SEJARAH PERADABAN ISLAM MASA BANI UMAYYAH
A. Pendahuluan
Di ujung masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, umat Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik, yaitu Syiah, Mu’awiyah, dan Khawarij. Keadaan ini tentunya tidak menguntungkan bagi Ali, akibatnya posisi Ali semakin lemah, sementara posisi Mu’awiyah semakin kuat. Dan pada tahun 40 H (660 M), Ali terbunuh oleh salah seorang anggota Khawarij.
Setelah Ali bin Abi Thalib meninggal,
kedudukannya sebagai khalifah dijabat oleh anaknya, Hasan. Namun karena
penduduk Kufah tidak mendukungnya, seperti sikap mereka terhadap Ayahnya, maka
Hasan semakin lemah, sementara Mu’awiyah semakin kuat. Maka Hasan mengadakan
perjanjian damai dengan Mu’awiyah dengan menanggalkan jabatan khilafah untuk Mu’awiyah
pada tahun 41 H (661 M), agar tidak terjadi pertumpahan darah yang sia-sia.
Perjanjian tersebut dapat mempersatukan umat Islam dalam satu kepemimpinan
politik, yakni di bawah kepemimpinan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
Tahun tersebut dalam sejarah dikenal sebagai
tahun al-Jama'ah (tahun persatuan), sebagai tanda bahwa umat Islam telah
menyepakati secara aklamasi mempunyai hanya satu orang khalifah. Di sisi lain
penyerahan tersebut menjadikan Mu’awiyah sebagai penguasa absolut dalam Islam.
Dengan demikian, maka berakhirlah apa yang
disebut dengan masa Khulafa’ al-Rasyidin yang bersifat demokratis, dan
dimulailah kekuasaan Bani Umayyah dalam sejarah politik Islam yang bersifat
keturunan (Muh. Jabir, 2007).
B. Pembentukan
Dinasti Umayyah
Nama Dinasti Umayyah dinisbatkan kepada
Umayyah bin Abd Syams bin Abdu Manaf. Ia adalah salah seorang tokoh penting di
tengah Quraisy pada masa Jahiliah. Ia dan pamannya Hasyim bin Abdu Manaf selalu
bertarung dalam memperebutkan kekuasaan dan kedudukan (Ahmad Al-Usyairi, 2006).
Bani Umayyah baru masuk Islam setelah Nabi Muhammad saw. berhasil menaklukkan
kota Mekah (fathu Makkah). Sepeninggal Rasulullah, Bani Umayyah sesunggguhnya
telah menginginkan jabatan pengganti Rasul (khalifah), tetapi mereka belum
berani menampakkan cita-citanya itu pada masa Abu Bakar dan Umar. Baru setelah
Umar meninggal, yang penggantinya diserahkan kepada hasil musyawarah enam orang
sahabat, Bani Umayyah menyokong pencalonan Uṡman secara terang-terangan, hingga
akhirnya Uṡman terpilih. Sejak saat itulah mulailah Bani Umayyah meletakkan
dasar-dasar untuk menegakkan Khilafah Umayyah. Pada masa pemerintahan Uṡman
inilah Mu’awiyah mencurahkan segala tenaganya untuk memperkuat dirinya, dan
menyiapkan daerah Syam sebagai pusat kekuasaannya di kemudian hari (Dudung
Abdurrahman, 2004). Sampai tahun 692 M setelah kurang lebih sepuluh tahun
berkuasa, dinasti ini mendapat saingan dari seorang khalifah di Mekah yakni
Abdullah ibn Zubair.
Setelah pembunuhan Uṡman pada tahun 656 M,
Mu’awiyah yang pada masa itu telah menjadi gubernur di Syria selama kurang
lebih 20 tahun, menolak mengakui Ali sebagai khalifah. Oleh karena itu, Ali
tidak pernah diakui secara penuh oleh segenap umat Islam. Ketika menolak
mengakui Ali sebagai khalifah, Mu’awiyah belum menyatakan diri sebagai
khalifah. Akan tetapi, penolakannya tersebut telah mengakibatkan timbulnya
konfrontasi militer di daerah antara Syria dan Irak. Sebelum penumpahan darah
tersebut memakan korban lebih banyak lagi, kedua pihak yang bersengketa sepakat
melakukan gencatan senjata untuk melakukan arbitrase (tahkim) dan untuk
tujuan tersebut, masing-masing pihak menunjuk juru runding (arbiter)
untuk mewakilinya. Kejadian-kejadian berikutnya dalam peristiwa arbitrase
tersebut merupakan serangkaian peristiwa yang paling membingungkan dalam
sejarah umat Islam, karena jalannya kejadian itu sendiri dan motif-motif pihak
yang terlibat telah berubah ketika mereka menceritakan kembali kejadian
tersebut sesuai dengan kepentingan golongannya. Yang jelas, para juru runding
(arbiter) telah membuat keputusan yang merugikan Ali (Beni Ahmad Saebani, 2008).
Setelah peristiwa arbitrase tersebut, pada pertengahan tahun 661 M, Mu’awiyah
memproklamasikan dirinya sebagai khalifah di Jerussalem.
Ada dua elemen yang mendasari keabsahan
pengambilalihan kekuasaan dan kekhalifahan yang hadir dalam kasus Mu’awiyah,
yaitu adanya dewan yang mengambil keputusan (dalam bentuk arbitrase) dan adanya
pengakuan dari rakyat, pada mulanya hanya di Jerussalem, tetapi kemudian
berlaku di berbagai daerah. Keputusan yang dibuat dalam arbitrase harus
dianggap sesuai dengan gagasan bangsa Arab, yakni pengakuan terhadap Mu’awiyah
sebagai kerabat keluarga yang siap bertindak sebagai penuntut balas dendam (atas
kematian Utsman). Untuk memberi landasan pembenaran terhadap kekuasaan mereka,
golongan Umayyah juga menggunakan alasan lain yang bisa menarik simpati bangsa
Arab. Mereka mengklaim dirinya termasuk famili atau sesuku dengan Sang Rasul,
dengan menyatakan bahwa mereka berasal dari suku Abdul Manaf yang melahirkan
Umayyah dan Hasyim sebagai sub-klan (Abdul Manaf adalah Bapak dari Hasyim dan
kakek dari Umayyah) (Beni Ahmad Saebani, 2008). Jadi, mereka dapat dikatakan
memiliki warisan karakter kepemimpinan yang terwujud pada diri Muhammad. Mereka
juga menyatakan bahwa karena keekhalifahan sudah dilimpahkan oleh Tuhan kepada
mereka, pengingkaran terhadap khalifah atau para pembantunya adalah sama dengan
pengingkaran terhadap Tuhan. Dengan cara seperti itu, mereka mengambil
keuntungan dari kecenderungan yang berkaitan dengan kepercayaan masa pra-Islam
bahwa apa pun yang terjadi sudah merupaakan suratan takdir, atau dalam tema Islam
kehendak Tuhan.
Salah satu bagian penting prestasi yang
dicapai oleh golongan Umayyah adalah kemampuan mereka mengatur dan menguasai
kekhalifahan dalam satu bani (clan)
selama hampir satu abad. Hal ini sangat sesuai dengan perilaku kekuasaan bangsa
Arab, yang memilih pemimpin suku dari satu keluarga bani tertentu.
Mu’awiyah berhasil mendirikan Dinasti Umayyah
bukan hanya dikarenakan kemenangan diplomasi di Siffin dan terbunuhnnya
Khalifah Ali. Melainkan sejak semula Gubernur Suriah memiliki tiga “basis
rasional” yang solid sebagai landasan pembangunan politiknya di masa depan. Pertama,
adalah berupa dukungan yang kuat dari rakyat Suriah dan dari keluarga Bani
Umayyah sendiri. Kedua, sebagai seorang administrator, Mu’awiyah sangat
bijaksana dalam menempatkan para pembantunya pada jabatan-jabatan penting. Ketiga,
Mu’awiyah memiliki kemampuan menonjol sebagai negarawan sejati, bahkan mencapai
tingkat “hilm”, sifat tertinggi yang dimilki oleh para pembesar Mekah
zaman dahulu (Samsul Munir Amin, 2008).
C. Khalifah-Khalifah
Bani Umayyah
Masa Kekuasaan Dinasti Umayyah berlangsung
kurang lebih 90 tahun dengan 14 Khalifah (Moh. Nurhakim, 2003). Dari ke-14
khalifah yang ada, terdapat beberapa khalifah yang berjasa dalam berbagai
bidang dan ada pula khalifah yang tidak
patut dan lemah. Berikut Ini urutan Khalifah Bani Umayyah:
1. Mu’awiyah bin
Abi Sufyan (41-60 H/661-679 M)
Pengalaman politik Mu’awiyah bin Abi Sufyan telah memperkaya dirinya dengan kebijakan-kebijakan dalam memerintah, mulai dari menjadi salah seorang pemimpin pasukan di bawah komando panglima Abu Ubaidillah din Jarrah yang berhasil merebut wilayah Palestin, Suriah dan Mesir dari tangan Imperium Romawi. Kemudian Mu’awiyah menjabat sebagai kepala wilayah di Syam yang membawahi Suriah dan Palestina. Khalifah Utsman menobatkannya sebagai “Amir al-Bahr” yang memimpin penyerbuan ke kota Konstantinopel meski belum berhasil (Samsul Munir Amin, 2008).
2. Yazid bin Mu’awiyah
(60-64 H/ 679-683 M)
Pengangkatan Yazid sebagai khalifah diikuti oleh penolakan dari kaum Syiah yang telah membaiat Husin bin Ali di Kufah sebagai khalifah sepeninggal Mu’awiyah. Penolakan tersebut, mengakibatkan peperangan di Karbala yang menyebabkan terbunuhnya Husain bin Ali. Selain itu Yazid juga menghadapi pemberontakan di Makkah dan Madinah dengan keras. Kaum anshor di Madinah mengangkat Abdullah bin Hanzalah dan kaum Qurais mengangkat Abdullah bin Muti’, dan penduduk Mekkah mengangkat Abdullah bin Zubair sebagai pemimpin tanpa pengakuan terhadap kepemimpinan Yazid. Yazid wafat pada tahun 64 H setelah memerintah selama 4 tahun (Samsul Munir Amin, 2008). Pada masa ini pemerintahan Islam tidak banyak berkembang diakibatkan pemerintah disibukkan dengan pemberontakan dari beberapa pihak.
3. Mu’awiyah bin
Yazid (64 H/ 683 M)
Mu’awiyah bin Yazid merupakan putra Yazid bin Mu’awiyah, dan ia menggantikan tampuk kepemimpinan sepeninggal ayahnya. Namun ia hanya memegang jabatan khalifah hanya dalam beberapa bulan. Ia mengalami tekanan jiwa yang berat karena tidak sanggup memikul tanggung jawab kekhalifahan, selain itu ia harus mengatasi masa kritis dengan banyaknya perselisihan antar suku. Dengan wafatnya Mu’awiyah bin Yazid maka habislah keturunan Mu’awiyah.
4. Marwan bin
Hakam (64-65 H/ 683-684 M)
Marwan bin Hakam pada masa Utsman bin Affan, seorang pemegang stempel khalifah, pada masa Mu’awiyah bin Abi Sufyan ia adalah gubernur Madinah dan menjadi penasihat pada masa Yazid bin Mu’awiyah di Damaskus. Mu’awiyah II tidak menunjuk penggantinya sebagai khalifah kemudian keluarga besar Bani Umayyah menunjuknya sebagai khalifah, sebab ia dianggap paling depan mengendalikan kekuasaan dengan pengalamannya. Marwah menghadapi segala kesulitan satu persatu kemudian ia dapat menduduki Mesir, Palestina dan Hijaz dan Irak. Namun kepemimpinannya tidak berlangsung lama hanya 1 tahun, sebelum ia wafat menunjuk Abdul Malik dan Abdul Aziz sebagai pengganti sepeninggalnya secara berurutan (Samsul Munir Amin, 2008).
5. Abdul Malik bin
Marwan (65-86 H/ 684- 705 M)
Ia merupakan orang kedua yang terbesar dalam deretan para khalifah Bani Umayyah sehingga ia disebut-sebut sebagai “pendiri kedua” bagi kedaulatan Umayyah. Pada masa kepemimpinannya ia mampu mengembalikan sepenuhnya integritas wilayah dan wibawa kekuasan Bani Umayyah dengan dapat ditundukkannya gerakan separatis Abdullah bin Zubair di Hijjaz, pemberontakan kaum Syi’ah dan Khawarij, aksi teror al-Mukhtar bin Ubaid as-Saqafi di Kufah, pemberontakan Mus’ab bin Zubair di Irak, serta Romawi yang menggoncangkan sendi-sendi pemerintahan Umayyah.
6. Al-Walid bin
Abdul Malik (86-96 H/ 705- 714 M)
Setelah wafatnya Abdul Malik bin Marwan, pemerintahan dipimpin oleh al-Walid bin Abdul Malik, pada masa kekuasaaanya. Kekuasaan Islam melangkah ke Spanyol dibawah kepemimpinan pasukan Thariq bin Ziyad ketika Afrika Utara dipegang oleh gubernur Musa bin Nusair.
7. Sulaiman bin
Abdul Malik (96-99 H/714- 717 M)
Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik tidak sebijak kakaknya dalam memimpin, ia sangat mencintai kehidupan dunia dan kegemarannya bersenang- senang, tabiatnya tersebut membuat ia dibenci oleh rakyatnya. Hal ini mengakibatkan para pejabatnya terpecah belah, begitu pula masyarakatny. Orang-orang yang berjasa pada masa pendahulunya disiksanya, seperti keluarga Hajjaj bin Yusuf dan Muhammad bin Qasim (Samsul Munir Amin, 2008).
Sulaiman wafat di Dabik di perbatasan Bizantium setelah berkuasa selama 2 tahun. Sebelum wafat ia menunjuk Umar bin Abdul Aziz sebagai penggantinya (Syed Mahmudunnasir, 2005).
8. Umar bin Abdul
Aziz (99-101 H)/ 717-719 M)
Umar bin Abdul Aziz disebut-sebut sebagai khalifah ketiga yang besar dalam dinasti Bani Umayyah. Ia seorang yang takwa dan bersih serta adil. Ia banyak menghabiskan waktunya di Madinah dikota dimana ia menjadi gubernur pada masa al-Walid, untuk mendalami ilmu agama Islam, khususnya hadits. Sebelumnya ia merupakan pejabat yang kaya akan ilmu dan harta namun ketika menjadi khalifah ia berubah menjadi orang yang zahid, sederhana, bekerja keras, dan berjuang tanpa henti sampai akhir hayatnya (Samsul Munir Amin, 2008). Ia bahkan mengembalikan sebagian besar hartanya berupa tanah dan perhiasan istrinya ke baitul-mal. Umar wafat pada usia 39 tahun setelah berkuasa kurang lebih selama 2 tahun, jasadnya dimakamkan di Dair Simon dekat Hims (Syed Mahmudunnasir, 2005).
9. Yazid bin Abdul
Malik (101-105 H/ 719-723 M)
Pada masa kekuasaannya bangkit kembali konflik antara Mudhariyah dengan Yamaniyah. Kaum Khawarij kembali menentang pemerintahan karena mereka menggap Yazid kurang adil dalam memimpin (Syed Mahmudunnasir, 2005). Sikap kepemimpinannya sangat bertolak dengan pola kepemimpinan Umar bin Adul Aziz, ia lebih menyukai berfoya-foya sehingga ia dianggap tidak serius dalam kepemimpinannya (Yusuf Al-isy, 2009).
10. Hisyam bin
Abdul Malik (105- 125 H/ 723-742 M)
Setelah kematin Yazid, saudaranya Hiyam bin Abdul Malik naik tahta. Pada saat ia naik tahta. Pada masa kepemimpinannya terjadi perselisihan antara bani Umayyah dengan bani Hasyim. Pemerintahannya yang lunak dan jujur, banyak jasanya dalam pemulihan keamanan dan kemakmuran, tetapi semua kebijakannya tidak dapat membayar kesalahan-kesalahan para pendahulunya. Inilah yang semakin memperlicin kemerosotan dinasti Umayyah (Syed Mahmudunnasir, 2005).
Hisyam adalah seorang penyokong kesenian dan sastra yang tekun. Kecintaannya kepada ilmu pengetahuan membuat ia meletakkan perhatian besar kepada pengembangan ilmu pengetahun.
11. Al-Walid bin
Yazid (125-126 H/ 742- 743M)
Walid oleh para penulis Arab dilukiskan
sebagai orang yang tidak bermoral, pemabuk, dan pelanggar. Pada awal mualanya
ia menunjukkan kebaikan-kebaikan kepada fakir miskin dan orang-orang lemah.
Namun semua itu digugurkan dengan sifatnya yang pendendam, serta jahat kepada
sanak saudaranya. Sikapnya ini semakin mempertajam kemerosotan bani Umayyah.
Selanjutnya ada beberapa khalifah seperti Yazid bin Walid bin Abdul Malik (126
H/743 M), Ibrahim bin Walid bin Abdul Malik (126- 127 H/ 743- 744 M) dan Marwan
bin Muhammad (127-132 H/ 744-750 M).
D. Ekspansi ke
Barat dan ke Timur
Kemajuan Dinasti Umayyah dilakukan dengan
ekspansi, sehingga menjadi negara Islam yang besar dan luas. Dari persatuan
berbagai bangsa di bawah naungan Islam lahirlah benih-benih kebudayaan dan
peradaban Islam yang baru. Meskipun demikian, Bani Umayyah lebih banyak
memusatkan perhatian pada kebudayaan baru (Bisri M. Jaelani, 2007).
Bidang pembangunan juga di perhatikan para
khalifah Bani Umayyah. Mesjid-mesjid di semenanjung Arabia dibangun, katedral
St. John di Damaskus diubah menjadi mesjid. Dan katedral di Hims digunakan
sebagai mesjid dan gereja. Selain itu, di masa ini gerakan-gerakan ilmiyah
telah berkembang pula, seperti dalam bidang keagamaan, sejarah, dan filsafat.
Berpusat Kuffah dan Basrah di Irak (Bisri M. Jaelani, 2007).
Secara umum, penaklukan pemerintahan Bani
Umayyah, meliputi tiga wilayah. Pertama, melawan pasukan Romawi di Asia
Kecil. Penakulukan ini sampai dengan pengepungan Konstantinopel dan beberapa
kepulauan di Laut Tengah. Kedua, wilayah Afrika Utara. Penaklukan itu
sampai ke Samudra Atlantik dan menyeberang ke Gunung Ṭariq hingga ke Spanyol. Ketiga,
wilayah Timur. Penaklukan ini sampai ke sebelah Timur Irak. Kemudian, meluas ke
wilayah Turkistan di Utara, serta ke wilayah Sindh di bagian Selatan.
a. Peperangan kaum
muslimin melawan bangsa Romawi di Asia Kecil
1) Konstantinopel, pemegang pimpinan perang
ketika itu ialah Sufyan ibnu ‘Aif, didampingi Yazid, karena Mu’awiyah
menginginkan puteranya beroleh kemasyhuran sebagai pejuang fi sabilillah (Ahmad
Syalabi, 1990). Kota itu dikepung pada tahun 50 H/670 M dan tahun 53-61
H/672-680 M, namun tidak berhasil ditaklukkan.
2) Dia berhasil
menaklukkan pulau Jarba di Tunisia pada tahun 49 H/669 M, kepulauan Rhodesia
pada tahun 53 H/673 M, kepulauan Kreta pada tahun 55 H/624 M, kepulauan Ijih
dekat Konstantinopel pada tahun 57 H/680 M (Dedi Supriyadi, 2008).
3) Pada tahun 84
H, Abdul Malik mengirim sautu pasukan di bawah pimpinan Abdullah ibnu Abdul
Malik. Ia menyerang kekuasaan Rumawi dan berhasil menaklukkan Mashaishah.
4) Masa
pemerintahan Al Walid. Atau “masa kemenangan yang luas” (Dedi Supriyadi, 2008).
Timbul kembali cita-cita untuk menaklukkan Konstantinopel. Al Walid wafat
sebelum mengirimkan satuan-satuannya untuk menaklukkan Konstantinopel, karena
lebih mementingkan keselamatan jalan menuju ibukota yang agung itu. Sulaiman
ibnu Abdul Malik datang dan mencoba melakukan usaha tersebut, seiring dengan
terjadinya kegoncangan dalam kerajaan Byzantium, juga karena Leon al Mar’asyi
menggabungkan diri.
Tetapi di sana angkatan perang ini tidak mendapat hasil yang berarti karena pengkhianatan Leon. Peristiwa ini terjadi pada permulaan masa pemerintahan Khalifah Umar ibnu Abdul ‘Aziz, yang mengeluarkan perintah untuk mengakhiri pengepungan (Dedi Supriyadi, 2008).
b. Peperangan kaum
Muslimin di Afrika Utara dan Andalusia
1) Mu’awiyah
mengangkat Maslamah ibnu Makhlad al Anshari untuk memerintah daerah Magribi dan
dia mengangkat hamba sahayanya, Abul Muhajir. Abul Muhajir berhasil merangkul
pemimpin Barbar, Kusailah, sehingga banyak suku Barbar mengikuti jejaknya.
Karena itu ia berusaha mencapai kemenangan terhadap kekuasaan Rumawi. Dia
menyerang Carthagina. Tetapi Rumawi berhasil mempertahankan kubunya.
2) Pada masa
Yazid, pimpinan diserahkan kembali kepada ‘Uqbah, sedang Abul Muhajir menjadi
pembantunya. Kusailah murtad`karena tidak suka akan kembalinya ‘Uqbah memegang
pimpinan. Bangsa Rumawi memakai kesempatan in untuk menghasut Kusailah. ‘Uqbah
dan Abul Muhajir tewas dalam perjalanan waktu mereka pulang dari penaklukan
tersebut. Abdul Aziz gubernur Mesir berusaha mengembalikan kekuasaan muslimin
di daerah itu. Dikirimnya satuan-satuan di bawah pimpinan Zuhari ibnu Qais.
Tetapi mereka mengalami kekalahan. Pimpinan beserta beberapa anggota tewas
(Dedi Supriyadi, 2008).
3) Abdul Malik
mengirim pasukan di bawah pimpinan Hasan ibnu Nu’man al Ghassani untuk menumpas
satuan Rumawi. Mereka berhasil menindas perlawanan bangasa Barbar.
Menunjuk Musa bin Nushair menjadi
gubernur Afrika Utara dan Maghribi sesudah Hasan. Ini terjadi pada akhir masa
pemerintahan Abdul Malik, atau permulaan Al Walid. Musa memakai gelar “Amir
Qairawan”. Musa menaklukkan Thanjah, Septah (Ceutea) di pantai Afrika.
4) Andalusia
Di seberang selat itu terletak semenanjung
Andalusia (Dedi Supriyadi, 2008). Ada tiga orang pahlawan yang memimpin
satuan-satuan muslimin yang menyerbu Spanyol. Pertama, Tharif ibnu
Malik, melakukan penyerbuan ke Spanyol pada tahun 91
H. Tharif tidak menemukan perlawanan yang berarti. Hal itu mengobarkan semangat
Amir Qairawan untuk terus maju ke “Ardhul Khadra” (bumi yang menghijau). Kedua,
Thariq bin Ziyad. Menaklukkan Spanyol bulan Rajab tahun 92 H. Thariq dan
pasukannya mendarat dan menempati suatu gunung yang kini dikenal dengan “jabal
Thariq” (Giblraltar) (Dedi Supriyadi, 2008). Dengan pasukannya yang
kompak, bersatu padu dan percaya akan kemenangan itu, Thariq memberikan pukulan
hebat kepada musuhnya. Spanyol jatuh ke tangan mereka. Thariq terus maju dan
berhasil menaklukkan Cordova, Granada, dan Toledo. Ketiga, Musa ibnu
Nushair, untuk mendapat kehormatan dengan ikut serta secara nyata menaklukkan
negeri-negeri yang subur itu. Musa berhasil menaklukkan Karmona dan Seville. Kemudian
bertemu Thariq di Toledo (Dedi Supriyadi, 2008). Kedua pahlawan ini menaklukkan
Saragossa, Barcelona, Arragon, dan Castilia, tetapi membiarkan Galicia, padahal
tempat tersebut kemudian hari menjadi benteng tempat para musuh dilatih untuk
menyiapkan kekuatan baru (Dedi Supriyadi, 2008).
Pada zaman Umar
ibn Abd Al-Aziz, Abd Ar-Rahman ibn Abdullah Al-Gafiqi menyerbu Di Perancis dan
berhasil menundukkan Bordeau dan Poitiers, menundukkan kota Tours. Namun,
Al-Gafiqi mati terbunuh, akhirnya tentara Islam mundur dan kembali ke Spanyol
(Dedi Supriyadi, 2008).
5) Kaum Muslimin
di Balik Pegunungan Pyrenia
Pada masa Umar ibnu Abdul ‘Aziz, As Samah
menyerbu pegunungan Pyrenia dan menyerbu ke arah timurnya. Tetapi usahanya
tidak berhasil dan ia tewas pada tahun 102 H (Ahmad Syalabi, 1990). Kemudian
terjadi pertempuran kaum Muslimin di Daerah Seberang Sungai Jihun dan di Sind
6) Daerah
“Seberang Sungai”
a) Mu’awiyah, di
bawah pimpinan panglimanya Qais ibnul Haitsam, yang juga gubernur Khurasan
berangkat ke Balkh dan meruntuhkan tempat-tempat peribadatan mereka melanggar
perjanjian damai yang telah mereka adakan dengan kaum muslimin.
b) Pada masa
sepeninggal Mu’awiyah, Yazid ibnu Muhallab berhasil menaklukkan benteng Nizak
di Badghis, tahun 84 H. Pada tahun berikutnya, Al Mufaddhal, yang berhasil
menaklukkan Badghis dan Syauman.
c) Qutaibah
berhasil menaklukkan negeri-negeri seberang sungai dan mengajak penduduknya
memeluk Islam (Ahmad Syalabi, 1990).
d) Asad ibnu Abdillah al Qisri dan Nashar ibnu Syaiar. Mereka menjadi gubernur di Khurasan pada masa Khalifah Hisyam ibnu Abdul Malik, dan memimpin serangan-serangan yang beroleh hasil gemilang di daerah tersebut.
7) Daerah Sind
Pada tahun 44 H/664 M, kaum muslimin menyerang
wilayah Sindh dan India. Kemudian pada masa Khalifah Al Walid, Al Hajjaj
menyiapkan kesatuan besar untuk menyerang negeri Sind, dan diserahkannya
pimpinan kesatuan itu kepada seorang panglima muda, Muhammad ibnu Qasim as
Tsaqafi, dia adalah menantu Al Hajjaj. Muhammad membagi kesatuan kepada dua
bagian, yaitu laut dan darat. Dalam perjalanannya mereka tak berhasil menaklukkan
beberapa negeri, sehingga bertemu bertemu kapal yang membawa pasukannya di
pelabuhan Daibul. Kemudian kesatuan ini menuju utara. Banyak benteng dan kota
berlutut padanya. Akhirnya mereka bertemu raja Sind, Daher, yang memimpin
pasukan yang besar. Terjadilah pertempuran besar. Dengan hancurnya pasukan
Daher, terbentanglah jalan bagi bagi Muhammad ibnul Qasim untuk mengusai Sinil
tanpa rintangan besar, hingga sampai ke Kasymir, utara Sind (Ahmad Syalabi,
1990).
E. Perkembangan
Ekonomi dan Administrasi
Perekonomian adalah merupakan salah satu unsur
terpenting dalam memperlancar proses pembangunan suatu negara. Sebab merosotnya
perekonomian suatu negara akan berpengaruh terhadap proses pelaksanaan
pembangunan yang akan dilakukan. Carl Brockelmann menegaskan (1982) bahwa: “Pada tahun 693
khalifah Abdul Malik secara bulat menetapkan untuk mencetak uang sendiri di
damaskus. Sementara itu Hajjaj pada tahun berikutnya melakukan hal yang sama.
Akibatnya masyarakat Arab sudah mulai mengenal sistem perhitungan. Ide ini juga
diterima di Yaman, Siria, dan Iraq” .
Kebijaksanaan yang dikeluarkan oleh Khalifah
Abdul Malik tersebut, sangat berpengaruh terhadap perekonomian dinasti itu.
Sebab kita melihat, sebelum diberlakukannya kebijakan ini mata uang yang
beredar sebagai alat tukar adalah mata uang Roma dan mata uang Persia yaitu
dirham (drachma) dan dinar (dinarius) (Joesoef Sou’yb, 1977).
Dengan tidak adanya mata uang sendiri tentu
akan dapat mengurangi nilai-nilai persatuan dan kesatuan umat Islam di daerah
yang demikian luasnya. Sehingga dapat dikatakan, secara implisit kebijaksanaan khalifah
memiliki nilai-nilai esensial dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan umat Islam
dalam wilayah yang luas tersebut.
Implikasi nilai-nilai persatuan dan kesatuan
terhadap perekonomian pada masa itu (Dinasti Umayyah) adalah sangat penting.
Sebab adanya persatuan dan kesatuan wilayah umat Islam yang luas tersebut akan
menciptakan stabilitas keamanan yang terjamin. Dengan adanya stabilitas
keamanan yang terjamin, maka lalu lintas perdagangan akan berjalan lancar,
dengan lancarnya lalu lintass perdagangan, pada gilirannya akan meningkatkan
perekonomiannya.
Di samping perdagangan, menurut K. Ali (1980) ada
beberapa sumber pendapatan pada masa Dinasti Umayyah, yaitu: 1. The
land-tax, 2. The poll- tax on non-muslim subjects, 3. The poor rates, 4.
Customis and excise duties, 5. Tributes paid under treaties, 6. The fifth of
the spoils of war, 7. Fay, 8. Additional imports in kinds, 9. Persents on
occasions of festifal etc, and 10. Child tribute from the barbers.
Seluruh sumber-sumber pendapatan tersebut di
atas dikelola oleh sebuah departemen yang disebut dengan departemen pendapatan
negara (diwan al-kharaj), dan hasil pengumpulan dari sumber-sumber
tersebut disimpan di Baitul Mal (kantor perbendaharaan negara) (J. Suyuthi
Pulungan, 1994).
Pada masa pemerintahan Abdul Malik,
perkembangan perdagangan dan perekonomian, teraturnya pengelolaan pendapatan
negara yang didukung oleh keamanan dan ketertiban yang terjamin telah membawa
masyarakatnya pada tingakat kemakmuran. Realisasinya dapat kita lihat dari
hasil penerimaaan pajak (kharaj) di wilayah syam saja, tercatat 1.730.000 dinar
emas setahun (Joesoef Sou’yb, 1977). Hal ini seperti yang dikatakan oleh Hugh
Kennedy (1991): “Nor was there ani doubt that the surplustaxition was to be
forwarded to the treasury in damascus.”
Kemakmuran masyarakat Bani Umayyah juga
terlihat pada masa pemerintahan Umar ibn Abdul Aziz. Keadaan perekonomian pada
masa pemerintahannya telah naik ke taraf yang menakjubkan. Semua literatur yang
ada pada kita sekarang ini menguatkan bahwa kemiskinan, kemelaratan, dan
kepapaan telah dapat diatasi pada masa pemerintahan khalifah ini (Ahmad
Syalabi, 1978). Kebijakan yang dilakukan oleh Umar ibn Abdul Aziz dalam
implikasinya dengan perekonomian yaitu membuat aturan-aturan mengenai takaran
dan timbangan, dengan tujuan agar dapat membasmi pemalsuan dan kecurangan dalam
pemakaian alat-alat tersebut (Ahmad Syalabi, 1978).
Sumbangan dalam ekonomi, masa khalifah pertama
(Mu’awiyah Bin Abi Sufyan):
1. Mampu membangun
sebuah masyarakat muslim yang tertata rapi
2. Oleh para
sejarawan, beliau di sebut sebagai orang Islam pertama yang membangun kantor
catatan Negara dan layanan pos (Al-Barid)
3. Membangun
Pasukan Suriah menjadi kekuatan militer Islam yangterorganisir dan disiplin
tinggi
4. Mencetak mata
uang, mengembangan birokrasi seperti fungsi pengumpulan pajak dan administrasi
politik
5. Mengembangan
jabatan qadi (hakim) sebagai jabatan professional
6. Menerapkan
kebijakan pemberian gaji tetap kepada para tentara (Rahman Afzalur, 1995).
Selanjutnya pada masa pemerintahan khulafa
ar-Rasyidin (632-661 M), pimpinan pemerintahan pusat hanya terdiri atas
khalifah, didampingi seorang pejabat yang disebut al-Katib (sekretaris).
Di samping khalifah ada majelis penasehat yang terdiri atas sahabat-sahabat
Nabi Muhammad. Al-Katib bertugas mencatat penerimaan dan engeluaran
perbendaharaan negara. Mengurus surat menyurat dengan pembesar setempat,
mendata nama-nama tentara dan penghasilannya (Joesoef Sou’yb, 1977).
Pada masa Dinasti Bani Umayyah, telah muncul
persoalan-persoalan yang cenderung membawa ketidak stabilan dan perpecahan
umat, seperti hancurnya teokrasi yang telah mempersatukan kekhalifahan yang
lebih dulu, munculnya anarkisme dan ketidak disiplinan kaum nomad (Syed Mahmudunnasir, 2005). Disisi lain wilayah kekuasaan umat Islam
pada masa Dinasti Umayyah, menurut Annemarie Schimel (1992): “Telah sampai ke
Atlantik, perbatasan Bizantium, Selat Gibraltar, (Jabal Tarik) tahun 711. Pada
tahun itu juga mereka juga menguasai Transoxiana, Sind, serta Indusvalley (sekarang
arah selatan Pakistan). Adanya persoalan intern dan ekstern tersebut
mengakibatkan terjadinya perkembangan administrasi pemerintahan sesuai dengan perkembangan
wilayah dan perkembangan urusan kenegaraan yang semakin lama semakin kompleks.
Pengelolaan administrasi dalam struktur
pemerintahan Dinasti Bani Umayyah adalah merupakan penyempurnaan dari
pemerintahan khulafa ar-Rasyidin yang diciptakan oleh Khalifah Umar. Wilayah
kekuasaan yang luas itu, sebagaimana periode Madinah dibagi menjadi wilayah
provinsi. Setiap provinsi dikepalai oleh seorang gubernur atau amir yang
diangkat oleh khalifah. Gubernur didampingi seseorang atau beberapa orang katib
(sekretaris), seorang hajib (pengawal), dan pejabat-pejabat penting lain, yaitu
shahib al-kharaj (pejabat pendapatan), shahib al-syurthat (pejabat
kepolisian), dan qadhi (kepala keagamaan dan hakim). Pejabat pendapatan
dan qadhi diangkat oleh khalifah dan bertanggung jawab kepadanya (J. Suyuthi
Pulungan, 1994).
Pada tingkat pemerintahan pusat dibentuk
beberapa lebaga dan departemen, al-katib, al-hajib, dan diwan.
Lembaga al-katib terdiri dari katib al-rasail (sekretaris
negara), katib al-kharaj (sekretaris pendapatan negara), katib
al-jund (sekretaris militer), katib al-syurthat (sekretaris
kepolisian), katib al-qadhi (panitera) (J. Suyuthi Pulungan, 1994).
Para katib bertugas mengurusi
administrasi negara secara baik dan rapi untuk mewujudkan kemaslahatan negara. Al-hajib
(pengawal dan kepala rumah tangga istana) bertugas mengatur para pejabat atau
siapapun yang bertemu dengan khalifah. Lembaga ini belum dikenal di zaman
negara Madinah, karena siapa saja boleh bertemu dan berbicara langsung dengan
khalifah tanpa melalui birokrasi (J. Suyuthi Pulungan, 1994). Tapi ada tiga
orang yang boleh langsung bertemu dengan khalifah tanpa hajib, yaitu muazin
untuk memberi tahukan waktu shalat pada khalifah, shahib al-barid
(pejabat pos) yang membawa berita-berita penting untuk khalifah, dan shahib
al-tha’am, petugas yang mengurus hal ikhwal makanan dalam istana
(Joesoef Sou’yb, 1977).
Dalam bidang pelaksanaan hukum yaitu al-Nidzam
al-Qadhai terdiri dari tiga bagian, yaitu al-qadha dipimpin seorang
qadhi yang bertugas membuat fatwa-fatwa hukum dan membuat peraturan-peraturan
yang digali langsung dalam al-Qur'an, sunnah Rasul, Ijma', atau berdasarkan
ijtihad. Badan ini bebas dari pengaruh penguasa dalam menetapkan keputusan
hukum, baik terhadap pejabat atau pagawai negara yang melakukan pelanggaran.
Pejabat badan al-Hisbat disebut al-Muhtasib, tugasnya menangani
kriminal yang perlu penyelesaian segera. Sedang pejabat al-Mazhalim disebut
qadhi al-mazhalim atau shahib al-mazhalim. Kedudukan badan ini
lebih tinggi dari al-qadha dan al-hisbat, karena badan ini
bertugas meninjau kembali akan kebenaran dan keadilan keputusan-keputusan hukum
yang dibuat oleh qadhi dan muhtasib (J. Suyuthi Pulungan, 1994).
Jika terjadi kasus tentang perkara yang
keputusannya dianggap perlu ditinjau kembali, baik rakyat maupun pejabat yang
menyalah gunakan jabatan, badan ini menyelenggarakan mahkamah al-mazhalim
yang mengambil tempat di masjid. Sidang inni dihadiri oleh lima unsur lengkap
yaitu para pembantu sebagai juri, para hakim, para fuqaha, para katib, dan para
saksi (J. Suyuthi Pulungan, 1994).
Di dalam tubuh pemerintahan Bani Umayyah
terdapat beberapa diwan atau departeman yaitu:
1. Diwan al-Rasail, departemen yang mengurus surat-surat negara
dari khalifah kepada gubernur atau menerima surat-surat dari gubernur (Hasan
Ibrahim Hasan, 1974). Departemen ini memiliki dua sekretariat, untuk pusat menggunakan
bahasa Arab, dan daerah menggunakan bahasa Yunani dan bahasa Persia. Philip K.
Hitti (1974) mengatakan bahwa:
The Arabization in changing the language of
the public registers (diwan) from Greek to arabic in Damascus and from Pahlavi
to Arabic in Al-Iraq and Easten provinces and in the creation of an Arabic
coinage with the charge in personal naturally took place.
Berdasarkan
kepada pendapat Philip K. Hitti di atas, menunjukkan bahwa pada masa
pemerintahan Abdul Malik telah diterapkan peraturan gerakan Arabisasi yaitu
dengan hanya menggunakan bahasa Arab dalam penulisan surat-surat negara. Bahkan
pengaruh gerakan Arabisasi masih terlihat hingga sekarang, sebagaimana yang
dikemukakan oleh M.A. Shaban (1976): “this was most evident froom the fact
that the language of public record, which until then had been copric, Greek, or
Pahlavi change to Arabic.
2. Diwan al-Khatim, departemen pencatatan yang bertugas menyalin
dan meregistrasi semua keputusan khalifah atau peraturan-peraturan pemerintah
untuk dikirim pada pemerintah daerah (W. Montgomery Watt, 1976).
3. Diwan al-Kharaj, departemen pendapatan negara yang diperoleh
dari kharaj, zakat, ghanimah, dan sumber-sumber lain. Semua pwmasukan dari
sumber-sumber itu disimpan di Baitul Mal (J. Suyuthi Pulungan, 1994).
4. Diwan al-Barid, departemen pelayanan pos, bertugas malayani
informasi tentang berita-berita penting dari daerah kepada pemerintah pusat dan
sebaliknya. Pelayanan ini sudah diperkenalkan pada masa Mu'awiyah (J. Suyuthi
Pulungan, 1994).
5. Diwan al-Jund, departemen pertahanan yang bertugas
mengorganisir militer. Berangkat dari uraian di atas, terlihat bahwa
perkembangan administrasi pada masa Dinasti Bani Umayyah sudah semakin
kompleks, mengingat munculnya berbagai persoalan yang krusial yang menuntut
adanya kebijaksanaan-kebijaksanaan. Namun secara prinsip kebijaksanaan yang
dilakukan Bani Umayyah adalah merupakan pengembangan dan penyempurnaan dari
administrasi yang pernah diciptakan oleh Khalifah Umar ibn Khattab (W.
Montgomery Watt, 1976).
F. Kehancuran dan
Kemunduran
Setelah sepeninggal Hisyam bin Abdul Malik,
kekhalifahan bani umayyah mengalami kelemahan yang pada akhirnya menyebabkan
kehancuran dinasti ini. Badri Yatim (2013) menyebutkan terdapat beberapa faktor
yang mejadi sebab runtuhnya kekuasaan dinasti Umayyah, diantaranya:
a. Sistem
pergantian kekhalifahan melalui garis keturunan adalah suatu yang baru dalam
tradisi Arab, pengaturan pergantian kekhalifahan yang tidak jelas menyebabkan
persaingan tidak sehat di kalangan anggota keluarga istana.
b. Latar belakang
terbentuknya Bani Umayyah yang tidak terlepas dari konflik- konflik politik di
masa Ali. Sisa-sisa Syi'ah (para pengikut Ali) dan Khawarij terus menjadi
gerakan oposisi, baik secara terbuka seperi di awal dan di akhir maupun secara
tersembunyi seperti di masa pertengahan kekuasaan Bani Umayyah. Penumpasan
terhadap gerakan-gerakan ini banyak menyedot kekuatan pemerintah.
c. Terjadi
pertentangan etnis antar suku Arabia Utara (Bani Qays) dan Arabia Selatan (Bani
Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam semakin meruncing. Perselisishan
tersebut mengakibatkan khalifah-khalifah bani Umayyah kesulitan dalam
menggalang persatuan dan kesatuan. Di samping itu dologan mawali (non Arab) terutama di Irak dan sekitarnya
merasa tidak puas karena status itu mengambarkan suatu inferioritas, ditambah keangkuhan bangsa arab yang diperlihatkan
oleh bani umayyah.
d. Lemahnya
pemerintahan daulat Bani Umayyah juga disebabkan karena siskap hidup
bermewah-mewahan di lingkungan Istana sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup
memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan.
e. Penyebab
langsung tergulingnya kekuasaan dinasti Bani Umayyah adalah munculnya kekuatan
baru yang dipelopori oleh keturunan al-Abbas ibn Abd Muthalib. Gerakan ini mendapat
dukungan penuh dari Bani Hasyim dan gologan Syi'ah dan kaum Mawali yang merasa
dinomorduakan oleh pemerintahan Bani Umayyah.
G. Penutup
Dari seluruh pembahasan tadi maka penulis dapat
menyimpulkan beberapa poin penting didalamnya:
1. Kemunculan Bani
Umayyah sesungguhnya sudah ada sejak zaman Abu bakar memerintah. Namun gerakan
ini masih ada disimpul-simpul perseorangan saja yang nanti akan merebut
kekuasaan dan mendirikan khilafah Islamiyah. Gerakan Umayyah terlihat terpecah
ketika mereka masuk dalam pemerintahan Ali Bin Abi Thalib yang secara
terang-terangan menolak pemerintahan Ali karena ketidakpuasannya terhadap
pemerintahan. Akhirnya Umayyah yang berjuang untuk melawan semuanya sehingga
terbentuknya daulah Bani Umayyah yang berdiri tahun 661 an M.
2. Dalam
pemerintahan daulah Bani Umayyah banyak sekali melakukan ekspansi wilayah dari
Barat sampai ke Timur sebagai salah satu upaya dalam perluasan ajaran agama
juga. Pemerintah mengadakan perluasan daerah Barat misalnya ke Romawi di Asia Kecil,
Konstantinopel dan beberapa kepulauan di Laut Tengah, Afrika Utara, Samudra
Atlantik menyeberang ke Gunung Ṭariq hingga ke Spanyol. Perluasan ke daerah
Timur misalnya ke wilayah Irak, Turkistan di Utara, dan wilayah Sindh di bagian
Selatan.
3. Perkembangan
ekonomi dan perkembangan administrasi menjadi kekuatan tersendiri dalam
pemerintahan Bani Umayyah. Dalam bidang ekonomi misalnya, Khalifah Abdul Malik
adalah kenijakan alat tukar adalah mata uang Roma dan mata uang Persia yaitu
dirham (drachma) dan dinar (dinarius). Pada masa pemerintahan Abdul Malik,
perkembangan perdagangan dan perekonomian, teraturnya pengelolaan pendapatan
negara yang didukung oleh keamanan dan ketertiban yang terjamin telah membawa
masyarakatnya pada tingakat kemakmuran. Pada masa pemerintahan Umar ibn Abdul
Aziz, keadaan perekonomian pada masa pemerintahannya telah naik ke taraf yang
menakjubkan. Pada masa Mu’awiyah Bin Abi Sufyan, mencetak mata uang,
mengembangan birokrasi seperti fungsi pengumpulan pajak dan administrasi-politik,
dan lain-lain.
4. Kemuduran dan
kehancuran yang terjadi ditubuh Bani Umayyah sejatinya disebabkan oleh dan dari
tubuh keluarga Umayyah sendiri ketika itu. Mereka semakin memanfaatkan jabatan
sebagai salah satu jalan kesenangan dan maksiat. Sehingga mereka tidak bisa
lagi memikul tanggung jawab dan amanah kepemimpinan.
Daftar Pustaka
Abdurrahman, Dudung. (2004). Sejarah
Peradaban Islam dari Masa Klasik hingga Modern, Cet. III. Yogyakarta:
LESFI.
Afzalur, Rahman. (1995). Doktrin Ekonomi
Islam Jilid I, terj. Soeroyo dan Nastangin. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti
Wakaf.
Ahmad Saebani, Beni. (2008). Fiqh Siyasah
Pengantar Ilmu Politik Islam, Cet. I. Pustaka Setia. Bandung.
Ali, K. (1980). A Study Of Islamic History. India:
Idarah Adabiyat.
Al-isy, Yusuf. (2009). Dinasti Umawiyah. Jakarta: Pustaka Al-Kausar.
Al-Usyairi, Ahmad. (2006). Sejarah Islam
Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX. Jakarta: Akbar.
Brockelmann, Carl.
(1982). History of The Islamic Peoples.
London: Routledge.
Hasan, Hasan Ibrahim.
(1974). Tarikh Islam. Mesir: Maktabah
Nahdhah.
Hitti, Philip K.
(1974). History of Arabs. London:
Macmillan.
Jabir, Muh. (2007). Dinasti Bani Umayyah Di
Suriah (Pembentukan, Kemajuan dan Kemundurannya), dalam Jurnal Hunafa Vol. 4
No. 3. Palu. STAIN Palu.
Kennedy, Hugh.
(1991). The Prophet and The Age of The
Chaliphate. London and New York: Longman.
M. Jaelani, Bisri. Ensiklopedi Islam.
Yogyakarta. Panji Pustaka.
Mahmudunnasir, Syed. (2005). Islam Konsepsi dan sejarahnya
ed rev. Bandung: Rosdakarya.
Munir Amin, Samsul. (2008). Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah.
Nurhakim, Moh. (2003). Sejarah &
Peradaban Islam. Malang: UMM Press.
Pulungan, J. Suyuthi.
(1994). Fiqh Siyasah Ajaran Sejarah dan
Pemikiran. Jakarta: PT. Raja grafindo Persada.
Schimel, Annemarie.
(1992). Islam An Introduction. New
York: University of New York Press.
Shaban, M.A. (1976). Islamic History A New Interpretation I.
London; Cambridge University Press.
Sou’yb, Joesoef.
(1977). Sejarah daulah Umayyah I.
Jakarta: Bulan Bintang.
Supriyadi,
Dedi. (2008). Sejarah Peradaban Islam.
Bandung: Pustaka Setia.
Syalabi, Ahmad. (1990). Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Pustaka Al Husna Baru.
Syalabi, Ahmad.
(1978). Tarikh al-Islamy Wa Hadhratul Islamiyah.
Mesir: Maktabah Nahdhah.
Watt, W. Montgomery.
(1976). The Majesty That Was Islam.
London: Singwich and Jackson.
Yatim, Badri. (2013). Sejarah Peradaban
Islam, cet. XXIV. Jakarta: Raja Grafindo.
0 komentar:
Posting Komentar