menghususkannya. Artinya, Segala sesuatu yang muncul dari diri rosulloh yang mendaku sebagai nabi umat islam adalah syariat islam yang harus diterima meskipun bukan berbentuk perintah atau larangan. Arti umum ini akan tetap umum bila tidak ada dalil lain yang menghusukanya. Lihat, Tajuddin Abdul Wahab As-Subukiy, Jam'ul Jawami' (Semarang: Toha Putra, 1990) hal. 40.

[10]  Muhammad bin salim As-Tsa'labi Al-Amudi,  Al-Ihkam Fi Usuli Al-Ahkam, (Libanon: Al-maktab Al-islamiy, Juz 1, Tth), Hal. 123

[11]  Fahruddin Ar-Rozi, Al-Mahsul Lil Ilmi Usul (Mesir: Muassyisu Ar-Risalah, 1997) hal. 358.

[12]  Abdul Malik Bin Abdullah Bin Yusuf Al-Juwaini, Al-Burhan Fi Usul Al-Fiqih (Bairut: Darr al-kutub, cet. 1, 1997) hal. 99

[13] Muhammad Bin Ismail Abu Abdullah Al-Buhoriy, Shohih al-Buhoriy (Bairut: Darr al-kutub, 2002) hal. 47

[14]  Ibid.,,hal. 409.

[15] Abdul Malik Bin Abdullah Bin Yusuf Al-Juwaini, Al-Burhan Fi Usul Al-Fiqih (Bairut: Darr al-kutub, cet. 1, 1997) hal. 99

[16]  Ibid.,,hal.487

[17]  Ibrohim Bin Musa Bin Muhammad As-Syatibiy, Al-Muwafaqot (Mesir: Daru Ibnu Affan, Juz 4, 1997) hal. 58

[18]  Taqiyudin Abul Abbas Ibnu Taymiyah Al- Haroniy, Majmu'atul Al-Fatawa (Bairut; Dar Al-Wafa', 2005) hal. 11-13.

[19]  Ibnu Majjah Abu Abdullah Bin Yazid, Sunan Ibnu Majjah (Arab: Darr Ihya' Al-Kutub, TT.) hal. 251.

[20] Muhammad Bin Ismail Abu Abdullah Al-Buhoriy, Shohih ,,, hal. 47

[21] Mahmud Syaltut, Al-Islam.,,,  508

[22]  Arikunto Suharsimi, Prosedur Penelitiansuatu Pendekatan Praktis (Jakarta: Rineka Cipta, 1996) hal.90.

0 komentar:

Posting Komentar

Contact

Contact Person

Untuk saling berbagi dan sharing, mari silaturrahmi!

Address:

Mojo-Kediri-Jawa Timur (64162)

Work Time:

24 Hours

Phone:

085735320773

Diberdayakan oleh Blogger.