KRITIK PEMIKIRAN MAHMUD SYALTUT DALAM KONSEP SUNNAH TASYRI' DAN
GHOIRU TASYRI'
A.
LATAR BELAKANG MASALAH
Kajian ilmu
hadis sampai saat ini ternyata tidak berhenti begitu saja. Banyak pemikir
muslim yang terum-menerus menggali keilmuan hadis. Hal ini menunjukkan bahwa
hadis adalah laboratorium hidup di kalangan para akademik. Sebab, Selain hadis
sebagai sumber pedoman agama Islam, hadis juga lahan basah bagi pemikir untuk mendapatkan
karya penelitian. Atau ibarat bola hadis telah ditendang kesana kemari hingga
seluruh pori-porinya telah terjamah oleh para peneliti namun akan terus tetap
berputar dan tidak kelihatan dari sisi mana pemikir itu menendang sisi hadis
itu.
Dalam
perkembangannya, ilmu hadis tidak pernah ada kesepakatan konsep yang dijadikan
patokan kebenaran. Hadis seperti sebuah karet yang masih bisa di seret
kemana-mana. Dari sana, banyak pemikir yang berhasil membangun konsep baru yang
sebelumnya belum pernah terjamah oleh orang-orang sebelumnya. Misalnya Dr. Mahmud
Syaltut.
Mahmud Syaltut
berhasil membangun konsep baru yang disebut dengan sunnah tasyri' dan ghoiru
tasyri'. Dianggap baru lantaran belum pernah ada sebelumnya. Seperti penegasan
Dr. Yusuf Qordlowi mengomentari pembagian sunnah mahmud syaltut:
ﻭﻋﻦ اﻟﺸﻴﺦ ﺷﻠﺘﻮﺕ ﺃﺧﺬ
اﻟﻜﺜﻴﺮ ﻣﻦ اﻟﻤﻌﺎﺻﺮﻳﻦ ﻓﻴﻤﺎ ﻛﺘﺒﻮﻩ ﻋﻦ اﻟﺴﻨﺔ ﻭﺗﻘﺴﻴﻤﻬﺎ ﺇﻟﻰ ﺗﺸﺮﻳﻌﻴﺔ ﻭﻏﻴﺮ ﺗﺸﺮﻳﻌﻴﺔ»
Artinya: Dan dari
al-Syeh Syaltut, beliau mengambil kesimpulan dari sekian banyak ulama' moderen
perihal hadis yang telah mereka tulis dan pembagian hadis menjadi sunnah yang
disyari'atkan dan yang tidak disyari'atkan.[1]
Bagi beliau,
hadis secara garis besar dibagi menjadi dua. Yakni pertama, sunnah yang menjadi
sumber rujuakan umat Islam sebagai syariat Islam. Kedua, sunnah yang tidak
bermuatan syariah. Artinya ada banyak hadis yang mana hanya menunjukkan tabiat Rasul
sebagai manusia biasa dan bukan unsur syariah agama Islam.
Bagi Mahmud Syaltut,
sunnah yang tidak mengandung unsur syariah ada tiga. Beliau berkata:
ﻣﺎ ﻭﺭﺩ ﻋﻦ اﻟﻨﺒﻰ - ﺻﻠﻰ
اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ - ﻭﺩﻭﻥ ﻓﻲ ﻛﺘﺐ اﻟﺤﺪﻳﺚ ﻣﻦ ﺃﻗﻮاﻟﻪ ﻭﺃﻓﻌﺎﻟﻪ ﻭﺗﻘﺮﻳﺮاﺗﻪ ﻋﻠﻰ ﺃﻗﺴﺎﻡ:
ﺃﺣﺪﻫﺎ: ﻣﺎ ﺳﺒﻴﻠﻪ ﺳﺒﻴﻞ اﻟﺤﺎﺟﺔ اﻟﺒﺸﺮﻳﺔ ﻛﺎﻷﻛﻞ ﻭاﻟﺸﺮﺏ ﻭاﻟﻨﻮﻡ ﻭاﻟﻤﺸﻲ ﻭاﻟﺘﺰاﻭﺭ
ﻭاﻟﻤﺼﺎﻟﺤﺔ ﺑﻴﻦ ﺷﺨﺼﻴﻦ ﺑﺎﻟﻄﺮﻕ اﻟﻌﺮﻓﻴﺔ ﻭاﻟﺸﻔﺎﻋﺔ ﻭاﻟﻤﺴﺎﻭﻣﺔ ﻓﻲ اﻟﺒﻴﻊ ﻭاﻟﺸﺮاء. ﺛﺎﻧﻴﻬﺎ:
ﻣﺎ ﺳﺒﻴﻠﻪ ﺳﺒﻴﻞ اﻟﺘﺠﺎﺭﺏ ﻭاﻟﻌﺎﺩﺓ اﻟﺸﺨﺼﻴﺔ ﺃﻭ اﻻﺟﺘﻤﺎﻋﻴﺔ، ﻛﺎﻟﺬﻱ ﻭﺭﺩ ﻓﻲ ﺷﺆﻭﻥ اﻟﺰﺭاﻋﺔ
ﻭاﻟﻄﺐ ﻭﻃﻮﻝ اﻟﻠﺒﺎﺱ ﻭﻗﺼﺮﻩ. ﺛﺎﻟﺜﻬﺎ: ﻣﺎ ﺳﺒﻴﻠﻪ اﻟﺘﺪﺑﻴﺮ اﻹﻧﺴﺎﻧﻲ ﺃﺧﺬا ﻣﻦ اﻟﻈﺮﻭﻑ
اﻟﺨﺎﺻﺔ، ﻛﺘﻮﺯﻳﻊ اﻟﺠﻴﻮﺵ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﻮاﻗﻊ اﻟﺤﺮﺑﻴﺔ، ﻭﺗﻨﻈﻴﻢ اﻟﺼﻔﻮﻑ ﻓﻲ اﻟﻤﻮﻗﻌﺔ اﻟﻮاﺣﺪﺓ.[2]
Artinya: Hadis
yang datang dari Nabi SAW. Dan yang telah tercatat baik dari tindakan, ucapan
atau ketetapan Nabi itu ada tiga bagian.
Pertama, sesuatu
yang memang kebutuhan primer manusia biasa seperti makan, minum, tidur, jalan,
saling berkunjung, pendamai dua orang yang berseteru, mengasihi, tawar menawar
dalam jual beli.
Kedua, segala
sesuatu yang bersifat kebiasaan adat istiadat, baik secara individual atau
kelompok, misalnya tatkala dalam masalah bercocok tanam, kedokteran, atau tren
busana seperti panjang pendeknya baju yang beliau kenakan.
Ketiga, pemikiran
manusiawi ketika menempati peran tertentu. Misalnya, siasat pembagian tentara
di medan peperangan atau menata barisan di satu tempat.
Kemudian beliau
menegaskan posisi tiga prilaku Nabi di atas, bahwa:
وكل ما نقل من هذه
الأنواع الثلاثة ليس شرعا يتعلق به طلب الفعل و الترك وانما هو من الشؤون البشرية
التي ليس مسلك الرسول فيها تشريعا ولا مصدر تشريع.
Setiap hadis
yang tergolong dari tiga bentuk prilaku di atas, bukanlah syariat Islam yang
berhubungan dengan anjuran melakukan atau meninggalkan. ketiganya murni prilaku
tabiat manusia biasa yang hal ini Nabi tidak mendaku sebagi Rasul pembawa
syariat dan bukan sumber syariat Islam.
Pemahaman indipenden
umat Islam selama ini adalah seluruh yang datang dari Nabi berisikan syariat Islam.
Sebab ketika Rasulloh di angkat sebagai utusan Allah, maka semuanya menjadi
tuntunan umat manusia. Meskipun beliau berwujud manusia biasa. Hal ini didasarkan pada ayat :
{لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ
حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو
اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا (21) } [الأحزاب: 21، 22]
Artinya: Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak
menyebut Allah.(Q.S. Al-Ahzab: 21-22)
Bila ditinjau
dari terma sunnah secara istilah, di dalam al-Qur'an muncul pada surat Al-Kahfi
yang maknanya hukum allah.
{ وَمَا مَنَعَ النَّاسَ أَنْ يُؤْمِنُوا إِذْ
جَاءَهُمُ الْهُدَى وَيَسْتَغْفِرُوا رَبَّهُمْ إِلَّا أَنْ تَأْتِيَهُمْ سُنَّةُ الْأَوَّلِينَ
أَوْ يَأْتِيَهُمُ
الْعَذَابُ قُبُلًا (55)} [الكهف: 55]
Artinya: Dam tidak ada sesuatupun yang menghalangi manusia dari
beriman, ketika petunjuk telah datang kepada mereka, dan dari memohon ampun
kepada Tuhannya, kecuali (keinginan menanti) datangnya hukum (Allah yang telah
berlalu pada) umat-umat yang dahulu atau datangnya azab atas mereka dengan
nyata. .(Q.S. Al-Kahfiy: 55)
Sedangkan di
dalam Hadis, sunnah bermakna perilaku tradisi. Yakni hadis riwayat Imam Muslim:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- « مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا
بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ
شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ
عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ
».
Rasullah
bersabda, " barang siapa yang membuat tradisi baru yang bagus kemudian
dilakukan oleh orang-orang setelahnya maka ia mendapatkan pahala seperti yang
melakukanya. Dan sama sekali tidak mengurangi pahala orang yang melakukanya.
Dan barang siapa yang membuat tradisi jelek dalam Islam kemudian diikuti oleh
orang-orang setelahnya maka ia juga mendapatkan dosa seperti orang yang
melakukanya (meskipun ia tidak melakukanya) dan sama sekali tidak mengurangi
dosa para pelaku kejelakan yang telah dilakukan oleh orang-orang yang
mengikutinya. " (H.R. Muslim).[3]
Selama ini, ada
beberapa istilah sunnah yang telah dipakai oleh para ulama' dan sudah
menggelinding sampai saat ini. Diantaranya sunnah menurut ulama' fiqih. Yakni:
أما السنة عند الفقهاء:
فهي ما يثاب فاعلها ولا يعاقب تاركها.
Artinya: Sunnah
menurut ahli fiqih adalah sesuatu yang mana bila dikerjakan mendapat pahala dan
bila ditinggalkan tidak mendapat dosa.[4]
Hal ini didasarkan
penafsiran ibnu Abbas, "sunnah adalah prilaku yang dilakukan orang mukalaf
yang mempunyai konsekuensi pahala bagi pelakunya dan tanpa ada dosa bagi yang
meninggalkannya".
Sunnah menurut
para ahli hadis:
السنة : ما أثر عن النبي
- صلى الله عليه وسلم - من قول أو فعل أو تقرير أو صفة خَلْقية أو خُلُقية او سيرة
سواء كان بعد البعثة او قبلها.
Segala sesuatu
yang disandarkan kepada Nabi Muhammad baik berupa ucapan, pekerjaan, penetapan,
perangai, budi pakerti, sifat atauperjalanan hidup Rasulloh, baik sebelum atau
sesudah menjadi Nabi.[5]
Menurut Al-Qosimi
dari definisi tersebut, bagi ahli Hadis sunnah tidak ada bedanya dengan istilah
hadis. Artinya, seluruh perilaku yang mengandung syariat atau tidak, namanya
juga sunnah. Hanya saja sunnah lebih husus, sebab keotentikan sudah akui.[6]
Sunnah menurut
ulama' usul fiqh:
أما السنة عند الأصوليين:
فهي ما صدر عن النبي - صلى الله عليه وسلم - غير القرآن من قول أو فعل أو تقرير.
Artinya,"
sunnah menurut para ahli usul fiqih adalah segala sesuat yang datang dari Rasul
yang selain al-Qur'an baik dari perkataan, perbuatan atau ketatapan Rasullah.[7]
Sunnah menurut
para pakar teologi:
أما السنة عند علماء العقيدة:
فهي ما يقابل البدعة، وهي ما ثبت عن النبي - صلى الله عليه وسلم - في الأمور الاعتقادية،
Artinya: sunnah
adalah definisi negatif dari istilah bid'ah. Maksudnya, segala bentuk aqidah
yang otentik dari Rasullah.[8]
Sedangkan bila
dilihat dari semua istilah diatas, maka bisa bisa disimpulkan bahwa sunnah
adalah : prilaku yang telah diotentikan yang datang dari Nabi baik berupa
aqidah, hukum atau adat istiadat. Oleh karenanya, prilaku Rasul yang belum
otentik tidak dipakai istilah sunnah, melainkan hadis. Hal ini terbukti tak ada
istilah sunnah dho'if, adanya hadis dho'if.
Kesimpulan ini
didasarkan pada firman allah berupa:
{وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ
عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (7)} [الحشر:
7][9]
Apa-apa yang
diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka
tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras
hukumannya.
Adapun perihal
terma tasyri' menurut istilah adalah hukum syariat Islam pada setiap perilaku
orang mukalaf, baik berupa hukum wajib, haram, sunnah, makruh dan mubah. Namun,
menurut sebagian ahli Usul fiqh, istilah mubah tidak termasuk pada hukum
syariat Islam.
Imam al-Amudi
mendefinisikan mubah dengan segala prilaku orang mukalaf yang ada dalilnya dari
syara' untuk memilih antara melakukan atau meninggalkannya tanpa pengganti.[10]
Imam ar-Rozi
mengklarifikasi konsep mubah bisa ditetapkan bila ada indikasi dari syara dengan
3 model. Pertama, bila ada penegasan dari syari' berupa kaliamat, "
apabila engkau mau maka kerjakan, bila tidak maka tinggalkanlah". Kedua,
adanya indikasi tidak adanya dosa atau pahala bagi pelaku yang mengerjakan atau
yang meninggalkannya. Ketiga, tidak ada kejelasan dari syara', namun
adanya ketetapan kesepakatan ulama' bahwa selama tidak ada anjuran mengerjakan
atau meninggalkan maka bagi orang mukalaf tidak diperkenankan memilih.[11]
Imam
al-Juwainiy berkata, " mubah adalah hukum yang diberikan oleh syari'
kepada orang mukalaf, antara memilih untuk melakukan atau meninggalkan dengan
tanpa adanya konsekuensi balasan baik berupa pahala atau dosa serta tidak ada
rabaan hukum bagi akal yang sehat sebelum adanya ketetapan syara'. Hal ini bila
berangkat dari konsep bahwa hukum itu adalah syariat Islam itu sendiri. Berbeda
halnya dengan konsep hukum yang diusung golongan mu'tazilah. Sebagian dari
mereka memberikan batasan hukum dengan adalah segala sesuatu yang dianggap
buruk oleh akal sebelun ada kejelasan dari syariat maka hukumnya adalah dosa.
Sebagian yang lain memberikan penegasan bukan dosa, akan tetapi termasuk dalam
kategori mubah.[12]
Terlepas dari
pendapat para ulama' perihal definisi mubah, yang perlu diperuncing pada
pembahasan ini adalah apakah perilaku Nabi yang bersifat manusiawi termasuk
sunnah yang disyariatkan atau bukan. Misalnya, dalam hadis perihal Rasulloh
makan dalam hadis Al-Buhoriy :
5440- حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ
اللهِ ، قَالَ : حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ ، عَنْ أَبِيهِ ، عَنْ عَبْدِ
اللهِ بْنِ جَعْفَرِ بْنِ أَبِي طَالِبٍ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، قَالَ : رَأَيْتُ
النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم يَأْكُلُ الرُّطَبَ بِالْقِثَّاءِ.
Artinya:
diriwatkan dari abdul aziz bin abdillah dari ibrohim bin sa'id dari ayahnya
dari abdullah bin ja'far berkata, " saya pernah melihat Nabi sedang makan
kurma basah dengan mentimun".[13]
Tatkala kita
melihat hadis diatas, tentu hadis tersebut menunjukkan beberapa pertanyaan,
diantaranya:
1.
Apakah hadis tersebut menunjukkan bolehnya makan kurma basah dengan
mentimun atau tidak?
2.
Apakah menunjukan bolehnya menggabungkan dua makan?
3.
Apakah makan tersebut
tergolong boleh atau wajib?
Menurut ibnu Hajar,
hadis tersebut menunjukkan bolehnya memakan kurma basah dengan mentimun dan
hukummya jawaz.[14] Selanjutnya
bila kita ditanya, apa dalil yang menunjukkan bolehnya makan kurma basah dengan
mentimun? Maka sudah barang tentu hadis di ataslah yang menjadi dalil tentang
bolehnya kurma basah dengan mentimun.
Sedangkan
bagaiamana proses ulama' dari sebuah hadis diatas bisa manjadi hukum jawaz?
Kenapa tidak pada hukum sunnah atau bahkan wajib?.
Menurut ulama'
ahli usul fiqh, misalnya Imam Haromain memberi batasan petunjuk dalil bahwa
hukum anjuran wajib itu bisa muncul bila ada dalil yang mempunya petunjuk
kuatnya perintah dan tidak ada pilihan lain selain makan model diatas.
Sedangkan hukum sunnah bisa muncul bila ada petunjuk anjuran yang masih ada
pilihan lain.[15]
Bagi Imam
Haromain, prilaku Nabi yang murni tabiat manusia seperti bergerak, duduk, diam,
berdiri dan seterusnya, selama tidak ada petunjuk dalam rangka ibadah maka bukan termasuk hukum sunnah atau wajib. Sebab,
maksud dari sebuah preilaku Rasul adalah legalitas kepada umatnya bahwa
perilaku itu tidak ada dosa bila dikerjakan. Hal ini didasarkan pada tradisi
sahabat yang mana mereka tatkala berbeda pendapat pada sebuah perkara apakah
haram atau jawaz maka mereka langsung melihat pada perilaku Rasul. Jadi
perilaku Rasul menjadi jawaban akan bolehnya perbuatan itu untuk dilakukan oleh
umatnya.[16]
Senada dengan
imam haromain adalah penelitian yang dipaparkan oleh imam as-Syatibiy. Beliau
berkata: menurut mayoritas ulama' usul fiqih, dalil yang masih menunjukkan
keumuman izin dari perilaku Rasul dan masih memungkinkan hukum wajib, sunnah
atau mubah maka selama tidak ada petunjuk akan terhususnya perilaku itu dan
perilaku itu tergolong sifat manusiawi seperti makan, minum, dan lain-lain maka
orientasi hukumnya adalah jawaz.[17]
Jadi, bila
disimpulkan sunnah adalah segala sesuatu yang datang dari Nabi baik berupa
ucapan, perilaku atau ketetapan Nabi. Sedangkan tasyri' adalah penetapan hukum
oleh syara' kepada orang mukalaf meskipun berupa hukum jawaz guna menunjukkan
akan bolehnya perilaku itu untuk dikerjakan.
Ibnu Taimiyah mengatakan,
"segala sesuatu yang datang dari Rasul setelah diangkat menjadi Nabi dan
tidak dihapus hukumnya maka termasuk syariat Islam yang memungkinkan pada lima
hukum, wajib, makruh, sunnah haram dan jawaz. Dan masuk didalamnya adalah
tentang manfaat obat dan bolehnya obat obatan. Maka hal tersebut masuk kategori
hukum yang dibolehkan oleh syariat.[18]
Sementara itu,
konsep yang dibangun oleh Mahmud Syaltut memberikan indikasi bahwa hadis Nabi
ada yang tidak berbau syariah Islam. Hal ini nampak sangat jelas ketika beliau
mengatakan:
وكل ما نقل من هذه
الأنواع الثلاثة ليس شرعا يتعلق به طلب الفعل و الترك وانما هو من الشؤون البشرية
التي ليس مسلك الرسول فيها تشريعا ولا مصدر تشريع.
Setiap hadis
yang tergolong dari tiga bentuk prilaku di atas, bukanlah syariat Islam yang
berhubungan dengan anjuran melakukan atau meninggalkan. ketiganya murni prilaku
tabiat manusia biasa yang hal ini Nabi tidak mendaku sebagi Rasul pembawa
syariat dan bukan sumber syariat Islam.
Ada 2 hal besar
yang muncul dari ungkapan Mahmud Syaltut.
1.
Menafikan lima hukum syariat
Beliau
menafikan lima hukum syariat yakni sunnah, makruh, haram, mubah dan wajib pada
tiga macam perilaku Nabi diatas. Dengan ungkapan yang sangat jelas, yakni:
وكل ما نقل من هذه
الأنواع الثلاثة ليس شرعا يتعلق به طلب الفعل و الترك
Artinya: setiap
hadis Nabi yang tergolong tiga macam di atas bukanlah termasuk syariat Islam
yang berhubungan anjuran agama guna mengerjakan atau meninggalkan.
Ada kealpaan
dalam rumusan beliau dalam menentukan hadis yang tidak berisikan anjuran agama.
hal ini nampak jelas tatkala kita benturkan dengan hadis Nabi yang berisikan
anjuran namun masih termasuk dalam tiga kategori perilaku Nabi yang telah
divonis Mahmud Syaltut bukan syariat agama. Misalnya hadis tetang makannya Rasul.
فَقَالَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى
الله عَليْهِ وسَلَّمَ , : هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ ، الْحِلُّ مَيْتَتُهُ.
Artinya: Rasulloh
bersabda, "laut itu suci airnya dan halal bangkainya".[19]
Pesan dasar
dari hadis ini adalah penghalalan Rasulloh pada hewan yang hidup dilaut untuk
dimakan, meskipun telah berubah menjadi bangkai. Artinya, Rasululloh sedang
menyampaikan syariat agama dalam rangka menghalalkan hewan yang hidup di laut
sekalipun telah menjadi bangkai untuk dimakan oleh umat Islam. Atau dengan kata
lain, meskipun makan adalah kodrat manusia, namun Rasulloh masih harus
memberikan rambu-rambu pada hal apa saja yang diperkenankan untuk dimakan.
Coba kita
bayangkan, bila mengikuti konsep Mahmud Syaltut bahwa hadis Nabi yang berkaitan
dengan makan bukanlah anjuran agama, tentu hadis diatas tidak bisa dipakai
dalil akan kehalalan bangkai hewan laut. Sebab, bangkai telah divonis haram
dalam Al-Qur'an.
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ
وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ
وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا
مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ
ذَلِكُمْ فِسْقٌ الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ دِينِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ
وَاخْشَوْنِ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي
وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ
لِإِثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (3) [المائدة: 3]
Artinya: Diharamkan
bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih
atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang
ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya,
dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga)
mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah
kefasikan. pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan)
agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku.
pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu. Maka
barang siapa terpaksa karena kelaparan
tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
Posisi hadis Nabi
disini adalah mengecualikan bangkai yang disebutkan dalam Al-Qur'an. Lantas,
bagaimana bisa hadis Nabi yang berisikan makan bukan dalam rangka mensyariatkan
makanan apa saja yang boleh dilahap oleh umat Islam dan makanan apa saja yang
tidak boleh dimakan oleh umat Islam. Dari sudah mulai nampak posisi sunnah Nabi
yang murni tabiat manusia.
Masih berkaitan
dengan hadis Nabi tentang makan. Yakni hadis yang berisikan adab makan.
Misalnya hadis
عن عُمَرَ بْنَ أَبِي سَلَمَةَ
يَقُولُ قَال لِي رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَا غُلاَمُ سَمِّ اللَّهَ وَكُلْ
بِيَمِينِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ
Artinya:
diriwayatkan dari sahabat umar bin abi salamah berkata, Nabi bersabda kepadaku,
" hai nak, bacalah nama allah dan makanlah dengan tangan kananmu serta
makanlah apa yang ada didekatmu".[20]
Perintah Rasulloh
kepada Ibnu Umar telah jelas berisikan tata cara makan yang baik dan benar.
Menurut sebagian ulama' perintah Rasul diatas mempunyai muatan hukum anjuran
wajib. Akan tetapi menurut Imam an-Nawawi, dan mayoritas ulama' madzhab
syafiiyah sebagai mana yang telah dikutip oleh ibnu Hajar al-'Asqolani adalah
sunnah. Dengan alasan bahwa ungkapan Nabi meskipun memakai lafat perintah namun
memakai hitob tunggal dan bukan jama'. Jadi, lagi-lagi hadis yang berbau sifat
murni manusia yang telah dilakukan oleh Rasul adalah bermuatan anjuran kepada
umat manusia. Tergantung bagi pembaca hadis tersebut apakah dia bisa melihat
pesan dasar hadis atau tidak. Selain hadis diatas, ada banyak anjuran Rasulloh
dalam hal makan, minum, tidur dan lainnya. Dan semua itu adalah jelas bukanlah
sifat dasar manusia biasa atau murni siasat Rasul dalam menyampaikan syariat Islam.
2.
Menafikan keNabian Muhammad
Beliau juga
menafikan keRasulan Nabi Muhammad tatkala beliau memposisikan tiga macam
prilaku Nabi di atas bukan berisi syariah dalam rangka Tabligh Ar-Risalah.
Hal ini sangat tegas dalam pernyataan Mahmud Syaltut. Beliau mengatakan:
وانما هو من الشؤون
البشرية التي ليس مسلك الرسول فيها تشريعا ولا مصدر تشريع.
Artinya: (tiga
model hadis di atas) hanyalah murni sifat dasar manusia biasa yang mana Nabi
bukanlah berjalan dalam ril keRasulan yang sedang membawa syariat Islam serta
tidak bisa menjadi sumber hukum Islam.
Rasulloh mendaku
sebagai Nabi selama 23 tahun. Tepatnya dimulai sejak diangkatnya beliau pada
umur 40 tahun hingga beliau wafat umur 63 tahun. Seluruh waktu setelah
terangkatnya menjadi pembawa syariat adalah mendaku menjadi utusan allah.
Sebab, tidak ada indikasi satupun yang menunjukkan Rasululloh di waktu-waktu
tertentu menjadi manusia biasa dan bukan Nabi.
Jadi, dalam hal
ini Nabi Muhammad mendaku sebagai utusan tidak terus menerus, melainkan ada
pada waktu-waktu tertentu. Hal inilah yang mengharuskan adanya pengkajian ulang
terhadap rumusan Mahmud Syaltut. Lebih ironis lagi, predikat Nabi Muhammad
sebagai Nabi adalah masuk pada ranah keimanan. Artinya, kemungkinan buruk dari
imbas konsep ini adalah kefasikan atau bahkan bisa sampai taraf kekufuran.
Oleh karena itu
semua, menurut hemat penulis hal ini sangat penting sekali untuk dikaji ulang
dan lebih mendalam. Selain dalam rangka membentengi keyakinan atau iman umat
muslim akan setatus keRasulan Nabi Muhammad dalam dunia akademik, penelitian
ini juga dalam rangka menjaga hadis dari ketersia-sian. Sebab, bila kita
bertumpu pada kesimpulan bahwa ada hadis yang tidak berisikan syariah Islam
tentu hadis itu bukanlah subtansi agama. maka ada sekian banyak hadis tidak
berfungsi dan hanya cerita seorang tokoh Islam dan bukan Nabi.
Kalau melihat konsep
Mahmud Syaltut bahwa ada sunnah yang bukan tasyri' maka yang perlu dicermati
adalah bagaimana beliau bisa sampai pada kesimpulan tersebut. Hal apa sajakah
yang menurut beliau tidak berisikan ajaran agama atau bagai mana pengkategorian
beliau dalam mengklarifikasi sunnah antara yang berisi syariah dan tidak berisi
syariah.
Banyak alasan
mengapa penelitian ini perlu dinampakkan kepermukaan. Diantaranya, banyakanya
pemikir era kekinian yang mengikuti konsep Mahmud Syaltut. Misalnya Dr. abdul
Mun'im yang mengatakan,
ان كثير من افعال النبي
واقواله ليست للتشريع وليست خاضعة للوحي بل صادرة عن اجتهادات بشرية التي لم ترد
في القران الكريم
" sesungguhnya
banyak sekali hadis Nabi baik berupa perilaku atau ucapan Nabi, tidak berisikan
syariat Islam dan bukan berisikan wahyu bahkan hanya bersumber ijtihat manusia
belaka yang tidak ada kesesuaian dengan al-qur'an.[21]
Disisi lain,
penelitian ini guna menetralkan kembali istilah sunnah dan hadis yang kian lama
kian cumbuh dikalangan para akademik. Terlebih lagi para mahasiswa tafsir
hadis. Mungkin salah satu penyebabnya adalah pemikiran Mahmud Syaltut yang
mengklarifikasi sunnah yang bukan syariah Islam.
Lebih jauh
lagi, para pemikir liberal yang kelewat semangat tatkala mereka berpijak dengan
satu dua hadis untuk menjastifikasi sebuah parameter hukum. Setidaknya kajian
ini akan memberi gamabaran bahwa syariat Islam tidaklah sempurna bidikan
hukumnya bila hanya menilik dari satu atau dua hadis saja.
B.
PERUMUSAN MASALAH
Bertitik tolak
dari uraian di atas, maka penulis akan menarik suatu rumusan pokok masalah agar
pembahasan dalam skripsi ini lebih terarah dan sistematis. Pokok masalahnya
adalah sebagai berikut :
1.
Bagiamana konsep sunnah tasyri' dan goiru tasyri' Mahmud Syaltut?
2.
Apakah sunnah ada yang goiru tasyri'?
C.
TUJUAN PENELITIAN
1.
Tujuan Umum
Secara umum
tujuan umum yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah menemukan kejelasan
konsep sunnah tasyri' dan goiru tasyri'
yang telah dicetuskan oleh Mahmud Syaltut dalam karya-karyanya. Untuk
memperoleh kejelasan tersebut, penulis berusaha mencermati tulisan-tulisan
karya Mahmud Syaltut dan dibantu dengan kitab-kitab ulum al-hadis karya ulama'
terdahulu yang terpercaya.
2.
Tujuan Husus
Adapun tujuan husus
penulis yang hendak dicapai dalam penelitian ini diantaranya adalah sebagai
berikut:
a.
Metode, sumber dan rumusan Mahmud Syaltut dalam pembagian sunnah
menjadi sunnah tasyri' dan goiru tasyri'.
b.
Mengkomperasikan rumusan Mahmud Syaltut dengan hasil ijtihad para
pemikir-pemikir besar terdahulu.
c.
Memberikan kritik pemikiran terhadap rumusan Mahmud Syaltut dalam membagi
sunnah menjadi sunnah Tasyri' dan dan sunnah goiru tasyri' secara ilmiyah dan
transparan.
d.
Bidikan terahir dari penelitian ini adalah mengembalikan pemahaman yang
bagi penulis memungkinkan kemunduran iman yang berimbas pada kekufuran.
e.
Meneliti kembali dan menegaskan kembali bahwa seluruh sunnah
berisikan syariat Islam.
D.
MANFAAT PENELITIAN
Secara
konseptual hasil dari penelitian ini adalah agar bisa dijadikan bahan
pengembangan dan penyempurnaan ulum al-hadis. atau lebih jauh lagi, penelitian
ini untuk memperkaya konsep ulum al-hadis.
Secara praktis
penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kirtis kearah
penyempurnaan ilmu-ilmu hadis. Sehingga secara oprasional dapat memberi
informasi dan kajian empiric bagi para pengenyam ilmu hadis hususnya dalam hal
memperluas pemahaman hadis. Serta dalam mengembangkan pormula yang tepat
mengenai pemahaman ilmu hadis dewasa ini. Lebih tepatnya, memperkaya ide cara
pandang pemikir untuk melihat hadis dari sisi yang berbeda.
Dan lebih husus
lagi, kajian ini juga untuk membudayakan mengkritik kajian yang sudah ada. Bisa
juga kajian ini lebih memperkaya keilmuan hadis di lingkungan IAIN Tulungagung.
E.
KAJIAN PUSTAKA
Kajian ini
lebih cenderung menganalisis konsep Mahmud Syaltut tentang adanya pembagian
sunnah yang berisikan syariah Islam dan tidak, dalam karya-karyanya. Setelah dirasa
cukup dalam menganalisis konsep, metode dan rumusan Mahmud Syaltut dalam
karyanya, penulis mencoba mengkritik poin-poin yang masih bocor dan selanjutnya
membenahinya dengan rumusan ulama' ahli hadis terdahulu melalui kitab-kitabnya.
Adapun kajian
yang senada dengan penelitian ini dan sempat ditulis oleh para pemikir hadis
terdahulu diantaranya:
1.
Sunnah Kulluha Tasyri'
Sunnah Kulluha
Tasyri' yang ditulis oleh sarjana muslim asal Qatar bernama Musa Syahin
Lasyin. Dalam karyanya beliau mengulas tentang analisa hadis yang bermuatan
syariah. Namun, penelitian ini tidak menilik lebih jauh, pandangan pencetus
sunnah goiru tasyri' Mahmud Syaltut.
2.
As-Sunnah wa Makanatuha min
Al-Tasyri'
Karya Abdul
Halim Mahmud, beliau membidik kajiannya pada posisi sunnah dalam mencetuskan
hukum syariah. Kajian ini lebih kepada ma'anil hadis atau usul fiqih. Sebab,
beliau memberikan gambaran umum bagaimana cara atau proses para ulama' usul
fiqih menggali hukum dari as-sunnah. Kajian ini masih sangat umum dan
memberikan kontribusi sedikit dalam menganalisa sunnah yang bermuatan syariah Islam.
F.
METODE PENELITIAN
1.
Metode yang digunakan
Penelitian ini
berupa penelitian kualitatif yang bersifat diskriptif analitis, oleh karena
itu, metode yang digunakan adalah Library research (penelitian kepustakaan) dan
conten analysis kritis (telaah isi dan konsepsi). Dalam operasionalnya akan
digunakan pendekatan kualitatif melalui analisi logis. Oleh karenanya, praktek
lapangannya adalah survey terhadap berbagai sumber buku, bahan-bahan bacaan
yang dianggap terpercaya akan keotentikannya serta mencari permasalahan yang
akan dan sedang dikaji.
2.
Jenis Data
Data penelitian
ini bukan berupa wawancara lapangan atau angka-angka, sebab penelitian ini
bersifat kualitatif. Oleh karenanya, jenis data panelitian ini adalah berupa
pendapat-pendapat, teori-teori yang dicetuskan para ahli baik yang diperoleh
dari kajian literature dari buku-buku turast, buku, tesis, karya ilmiyah yang
masih dalam topik pembahasan penelitian ini.
3.
Sumber data
Data disini ada
dua sumber yaitu sumber data primer dan skunder. Data primer meliputi
karya-karya Mahmud Syaltut. Utamanya pada karya besarnya yang berjudul "Al-Islam
"Aqidatun Wa Syari'atun" terbitan Maktabah Wahbah di Kairo
pada tahun 1985. Sumber data skunder
yakni karya-karya pendukung yang ditulis Ulama' lain atau peneliti-peneliti
sebelumnya. Utamanya pada kajian ulumAl-hadis pada permasalahan Ma'anil
Hadis dan Usul Fiqih. misalnya kitab Al-Mahsul Fi Ulumil Usul
karya Fahrudin Ar-Rozi, kitab Al-Ahkam Fi Ilmi Al-Ahkam karya Imam
Haromain, kitab Al-Muwafaqot Li Syathibiy karya imam as-Syatibiy.
4.
Prosedur memperoleh data
Teknik
pengumpulan data yang penulis gunakan adalah teknik Book Survey. Teknik
Book Survey adalah Prosedur dimana penulis akan mencari data dengan cara
melakukan telaah dan analisa terhadap buku-buku, catatan, transkip, surat
kabar, majalah dokumen pribadi, dan dokumen lain yang dianggap penting dan
madih dalam topik pembahasan.
Sedangkan dalam
memperoleh data mengutamakan karya primer sebagai bahan penelitian awal guna
memahami secara komplit pemikiran serta metode yang dipakai oleh Mahmud Syaltut.
Sedangkan karya-karya sekunder hanya sebagai perbandingan atau pelengkap
penelitian.
5.
Teknis analisis data.
Data penelitian yang telah terkumpul, akan
dianalisis secara kualitatif dengan langkah-langkah: verifikasi data,
deskriptif, analisis, interpretasi, komparasi data dan konsklusi.
Sedangkan guna
melakukan analisis kualitatif dan interpretasi data penelitian akan mengacu
pada beberpa kitab karya Mahmud Syaltut yang berjudul "Al-Islam
"Aqidatun Wa Syari'atun" terbitan Maktabah Wahbah di Kairo
pada tahun 1985. Sumber data skunder
yakni karya-karya pendukung yang ditulis Ulama' lain atau peneliti-peneliti
sebelumnya. Utamanya pada kajian ulumAl-hadis pada permasalahan Ma'anil
Hadis dan Usul Fiqih. misalnya kitab Al-Mahsul Fi Ulumil Usul
karya Fahrudin Ar-Rozi, kitab Al-Ahkam Fi Ilmi Al-Ahkam karya Imam
Haromain, kitab Al-Muwafaqot Li Syathibiy karya imam as-Syatibiy.
6.
Pendekatan yang digunakan
Pendekatan atau
cara pandang yang digunakan penulis adalah dengan kajian usul fiqih. Dengan
kata lain, pemikiran Mahmud Syaltut ini bagi penulis lebih mengarah kepada
kajian usul Fiqih. Ahirnya untuk menjamah pemikiranya oleh penulis dipandang
dengan pendekatan bagaiamana metode ulama' fiqih menggali hukum dari sebuah
dalil.
G.
LANGKAH PENELITIAN
Adapun langkah
penelitian dalam kajian pustaka yang dipakai oleh penulis untuk membuat
penelitian iniadalah dengan sikap selektif yang terdiri dari 2 prinsip, yakni:
1.
Kemutakhiran
Sebelum
mengkaji lebih jauh, peneliti telah menelaah perkembangan ilmu hadis yang baru.
Selanjunya menimbang, seberapa penting tema ini bila diulas. Hasil dari seleksi
penulis adalah konsep ini sangat baru dan cukup menarik untuk dikritik.
2.
Relevansi
Kelayakan akan
tema yang akan dikaji sangatlah menjadi prioritas utama setiap peneliti. Konsep
mahmud syaltut sangat cocok dan cukup relevan bila dimunculkan pada kajian ilmu
hadis dilingkungan IAIN Tulungagung. Sebab, corak pemikiran para akademik di
IAIN lebih kelihatan taqlid buta dan menerima apa adanya. Maka, penelitian ini
dirasa cukup bagus untuk dikembangkan.
Penulis juga mengkaji
secara komprehensif atas karya-karya Mahmud Syaltut dengan cara memahami secara
utuh pada konsep sunnah tasyri'nya.
Sedangkan dalam
prakteknya, penulis akan melakukan penelitian ini dengan langkah-langkah
sebagai berikut:
1.
Mendata dan menganalisa ujaran Mahmud Syaltut
2.
Mengelompokkan konsep Mahmud Syaltut dalam fan ulum al-hadis
3.
Menentukan konsep dan metode yang dipakai Mahmud Syaltut
4.
Mendata dan menganalisa konsep tokoh-tokoh lain
5.
Mengkomparasikan seluruh data
6.
Menentukan persamaan dan perbedaan konsep antara tokoh utama Mahmud
Syaltut dengan tokoh-tokoh lainya.
7.
Menafsirkan hasil analisa data para tokoh secara keseluruhan
8.
Menyimpulkan hasil kajian
Langkah terahir
dari penelitian ini adalah membuat kesimpulan atas konsep yang dipakai Mahmud Syaltut
serta mengkritik konsep tersebut secara ilmiyah dan transparan. Menuurut
Harsimi Arikunto, kesimpulan pada penelitian merupakan hasil dari suatu proses
panjang. Lebih tepatnya menarik kesimpulan adalah memindahkan sesuatu dari satu
tempat ke tempat lain. Dalam menarik kesimpulan, yang paling penting adalah
hasil kesimpulan harus berdasarkan data yang telah terkumpul dan terolah serta
tidak keluar dari batas-batas data yang ada. jadi kesimpulan adalah ahir dari
sebuah pembahasan penelitian dan keluar dari jawaban pertanyaan yang telah
diajuakan diawal penelitian.[22]
H.
SISTEMATIKA
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
B.
Pembatasan Masalah
C.
Rumusan Masalah
D.
Tujuan Penelitian
E.
Manfaat Penelitian
F.
Metode Penelitian
G.
Kajian Pustaka
H.
Langkah Penelitian
I.
Sistemaiika Penulisan
BAB II BIOGRAFI
MAHMUD SYALTUT
A.
Biografi Mahmud Syaltut
B.
latar belakang pendidikan Mahmud Syaltut
C.
aktifitas ilmiyah Mahmud Syaltut
D.
Karya-karya Mahmud Syaltut
BAB III KONSEP
SUNNAH TASYRI' MAHMUD SYALTUT
A.
Pengertian Sunnah, Hadis dan Tasyri'
1.
Sunnah
2.
Hadis
3.
Tasyri'
B.
Pembagian Sunnah
1.
Sunnah Tasri'
a.
Aqidah
b.
Ibadah
c.
Undang-Undang
2.
Sunnah ghoiru Tasyri'
a.
Tabiat Manusia
b.
Adat Kebiasaan Manusia
c.
Posisi Manusia di Masyarakat
C.
Kategori Tasyri'
BAB IV SELURUH
SUNNAH TASYRI'
A.
Pembagian Syariah Islam
1.
Wajib
2.
Haram
3.
Sunnah
4.
Makruh
5.
Mubah
B.
Pandangan Ulama' Hadis terhadap Sunnah Tasyri'
1.
Masa sahabat
2.
Masa Tabi'in
3.
Masa tabi'it Tabi'in
4.
Masa Holaf
5.
Masa Pertengahan
6.
Masa Moderen
C.
Komparasi konsep Mahmud Syaltut dengan Ulama' Hadis
BAB V
KESIMPULAN
A.
Kesimpulan
B.
Implikasi Konsep Mahmud Syaltut
C.
Daftar pustaka
I.
DAFTA PUSTAKA
Al-Qosimy, Muhammad Jamaluddin. 1961. Qowaid Al-Tahdist Min Funun Mustholah
Hadist. Mesir: Maktabah MusthofaAl-Babiy Al-Halabiy.
As-Subukiy, Tajuddin Abdul
Wahab. 1990. Jam'ul Jawami'. Semarang: Toha Putra.
Al-Amudi, Muhammad bin
Salim As-Tsa'labi. TT. Al-Ihkam Fi Usuli Al-Ahkam. Libanon: Al-maktab
Al-islamiy.
Ar-Rozi, Fahruddin. 1997. Al-Mahsul Lil Ilmi Usul. Mesir: Muassyisu
Ar-Risalah.
Al-Juwaini, Abdul Malik
Bin Abdullah Bin Yusuf. 1997. Al-Burhan Fi Usul
Al-Fiqih (Bairut: Darr al-kutub.
Al-Buhoriy, Muhammad Bin Ismail Abu Abdullah
2002. Shohih al-Buhoriy (Bairut: Darr al-kutub.
As-Syatibiy, Ibrohim Bin
Musa Bin Muhammad. 1997. Al-Muwafaqot. Mesir: Daru Ibnu Affan.
Al- Haroniy, Taqiyudin
Abul Abbas Ibnu Taymiyah. 2005. Majmu'atul Al-Fatawa. Bairut; Dar Al-Wafa'.
Abdul Kholiq, Abdul ghoni. TT.
Buhust fi Al-Sunnah Al-Masrufah. Qatar:
Al-Jami'ah.
An-Naisaburiy, Abu
Al-Husain Muslim bin Hasan. 1998. Al-Jami' As-Shihih al-Musamma Shohih
Muslim. Bairut: Dar Al-Afaq Al-Jadidah.
At-Tirmisiy, Muhammad
Mahfud. 1974. Manhaj Dzawi An-Nadlor. Jiddah: Maktabah Al-Haromain.
Syaltut,
Mahmud. 1985. Al-Islam 'Aqidatun Wa Syari'atun. Kairo: Maktabah Wahbah.
Musthofa, Al-Syibai. TT. Al-Sunnah Wa Makanuhu Fi Al-Tasyri'iy
Al-Islamiy.
Mesir: Maktabah MusthofaAl-Babiy Al-Halabiy.
Yazid, Ibnu Majjah Abu
Abdullah Bin. TT. Sunan Ibnu Majjah. Arab: Darr Ihya' Al-Kutub.
Suharsimi, Arikunto. 1996Prosedur
Penelitiansuatu Pendekatan Praktis. Jakarta: Rineka Cipta.
[1] Abdul ghoni Abdul Kholiq, Buhust fi Al-Sunnah Al-Masrufah (Qatar: Al-Jami'ah,
TT) hal. 15.
[2] Mahmud Syaltut, Al-Islam 'Aqidatun Wa Syari'atun (Kairo: Maktabah
Wahbah, 1985) Hal. 508
[3] Abu Al-Husain Muslim bin Hasan An-Naisaburiy, Al-Jami'
As-Shihih al-Musamma Shohih Muslim (Bairut: Dar Al-Afaq Al-Jadidah, 1998) hal.
61
[4] Muhammad Mahfud at-Tirmisiy, Manhaj Dzawi An-Nadlor (Jiddah:
Maktabah Al-Haromain, 1974) Hal. 87.
[5] Al-Syibai Musthofa, Al-Sunnah Wa Makanuhu Fi Al-Tasyri'iy
Al-Islamiy (Mesir: Maktabah MusthofaAl-Babiy Al-Halabiy, Tth), Hal. 55.
[6] Muhammad Jamaluddin Alqosimy, Qowaid Al-Tahdist Min Funun
Mustholah Hadist (Mesir: Maktabah MusthofaAl-Babiy Al-Halabiy, Cet II, 1961), Hal.
55.
[7] Ibid.,,hal. 55
[8] Ibid.,,hal. 56
[9] Dalam kajian ilmu ma'anil, Lafat yang di pakai dalam ayat diatas
adalah huruf mausul "Maa" yang berarti umum tanpa pengecualian selama
tidak ada dalil yang menghususkannya. Artinya, Segala sesuatu yang muncul dari
diri rosulloh yang mendaku sebagai nabi umat islam adalah syariat islam yang
harus diterima meskipun bukan berbentuk perintah atau larangan. Arti umum ini
akan tetap umum bila tidak ada dalil lain yang menghusukanya. Lihat, Tajuddin
Abdul Wahab As-Subukiy, Jam'ul Jawami' (Semarang: Toha Putra, 1990) hal.
40.
[10] Muhammad bin salim As-Tsa'labi Al-Amudi, Al-Ihkam Fi Usuli Al-Ahkam, (Libanon: Al-maktab Al-islamiy, Juz 1, Tth), Hal. 123
[11] Fahruddin Ar-Rozi, Al-Mahsul Lil Ilmi Usul
(Mesir: Muassyisu Ar-Risalah, 1997) hal. 358.
[12] Abdul Malik Bin Abdullah Bin Yusuf Al-Juwaini,
Al-Burhan Fi Usul
Al-Fiqih (Bairut: Darr al-kutub, cet. 1, 1997) hal. 99
[13] Muhammad Bin
Ismail Abu Abdullah Al-Buhoriy, Shohih al-Buhoriy (Bairut: Darr al-kutub,
2002) hal. 47
[14] Ibid.,,hal. 409.
[15] Abdul Malik Bin Abdullah Bin Yusuf Al-Juwaini, Al-Burhan Fi Usul Al-Fiqih (Bairut: Darr
al-kutub, cet. 1, 1997) hal. 99
[16] Ibid.,,hal.487
[17] Ibrohim Bin Musa Bin Muhammad As-Syatibiy, Al-Muwafaqot
(Mesir: Daru Ibnu Affan, Juz 4, 1997) hal. 58
[18] Taqiyudin Abul Abbas Ibnu Taymiyah Al-
Haroniy, Majmu'atul Al-Fatawa (Bairut; Dar Al-Wafa', 2005)
hal. 11-13.
[19] Ibnu Majjah Abu Abdullah Bin Yazid, Sunan
Ibnu Majjah (Arab: Darr Ihya' Al-Kutub, TT.) hal. 251.
[20] Muhammad Bin
Ismail Abu Abdullah Al-Buhoriy, Shohih ,,, hal. 47
[21] Mahmud Syaltut, Al-Islam.,,, 508
[22] Arikunto Suharsimi, Prosedur
Penelitiansuatu Pendekatan Praktis (Jakarta: Rineka Cipta, 1996) hal.90.
0 komentar:
Posting Komentar