Senin, 19 Juli 2021

SEJARAH PERADABAN ISLAM MASA BANI UMAYYAH

 

SEJARAH PERADABAN ISLAM MASA BANI UMAYYAH


A.    Pendahuluan

Di ujung masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, umat Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik, yaitu Syiah, Mu’awiyah, dan Khawarij. Keadaan ini tentunya tidak menguntungkan bagi Ali, akibatnya posisi Ali semakin lemah, sementara posisi Mu’awiyah semakin kuat. Dan pada tahun 40 H (660 M), Ali terbunuh oleh salah seorang anggota Khawarij.

Setelah Ali bin Abi Thalib meninggal, kedudukannya sebagai khalifah dijabat oleh anaknya, Hasan. Namun karena penduduk Kufah tidak mendukungnya, seperti sikap mereka terhadap Ayahnya, maka Hasan semakin lemah, sementara Mu’awiyah semakin kuat. Maka Hasan mengadakan perjanjian damai dengan Mu’awiyah dengan menanggalkan jabatan khilafah untuk Mu’awiyah pada tahun 41 H (661 M), agar tidak terjadi pertumpahan darah yang sia-sia. Perjanjian tersebut dapat mempersatukan umat Islam dalam satu kepemimpinan politik, yakni di bawah kepemimpinan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.

Tahun tersebut dalam sejarah dikenal sebagai tahun al-Jama'ah (tahun persatuan), sebagai tanda bahwa umat Islam telah menyepakati secara aklamasi mempunyai hanya satu orang khalifah. Di sisi lain penyerahan tersebut menjadikan Mu’awiyah sebagai penguasa absolut dalam Islam.

Dengan demikian, maka berakhirlah apa yang disebut dengan masa Khulafa’ al-Rasyidin yang bersifat demokratis, dan dimulailah kekuasaan Bani Umayyah dalam sejarah politik Islam yang bersifat keturunan (Muh. Jabir, 2007).

B.     Pembentukan Dinasti Umayyah

Nama Dinasti Umayyah dinisbatkan kepada Umayyah bin Abd Syams bin Abdu Manaf. Ia adalah salah seorang tokoh penting di tengah Quraisy pada masa Jahiliah. Ia dan pamannya Hasyim bin Abdu Manaf selalu bertarung dalam memperebutkan kekuasaan dan kedudukan (Ahmad Al-Usyairi, 2006). Bani Umayyah baru masuk Islam setelah Nabi Muhammad saw. berhasil menaklukkan kota Mekah (fathu Makkah). Sepeninggal Rasulullah, Bani Umayyah sesunggguhnya telah menginginkan jabatan pengganti Rasul (khalifah), tetapi mereka belum berani menampakkan cita-citanya itu pada masa Abu Bakar dan Umar. Baru setelah Umar meninggal, yang penggantinya diserahkan kepada hasil musyawarah enam orang sahabat, Bani Umayyah menyokong pencalonan Uṡman secara terang-terangan, hingga akhirnya Uṡman terpilih. Sejak saat itulah mulailah Bani Umayyah meletakkan dasar-dasar untuk menegakkan Khilafah Umayyah. Pada masa pemerintahan Uṡman inilah Mu’awiyah mencurahkan segala tenaganya untuk memperkuat dirinya, dan menyiapkan daerah Syam sebagai pusat kekuasaannya di kemudian hari (Dudung Abdurrahman, 2004). Sampai tahun 692 M setelah kurang lebih sepuluh tahun berkuasa, dinasti ini mendapat saingan dari seorang khalifah di Mekah yakni Abdullah ibn Zubair.

Setelah pembunuhan Uṡman pada tahun 656 M, Mu’awiyah yang pada masa itu telah menjadi gubernur di Syria selama kurang lebih 20 tahun, menolak mengakui Ali sebagai khalifah. Oleh karena itu, Ali tidak pernah diakui secara penuh oleh segenap umat Islam. Ketika menolak mengakui Ali sebagai khalifah, Mu’awiyah belum menyatakan diri sebagai khalifah. Akan tetapi, penolakannya tersebut telah mengakibatkan timbulnya konfrontasi militer di daerah antara Syria dan Irak. Sebelum penumpahan darah tersebut memakan korban lebih banyak lagi, kedua pihak yang bersengketa sepakat melakukan gencatan senjata untuk melakukan arbitrase (tahkim) dan untuk tujuan tersebut, masing-masing pihak menunjuk juru runding (arbiter) untuk mewakilinya. Kejadian-kejadian berikutnya dalam peristiwa arbitrase tersebut merupakan serangkaian peristiwa yang paling membingungkan dalam sejarah umat Islam, karena jalannya kejadian itu sendiri dan motif-motif pihak yang terlibat telah berubah ketika mereka menceritakan kembali kejadian tersebut sesuai dengan kepentingan golongannya. Yang jelas, para juru runding (arbiter) telah membuat keputusan yang merugikan Ali (Beni Ahmad Saebani, 2008). Setelah peristiwa arbitrase tersebut, pada pertengahan tahun 661 M, Mu’awiyah memproklamasikan dirinya sebagai khalifah di Jerussalem.

Ada dua elemen yang mendasari keabsahan pengambilalihan kekuasaan dan kekhalifahan yang hadir dalam kasus Mu’awiyah, yaitu adanya dewan yang mengambil keputusan (dalam bentuk arbitrase) dan adanya pengakuan dari rakyat, pada mulanya hanya di Jerussalem, tetapi kemudian berlaku di berbagai daerah. Keputusan yang dibuat dalam arbitrase harus dianggap sesuai dengan gagasan bangsa Arab, yakni pengakuan terhadap Mu’awiyah sebagai kerabat keluarga yang siap bertindak sebagai penuntut balas dendam (atas kematian Utsman). Untuk memberi landasan pembenaran terhadap kekuasaan mereka, golongan Umayyah juga menggunakan alasan lain yang bisa menarik simpati bangsa Arab. Mereka mengklaim dirinya termasuk famili atau sesuku dengan Sang Rasul, dengan menyatakan bahwa mereka berasal dari suku Abdul Manaf yang melahirkan Umayyah dan Hasyim sebagai sub-klan (Abdul Manaf adalah Bapak dari Hasyim dan kakek dari Umayyah) (Beni Ahmad Saebani, 2008). Jadi, mereka dapat dikatakan memiliki warisan karakter kepemimpinan yang terwujud pada diri Muhammad. Mereka juga menyatakan bahwa karena keekhalifahan sudah dilimpahkan oleh Tuhan kepada mereka, pengingkaran terhadap khalifah atau para pembantunya adalah sama dengan pengingkaran terhadap Tuhan. Dengan cara seperti itu, mereka mengambil keuntungan dari kecenderungan yang berkaitan dengan kepercayaan masa pra-Islam bahwa apa pun yang terjadi sudah merupaakan suratan takdir, atau dalam tema Islam kehendak Tuhan.

Salah satu bagian penting prestasi yang dicapai oleh golongan Umayyah adalah kemampuan mereka mengatur dan menguasai kekhalifahan dalam satu bani (clan) selama hampir satu abad. Hal ini sangat sesuai dengan perilaku kekuasaan bangsa Arab, yang memilih pemimpin suku dari satu keluarga bani tertentu.

Mu’awiyah berhasil mendirikan Dinasti Umayyah bukan hanya dikarenakan kemenangan diplomasi di Siffin dan terbunuhnnya Khalifah Ali. Melainkan sejak semula Gubernur Suriah memiliki tiga “basis rasional” yang solid sebagai landasan pembangunan politiknya di masa depan. Pertama, adalah berupa dukungan yang kuat dari rakyat Suriah dan dari keluarga Bani Umayyah sendiri. Kedua, sebagai seorang administrator, Mu’awiyah sangat bijaksana dalam menempatkan para pembantunya pada jabatan-jabatan penting. Ketiga, Mu’awiyah memiliki kemampuan menonjol sebagai negarawan sejati, bahkan mencapai tingkat “hilm”, sifat tertinggi yang dimilki oleh para pembesar Mekah zaman dahulu (Samsul Munir Amin, 2008).

C.    Khalifah-Khalifah Bani Umayyah

Masa Kekuasaan Dinasti Umayyah berlangsung kurang lebih 90 tahun dengan 14 Khalifah (Moh. Nurhakim, 2003). Dari ke-14 khalifah yang ada, terdapat beberapa khalifah yang berjasa dalam berbagai bidang dan ada pula  khalifah yang tidak patut dan lemah. Berikut Ini urutan Khalifah Bani Umayyah:

1.      Mu’awiyah bin Abi Sufyan (41-60 H/661-679 M)

Pengalaman politik Mu’awiyah bin Abi Sufyan telah memperkaya dirinya dengan kebijakan-kebijakan dalam memerintah,  mulai dari menjadi salah seorang pemimpin pasukan di bawah komando panglima Abu Ubaidillah din Jarrah yang berhasil merebut wilayah Palestin, Suriah dan Mesir dari tangan Imperium Romawi. Kemudian Mu’awiyah menjabat sebagai kepala wilayah di Syam yang membawahi Suriah dan Palestina. Khalifah Utsman menobatkannya sebagai “Amir al-Bahr” yang memimpin penyerbuan ke kota Konstantinopel meski belum berhasil (Samsul Munir Amin, 2008).

2.      Yazid bin Mu’awiyah (60-64 H/ 679-683 M)

Pengangkatan Yazid sebagai khalifah diikuti oleh penolakan dari kaum Syiah yang telah membaiat Husin bin Ali di Kufah sebagai khalifah sepeninggal Mu’awiyah. Penolakan tersebut, mengakibatkan  peperangan di Karbala yang menyebabkan terbunuhnya Husain bin Ali. Selain itu Yazid juga menghadapi pemberontakan di Makkah dan Madinah dengan keras. Kaum anshor di Madinah mengangkat Abdullah bin Hanzalah dan kaum Qurais mengangkat Abdullah bin Muti’, dan penduduk Mekkah mengangkat Abdullah bin Zubair sebagai pemimpin tanpa pengakuan terhadap kepemimpinan Yazid. Yazid wafat pada tahun 64 H setelah memerintah selama 4 tahun (Samsul Munir Amin, 2008). Pada masa ini pemerintahan Islam tidak banyak berkembang diakibatkan pemerintah disibukkan dengan pemberontakan dari beberapa pihak.

3.      Mu’awiyah bin Yazid (64 H/ 683 M)

Mu’awiyah bin Yazid merupakan putra Yazid bin Mu’awiyah, dan ia menggantikan tampuk kepemimpinan sepeninggal ayahnya. Namun ia hanya memegang jabatan khalifah hanya dalam beberapa bulan. Ia mengalami tekanan jiwa yang berat karena tidak sanggup memikul tanggung jawab kekhalifahan, selain itu ia harus mengatasi masa kritis dengan banyaknya perselisihan antar suku. Dengan wafatnya Mu’awiyah bin Yazid maka habislah keturunan Mu’awiyah.

4.      Marwan bin Hakam (64-65 H/ 683-684 M)

Marwan bin Hakam pada masa Utsman bin Affan, seorang pemegang stempel khalifah, pada masa Mu’awiyah bin Abi Sufyan ia adalah gubernur Madinah dan menjadi  penasihat pada masa Yazid bin Mu’awiyah di Damaskus. Mu’awiyah II tidak menunjuk penggantinya sebagai khalifah kemudian keluarga besar Bani Umayyah menunjuknya sebagai khalifah, sebab ia dianggap paling depan mengendalikan kekuasaan dengan pengalamannya. Marwah menghadapi segala kesulitan satu persatu kemudian ia dapat menduduki Mesir, Palestina dan Hijaz dan Irak. Namun kepemimpinannya tidak berlangsung lama hanya 1 tahun, sebelum  ia wafat menunjuk Abdul Malik dan Abdul Aziz sebagai pengganti sepeninggalnya secara berurutan (Samsul Munir Amin, 2008).

5.      Abdul Malik bin Marwan (65-86 H/ 684- 705 M)

Ia merupakan orang kedua yang terbesar dalam deretan para khalifah Bani Umayyah sehingga ia disebut-sebut sebagai “pendiri kedua” bagi kedaulatan Umayyah. Pada masa kepemimpinannya ia mampu mengembalikan sepenuhnya integritas wilayah dan wibawa kekuasan Bani Umayyah dengan dapat ditundukkannya gerakan separatis Abdullah bin Zubair di Hijjaz, pemberontakan kaum Syi’ah dan Khawarij, aksi teror al-Mukhtar bin Ubaid as-Saqafi di Kufah, pemberontakan Mus’ab bin Zubair di Irak, serta Romawi yang menggoncangkan sendi-sendi pemerintahan Umayyah.

6.      Al-Walid bin Abdul Malik (86-96 H/ 705- 714 M)

Setelah wafatnya Abdul Malik bin Marwan, pemerintahan dipimpin oleh al-Walid bin Abdul Malik, pada masa kekuasaaanya. Kekuasaan Islam melangkah ke Spanyol dibawah kepemimpinan pasukan Thariq bin Ziyad ketika Afrika Utara dipegang oleh gubernur Musa bin Nusair.

7.      Sulaiman bin Abdul Malik (96-99 H/714- 717 M)

Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik tidak sebijak kakaknya dalam memimpin, ia sangat mencintai kehidupan dunia dan kegemarannya bersenang- senang, tabiatnya tersebut membuat ia dibenci oleh rakyatnya. Hal ini mengakibatkan para pejabatnya terpecah belah, begitu pula masyarakatny. Orang-orang yang berjasa pada masa pendahulunya disiksanya, seperti keluarga Hajjaj bin Yusuf dan Muhammad bin Qasim (Samsul Munir Amin, 2008).

Sulaiman wafat di Dabik di perbatasan Bizantium setelah berkuasa selama 2 tahun. Sebelum wafat ia menunjuk Umar bin  Abdul Aziz sebagai penggantinya (Syed Mahmudunnasir, 2005).

8.      Umar bin Abdul Aziz (99-101 H)/ 717-719 M)

Umar bin Abdul Aziz disebut-sebut sebagai khalifah ketiga yang besar dalam dinasti Bani Umayyah. Ia seorang yang takwa dan bersih serta adil. Ia banyak menghabiskan waktunya di Madinah dikota dimana ia menjadi gubernur pada masa al-Walid, untuk mendalami ilmu agama Islam, khususnya hadits. Sebelumnya ia merupakan pejabat yang kaya akan ilmu dan harta namun ketika menjadi khalifah ia berubah menjadi orang yang zahid, sederhana, bekerja keras, dan berjuang tanpa henti sampai akhir hayatnya (Samsul Munir Amin, 2008). Ia bahkan mengembalikan sebagian besar hartanya berupa tanah dan perhiasan istrinya ke baitul-mal. Umar wafat pada usia 39 tahun setelah berkuasa kurang lebih selama 2 tahun, jasadnya dimakamkan di Dair Simon dekat Hims (Syed Mahmudunnasir, 2005).

9.      Yazid bin Abdul Malik (101-105 H/ 719-723 M)

Pada  masa  kekuasaannya  bangkit  kembali  konflik  antara  Mudhariyah dengan  Yamaniyah. Kaum Khawarij kembali menentang pemerintahan karena mereka menggap Yazid kurang adil dalam memimpin (Syed Mahmudunnasir, 2005). Sikap kepemimpinannya sangat bertolak dengan pola kepemimpinan Umar bin Adul Aziz, ia lebih menyukai berfoya-foya sehingga ia dianggap tidak serius dalam kepemimpinannya (Yusuf Al-isy, 2009).

10.  Hisyam bin Abdul Malik (105- 125 H/ 723-742 M)

Setelah kematin Yazid, saudaranya Hiyam bin Abdul Malik naik tahta. Pada saat ia naik tahta. Pada masa kepemimpinannya terjadi perselisihan antara bani Umayyah dengan bani Hasyim. Pemerintahannya yang lunak dan jujur, banyak jasanya dalam pemulihan keamanan dan kemakmuran, tetapi semua kebijakannya tidak dapat membayar kesalahan-kesalahan para pendahulunya. Inilah yang semakin memperlicin kemerosotan dinasti Umayyah (Syed Mahmudunnasir, 2005).

Hisyam adalah seorang penyokong  kesenian dan sastra yang tekun. Kecintaannya kepada ilmu pengetahuan membuat ia meletakkan perhatian besar kepada pengembangan ilmu pengetahun.

11.  Al-Walid bin Yazid (125-126 H/ 742- 743M)

Walid oleh para penulis Arab dilukiskan sebagai orang yang tidak bermoral, pemabuk, dan pelanggar. Pada awal mualanya ia menunjukkan kebaikan-kebaikan kepada fakir miskin dan orang-orang lemah. Namun semua itu digugurkan dengan sifatnya yang pendendam, serta jahat kepada sanak saudaranya. Sikapnya ini semakin mempertajam kemerosotan bani Umayyah. Selanjutnya ada beberapa khalifah seperti Yazid bin Walid bin Abdul Malik (126 H/743 M), Ibrahim bin Walid bin Abdul Malik (126- 127 H/ 743- 744 M) dan Marwan bin Muhammad (127-132 H/ 744-750 M).

D.    Ekspansi ke Barat dan ke Timur

Kemajuan Dinasti Umayyah dilakukan dengan ekspansi, sehingga menjadi negara Islam yang besar dan luas. Dari persatuan berbagai bangsa di bawah naungan Islam lahirlah benih-benih kebudayaan dan peradaban Islam yang baru. Meskipun demikian, Bani Umayyah lebih banyak memusatkan perhatian pada kebudayaan baru (Bisri M. Jaelani, 2007).

Bidang pembangunan juga di perhatikan para khalifah Bani Umayyah. Mesjid-mesjid di semenanjung Arabia dibangun, katedral St. John di Damaskus diubah menjadi mesjid. Dan katedral di Hims digunakan sebagai mesjid dan gereja. Selain itu, di masa ini gerakan-gerakan ilmiyah telah berkembang pula, seperti dalam bidang keagamaan, sejarah, dan filsafat. Berpusat Kuffah dan Basrah di Irak (Bisri M. Jaelani, 2007).

Secara umum, penaklukan pemerintahan Bani Umayyah, meliputi tiga wilayah. Pertama, melawan pasukan Romawi di Asia Kecil. Penakulukan ini sampai dengan pengepungan Konstantinopel dan beberapa kepulauan di Laut Tengah. Kedua, wilayah Afrika Utara. Penaklukan itu sampai ke Samudra Atlantik dan menyeberang ke Gunung Ṭariq hingga ke Spanyol. Ketiga, wilayah Timur. Penaklukan ini sampai ke sebelah Timur Irak. Kemudian, meluas ke wilayah Turkistan di Utara, serta ke wilayah Sindh di bagian Selatan.

a.       Peperangan kaum muslimin melawan bangsa Romawi di Asia Kecil

1)    Konstantinopel, pemegang pimpinan perang ketika itu ialah Sufyan ibnu ‘Aif, didampingi Yazid, karena Mu’awiyah menginginkan puteranya beroleh kemasyhuran sebagai pejuang fi sabilillah (Ahmad Syalabi, 1990). Kota itu dikepung pada tahun 50 H/670 M dan tahun 53-61 H/672-680 M, namun tidak berhasil ditaklukkan.

2)  Dia berhasil menaklukkan pulau Jarba di Tunisia pada tahun 49 H/669 M, kepulauan Rhodesia pada tahun 53 H/673 M, kepulauan Kreta pada tahun 55 H/624 M, kepulauan Ijih dekat Konstantinopel pada tahun 57 H/680 M (Dedi Supriyadi, 2008).

3)    Pada tahun 84 H, Abdul Malik mengirim sautu pasukan di bawah pimpinan Abdullah ibnu Abdul Malik. Ia menyerang kekuasaan Rumawi dan berhasil menaklukkan Mashaishah.

4)      Masa pemerintahan Al Walid. Atau “masa kemenangan yang luas” (Dedi Supriyadi, 2008). Timbul kembali cita-cita untuk menaklukkan Konstantinopel. Al Walid wafat sebelum mengirimkan satuan-satuannya untuk menaklukkan Konstantinopel, karena lebih mementingkan keselamatan jalan menuju ibukota yang agung itu. Sulaiman ibnu Abdul Malik datang dan mencoba melakukan usaha tersebut, seiring dengan terjadinya kegoncangan dalam kerajaan Byzantium, juga karena Leon al Mar’asyi menggabungkan diri.

Tetapi di sana angkatan perang ini tidak mendapat hasil yang berarti karena pengkhianatan Leon. Peristiwa ini terjadi pada permulaan masa pemerintahan Khalifah Umar ibnu Abdul ‘Aziz, yang mengeluarkan perintah untuk mengakhiri pengepungan (Dedi Supriyadi, 2008). 

b.      Peperangan kaum Muslimin di Afrika Utara dan Andalusia

1)  Mu’awiyah mengangkat Maslamah ibnu Makhlad al Anshari untuk memerintah daerah Magribi dan dia mengangkat hamba sahayanya, Abul Muhajir. Abul Muhajir berhasil merangkul pemimpin Barbar, Kusailah, sehingga banyak suku Barbar mengikuti jejaknya. Karena itu ia berusaha mencapai kemenangan terhadap kekuasaan Rumawi. Dia menyerang Carthagina. Tetapi Rumawi berhasil mempertahankan kubunya.

2)  Pada masa Yazid, pimpinan diserahkan kembali kepada ‘Uqbah, sedang Abul Muhajir menjadi pembantunya. Kusailah murtad`karena tidak suka akan kembalinya ‘Uqbah memegang pimpinan. Bangsa Rumawi memakai kesempatan in untuk menghasut Kusailah. ‘Uqbah dan Abul Muhajir tewas dalam perjalanan waktu mereka pulang dari penaklukan tersebut. Abdul Aziz gubernur Mesir berusaha mengembalikan kekuasaan muslimin di daerah itu. Dikirimnya satuan-satuan di bawah pimpinan Zuhari ibnu Qais. Tetapi mereka mengalami kekalahan. Pimpinan beserta beberapa anggota tewas (Dedi Supriyadi, 2008).

3)     Abdul Malik mengirim pasukan di bawah pimpinan Hasan ibnu Nu’man al Ghassani untuk menumpas satuan Rumawi. Mereka berhasil menindas perlawanan bangasa Barbar. Menunjuk  Musa bin Nushair menjadi gubernur Afrika Utara dan Maghribi sesudah Hasan. Ini terjadi pada akhir masa pemerintahan Abdul Malik, atau permulaan Al Walid. Musa memakai gelar “Amir Qairawan”. Musa menaklukkan Thanjah, Septah (Ceutea) di pantai Afrika.

4)      Andalusia

Di seberang selat itu terletak semenanjung Andalusia (Dedi Supriyadi, 2008). Ada tiga orang pahlawan yang memimpin satuan-satuan muslimin yang menyerbu Spanyol. Pertama, Tharif ibnu Malik, melakukan penyerbuan ke Spanyol pada tahun 91 H. Tharif tidak menemukan perlawanan yang berarti. Hal itu mengobarkan semangat Amir Qairawan untuk terus maju ke “Ardhul Khadra” (bumi yang menghijau). Kedua, Thariq bin Ziyad. Menaklukkan Spanyol bulan Rajab tahun 92 H. Thariq dan pasukannya mendarat dan menempati suatu gunung yang kini dikenal dengan “jabal Thariq” (Giblraltar) (Dedi Supriyadi, 2008). Dengan pasukannya yang kompak, bersatu padu dan percaya akan kemenangan itu, Thariq memberikan pukulan hebat kepada musuhnya. Spanyol jatuh ke tangan mereka. Thariq terus maju dan berhasil menaklukkan Cordova, Granada, dan Toledo. Ketiga, Musa ibnu Nushair, untuk mendapat kehormatan dengan ikut serta secara nyata menaklukkan negeri-negeri yang subur itu. Musa berhasil menaklukkan Karmona dan Seville. Kemudian bertemu Thariq di Toledo (Dedi Supriyadi, 2008). Kedua pahlawan ini menaklukkan Saragossa, Barcelona, Arragon, dan Castilia, tetapi membiarkan Galicia, padahal tempat tersebut kemudian hari menjadi benteng tempat para musuh dilatih untuk menyiapkan kekuatan baru (Dedi Supriyadi, 2008).

Pada zaman Umar ibn Abd Al-Aziz, Abd Ar-Rahman ibn Abdullah Al-Gafiqi menyerbu Di Perancis dan berhasil menundukkan Bordeau dan Poitiers, menundukkan kota Tours. Namun, Al-Gafiqi mati terbunuh, akhirnya tentara Islam mundur dan kembali ke Spanyol (Dedi Supriyadi, 2008).

5)      Kaum Muslimin di Balik Pegunungan Pyrenia

Pada masa Umar ibnu Abdul ‘Aziz, As Samah menyerbu pegunungan Pyrenia dan menyerbu ke arah timurnya. Tetapi usahanya tidak berhasil dan ia tewas pada tahun 102 H (Ahmad Syalabi, 1990). Kemudian terjadi pertempuran kaum Muslimin di Daerah Seberang Sungai Jihun dan di Sind

6)      Daerah “Seberang Sungai”

a)      Mu’awiyah, di bawah pimpinan panglimanya Qais ibnul Haitsam, yang juga gubernur Khurasan berangkat ke Balkh dan meruntuhkan tempat-tempat peribadatan mereka melanggar perjanjian damai yang telah mereka adakan dengan kaum muslimin.

b)      Pada masa sepeninggal Mu’awiyah, Yazid ibnu Muhallab berhasil menaklukkan benteng Nizak di Badghis, tahun 84 H. Pada tahun berikutnya, Al Mufaddhal, yang berhasil menaklukkan Badghis dan Syauman.

c)      Qutaibah berhasil menaklukkan negeri-negeri seberang sungai dan mengajak penduduknya memeluk Islam (Ahmad Syalabi, 1990).

d)      Asad ibnu Abdillah al Qisri dan Nashar ibnu Syaiar. Mereka menjadi gubernur di Khurasan pada masa Khalifah Hisyam ibnu Abdul Malik, dan memimpin serangan-serangan yang beroleh hasil gemilang di daerah tersebut.

7)      Daerah Sind

Pada tahun 44 H/664 M, kaum muslimin menyerang wilayah Sindh dan India. Kemudian pada masa Khalifah Al Walid, Al Hajjaj menyiapkan kesatuan besar untuk menyerang negeri Sind, dan diserahkannya pimpinan kesatuan itu kepada seorang panglima muda, Muhammad ibnu Qasim as Tsaqafi, dia adalah menantu Al Hajjaj. Muhammad membagi kesatuan kepada dua bagian, yaitu laut dan darat. Dalam perjalanannya mereka tak berhasil menaklukkan beberapa negeri, sehingga bertemu bertemu kapal yang membawa pasukannya di pelabuhan Daibul. Kemudian kesatuan ini menuju utara. Banyak benteng dan kota berlutut padanya. Akhirnya mereka bertemu raja Sind, Daher, yang memimpin pasukan yang besar. Terjadilah pertempuran besar. Dengan hancurnya pasukan Daher, terbentanglah jalan bagi bagi Muhammad ibnul Qasim untuk mengusai Sinil tanpa rintangan besar, hingga sampai ke Kasymir, utara Sind (Ahmad Syalabi, 1990).

E.     Perkembangan Ekonomi dan Administrasi

Perekonomian adalah merupakan salah satu unsur terpenting dalam memperlancar proses pembangunan suatu negara. Sebab merosotnya perekonomian suatu negara akan berpengaruh terhadap proses pelaksanaan pembangunan yang akan dilakukan. Carl Brockelmann menegaskan (1982) bahwa: “Pada tahun 693 khalifah Abdul Malik secara bulat menetapkan untuk mencetak uang sendiri di damaskus. Sementara itu Hajjaj pada tahun berikutnya melakukan hal yang sama. Akibatnya masyarakat Arab sudah mulai mengenal sistem perhitungan. Ide ini juga diterima di Yaman, Siria, dan Iraq” .

Kebijaksanaan yang dikeluarkan oleh Khalifah Abdul Malik tersebut, sangat berpengaruh terhadap perekonomian dinasti itu. Sebab kita melihat, sebelum diberlakukannya kebijakan ini mata uang yang beredar sebagai alat tukar adalah mata uang Roma dan mata uang Persia yaitu dirham (drachma) dan dinar (dinarius) (Joesoef Sou’yb, 1977).

Dengan tidak adanya mata uang sendiri tentu akan dapat mengurangi nilai-nilai persatuan dan kesatuan umat Islam di daerah yang demikian luasnya. Sehingga dapat dikatakan, secara implisit kebijaksanaan khalifah memiliki nilai-nilai esensial dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan umat Islam dalam wilayah yang luas tersebut.

Implikasi nilai-nilai persatuan dan kesatuan terhadap perekonomian pada masa itu (Dinasti Umayyah) adalah sangat penting. Sebab adanya persatuan dan kesatuan wilayah umat Islam yang luas tersebut akan menciptakan stabilitas keamanan yang terjamin. Dengan adanya stabilitas keamanan yang terjamin, maka lalu lintas perdagangan akan berjalan lancar, dengan lancarnya lalu lintass perdagangan, pada gilirannya akan meningkatkan perekonomiannya.

Di samping perdagangan, menurut K. Ali (1980) ada beberapa sumber pendapatan pada masa Dinasti Umayyah, yaitu: 1. The land-tax, 2. The poll- tax on non-muslim subjects, 3. The poor rates, 4. Customis and excise duties, 5. Tributes paid under treaties, 6. The fifth of the spoils of war, 7. Fay, 8. Additional imports in kinds, 9. Persents on occasions of festifal etc, and 10. Child tribute from the barbers.

Seluruh sumber-sumber pendapatan tersebut di atas dikelola oleh sebuah departemen yang disebut dengan departemen pendapatan negara (diwan al-kharaj), dan hasil pengumpulan dari sumber-sumber tersebut disimpan di Baitul Mal (kantor perbendaharaan negara) (J. Suyuthi Pulungan, 1994).

Pada masa pemerintahan Abdul Malik, perkembangan perdagangan dan perekonomian, teraturnya pengelolaan pendapatan negara yang didukung oleh keamanan dan ketertiban yang terjamin telah membawa masyarakatnya pada tingakat kemakmuran. Realisasinya dapat kita lihat dari hasil penerimaaan pajak (kharaj) di wilayah syam saja, tercatat 1.730.000 dinar emas setahun (Joesoef Sou’yb, 1977). Hal ini seperti yang dikatakan oleh Hugh Kennedy (1991): “Nor was there ani doubt that the surplustaxition was to be forwarded to the treasury in damascus.”

Kemakmuran masyarakat Bani Umayyah juga terlihat pada masa pemerintahan Umar ibn Abdul Aziz. Keadaan perekonomian pada masa pemerintahannya telah naik ke taraf yang menakjubkan. Semua literatur yang ada pada kita sekarang ini menguatkan bahwa kemiskinan, kemelaratan, dan kepapaan telah dapat diatasi pada masa pemerintahan khalifah ini (Ahmad Syalabi, 1978). Kebijakan yang dilakukan oleh Umar ibn Abdul Aziz dalam implikasinya dengan perekonomian yaitu membuat aturan-aturan mengenai takaran dan timbangan, dengan tujuan agar dapat membasmi pemalsuan dan kecurangan dalam pemakaian alat-alat tersebut (Ahmad Syalabi, 1978).

Sumbangan dalam ekonomi, masa khalifah pertama (Mu’awiyah Bin Abi Sufyan):

1.      Mampu membangun sebuah masyarakat muslim yang tertata rapi

2.      Oleh para sejarawan, beliau di sebut sebagai orang Islam pertama yang membangun kantor catatan Negara dan layanan pos (Al-Barid)

3.      Membangun Pasukan Suriah menjadi kekuatan militer Islam yangterorganisir dan disiplin tinggi

4.      Mencetak mata uang, mengembangan birokrasi seperti fungsi pengumpulan pajak dan administrasi politik

5.      Mengembangan jabatan qadi (hakim) sebagai jabatan professional

6.      Menerapkan kebijakan pemberian gaji tetap kepada para tentara (Rahman Afzalur, 1995).

Selanjutnya pada masa pemerintahan khulafa ar-Rasyidin (632-661 M), pimpinan pemerintahan pusat hanya terdiri atas khalifah, didampingi seorang pejabat yang disebut al-Katib (sekretaris). Di samping khalifah ada majelis penasehat yang terdiri atas sahabat-sahabat Nabi Muhammad. Al-Katib bertugas mencatat penerimaan dan engeluaran perbendaharaan negara. Mengurus surat menyurat dengan pembesar setempat, mendata nama-nama tentara dan penghasilannya (Joesoef Sou’yb, 1977).

Pada masa Dinasti Bani Umayyah, telah muncul persoalan-persoalan yang cenderung membawa ketidak stabilan dan perpecahan umat, seperti hancurnya teokrasi yang telah mempersatukan kekhalifahan yang lebih dulu, munculnya anarkisme dan ketidak disiplinan kaum nomad (Syed Mahmudunnasir, 2005). Disisi lain wilayah kekuasaan umat Islam pada masa Dinasti Umayyah, menurut Annemarie Schimel (1992): “Telah sampai ke Atlantik, perbatasan Bizantium, Selat Gibraltar, (Jabal Tarik) tahun 711. Pada tahun itu juga mereka juga menguasai Transoxiana, Sind, serta Indusvalley (sekarang arah selatan Pakistan). Adanya persoalan intern dan ekstern tersebut mengakibatkan terjadinya perkembangan administrasi pemerintahan sesuai dengan perkembangan wilayah dan perkembangan urusan kenegaraan yang semakin lama semakin kompleks.

Pengelolaan administrasi dalam struktur pemerintahan Dinasti Bani Umayyah adalah merupakan penyempurnaan dari pemerintahan khulafa ar-Rasyidin yang diciptakan oleh Khalifah Umar. Wilayah kekuasaan yang luas itu, sebagaimana periode Madinah dibagi menjadi wilayah provinsi. Setiap provinsi dikepalai oleh seorang gubernur atau amir yang diangkat oleh khalifah. Gubernur didampingi seseorang atau beberapa orang katib (sekretaris), seorang hajib (pengawal), dan pejabat-pejabat penting lain, yaitu shahib al-kharaj (pejabat pendapatan), shahib al-syurthat (pejabat kepolisian), dan qadhi (kepala keagamaan dan hakim). Pejabat pendapatan dan qadhi diangkat oleh khalifah dan bertanggung jawab kepadanya (J. Suyuthi Pulungan, 1994).

Pada tingkat pemerintahan pusat dibentuk beberapa lebaga dan departemen, al-katib, al-hajib, dan diwan. Lembaga al-katib terdiri dari katib al-rasail (sekretaris negara), katib al-kharaj (sekretaris pendapatan negara), katib al-jund (sekretaris militer), katib al-syurthat (sekretaris kepolisian), katib al-qadhi (panitera) (J. Suyuthi Pulungan, 1994).

Para katib bertugas mengurusi administrasi negara secara baik dan rapi untuk mewujudkan kemaslahatan negara. Al-hajib (pengawal dan kepala rumah tangga istana) bertugas mengatur para pejabat atau siapapun yang bertemu dengan khalifah. Lembaga ini belum dikenal di zaman negara Madinah, karena siapa saja boleh bertemu dan berbicara langsung dengan khalifah tanpa melalui birokrasi (J. Suyuthi Pulungan, 1994). Tapi ada tiga orang yang boleh langsung bertemu dengan khalifah tanpa hajib, yaitu muazin untuk memberi tahukan waktu shalat pada khalifah, shahib al-barid (pejabat pos) yang membawa berita-berita penting untuk khalifah, dan shahib al-tha’am, petugas yang mengurus hal ikhwal makanan dalam istana (Joesoef Sou’yb, 1977).

Dalam bidang pelaksanaan hukum yaitu al-Nidzam al-Qadhai terdiri dari tiga bagian, yaitu al-qadha dipimpin seorang qadhi yang bertugas membuat fatwa-fatwa hukum dan membuat peraturan-peraturan yang digali langsung dalam al-Qur'an, sunnah Rasul, Ijma', atau berdasarkan ijtihad. Badan ini bebas dari pengaruh penguasa dalam menetapkan keputusan hukum, baik terhadap pejabat atau pagawai negara yang melakukan pelanggaran. Pejabat badan al-Hisbat disebut al-Muhtasib, tugasnya menangani kriminal yang perlu penyelesaian segera. Sedang pejabat al-Mazhalim disebut qadhi al-mazhalim atau shahib al-mazhalim. Kedudukan badan ini lebih tinggi dari al-qadha dan al-hisbat, karena badan ini bertugas meninjau kembali akan kebenaran dan keadilan keputusan-keputusan hukum yang dibuat oleh qadhi dan muhtasib (J. Suyuthi Pulungan, 1994).

Jika terjadi kasus tentang perkara yang keputusannya dianggap perlu ditinjau kembali, baik rakyat maupun pejabat yang menyalah gunakan jabatan, badan ini menyelenggarakan mahkamah al-mazhalim yang mengambil tempat di masjid. Sidang inni dihadiri oleh lima unsur lengkap yaitu para pembantu sebagai juri, para hakim, para fuqaha, para katib, dan para saksi (J. Suyuthi Pulungan, 1994).

Di dalam tubuh pemerintahan Bani Umayyah terdapat beberapa diwan atau departeman yaitu:

1.      Diwan al-Rasail, departemen yang mengurus surat-surat negara dari khalifah kepada gubernur atau menerima surat-surat dari gubernur (Hasan Ibrahim Hasan, 1974). Departemen ini memiliki dua sekretariat, untuk pusat menggunakan bahasa Arab, dan daerah menggunakan bahasa Yunani dan bahasa Persia. Philip K. Hitti (1974) mengatakan bahwa:

The Arabization in changing the language of the public registers (diwan) from Greek to arabic in Damascus and from Pahlavi to Arabic in Al-Iraq and Easten provinces and in the creation of an Arabic coinage with the charge in personal naturally took place.

Berdasarkan kepada pendapat Philip K. Hitti di atas, menunjukkan bahwa pada masa pemerintahan Abdul Malik telah diterapkan peraturan gerakan Arabisasi yaitu dengan hanya menggunakan bahasa Arab dalam penulisan surat-surat negara. Bahkan pengaruh gerakan Arabisasi masih terlihat hingga sekarang, sebagaimana yang dikemukakan oleh M.A. Shaban (1976): “this was most evident froom the fact that the language of public record, which until then had been copric, Greek, or Pahlavi change to Arabic.

2.      Diwan al-Khatim, departemen pencatatan yang bertugas menyalin dan meregistrasi semua keputusan khalifah atau peraturan-peraturan pemerintah untuk dikirim pada pemerintah daerah (W. Montgomery Watt, 1976).

3.      Diwan al-Kharaj, departemen pendapatan negara yang diperoleh dari kharaj, zakat, ghanimah, dan sumber-sumber lain. Semua pwmasukan dari sumber-sumber itu disimpan di Baitul Mal (J. Suyuthi Pulungan, 1994).

4.      Diwan al-Barid, departemen pelayanan pos, bertugas malayani informasi tentang berita-berita penting dari daerah kepada pemerintah pusat dan sebaliknya. Pelayanan ini sudah diperkenalkan pada masa Mu'awiyah (J. Suyuthi Pulungan, 1994).

5.      Diwan al-Jund, departemen pertahanan yang bertugas mengorganisir militer. Berangkat dari uraian di atas, terlihat bahwa perkembangan administrasi pada masa Dinasti Bani Umayyah sudah semakin kompleks, mengingat munculnya berbagai persoalan yang krusial yang menuntut adanya kebijaksanaan-kebijaksanaan. Namun secara prinsip kebijaksanaan yang dilakukan Bani Umayyah adalah merupakan pengembangan dan penyempurnaan dari administrasi yang pernah diciptakan oleh Khalifah Umar ibn Khattab (W. Montgomery Watt, 1976).

F.     Kehancuran dan Kemunduran

Setelah sepeninggal Hisyam bin Abdul Malik, kekhalifahan bani umayyah mengalami kelemahan yang pada akhirnya menyebabkan kehancuran dinasti ini. Badri Yatim (2013) menyebutkan terdapat beberapa faktor yang mejadi sebab runtuhnya kekuasaan dinasti Umayyah, diantaranya:

a.       Sistem pergantian kekhalifahan melalui garis keturunan adalah suatu yang baru dalam tradisi Arab, pengaturan pergantian kekhalifahan yang tidak jelas menyebabkan persaingan tidak sehat di kalangan anggota keluarga istana.

b.      Latar belakang terbentuknya Bani Umayyah yang tidak terlepas dari konflik- konflik politik di masa Ali. Sisa-sisa Syi'ah (para pengikut Ali) dan Khawarij terus menjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka seperi di awal dan di akhir maupun secara tersembunyi seperti di masa pertengahan kekuasaan Bani Umayyah. Penumpasan terhadap gerakan-gerakan ini banyak menyedot kekuatan pemerintah.

c.       Terjadi pertentangan etnis antar suku Arabia Utara (Bani Qays) dan Arabia Selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam semakin meruncing. Perselisishan tersebut mengakibatkan khalifah-khalifah bani Umayyah kesulitan dalam menggalang persatuan dan kesatuan. Di samping itu dologan mawali (non Arab) terutama di Irak dan sekitarnya merasa tidak puas karena status itu mengambarkan suatu inferioritas, ditambah keangkuhan bangsa arab yang diperlihatkan oleh bani umayyah.

d.      Lemahnya pemerintahan daulat Bani Umayyah juga disebabkan karena siskap hidup bermewah-mewahan di lingkungan Istana sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan.

e.       Penyebab langsung tergulingnya kekuasaan dinasti Bani Umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan al-Abbas ibn Abd Muthalib. Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan gologan Syi'ah dan kaum Mawali yang merasa dinomorduakan oleh pemerintahan Bani Umayyah.

G.    Penutup

Dari seluruh pembahasan tadi maka penulis dapat menyimpulkan beberapa poin penting didalamnya:

1.  Kemunculan Bani Umayyah sesungguhnya sudah ada sejak zaman Abu bakar memerintah. Namun gerakan ini masih ada disimpul-simpul perseorangan saja yang nanti akan merebut kekuasaan dan mendirikan khilafah Islamiyah. Gerakan Umayyah terlihat terpecah ketika mereka masuk dalam pemerintahan Ali Bin Abi Thalib yang secara terang-terangan menolak pemerintahan Ali karena ketidakpuasannya terhadap pemerintahan. Akhirnya Umayyah yang berjuang untuk melawan semuanya sehingga terbentuknya daulah Bani Umayyah yang berdiri tahun 661 an M.

2.  Dalam pemerintahan daulah Bani Umayyah banyak sekali melakukan ekspansi wilayah dari Barat sampai ke Timur sebagai salah satu upaya dalam perluasan ajaran agama juga. Pemerintah mengadakan perluasan daerah Barat misalnya ke Romawi di Asia Kecil, Konstantinopel dan beberapa kepulauan di Laut Tengah, Afrika Utara, Samudra Atlantik menyeberang ke Gunung Ṭariq hingga ke Spanyol. Perluasan ke daerah Timur misalnya ke wilayah Irak, Turkistan di Utara, dan wilayah Sindh di bagian Selatan.

3.  Perkembangan ekonomi dan perkembangan administrasi menjadi kekuatan tersendiri dalam pemerintahan Bani Umayyah. Dalam bidang ekonomi misalnya, Khalifah Abdul Malik adalah kenijakan alat tukar adalah mata uang Roma dan mata uang Persia yaitu dirham (drachma) dan dinar (dinarius). Pada masa pemerintahan Abdul Malik, perkembangan perdagangan dan perekonomian, teraturnya pengelolaan pendapatan negara yang didukung oleh keamanan dan ketertiban yang terjamin telah membawa masyarakatnya pada tingakat kemakmuran. Pada masa pemerintahan Umar ibn Abdul Aziz, keadaan perekonomian pada masa pemerintahannya telah naik ke taraf yang menakjubkan. Pada masa Mu’awiyah Bin Abi Sufyan, mencetak mata uang, mengembangan birokrasi seperti fungsi pengumpulan pajak dan administrasi-politik, dan lain-lain.

4.     Kemuduran dan kehancuran yang terjadi ditubuh Bani Umayyah sejatinya disebabkan oleh dan dari tubuh keluarga Umayyah sendiri ketika itu. Mereka semakin memanfaatkan jabatan sebagai salah satu jalan kesenangan dan maksiat. Sehingga mereka tidak bisa lagi memikul tanggung jawab dan amanah kepemimpinan.

 Lihat juga https://azizdjonny.blogspot.com/2015/05/media-massa-dan-hubungan-sosial-yang.html

Daftar Pustaka

Abdurrahman, Dudung. (2004). Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik hingga Modern, Cet. III. Yogyakarta: LESFI.

Afzalur, Rahman. (1995). Doktrin Ekonomi Islam Jilid I, terj. Soeroyo dan Nastangin. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf.

Ahmad Saebani, Beni. (2008). Fiqh Siyasah Pengantar Ilmu Politik Islam, Cet. I. Pustaka Setia. Bandung.

Ali, K. (1980). A Study Of Islamic History. India: Idarah Adabiyat.

Al-isy, Yusuf. (2009). Dinasti Umawiyah. Jakarta: Pustaka Al-Kausar.

Al-Usyairi, Ahmad. (2006). Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX. Jakarta: Akbar.

Brockelmann, Carl. (1982). History of The Islamic Peoples. London: Routledge.

Hasan, Hasan Ibrahim. (1974). Tarikh Islam. Mesir: Maktabah Nahdhah.

Hitti, Philip K. (1974). History of Arabs. London: Macmillan.

Jabir, Muh. (2007). Dinasti Bani Umayyah Di Suriah (Pembentukan, Kemajuan dan Kemundurannya), dalam Jurnal Hunafa Vol. 4 No. 3. Palu. STAIN Palu.

Kennedy, Hugh. (1991). The Prophet and The Age of The Chaliphate. London and New York: Longman.

M. Jaelani, Bisri. Ensiklopedi Islam. Yogyakarta. Panji Pustaka.

Mahmudunnasir, Syed. (2005). Islam Konsepsi dan sejarahnya ed rev. Bandung: Rosdakarya.

Munir Amin, Samsul. (2008). Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah.

Nurhakim, Moh. (2003). Sejarah & Peradaban Islam. Malang: UMM Press.

Pulungan, J. Suyuthi. (1994). Fiqh Siyasah Ajaran Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: PT. Raja grafindo Persada.

Schimel, Annemarie. (1992). Islam An Introduction. New York: University of New York Press.

Shaban, M.A. (1976). Islamic History A New Interpretation I. London; Cambridge University Press.

Sou’yb, Joesoef. (1977). Sejarah daulah Umayyah I. Jakarta: Bulan Bintang.

Supriyadi, Dedi. (2008). Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia.

Syalabi, Ahmad. (1990). Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Pustaka Al Husna Baru.

Syalabi, Ahmad. (1978). Tarikh al-Islamy Wa Hadhratul Islamiyah. Mesir: Maktabah Nahdhah.

Watt, W. Montgomery. (1976). The Majesty That Was Islam. London: Singwich and Jackson.

Yatim, Badri. (2013). Sejarah Peradaban Islam, cet. XXIV. Jakarta: Raja Grafindo.

0 komentar:

Posting Komentar

Contact

Contact Person

Untuk saling berbagi dan sharing, mari silaturrahmi!

Address:

Mojo-Kediri-Jawa Timur (64162)

Work Time:

24 Hours

Phone:

085735320773

Diberdayakan oleh Blogger.