Senin, 19 Juli 2021

Tarjuman al-Mustafid

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.           Biografi Penulis

Nama lengkapnya adalah Abd. Rauf bin all al-Jawi al-Fansuri. Seperti tercermin dalam namanya, ia adalah orang Melayu dari Fansur, Sinkel, di wilayah pantai barat laut Aceh. Sebutan gelarnya yang juga terkenal ialah Teungku Syiah Kuala (bahasa Aceh, artinya Syekh Ulama di Kuala). Ia adalah salah satu diantara empat ulama Aceh yang terkenal, tiga diantaranya adalah Hamzah Fansury, Syamsudin al-Sumatrani dan Nur al-Din al-Maniri . Tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti, akan tetapi menurut hipotesis Rinkes, Abd al-Rauf al-Singkel dilahirkan sekitar tahun 1615 M. Menurut Hasjmi, ayah abd al-RaufSingkel adalah kakak laki-laki dari Hamzah Fansuri. Namun mengenai hal ini Azra tidak meyakini abd al-Rauf al-Singkel keponakan Hamzah al-Fansuri, karena tidak ada indikasi yang mendukung hal ini. Menurutnya, ada kemungkinan ayah Abd al-Rauf Singkel bukan orang Melayu. Berbeda dengan Daly, ia mengatakan bahwa ayah Abd al-Rauf al-singkel adalah seorang Arab yang telah menikahi seorang wanita Fansur yang bertempat tinggal di Sengkel.[1]

Latar belakang keluarganya secara pasti tidak diketahui. Hasjmi menyebut nenek moyang Abd. Rauf berasal dari Persia yang datang ke kesultanan Samudra Pasai pada akhir abad ke 13. mereka kemudian menetap di Fansur (Barus), sebuah kota pelabuhan tua di pantai Sumatra Barat. Pendapat lain menyebut keluarga ini bersilsilah ke Arab. Syaikh Ali (ayah Abd Rauf diperkirakan berasal dari Arab yang kemudian kawin dengan seorang wanita pribumi, dan selanjutnya mereka tinggal di Sinkel.

Adapun latar belakang atau sejarah intelektual Abd. Rauf juga bermula dari desa kelahirannya sendiri, yaitu Sinkel. Dalam catatan Hasjmi, ayah Abd Rauf adalah seorang alim yang mendirikan sebuah madrasah yang didatangi murid-murid dari berbagai tempat di kesultanan Aceh. Kemudian melanjutkan pengembaraan intelektualnya ke Arabia pada sekitar 1052/1642.

Dalam petualangannya ini Abd. Rauf telah berhasil menjalin hubungan selama 19 tahun dengan para ulama besar yang dari mereka dia mempelajari berbagai cabang ilmu agama (tafsir, hadis, fiqih, tasawuf tauhid dan akhlak). Namun demikian, beberapa penulis mencatat, pengaruh paling besar dalam membentuk pola pikir dan pola sikap Abd. Rauf berasal dari gurunya di Madinah. Al-Kusyasyi dan al-Kurani Dari al-Kusyasyi Abd Rauf mempelajari apa yang disebutnya sebagai ilmu dalam (bahin) seperti tasawuf dan ilmu-ilmu terkait lainnya, hingga akhimya ia ditunjuk sebagai imam tarikat Syattariyah dan Qadiriyah. Dari al-Kurani ia mendapat gemblengan pengetahuan di luar disiplin-disiplin pengetahuan tasawuf. Setelah mengenyam pendidikan selama sekitar 19 tahun Abd Rauf kembali ke Aceh pada sekitar tahun 1661.

Pada tahun 1693 M, Abd al-Rauf Singkel pulang kerahmatullah, setelah berjuang dengan segala tenagah dan pikiran untuk memajukan Islam, bangsa dan Negara selama kurang lebih 22 tahun, ia dimakamkan dekat muara sungai Aceh, sesudah beliau meninggal, masyarakat memanggil namanya dengan “Syaikh Kula”.[2]

1.             Guru-guru Abd al-Rauf Singkel

Guru-guru Abd al-Rauf Singkel diantaranya: Amin bin al-Shadiq Mijazi, Muhammad al-Qusyasyi dan Abd Allah bin Muhammad al- Adani, Ibrahim al-Kurani, dll.

2.             Karya-karya Abd al-Rauf Singkel

Abd al-Rauf Singkel adalah seorang penulis yang prolitik, ia telah menghasilkan berbagai karya yang menyangkut berbagai bidang ilmu keagamaan, antara lain fqih, tafsir, kalam, dan tasawuf yang ditulis dalam bahasa Arab maupun bahasa Malayu [10] .

Abd al- Rauf Singkel seperti gurunnya, al-kurani, menunjukan bahwa tujuan utamanya adalah rekonsiliasi antara syariat dan tasawuf atau dalam istilah sendiri, antara ilm Zahir dan ilmu Batin, karena itu ajaran-ajaran yang diusahakan untuk disebarkan diwilayah Melayu-Indonesia adalah ajaran –ajaran yang termasuk dalam neo-sufisme . Bidang fisiska dan ilmu lainnya Bayan al-arkan (Penjelasan rukun-rukun, Bahasa Malayu) Bidayah al-Baligah (permulaan yang sempurna, Bahasa Malayu) Majmul al-Masa’il (kumpulan masalah, Bahasa Malayu). Kitab ini berisis Tasawuf, seabagian isinya membicarakan aneka ragam pelajaran dan keagamaan yang menyangkut kehidupan beragama.

Di bidang Tasawuf Bayan Agmad al-Masa’il wa al-sifat a- Wajibah li rabb al-Ard wa al- Samawat ( penjelasan tentang masalah –masalah tersembunyi dan sifat-sifat wajiab bagi Tuhan, penguasa langit dan bumi, Bahasa Malayu). Bayan Tajalli (penjelasan tajali, Bahasa Malayu). Penjelasan Abd al-Rauf Singkel engenai dzikir utama yang dibaca di kala skarat al-maut sebagai jawabat atas pertanyaan yang dikatakan orang-orang terhormat.

Di bidang Tafsir Tajuman al-Mustafid bi al-Jawiyy, tafsi ini merupakan tafsir pertama di dunai Islam dalam bahasa Malayu.

Di bidang Hadis Syarah Latif’ Ala Arbai Hadisan li al-Imam al- Nabawiyy (penjelasan terperinci atas kita empat puluh hadis karangan imam Nawabi, Bahasa Malayu). Kitab ini berisikan hadis-hadis yang menyangkut kewajiaban-kewajiban dasar praktis kaum muslim.

B.            Sejarah Penulisan Tarjuman al-Mustafid

Kitab ini dikarang oleh Syeikh Abdul Rauf al-Singkeli, salah seorang ulama Aceh pada abad ke 17 Masehi. Ia dinamakan Tarjuman al-Mustafid yang bermaksud 'Penunjuk Bagi Peraih Faedah Ilmu'.[3]

Salah satu potret kehidupan pada periode kepemimpinan para ratu dimana Abd Rauf mengabdikan kariernya adalah makin pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan, seni dan budaya. Terutama pada masa ratu Safiatuddin, banyak karya tulis dihasilkan dengan atau tanpa permintaan ratu.

Karyanya yang secara tegas dinyatakan sebagj peanan sultanah adalah Mir’at al-Thullab fi Tashil Ma’rifat al-Ahkam yang dimaksudkan agar menjadi panduan, pedoman bag) para qadhi (hakim) dalam menjalankan tugasnya Adapun karya tafsimya Tarjuman al-Mustafidsampai saat ini dianggap sebagai tafsir lengkap pertama dalam bahasa Melayu yang ada. Tafsir ini, menurut Hasjmi, disusun pada masa pemerintahan Safiatuddin. Persoalannya adalah apakah proses penyusunannya merupakan permintan sultanah ataukah atas inisiatif Abd. Raufl sendiri.

Berbeda dengan Mir’at al-Thullab fi Tashil Ma’rifat af-Ahkamnya, tafsir ini memulai pembahasannya langsung dengan surat al-Fatihah. Tidak ada pendahuluan atau keterangan lainnya yang dapat dijadikan informasi, misalnya tentang kapan, dimana, berapa waktu yang dibutuhkan. Baik dari Abd. Rauf sendiri maupun dari pihak lainnya. Riddell menduga penulisan tafsir ini dilakukan pada tahun 1675 berdasarkan hasil temuannya atas kopi tertua manuskrip tafsir ini yang diperkirakan tahunnya lebih dekat kepada saat kembalinya dari Arab dari pada saat meninggalnya.[4]

Dalam edisi yang dipakai sebagai sumber penelitian ini, terdapat kolofon yang tertulis:

“Dan telah sempurnalah tafsir al-Qur’an yang amat mulia yang dinamai Tarjuman al-Mustafid yang di jamikan oleh syaikh kita dan ikutan kita kepada Allah Ta’ala, yang alim allamah lagi waliyullah yang fanni fillah Ta’ala, Aminuddin Abdurrauf anak Ali Jawi lagi Fansuri yang dikasihi Allah Ta’ala jua kiranya akan dia dan diterima-Nya dan diberi Allah Ta’ala manfaat jua kiranya akan kita dengan berkat ilmunya di dalam dunia dan dalam akhirat, perkenankan olehmu hai Tuhanku….”

“Dan menambahi atasnya oleh sekecil-kecil muridnya dan sehina-hinanya khadimnya itu yaitu Daud Jawi anak Ismail anak Agha Mustafa All Rumi diampuni Allah Ta’ala jua kiranya sekalian mereka itu akan kisahnya yang diambil kebaikannya dari pada al-Khazin dan setengah riwayatnya pada khilaf qiraah dengan suratnya.[5]

C.           Metode dan Sumber Tafsir

1.      Metode Tafsir

Dalam kajian metode tafsir, terdapat empat varian metode dalam menafsirkan al-Qur’an: Ijmali, Tahlili, Muqaran, dan Maudhu’i. Sementara dalam tafsir Tarjuman al-Mustafid ini, Syeikh Abdurrauf menggunakan metode Tahlili. Hal ini bisa dibuktikan dengan adanya ragam pendekatan dalam menafsirkan ayat al-Qur’an. Seperti: Qira’ah, penjelasakan suku kata, latar belakang turunnya ayat (asbab al-Nuzul), Nasikh Mansukh, dan Munasabah. [6]

2.      Metode Penyajian

Syeikh Abdurrauf menafsirkan ayat al-Qur’an secara tartib Mushafi, yakni dari surat al-Baqarah hingga surat al-Nas. Tarjuman al-Mustafid tidak dimulai dengan mukadimah sebagaimana sesetengah kitab. Pengarangnya tidak menyatakan metodologi yang digunakan dalam pentafsirannya. Bahkan ia terns dimulai dengan surah al-Fatihah. Namun, melalui penelitian pada kitab tersebut, terdapat beberapa petunjuk yang diberikan oleh pengarangnya tentang metodologi kitab tersebut. Di antaranya, ketika membincangkan tentang qiraat, beliau akan menamakan siapakah "qari yang tiga" yang dimaksudkannya. Setiap surah dimulai dengan nama surah. Kemudian dijelaskan status surah sama ada Makkiyyah atau Madaniyyah. Kemudian bilangan ayat. Jika terdapat khilaf pada status atau bilangan ayat, maka akan Tarjuman Al-mustajid: Satu Analisa Terhadap Karya Terjemahan dinyatakan dengan penerangan yang sangat ringkas. Semuanya ini dinyatakan dalam bahasa Arab. Kemudian pengarang akan menterjemahkan ungkapan bahasa Arab tersebut ke dalam bahasa Melayu. Selepas itu barulah pengarang akan mula mentafsirkan ayat demi ayat.[7]

3.      Bentuk Tafsir

Mengenai Bentuk penafsiran dapat dinyatakan bahwa tafsir Tarjuman al-Mustafid dapat digilongkan pada tafsir bi al-Ra’yi, ada dua pendekatan yang digunakan dalam menafsirkan Tarjuman al- Mustafid. Yang pertama sumber penafsiran yang digunakan adalah ijtihad, hal ini terlihat ketika ia menafsirkan sural al- Tahrim ayat 11 Abd Rauf mengatakan bahwa,"Orang yang percaya denga nabi Musa as. Akan disiksa dengan dilubangi kedua tangannya dan kakinya dan ditindih dengan batuh yang besar serta dibuang kedalam panas matahari. Maka orang yang menyiksa tersebut akan dibalas oleh malaikat”. Yang kedua adalah melalui kutipan dari para ulama. Hal ini sangat mudah ditemui dalam Tarjuman al-Mustafid, biasanya ia menggunakan kata “Fadilah, kata mufassir, kisah dan faedah”. Kata-kata tersebut biasanya menggunakan kurung kerawal "( )", terutama pada “kata mufasir, kisah dan faedah”.

Dengan demikian, penafsiran yang disertai dengan merujukan kepada al-Qur’an dan hadis serta di dukung dengan mengkutip pendapat para ulama yang dapat dipertanggung jawabkan keabsahaannya, maka tafsir Tarjuman al-Mustafid dapat dikelompokkan kedalam tafsir bi al-Ra’yi.[8]

4.      Model Penerjemahan

Teknik Pengarang menterjemah ayat demi ayat tetapi tidak secara harfi. Pada masa yang sama ia tidak semestinya diterjemah ayat secara lengkap satu persatu. Terdapat banyak ayat yang digabungkan baik sebagian atau penuh.

Secara umumnya beliau menterjemah berdasarkan qiraat Hafs. Tetapi terdapat juga terjemahan berdasarkan qiraat lain khususnya Abu 'Amr, Qalun, dan Warsh seperti halaman 70. Bahkan kecenderungan beliau memilih selain qiraat Hafs dalam banyak tempat menunjukkan penguasaannya yang luas dalam banyak qiraat.[9]

5.      Bahasa dan Istilah

Bahasa yang digunakan ialah bahasa Melayu lama atau klasik. Namun begitu, pengaruh bahasa Arab juga tidak dapat dinafikan. Sebagian dari istilah Arab ini memang telah biasa dalam masyarakat Melayu. Tetapi sebagian lagi merupakan istilah yang jarang atau memang tidak dipakai dalam masyarakat Melayu seperti kata nisf (38), bayt (63), nafar (52), muqaddas (55), kharam, laban, laqab,(20) dan lain lain. lstilah-istilah berbagai bidang ilmu juga terdapat dalam kitab ini. Di antaranya ialah istilah tajwid dan qiraat seperti Tashdid, Tashil, Ikhtilas, Tahqiq, Ishba', istilah fiqh seperti Zihar, Khiyar, Sunat, dan sebagainya.

6.      Kandungan Tarjuman al-Mustafid:

Terdapat beberapa perkara yang mendominasi kandungan Tarjuman alMustafid. Diantaranya

a.      Fadilat surah:

Syeikh Abdul Rauf menyertakan fadilat surah di awal setiap surah. Ketika membicarakan tentang fadilat surah, Syeikh Abdul Rauf selalu mengambil dari dua kitab yaitu al-Baydawi dan Manafi' al-Quran. Terdapat tiga bentuk cara pengambilan fadilat surah daripada beberapa buah kitab:

1)            Syeikh Abdul Rauf menukilkan fadilat surah daripada al-Baydawi dan Manafi' al-Quran pada surah al-Fatihah.

2)            Syeikh Abdul Rauf menukilkan fadilat surah daripada alBaydawi sahaja pada surah al-Furqan [25] hingga surah al-Nas [114]. Surah al-Ra'd [13].

3)            Syeikh Abdul Rauf menukilkan fadilat surah daripada al-Baydawi dan al-Khazin hanya pada surah Yaasin.

b.      Sebab Nuzul:

Sebab nuzul merupakan satu bahagian yang banyak mendominasi kandungan Tarjuman al-Mustafid. Biasanya perbincangan sebab nuzul dimulai dengan kata "kisah" kemudian akhirnya disebut "maka turunlah firman Allah". Namun, terdapat juga sebab nuzul yang tidak dimulai dengan kata "kisah" tersebut. Ketika membicarakan tentang sebab nuzul, beliau banyak merujuk riwayat dari tafsir al-Khazin. Bahkan boleh dikatakan bahwa tafsir al-Khazin adalah rujukan utama dalam sebab nuzul. Namun terdapat juga sebahagian kecil sebab nuzul yang merujuk kepada tafsir al-Baghawi dan al-Baydawi. Terdapat juga persoalan sejarah dan sirah dalam tafsir ini. Biasanya ia dikaitkan dengan sebab nuzul. Namun terdapat juga sirah yang dibawa selepas sesuatu terjemahan ayat untuk melengkapkan huraian maksud ayat tersebut.[10]  

c.       lsrailiyyat:

Hanya terdapat beberapa kisah israiliyyat saja yang disebut dengan agak panjang lebar seperti kisah Nabi Ayub A.S, Nabi Yusuf A.S dan Nabi Sulayman A.S. Ketika mengemukakan kisah-kisah Israiliyyat ini, pengarang biasanya menggunakan  kata "kisah", "tersebut dalam al-Khazin". Tetapi ada juga kisah yang tidak dinyatakan dari al-Khazin seperti cerita Nabi Musa memegang janggut 166., Nabi Harun pada halaman 319. Beliau hanya berkata: "Kisah pada suatu riwayat ... " namun dalam hal ini beliau tidak menyatakan status riwayat tersebut sama ada ia diterima atau tertolak.

Selain itu terdapat juga riwayat Israiliyyat yang diambil dari tafsir lain seperti tafsir al-Baghawi sebagaimana pada halaman 270.[11]

d.      Nasikh Mansukh:

Terdapat 11 tempat di mana pengarang mengutarakan persoalan nasah mansuh, yaitu: pada halaman 28, 30, 43, 81, 84, 93, 187, 267, 351, 418, dan 419. Terdapat empat tempat di mana pengarang membincangkan nasikh mansukh, tetapi bukan pada ayat, bahkan pada hukum seperti pada hlm 30, 81, 84, dan 419. 5.[12]

e.       Qiraat

Perbincangan tentang qiraat biasanya diawali dengan perkataan "faedah". Kemudian ungkapan "pada menyatakan ikhtilaf antara segala qari yang tiga". Maksud qari yang tiga ialah: 1. Abu 'Amr dan al-Duri 2. Naff dan Qalun dan 3. Warsy- Hafs. Qiraat tidak semestinya dibincangkan selepas setiap ayat. Terdapat banyak tempat di mana qiraat dibincangkan selepas beberapa ayat seperti halaman 70. Jika qiraat yang dibaca itu sama dalam setiap ayat maka beliau akan mengisyaratkannya seperti katanya: "Demikianlah pada segala tempat dalam al-Quran".[13]

f.        Fiqh:

Ada lima tempat dalam kitab ini yang membahas persoalan fiqh yaitu pada halaman: 79, 81, 86, 3 54 dan 426. Pengarang juga menyebut hukum yang berkaitan dengan mazhab Syafie tetapi hanya pada halaman 81. Manakala pada halaman 86, pengarang menyebut kitab Nihayah ketika membincangkan hukum wajib menunaikan sholat walaupun tidak ada air untuk bersuci. Sholat itu didirikan kerana menghormati waktu, kemudian diulang kembali apabila kedapatan air untuk bersuci.[14]

7.      Corak Tafsir

Tafsir yang digunakan oleh al-Fanshuri dalam menyajikan penafsirannya terhadap teks al-Qur’an adalah dengan menggunakan corak umum. Maksudnya, penafsirannya tidak hanya mengacu pada corak tertentu, seperti fiqh, tasawuf, filsafat, dan adab bil Ijtima’i al-Lughawi.[15]

D.           Tafsir Surat Al-Fatihah

 

1.      Naskah kunonya

وقد كمل تفسير القان المجيد المسمى ترجمان المستفيد وقد وتنا الي الله تعالي العالم العلامة والوالي الفاني في الله امين الدين عبد الرؤوف ابن علي الجاوي الفنصوري محمه الله تعالي وشكر شعيه ونفعنا بعلومه في الدنيا والاخرة. ويزيد عليه اصغر تلامذه واحقر خدامه باب داود الجاوي ابن اسمعيل ابن اغا مصطفى ابن اغا علي الرومي غفر الله لهم قصصه الماخوذ اكثره من الخازن وبعض روايته في القراة بأمره ولله الحمد والمنة وصلى الله علي سيدنا محمد واله وصحبه اجمعين.

 

 



[1] Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia (Jakarta: Teraju, Cet. 1, 2002) Hal. 26

[2] Ibid.,,, Hal. 29

[3] Terjemahan ini adalah dari penulis sendiri. Tarjuman menurut kamus adalah penunjuk, penafsir, penyingkap, penyuluh, pembuka dan penaung. Manakala Mustafid ialah orang yang mengambil atau menerima manfaat dari sesuatu perkara.

[4] Musthofa Bin abdullah, Juhudul Malaisia fi Hidmah al-Qur'an (Malaisia: Maktabah Ad-Dirodah Al-Jamiah, 2004) Hal. 12

[5] Ibid.,,,Hal. 18

[6] Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia .,,, Hal. 28

[7] Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia .,,,. Hal. 29

[8] Zulkifli Mohd Yusoff , Tarjuman Al-Mustafid: Satu Analisa Terhadap Karya Terjemahan (Jakarta: Jurnal Pmgajian Melayu, ]Ilid 16. 2005) Hal. 112

[9] Ibid.,,, Hal. 20

[10] Ibid.,,,Hal. 124

[11] Ibid.,,,Hal. 125

[12] Ibid.,,,Hal. 129

[13] Ibid.,,,Hal. 129

[14] Ibid.,,,Hal. 127

[15] Ibid.,,,Hal. 128

0 komentar:

Posting Komentar

Contact

Contact Person

Untuk saling berbagi dan sharing, mari silaturrahmi!

Address:

Mojo-Kediri-Jawa Timur (64162)

Work Time:

24 Hours

Phone:

085735320773

Diberdayakan oleh Blogger.