BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Penulis
Nama lengkapnya adalah Abd. Rauf bin all al-Jawi al-Fansuri. Seperti tercermin dalam namanya, ia adalah orang Melayu dari Fansur, Sinkel, di wilayah pantai barat laut Aceh. Sebutan gelarnya yang juga terkenal ialah Teungku Syiah Kuala (bahasa Aceh, artinya Syekh Ulama di Kuala). Ia adalah salah satu diantara empat ulama Aceh yang terkenal, tiga diantaranya adalah Hamzah Fansury, Syamsudin al-Sumatrani dan Nur al-Din al-Maniri . Tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti, akan tetapi menurut hipotesis Rinkes, Abd al-Rauf al-Singkel dilahirkan sekitar tahun 1615 M. Menurut Hasjmi, ayah abd al-RaufSingkel adalah kakak laki-laki dari Hamzah Fansuri. Namun mengenai hal ini Azra tidak meyakini abd al-Rauf al-Singkel keponakan Hamzah al-Fansuri, karena tidak ada indikasi yang mendukung hal ini. Menurutnya, ada kemungkinan ayah Abd al-Rauf Singkel bukan orang Melayu. Berbeda dengan Daly, ia mengatakan bahwa ayah Abd al-Rauf al-singkel adalah seorang Arab yang telah menikahi seorang wanita Fansur yang bertempat tinggal di Sengkel.[1]
Latar belakang
keluarganya secara pasti tidak diketahui. Hasjmi menyebut nenek moyang Abd.
Rauf berasal dari Persia yang datang ke kesultanan Samudra Pasai pada akhir
abad ke 13. mereka kemudian menetap di Fansur (Barus), sebuah kota pelabuhan
tua di pantai Sumatra Barat. Pendapat lain menyebut keluarga ini bersilsilah ke
Arab. Syaikh Ali (ayah Abd Rauf diperkirakan berasal dari Arab yang kemudian
kawin dengan seorang wanita pribumi, dan selanjutnya mereka tinggal di Sinkel.
Adapun latar
belakang atau sejarah intelektual Abd. Rauf juga bermula dari desa kelahirannya
sendiri, yaitu Sinkel. Dalam catatan Hasjmi, ayah Abd Rauf adalah seorang alim
yang mendirikan sebuah madrasah yang didatangi murid-murid dari berbagai tempat
di kesultanan Aceh. Kemudian melanjutkan pengembaraan intelektualnya ke Arabia
pada sekitar 1052/1642.
Dalam
petualangannya ini Abd. Rauf telah berhasil menjalin hubungan selama 19 tahun
dengan para ulama besar yang dari mereka dia mempelajari berbagai cabang ilmu
agama (tafsir, hadis, fiqih, tasawuf tauhid dan akhlak). Namun demikian,
beberapa penulis mencatat, pengaruh paling besar dalam membentuk pola pikir dan
pola sikap Abd. Rauf berasal dari gurunya di Madinah. Al-Kusyasyi dan al-Kurani
Dari al-Kusyasyi Abd Rauf mempelajari apa yang disebutnya sebagai ilmu dalam
(bahin) seperti tasawuf dan ilmu-ilmu terkait lainnya, hingga akhimya ia
ditunjuk sebagai imam tarikat Syattariyah dan Qadiriyah. Dari al-Kurani ia
mendapat gemblengan pengetahuan di luar disiplin-disiplin pengetahuan tasawuf.
Setelah mengenyam pendidikan selama sekitar 19 tahun Abd Rauf kembali ke Aceh
pada sekitar tahun 1661.
Pada tahun 1693 M,
Abd al-Rauf Singkel pulang kerahmatullah, setelah berjuang dengan segala tenagah
dan pikiran untuk memajukan Islam, bangsa dan Negara selama kurang lebih 22 tahun,
ia dimakamkan dekat muara sungai Aceh, sesudah beliau meninggal, masyarakat memanggil
namanya dengan “Syaikh Kula”.[2]
1.
Guru-guru Abd
al-Rauf Singkel
Guru-guru Abd
al-Rauf Singkel diantaranya: Amin bin al-Shadiq Mijazi, Muhammad al-Qusyasyi
dan Abd Allah bin Muhammad al- Adani, Ibrahim al-Kurani, dll.
2.
Karya-karya Abd
al-Rauf Singkel
Abd al-Rauf
Singkel adalah seorang penulis yang prolitik, ia telah menghasilkan berbagai
karya yang menyangkut berbagai bidang ilmu keagamaan, antara lain fqih, tafsir,
kalam, dan tasawuf yang ditulis dalam bahasa Arab maupun bahasa Malayu [10] .
Abd al- Rauf
Singkel seperti gurunnya, al-kurani, menunjukan bahwa tujuan utamanya adalah
rekonsiliasi antara syariat dan tasawuf atau dalam istilah sendiri, antara ilm
Zahir dan ilmu Batin, karena itu ajaran-ajaran yang diusahakan untuk disebarkan
diwilayah Melayu-Indonesia adalah ajaran –ajaran yang termasuk dalam
neo-sufisme . Bidang fisiska dan ilmu lainnya Bayan al-arkan (Penjelasan
rukun-rukun, Bahasa Malayu) Bidayah al-Baligah (permulaan yang sempurna, Bahasa
Malayu) Majmul al-Masa’il (kumpulan masalah, Bahasa Malayu). Kitab ini berisis
Tasawuf, seabagian isinya membicarakan aneka ragam pelajaran dan keagamaan yang
menyangkut kehidupan beragama.
Di bidang Tasawuf Bayan
Agmad al-Masa’il wa al-sifat a- Wajibah li rabb al-Ard wa al- Samawat (
penjelasan tentang masalah –masalah tersembunyi dan sifat-sifat wajiab bagi
Tuhan, penguasa langit dan bumi, Bahasa Malayu). Bayan Tajalli (penjelasan
tajali, Bahasa Malayu). Penjelasan Abd al-Rauf Singkel engenai dzikir utama
yang dibaca di kala skarat al-maut sebagai jawabat atas pertanyaan yang dikatakan
orang-orang terhormat.
Di bidang Tafsir Tajuman
al-Mustafid bi al-Jawiyy, tafsi ini merupakan tafsir pertama di dunai Islam
dalam bahasa Malayu.
Di bidang Hadis Syarah
Latif’ Ala Arbai Hadisan li al-Imam al- Nabawiyy (penjelasan terperinci atas
kita empat puluh hadis karangan imam Nawabi, Bahasa Malayu). Kitab ini berisikan
hadis-hadis yang menyangkut kewajiaban-kewajiban dasar praktis kaum muslim.
B.
Sejarah Penulisan
Tarjuman al-Mustafid
Kitab ini dikarang
oleh Syeikh Abdul Rauf al-Singkeli, salah seorang ulama Aceh pada abad ke 17
Masehi. Ia dinamakan Tarjuman al-Mustafid yang bermaksud 'Penunjuk Bagi Peraih
Faedah Ilmu'.[3]
Salah satu potret
kehidupan pada periode kepemimpinan para ratu dimana Abd Rauf mengabdikan
kariernya adalah makin pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan, seni dan budaya.
Terutama pada masa ratu Safiatuddin, banyak karya tulis dihasilkan dengan atau
tanpa permintaan ratu.
Karyanya yang
secara tegas dinyatakan sebagj peanan sultanah adalah Mir’at al-Thullab fi
Tashil Ma’rifat al-Ahkam yang dimaksudkan agar menjadi panduan, pedoman bag)
para qadhi (hakim) dalam menjalankan tugasnya Adapun karya tafsimya Tarjuman
al-Mustafidsampai saat ini dianggap sebagai tafsir lengkap pertama dalam bahasa
Melayu yang ada. Tafsir ini, menurut Hasjmi, disusun pada masa pemerintahan
Safiatuddin. Persoalannya adalah apakah proses penyusunannya merupakan
permintan sultanah ataukah atas inisiatif Abd. Raufl sendiri.
Berbeda dengan
Mir’at al-Thullab fi Tashil Ma’rifat af-Ahkamnya, tafsir ini memulai
pembahasannya langsung dengan surat al-Fatihah. Tidak ada pendahuluan atau keterangan
lainnya yang dapat dijadikan informasi, misalnya tentang kapan, dimana, berapa
waktu yang dibutuhkan. Baik dari Abd. Rauf sendiri maupun dari pihak lainnya.
Riddell menduga penulisan tafsir ini dilakukan pada tahun 1675 berdasarkan
hasil temuannya atas kopi tertua manuskrip tafsir ini yang diperkirakan
tahunnya lebih dekat kepada saat kembalinya dari Arab dari pada saat
meninggalnya.[4]
Dalam edisi yang
dipakai sebagai sumber penelitian ini, terdapat kolofon yang tertulis:
“Dan telah
sempurnalah tafsir al-Qur’an yang amat mulia yang dinamai Tarjuman al-Mustafid
yang di jamikan oleh syaikh kita dan ikutan kita kepada Allah Ta’ala, yang alim
allamah lagi waliyullah yang fanni fillah Ta’ala, Aminuddin Abdurrauf anak Ali
Jawi lagi Fansuri yang dikasihi Allah Ta’ala jua kiranya akan dia dan
diterima-Nya dan diberi Allah Ta’ala manfaat jua kiranya akan kita dengan
berkat ilmunya di dalam dunia dan dalam akhirat, perkenankan olehmu hai
Tuhanku….”
“Dan menambahi
atasnya oleh sekecil-kecil muridnya dan sehina-hinanya khadimnya itu yaitu Daud
Jawi anak Ismail anak Agha Mustafa All Rumi diampuni Allah Ta’ala jua kiranya
sekalian mereka itu akan kisahnya yang diambil kebaikannya dari pada al-Khazin
dan setengah riwayatnya pada khilaf qiraah dengan suratnya.[5]
C.
Metode dan Sumber
Tafsir
1. Metode
Tafsir
Dalam kajian
metode tafsir, terdapat empat varian metode dalam menafsirkan al-Qur’an:
Ijmali, Tahlili, Muqaran, dan Maudhu’i. Sementara dalam tafsir Tarjuman
al-Mustafid ini, Syeikh Abdurrauf menggunakan metode Tahlili. Hal ini bisa
dibuktikan dengan adanya ragam pendekatan dalam menafsirkan ayat al-Qur’an.
Seperti: Qira’ah, penjelasakan suku kata, latar belakang turunnya ayat (asbab
al-Nuzul), Nasikh Mansukh, dan Munasabah. [6]
2. Metode
Penyajian
Syeikh Abdurrauf
menafsirkan ayat al-Qur’an secara tartib Mushafi, yakni dari surat al-Baqarah
hingga surat al-Nas. Tarjuman al-Mustafid tidak dimulai dengan mukadimah
sebagaimana sesetengah kitab. Pengarangnya tidak menyatakan metodologi yang
digunakan dalam pentafsirannya. Bahkan ia terns dimulai dengan surah
al-Fatihah. Namun, melalui penelitian pada kitab tersebut, terdapat beberapa
petunjuk yang diberikan oleh pengarangnya tentang metodologi kitab tersebut. Di
antaranya, ketika membincangkan tentang qiraat, beliau akan menamakan siapakah
"qari yang tiga" yang dimaksudkannya. Setiap surah dimulai dengan
nama surah. Kemudian dijelaskan status surah sama ada Makkiyyah atau
Madaniyyah. Kemudian bilangan ayat. Jika terdapat khilaf pada status atau
bilangan ayat, maka akan Tarjuman Al-mustajid: Satu Analisa Terhadap Karya
Terjemahan dinyatakan dengan penerangan yang sangat ringkas. Semuanya ini
dinyatakan dalam bahasa Arab. Kemudian pengarang akan menterjemahkan ungkapan
bahasa Arab tersebut ke dalam bahasa Melayu. Selepas itu barulah pengarang akan
mula mentafsirkan ayat demi ayat.[7]
3. Bentuk
Tafsir
Mengenai Bentuk penafsiran
dapat dinyatakan bahwa tafsir Tarjuman al-Mustafid dapat digilongkan pada
tafsir bi al-Ra’yi, ada dua pendekatan yang digunakan dalam menafsirkan
Tarjuman al- Mustafid. Yang pertama sumber penafsiran yang digunakan adalah
ijtihad, hal ini terlihat ketika ia menafsirkan sural al- Tahrim ayat 11 Abd
Rauf mengatakan bahwa,"Orang yang percaya denga nabi Musa as. Akan disiksa
dengan dilubangi kedua tangannya dan kakinya dan ditindih dengan batuh yang
besar serta dibuang kedalam panas matahari. Maka orang yang menyiksa tersebut
akan dibalas oleh malaikat”. Yang kedua adalah melalui kutipan dari para ulama.
Hal ini sangat mudah ditemui dalam Tarjuman al-Mustafid, biasanya ia menggunakan
kata “Fadilah, kata mufassir, kisah dan faedah”. Kata-kata tersebut biasanya menggunakan
kurung kerawal "( )", terutama pada “kata mufasir, kisah dan faedah”.
Dengan demikian,
penafsiran yang disertai dengan merujukan kepada al-Qur’an dan hadis serta di
dukung dengan mengkutip pendapat para ulama yang dapat dipertanggung jawabkan
keabsahaannya, maka tafsir Tarjuman al-Mustafid dapat dikelompokkan kedalam
tafsir bi al-Ra’yi.[8]
4. Model
Penerjemahan
Teknik Pengarang
menterjemah ayat demi ayat tetapi tidak secara harfi. Pada masa yang sama ia
tidak semestinya diterjemah ayat secara lengkap satu persatu. Terdapat banyak
ayat yang digabungkan baik sebagian atau penuh.
Secara umumnya
beliau menterjemah berdasarkan qiraat Hafs. Tetapi terdapat juga terjemahan berdasarkan
qiraat lain khususnya Abu 'Amr, Qalun, dan Warsh seperti halaman 70. Bahkan
kecenderungan beliau memilih selain qiraat Hafs dalam banyak tempat menunjukkan
penguasaannya yang luas dalam banyak qiraat.[9]
5. Bahasa
dan Istilah
Bahasa yang
digunakan ialah bahasa Melayu lama atau klasik. Namun begitu, pengaruh bahasa
Arab juga tidak dapat dinafikan. Sebagian dari istilah Arab ini memang telah
biasa dalam masyarakat Melayu. Tetapi sebagian lagi merupakan istilah yang
jarang atau memang tidak dipakai dalam masyarakat Melayu seperti kata nisf
(38), bayt (63), nafar (52), muqaddas (55), kharam, laban, laqab,(20) dan
lain lain. lstilah-istilah berbagai bidang ilmu juga terdapat dalam kitab ini.
Di antaranya ialah istilah tajwid dan qiraat seperti Tashdid, Tashil,
Ikhtilas, Tahqiq, Ishba', istilah fiqh seperti Zihar, Khiyar, Sunat, dan
sebagainya.
6. Kandungan
Tarjuman al-Mustafid:
Terdapat beberapa
perkara yang mendominasi kandungan Tarjuman alMustafid. Diantaranya
a. Fadilat
surah:
Syeikh Abdul Rauf
menyertakan fadilat surah di awal setiap surah. Ketika membicarakan tentang
fadilat surah, Syeikh Abdul Rauf selalu mengambil dari dua kitab yaitu
al-Baydawi dan Manafi' al-Quran. Terdapat tiga bentuk cara pengambilan fadilat
surah daripada beberapa buah kitab:
1)
Syeikh Abdul Rauf
menukilkan fadilat surah daripada al-Baydawi dan Manafi' al-Quran pada surah
al-Fatihah.
2)
Syeikh Abdul Rauf
menukilkan fadilat surah daripada alBaydawi sahaja pada surah al-Furqan [25]
hingga surah al-Nas [114]. Surah al-Ra'd [13].
3)
Syeikh Abdul Rauf
menukilkan fadilat surah daripada al-Baydawi dan al-Khazin hanya pada surah
Yaasin.
b. Sebab
Nuzul:
Sebab nuzul
merupakan satu bahagian yang banyak mendominasi kandungan Tarjuman al-Mustafid.
Biasanya perbincangan sebab nuzul dimulai dengan kata "kisah"
kemudian akhirnya disebut "maka turunlah firman Allah". Namun,
terdapat juga sebab nuzul yang tidak dimulai dengan kata "kisah"
tersebut. Ketika membicarakan tentang sebab nuzul, beliau banyak merujuk
riwayat dari tafsir al-Khazin. Bahkan boleh dikatakan bahwa tafsir al-Khazin
adalah rujukan utama dalam sebab nuzul. Namun terdapat juga sebahagian kecil
sebab nuzul yang merujuk kepada tafsir al-Baghawi dan al-Baydawi. Terdapat juga
persoalan sejarah dan sirah dalam tafsir ini. Biasanya ia dikaitkan dengan sebab
nuzul. Namun terdapat juga sirah yang dibawa selepas sesuatu terjemahan ayat
untuk melengkapkan huraian maksud ayat tersebut.[10]
c. lsrailiyyat:
Hanya terdapat
beberapa kisah israiliyyat saja yang disebut dengan agak panjang lebar seperti
kisah Nabi Ayub A.S, Nabi Yusuf A.S dan Nabi Sulayman A.S. Ketika mengemukakan
kisah-kisah Israiliyyat ini, pengarang biasanya menggunakan kata "kisah", "tersebut dalam
al-Khazin". Tetapi ada juga kisah yang tidak dinyatakan dari al-Khazin
seperti cerita Nabi Musa memegang janggut 166., Nabi Harun pada halaman 319.
Beliau hanya berkata: "Kisah pada suatu riwayat ... " namun dalam hal
ini beliau tidak menyatakan status riwayat tersebut sama ada ia diterima atau
tertolak.
Selain itu
terdapat juga riwayat Israiliyyat yang diambil dari tafsir lain seperti tafsir
al-Baghawi sebagaimana pada halaman 270.[11]
d. Nasikh
Mansukh:
Terdapat 11 tempat
di mana pengarang mengutarakan persoalan nasah mansuh, yaitu: pada halaman 28,
30, 43, 81, 84, 93, 187, 267, 351, 418, dan 419. Terdapat empat tempat di mana
pengarang membincangkan nasikh mansukh, tetapi bukan pada ayat, bahkan pada
hukum seperti pada hlm 30, 81, 84, dan 419. 5.[12]
e. Qiraat
Perbincangan
tentang qiraat biasanya diawali dengan perkataan "faedah". Kemudian
ungkapan "pada menyatakan ikhtilaf antara segala qari yang tiga".
Maksud qari yang tiga ialah: 1. Abu 'Amr dan al-Duri 2. Naff dan Qalun
dan 3. Warsy- Hafs. Qiraat tidak semestinya dibincangkan selepas setiap ayat.
Terdapat banyak tempat di mana qiraat dibincangkan selepas beberapa ayat
seperti halaman 70. Jika qiraat yang dibaca itu sama dalam setiap ayat maka
beliau akan mengisyaratkannya seperti katanya: "Demikianlah pada segala
tempat dalam al-Quran".[13]
f.
Fiqh:
Ada lima tempat
dalam kitab ini yang membahas persoalan fiqh yaitu pada halaman: 79, 81, 86, 3
54 dan 426. Pengarang juga menyebut hukum yang berkaitan dengan mazhab Syafie
tetapi hanya pada halaman 81. Manakala pada halaman 86, pengarang menyebut
kitab Nihayah ketika membincangkan hukum wajib menunaikan sholat walaupun tidak
ada air untuk bersuci. Sholat itu didirikan kerana menghormati waktu, kemudian
diulang kembali apabila kedapatan air untuk bersuci.[14]
7. Corak
Tafsir
Tafsir yang
digunakan oleh al-Fanshuri dalam menyajikan penafsirannya terhadap teks
al-Qur’an adalah dengan menggunakan corak umum. Maksudnya, penafsirannya tidak
hanya mengacu pada corak tertentu, seperti fiqh, tasawuf, filsafat, dan adab
bil Ijtima’i al-Lughawi.[15]
D.
Tafsir Surat
Al-Fatihah
1. Naskah
kunonya
وقد كمل تفسير القان المجيد المسمى ترجمان المستفيد وقد وتنا الي الله تعالي
العالم العلامة والوالي الفاني في الله امين الدين عبد الرؤوف ابن علي الجاوي
الفنصوري محمه الله تعالي وشكر شعيه ونفعنا بعلومه في الدنيا والاخرة. ويزيد عليه
اصغر تلامذه واحقر خدامه باب داود الجاوي ابن اسمعيل ابن اغا مصطفى ابن اغا علي
الرومي غفر الله لهم قصصه الماخوذ اكثره من الخازن وبعض روايته في القراة بأمره
ولله الحمد والمنة وصلى الله علي سيدنا محمد واله وصحبه اجمعين.
[1]
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia (Jakarta: Teraju, Cet. 1, 2002)
Hal. 26
[2] Ibid.,,,
Hal. 29
[3] Terjemahan
ini adalah dari penulis sendiri. Tarjuman menurut kamus adalah penunjuk,
penafsir, penyingkap, penyuluh, pembuka dan penaung. Manakala Mustafid ialah
orang yang mengambil atau menerima manfaat dari sesuatu perkara.
[4] Musthofa Bin
abdullah, Juhudul Malaisia fi Hidmah al-Qur'an (Malaisia: Maktabah
Ad-Dirodah Al-Jamiah, 2004) Hal. 12
[5]
Ibid.,,,Hal. 18
[6]
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia .,,, Hal. 28
[7] Islah
Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia .,,,. Hal. 29
[8] Zulkifli
Mohd Yusoff , Tarjuman Al-Mustafid: Satu Analisa Terhadap Karya Terjemahan
(Jakarta: Jurnal Pmgajian Melayu, ]Ilid 16. 2005) Hal. 112
[9] Ibid.,,,
Hal. 20
[10] Ibid.,,,Hal.
124
[11] Ibid.,,,Hal.
125
[12] Ibid.,,,Hal.
129
[13] Ibid.,,,Hal.
129
[14] Ibid.,,,Hal.
127
[15] Ibid.,,,Hal.
128
0 komentar:
Posting Komentar