Senin, 19 Juli 2021

SEJARAH PERADABAN ISLAM MASA BANI ABBASIYAH

 

SEJARAH PERADABAN ISLAM MASA BANI ABBASIYAH


A.    Pendahuluan

Islam adalah agama yang dibawa oleh Rasulullah SAW. dan disebarkan dijazirah Arab yang diawali dengan sembunyi-sembunyi. Setelah pengikut agama Islam telah banyak dari keluarga terdekat Nabi dan sahabat maka turun perintah Allah untuk menyebarkan Islam secara terang-terangan. Namun dalam penyebarannya tidak berjalan mulus, Rasulullah dalam menyebarkan Islam mendapatkan tantangan dari suku Quraisy. Islam disebarkan dan dipertahankan dengan harta dan jiwa oleh para penganutnya yang setia membela Islam meski harus dengan pertumpahan darah dalam peperangan.

Setelah Rasullah wafat, kepemimpinan Islam dipegang oleh khulafaur Rasyidin. Pada perkembangannya Islam mengalami banyak kemajuan maju. Islam telah disebarkan secara meluas keseluruh wilayah Arab. Pada masa khulafaur Rasyidin al-Quran telah dibukukan dalam bentuk mushaf yang dikenal dengan mushaf utsmani.

Meskipun Islam telah berkembang, namun juga banyak mendapat tantangan dari luar dan dalam Islam sendiri. Seperti pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib banyak terjadi pemberontakan didaerah hingga peperangan. Salahsatu perang dimasa Ali bin Abi Thalib ialah peperangan Muawiyah dengan khalifah Ali bin Abi Thalib yang menghasilkan arbitrase, sehingga Muawiyah menggantikan posisi Ali bin Abi Thalib. Dampak yang ditimbulkan dari abitrase ini adalah pengikut dari Ali bin Abi Thalib ingin membunuh Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah karena dianggap telah kafir dan halal dibunuh. Dalam rencana pembunuhan ini, hanya Ali bin Abi Thalib yang berhasil dibunuh.

Setelah kematian Ali bin Abi Thalib, maka berakhirlah masa Khulafaur Rasyidin dan berganti dengan pemerintahan Dinasti Umayyah dibawah pimpinan Muawiyah bin Abi Sofwan. Pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah, Islam semakin berkembang dalam segala aspek hingga perluasan daerah kekuasaan.

Setelah pemerintahan Dinasti Umayyah, digantikan oleh pemerintahan dinasti Abbasiyah. Dinasti Abbasiyah merupakan dinasti kedua dalam sejarah pemerintahan umat Islam. Abbasiyah dinisbatkan kepada al-Abbas paman Nabi Muhammad SAW, Berdirinya dinasti ini sebagai bentuk dukungan terhadap pandangan yang diserukan oleh Bani Hasyim setelah wafatnya Rasulullah SAW. yaitu menyandarkan khilafah kepada keluarga Rasul dan kerabatnya.

Berdasar dari keterangan tersebut, maka perlu dikaji untuk membahas sejarah terbentuknya pemerintahan Dinati Abbasiyah sampai mundurnya pemerintahan.

B.     Pembentukan Dinasti Abbasiyah

Kekhalifahan Abbasiyah adalah kekhalifahan kedua Islam yang berkuasa di Baghdad yang sekarang ibu kota Irak. Berkuasa mulai tahun 750 dan memindahkan ibukota dari Damaskus ke Baghdad. Kekhalifahan ini naik kekuasaan setelah mengalahkan Bani Umayyah kecuali Andalusia (Khoiriyah, 2012). Berdirinya Dinasti Abbasiyah tidak bisa dilepaskan dari munculnya berbagai masalah di periode-periode terakhir dinasti Umayyah. Masalah-masalah tersebut kemudian bertemu dengan beberapa kepentingan yang satu sama lain memiliki keterkaitan. Ketidakpuasan di sana-sini yang ditampakkan lewat berbagai macam pemberontakan jelas menjadi pekerjaan rumah yang cukup serius bagi kelangsungan hidup dinasti Umayyah, yang kemudian menjadi momentum yang tepat untuk menjatuhkan dinasti Umayyah yang dimotori oleh Abu al-Abbas al-Safah (Imam Fuadi, 2011).

Meskipun dalam perjalanan dinasti Umayyah banyak menorehkan prestasi bagus terutama dalam kaitannya dengan perluasan wilayah, tetapi sesungguhnya sejak awal berdirinya dinasti ini, mulai dari khalifah pertama yakni Mu’awiyah sampai khalifah terakhir berjalan dengan berlandaskan kekerasan, bahkan sampai menggunakan segala kesempatan meskipun itu kesempatan jahat untuk mendapatkan kekuasaan. Menjelek-jelekan nama Ali bin Abi Thalib adalah salah satu contoh yang nyata (Imam Fuadi, 2011).

Selain itu terkadang terjadinya perlakuan tidak adil terhadap Bani Abbasiyah yang kemudian menimbulkan ketidakpuasan di hati mereka, sehingga memupuk semangat persaudaraan dan persaudaraan yang tinggi di kalangan mereka. Mereka mengatur dan mengorganisir kekuatan di bawah tanah dan menyebarkan berbagai propaganda secara rahasia. Mereka mulai mengatur siasat serta strategi untuk mengatur barisan menuju perebutan kekuasaan, dan upaya para propaganda dalam kaitan ini sangat penting, yang awalnya dilakukan dengan gerakan rahasia tetapi kemudian dengan terang-terangan.

Bani Abbasiyah dibentuk oleh keturunan dari paman Nabi Muhammad yang termuda, keturunan dari Abbas bin Abdul Muthallib (566-652) yang juga merupakan paman dari nabi, oleh sebab itu mereka termasuk dalam kelompok Bani Hasyim. Sedangkan Bani Umayyah yang merupakan salah satu kabilah Bani Quraisy, bukan termasuk yang keturunan Nabi.

Perebutan kekuasaan sudah dimulai dari Muhammad bin Ali, cicit dari Abbas yang menjalankan kampanye untuk mengembalikan kekuasaan pemerintahan kepada Bani hasyim di Persia pada pemerintahan Umayyah, khalifah Umar bin Abdul Aziz (Khoiriyah, 2012). Meskipun sesungguhnya Umar bin Abdul Aziz merupakan salah satu khalifah yang sering mendapat pujian atas prestasi yang dikerjakan selama menjabat. Ia merupakan salah satu khalifah yang besar dan terkenal. Masa itu kebenaran dan keadilan benar-benar ditegakkan, bahkan ketika khutbah Jum’at tidak menjelek-jelekan Ali bin Abi Thalib seperti khalifah yang lainnya (Imam Fuadi, 2011).

Pertentangan terjadi secara nyata pada masa khalifah Marwan II, dimana pertentangan ini semakin memuncak dan akhirnya pada tahun 750 M (Khoiriyah, 2012). Pada saat ketidakpuasan sudah terjadi di mana, kemudian kesempatan ini dipergunakan oleh Bani Abbasiyah untuk melancarkan propaganda. Dalam melaksanakan propaganda, nama Bani Abbasiyah tidak ditonjolkan. Akan tetapi yang mereka angkat ke permukaan adalah nama Bani Hasyim. Hal ini mereka lakukan adalah untuk menjaga kekompakan antara Syi’ah pengikut Ali dengan Syi’ah pengikut Abbas. Sehingga mereka lebih menanamkan diri dengan gerakan keluarga Bani Hasyim. Dengan cara tersebutlah menjadikan solidaritas lebih kuat, dan anggota-angotanya lebih sanggup berjuang dan bersedia mati demi kepentingan bersama, dalam memperjuangkan keluarga Bani Hasyim (Imam Fuadi, 2011).

Abu al-Abbas al-Saffah menang melawan pasukan Umayyah. Ia menggunakan kekuatan senjata dan mengumpulkan tentaranya dan melantik pamannya sendiri Abdullah bin Ali sebagai pemimpinnya. Dan akhirnya mereka melakukan penyerangan ke pemerintahan Umayyah di Damaskus dan sekaligus untuk membunuh khalifah Marwan. Meskipun pasukkan Marawan lari ke uatar Syiria, Him, Damsyik, Palestina, tetap dikejar sampai Marwan terbunuh di Mesir. Selain itu, Abu al-Abbas al-Saffah juga membunuh seluruh keluarga Bani Umayyah yang masih tersisa dengan berbagai cara yang digunakan. Dan akhirnya Abu al-Abbas al-Saffah bisa berkuasa sebagai khalifah pertama (Ajid Tohir, 2004).

Secara kronologis, nama Abbasiyah menunjukkan nenek moyang dari al-Abbas, Ali bin Abi Thalib dan Nabi Muhammad. Hal ini menunjukkan kedekatan pertalian keluarga antara Bani Abbasiyah dengan Nabi. Itulah sebabnya kedua keturunan ini sama-sama mengklaim bahwa jabatan Khalifah harus berada di tangan mereka. Keluarga Abbas mengklaim bahwa setelah wafatnya Rasulullah, merekalah yang merupakan penerus dan penyambung keluarga Rasul (Ajid Tohir, 2004).

Abdullah bin Muhammad alias Abul al-Abbas diumumkan sebagai khalifah pertama Dinasti Abbasiyah tahun 750 M. Dalam khutbah pelantikan yang disampaikan di Masjid Kuffah, ia menyebut dirinya dengan al-Saffah (penumpah darah) yang akhirnya menjadi julukannya. Hal ini sebenarnya menjadi permulaan yang kurang baik diawal berdirinya dinasti ini, dimana kekuatannya tergantung kepada pembunuhan yang ia jadikan sebagai kebijaksanaan politiknya.

Abu al-Abbas hanya memerintah dalam kurun waktu singkat, yakni empat tahun. Oleh karena itu, ia kehilangan jati dirinya. Kehidupannya yang dikenal dalam sejarah pertama-tama hanyalah sebagai pembasmi Dinasti Umayyah.

Abu Abbas al-Saffah meninggal tahun 754 M. dan digantikan oleh saudaranya, Abu Jafar Al-Mansur dari tahun 754-774 M. Dialah sebenarnya yang dianggap sebagai pendiri Dinasti Abbasiyah. Dia tetap melanjutkan kebijaksanaan al-Saffah yakni menindak tegas setiap orang yang menentang kekuasaannya, termasuk juga dari kalangan keluarganya sendiri.

Sifat dan watak al-Mansur dikenal oleh para penulis sejarah sebagai seorang politikus yang demoktratis, pemberani, cerdas, teliti, disiplin, rajin beribadah, sederhana, fasih dalam berbicara, sangat dekat dan memperhatikan kepentingaan rakyat. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bahwa selama lebih kurang 20 tahun kekuasaannya, ia telah berhasil meletakkan landasan yang kuat dan kokoh bagi kehidupan dan kelanjutan kekuasaan Dinasti Abbasiyah itu (Ajid Tohir, 2004).

Berikut daftar nama-nama khalifah Abbasiyah (Khoiriyah, 2012):

a.       Khalifah I: Abu al-Abbas al-Saffah (132 H – 136 H)

b.      Khalifah II: Abu Ja’far al-Mansur (136 H – 148 H)

c.       Khalifah III: Al-Mahdi (158 H – 169 H)

d.      Khalifah IV: Al-Hadi (169 H – 170 H)

e.       Khalifah V: Harun al-Rasyid (170 H – 193 H)

f.        Khalifah VI: Al-Amin (191 H – 198 H)

g.      Khalifah VII: Al-Ma’mum (198 H – 218 H)

h.      Khalifah VIII: Al-Mu’tashim (218 H – 227 H)

i.        Khalifah IX: Al-Watsiq (227 H – 232 H)

j.        Khalifah X: Al-Mutawakkil ‘Ala Allah (232 H – 247 H)

k.      Khalifah XI: Al-Muntashir Billah Muhammad, Abu Ja’far (247 H – 248 H)

l.        Khalifah XII: Al-Musta’in Billah, Abu al-Abbas (248 H – 251 H)

m.    Khalifah XIII: Al-Mu’taz Billah, Muhammad (252 H – 255 H)

n.      Khalifah XIV: Al-Muhtadi Billah (255 H – 256 H)

o.      Khalifah XV: Al-Mu’tamid Billah (256 H – 279 H)

p.      Khalifah XVI: Al-Mu’tadhid Billah, Ahmad (279 H – 289 H)

q.      Khalifah XVII: Al-Muktafi Billah, Abu Muhammad (289 H – 295 H)

r.        Khalifah XVIII: Al-Muqtadir Billah, Abu al-Fadhal (295 H – 320 H)

s.       Khalifah XIX: Al-Qahir Billah, Abu Manshur (320 H – 322 H)

t.        Khalifah XX: Al-Radhi Billah, Abu al-Abbas (322 H – 329 H)

u.      Khalifah XXI: Al-Muttaqi Lillah, Abu Ishaq (329 H – 333 H)

v.      Khalifah XXII: Al-Mustakfi Billah, Abu al-Qasim (333 H – 334 H)

w.    Khalifah XXIII Al-Muthi’ Lillah, Abu al-Qasim (334 H – 363 H)

x.      Khalifah XXIV: Al-Thai’ Lillah, Abu Bakar (363 H – 381 H)

y.      Khalifah XXV: Al-Qadir Billah, Abu al-Abbas (381 H – 422 H)

z.       Khalifah XXVI: Al-Qaim Biamrillah, Abu Ja’far (422 H – 467 H)

aa.   Khalifah XXVII: Muqtadi Baimrillah (467 H – 487 H)

bb.  Khalifah XXVIII: Al-Mustazhhir Abu al-Abbas (487 H – 512 H)

cc.   Khalifah XXIX: Al-Mustarsyid Billah (512 H – 529 H)

dd.  Khalifah XXX: Al-Rasyid Billah (529 H – 530 H)

ee.   Khalifah XXXI: Al-Muqtafi Liamrillah (530 H – 547 H)

ff.     Khalifah XXXII: Al-MustanjidBillah (547 H – 566 H)

gg.  Khalifah XXXIII: AlMustadhi’ Biamrillah (566 H – 575 H)

hh.  Khalifah XXXIV: Al-Nashir Lidinillah (575 H – 622 H)

ii.      Khalifah XXXV: Al-Zhahir Biamrillah (622 H – 623 H)

jj.      Khalifah XXXVI: Al-Mustanshir Billah, Abu Ja’far (623 H – 640 H)

kk.  Khalifah XXXVII: Al-Mu’tashim Billah, Abu Ahmad (640 H – 656 H)

C.    Kemajuan Masa Dinasti Abbasiyah

Dinasti abbasiyyah mencapai puncak kejayaan pada masa khalifah Harun al-Rasyid dan putranya al-Ma’mun sampai khalifah-khalifah setelahnya yakni sampai al-Mutawakkil. Walaupun era perubahan telahdilakukan sejak masa al-Mansur. Pada masa Harun, sejumlah kekayaan Negara digunakan untuk mendirikan rumah sakit selain digunakan untuk membiayai pendidikan kedokteran dan farmasi (Fahsin M. Fa’al, 2008).

Al-Ma’mun menggunakan aset negara untuk mengaji penerjemah dari golongan Kristen, Sabi’in, atau bahkan penyembah binatang untuk menerjemahkan berbagai buku bahasa asing ke dalam bahasa Arab. Ia mendirikan baitul hikmah sebagai tempat untuk penerjemah sekaligus akademi yang dilengkapi dengan 80 ribu koleksi naskah. Disana diajarkan berbagai cabang ilmu seperti kedokteran, matematika, geografi dan filsafat. Disana juga dilaksanakan halaqah-halaqah. Pada masa al-Makmun bisa dibilang sebagai pusat kebudayaan dan juga pengetahuan.

Aktivitas mereka mengantarkan pada puncak kemajuan ilmu pengetahuan. Dengan jasa penerjemah mereka akhirnya bisa menguasai intelektual dari tiga jenis kebudayaan seperti Yunani, Persia, dan India. Pada masa itu kaum muslim bisa membangun kebudayaan dengan ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu filsafat dan sains (Khoiriyah, 2012) di antaranya adalah:

a.       Ilmu agama

Kemajuan ilmu agama yang dimaksud adalah kemajuan pada ilmu-ilmu yang muncul ditengah-tengah suasana hidup keIslaman, berkaitan dengan agama dan bahasa al-Qur’an. Syalabi mengatakan ilmu-ilmu Islam dan sebagian cendikiawan lain menyebutnya ilmu naqli.

Pada masa Umayyah memang ilmu agama sudah maju, tetapi pada masa ini lebih maju lagi. Terbukti dengan lahirnya ulama’-ulama’ besar dengan berbagai karya dibidang ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu kalam dan fikih (Khoiriyah, 2012).

b.      Ilmu tafsir

Pada masa Umayyah sebelumnya memang sudah terlahir karya-karya tafsir, namun belum secara keseluruhan mereka menafsirkannya, hanya sebagian saja. Pada masa ini dilakukan penafsiran secara utuh dan juga sistematis dan terpisah dari hadits. An-Nadim mengatakan bahwa yang pertama kali melahirkan karya tafsir adalah al-Farra’ pada tahun 207 H. Kemudian pada masa ini juga muncul tafsir berbagai madzhab seperti Ahlus Sunnah, Mu’tazilah dan Syi’ah.

Pada masa ini juga tela lahir konsep tafsir bi al-ma’tsur dan bi al-Ra’yi. Karya dari tafsir bi al-Ma’tsur misalnya adalah karya as-Subdi (127 H), Muqatil bin Sulaiman (150 H) dan Muhammad Ishaq. Ketiga tafsir ini sudah lenyap, namun Jarir at-Tabhari mendasarkannya pada kitab tafsirnya (Khoiriyah, 2012). Tafsr bi al-Ra’yi dipelopori oleh kaum Mu’tazilah yakni Abu Bakar al-‘Asham (240 H), Abu Muslim al-Isfahani (322 H), al-‘Asadi (387 H), al-Baghawi (516 H), az-Zamakhsyari (528 H), ar-Razi (606 H), dan lain-lain.

 

c.       Ilmu hadits

Usaha yang dilakukan oleh pemerintah ketika itu dalam bidanghadits adalah menyaring hadits-hadits yang dinilai tidak shahih sebelum dibukukan. Dan dari sinilah muncul metode kritik haditsuntuk mengkualifikasikan hadits shahih, hasan dan dho’if. Sehingga pada masa ini lahirlah ulama hadits yakni Imam Bukhori (256 H) hadir dengan kitabnya Shahih Bukhori, abu Muslim al-Hajjaj dengan shahih muslimnya. Ibnu Majjah, Abu Daud, at-Tirmidzi dan an-Nasa’i yang kemudian disebut kutub as-Tsittah.

d.      Ilmu kalam

Dalam rangka untuk membentengi paham dan persoalan tentang pemikiran orang Yahudi dan Kristen yang kala itu sedang meraja lela. Maka munculah berbagai pemikiran kalam yang menggunakan akal pikiran dan juga pengetahuan (Khoiriyah, 2012).

e.       Ilmu Fikih

Pada masalah fikih, muncullah berbagai madzhab yang sampai sekarang juga dijadikan sebagai pedoman oleh umat Islam dunia. Yaitu lahirnya empat madzhab besar yakni as-Syafi’i, Hanbali, Hanafi dan Maliki. Selain itu juga yang maju dalan bidang keilmuan nahwu sharaf, tasawuf ini mengilhami pada masa kejayaan (Khoiriyah, 2012).

f.        Ilmu Umum

Untuk keilmuan umum juga mengalami berbagai bidang keilmuan misalnya:

1.      Filsafat merupakan salah satu implementasi antara ajaran Islam dan juga kebudayaan Yunani klasik yang ada di Mesir, Suriah, dan kota lainnya. Keilmuan ini berkembang pada masanya Harun al-Rasyid dan al-Ma’mun. Tokoh filsuf yang terkenal adalah al-Kindi dan al-Farabi.

2.      Kedokteran pada masa ini mengalami kemajuan yakni melahirkan dokter bernama Yuhannah bi Musawaih, al-Razi, Ibnu Sina, Ibnu Maimun, Abu al-Qasim, Hunain bin Ishaq dan lain-lain. Pada masa ini karangan dari ibnu Sina (Qanun fiat-thib) diterjemahkan kedalam bahasa Eropa sampai abad ke 17M (Khoiriyah, 2012).

3.      Astronomi membantu dalam menentukan letak Ka’bah ketika itu. Salah satu astronom yang terkenal adalah al-Fazzari yang hidup pada masa al-Manshur. Ia yang pertama kali menyusun astrolabe (alat yang digunakan untuk pengukur tinggi bintang). Al-Afghani meringkas ilmu astronomi yang kemudian diterjemahkan oleh Gerrard dalam bahasa Latin (Khoiriyah, 2012).

Selain kemajuan dalam ilmu pengetahuan, sebagai salah satu bentuk implementasi darinya. Maka ini bisa dilihat dalam kemajuan ekonominya juga, seperti:

a.       Pertanian

Pada masa dinasti Abbasyiah berlangsung, para petani dibina dan diarahkan, serta pajak bumi mereka diringankan. Para petani diperlakukan dengan baik, hak-hak mereka dijaga dan dilindungi dari praktek-praktek ekonomi yang merugikan. Selain itu khalifah juga memperluas area pertanian, membangun sarana dan pra-sarana tranportasi baik darat maupun laut ke daerah pertanian- pertanian serta membangun irigasi dan mengairi kanal untuk menyalurkan air ke area pertanian (Imam Fuadi, 2011).

b.      Perindustrian

Bidang industri yang menjadi perhatian pemerintah Abbasyiah. Ada beberapa faktor yang mendukung kemajuan sektor industri ini, antara lain adalah adanya potensi alam berupa barang tambang, seperti perak, tembaga, biji besi, dan lain-lain, serta hasil pertanian sebagai bahan baku industri potensi alam wilayah Abbasyiah cukup menjanjikan untuk mendukung ekonomi Bani Abbasiyah.

Selain faktor potensi alam adalah adanya usaha alih teknologi industri, yang dilakukan oleh tawanan serdadu Cina yang dikalahkan dalam pertempuran di Asia tengah pada tahun 751H. Mereka ini ahli dalam perindustrian, khalifah mengadakan proyek alih teknologi dari mereka khususnya industri kertas. Dari sini kemudian muncullah diberbagai kota misalnya Baghdad yang menghasilkan industri dengan beraneka ragam hasilnya, seperti textil, sutra, wol, gelas, dan keramik (Imam Fuadi, 2011).

c.       Perdagangan

Di sektor perdagangan juga menunjukkan kemajuan yang pesat. Ini tentu mengimbangi dua sector yang disebut di atas, ibu kota pemerintahan Abbasyiah, Baghdad menjadi kota pusat perniagaan/ perdagangan, serta kota yang menghubungkan lalu lintas perdagangan antara barat dan timur, dan dibuka perwakilan dagang India dan Cina (Thaher Muhammad, 1981). Segala usaha ditempuh untuk memajukan perdagangan diantaranya yaitu:

1.      Membangun sumur dan tempat-tempat istirahat di jalan-jalan yang dilewati kafilah dagang.

2.      Membangun armada-armada dagang.

3.      Membangun armada untuk melindungi parta-partai negara dari serangan bajak laut.

Usaha-usaha tersebut sangat besar pengaruhnya dalam meningkatkan perdagangan dalam dan luar negeri (A. Syalabi, 1997). Pada waktu itu kapal-kapal dagang Arab tidak hanya menjangkau daerah-daerah sekitar kawasan Abbasyiah, tetapi juga menjangkau sampai ke Sailan, Bombay, Aceh bahkan ke kota pelabuhan Indo Cina dan Tiongkok.  Sedangkan kota Damaskus merupakan kota kedua sungai Tigris dan Efrat menjadi pelabuhan transmisi bagi kapal-kapal dagang dari berbagai penjuru dunia sehingga terjadinya kontrak perdagangan tingkat internasional. Ini berarti kemajuan dalam sektor perdagangan pada masa pemerintahan Abbasyiah telah menunjukkan perkembangan yang pesat. Selain itu, demi kelancaran perdagangan pada masa itu telah tumbuh sistem semacam perbankan. Sistem ini dimaksudkan untuk tempat penukaran uang , karena daerah bagian timur dan bagian barat tidak menggunakan mata uang yang sama.

Perkembangan perekonomian Bani Abbasiyah yang meliputi beberapa bidang itu menjadikan pendapatan negara dari dinasti ini terbilang bagus, kesemuannya itu dipergunakan untuk kepentingan negara. Adapun pendapatan negara pada saat pemerintahan Bani Abbasiyah secara umum adalah pajak hasil bumi (kharaj), pajak jiwa ( jizyah), berbagai macam bentuk zakat, pajak perniagaan dan cukai (syur), pembayaran pihak musuh karena kalah perang (fai’), rampasan perang (ghanimah).

Adapun untuk pengeluaran dinasti ini secara umum meliputi:

1.      Untuk pembayaran gaji pada hakim (qadhi) gubernur, buruh dan pegawai lainnya

2.      Untuk perbaikan aliran sungai dan membangun irigasi guna untuk mengairi daerah yang jauh dari sumber air

3.      Untuk biaya para narapidana dan tawanan musyrik

4.      Untuk biaya perang

5.      Untuk hadiah para ulama’ dan sastrawan.

d.      Politik

Selanjutnya adalah kemajuan dalam bidang politik, beberapa kebijakan telah dikeluarkan:

1.      Memindahkan ibukota negara dari Damaskus ke Baghdad

2.      Memusnahkan keturunan Bani Umayyah

3.      Merangkul orang-orang Persia, dalam rangka politik memperkuat diri, Abbasiyah memberi peluang dan kesempatan yang besar kepada kaum mawali

4.      Menumpas pemberontakan-pemberontakan

5.      Menghapus politik kasta

Selain kebijakan-kebijakan di atas, langkah-langkah lain yang diambil dalam program politiknya adalah:

1.      Para Khalifah tetap dari Arab, sementara para menteri, gubernur, panglima perang dan pegawai lainnya banyak diangkat dari golongan Mawali

2.      Kota Baghdad ditetapkan sebagai ibu kota negara dan menjadi pusat kegiatan politik, ekonomi dan kebudayaan

3.      Kebebasan berpikir dan berpendapat mendapat porsi yang tinggi (Ajid Tohir, 2004).

Selain pemerintahan dinasti Abbasyiah memberi perhatian yang tinggi pada bidang politik, dan ekonomi. Wilayah administrasi negara juga dilakukan penataan. Sehingga upaya pengembangan dan penyempurnaan administrasi negara bisa berjalan dengan baik. Pembaharuan yang paling tampak pada dinasti ini adalah berpindahnya ibu kota negara sebagai pusat kegiatan administrasi ke Baghdad. Disamping itu didalam penyelenggaraan administrasi Negara pada masa ini telah pula dikenal dengan adanya wazir (menteri) yang membawahi kepala-kepala departemen. Sementara itu, dalam operasionalnya, yang menyangkut urusan-urusan sipil dipercayakan kepada wazir (menteri), masalah hukum diserahkan kepada qhadi (hakim) dan  masalah militer dipegang oleh amir (Ajid Tohir, 2004). Jabatan ini ada yang menyebut sudah ada zaman bani Umayyah, tetapi juga ada yang menyebut belum ada (Yusuf al-Isy, 1982). Wazir terbagi dalam dua bagian, pertama wazir yang bertugas sebagai pembantu khalifah dan bekerja atas nama khalifah, dan yang kedua adalah diberi kuasa penuh untuk memimpin pemerintahan.

Selain itu dibentuk pula apa yang disebut dengan diwan al-Kitabah, semacam sekretariat negara, yang dipimpin oleh seorang rais, rais ini dibantu oleh beberapa orang sekretaris, diantaranya yang paling masyhur: Khatib al-Rasail, katib al- Karni, katib al-Jundi, katib al-Syurthat, dan katib al-Qadha. Kekuasaan pemerintahan dinasti Abbasyiah dibagi kedalam beberapa propinsi atau juga disebut juga dengan imarah, dan setiap imarah dipimpin oleh seorang gubernur hal ini digunakan untuk mempermudah jalannya pemerintahan daerah-daerah. Diantara propinsi-propinsi pada zaman dinasti Bani Abbasiyah yaitu Kuffah dan Sawwad, Bashrah dan daerah-daerah Dajlah, Bahrein, Uman, Hijaz dan Yamamah, Yaman, Ahwaz yang meliputi Khuziztan dan Cattan, Parsi, Khurasan, Mosul, Jazirah, Armania, dan Azerbaijan, Sind, Suriah, Mesir dan Afrika.

Sebenarnya penataan administrasi pada masa pemerintahan Abbasyiah mengalami perkembangan yang tinggi adalah merupakan salah satu pengaruh Persi yang masuk di dalam pemerintahan. Sebab Persi merupakan kota yang terkenal dalam kemajuannya di dalam bidang administrasi yang dianggap bagus. Ditambah lagi dengan bahwa pusat pemerintahan Islam zaman Bani Abbasiyah memang berada di jantung kekuasaan Persi, setelah Persi dikuasai umat Islam (Imam Fuadi, 2011).

D.    Kemunduran Bani Abbasiyah

Sejak periode pertama, sebenarnya banyak tantangan dan gangguan yang dihadapi Dinasti Abbasiyah. Beberapa gerakan politik yang merongrong pemerintah dan mengganggu stabilitas muncul dimana-mana, baik gerakan dari kalangan intern Bani Abbasiyah sendiri maupun dari luar. Namun, semuanya dapat diatasi dengan baik. keberhasilah penguasa Abbasiyah mengatasi gejolak dalam negeri makin memantapkan posisi dan kedudukan mereka sebagai pemimpin yang tangguh. Kekuasaan benar-benar berada ditangan khalifah. Keadaan ini sangat berbeda dengan periode sesudahnya. Setelah periode pertama berlalu, para khalifah sangat lebah. Mereka berada di bawah pengaruh kekuasaan yang  lain (Dedi Supriady, 2008).

Perkembangan peradaban dan kebudayaan serta kemajuan besar yang dicapai dinasti Abbasiyah pada periode pertema telah mendorong para penguasa untuk hidup mewah, bahkan cenderung mencolok. Setiap khalifah cenderung ingin lebih mewah dari pendahulunya. Kehidupan mewah khalifah-khalifah ini ditiru para hartawan dan anak-anak pejabat. Kecenderungan bermewah-mewah, ditambah kelemahan khalifah dan faktor lainnya menyebabkan roda pemerintahan terganggu dan rakyat menjadi miskin. Kondisi ini memberi peluang kepada tentara profesional asal Turki yang semula diangkat oleh khalifah al-Mu’tashim untuk mengambil alih pemerintahan.

Salah satu alasan diangkatnya orang-orang Turki adalah karena khalifah ini membaca pemerintahan yang ketika itu hanya didominasi oleh orang-orang Persia. Sehingga orang-orang Turki semakin mudah untuk mendapatkan posisi-posisi di pemerintahan. Sedangkan ketika itu, orang-orang Baghdad dan veteran pasukan Arab rata-rata tidak suka dengan perangai orang Turki. Sehingga dari hal ini terjadi pemicu pertumpahan darah (Imam Fuadi, 2011).

Pada zaman al-Mutawwakil mereka sudah tidak mampu lagi untuk mengendalikan orang-orang Turki. Dominasi kekuatan mereka semakin besar dan akhirnya mereka yang mengendalikan kekuasaan. Dan lebih parah lagi mereka mengangkat khalifah sesuai dengan kehendak mereka. Usaha mereka berhasil, sehingga kekuasaan sesungguhnya berada di tangan mereka, sementara kekuasaan Bani Abbasiyah didalam khalifah Abbasiyah yang didirakannya mulai pudar dan ini merupakan awal dari keruntuhan dinasti ini, meskipun setelah itu usianya masih bertahan lebih dari 400 tahun.

Faktor lain yang menyebabkan peran politik Bani Abbasiyah menurun adalah perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan. Hal ini sebenarnya juga terjadi pada pemerintahan Islam sebelumnya, tetapi apa yang terjadi pada pemerintahan Abbasiyah berbeda pada pemerintahan sebelumnya.

Kondisi pertahanan keamanan yang kokoh tersebut memicu munculnya berbagai macam tantangan yang mengganggu stabilitas. Gerakan-gerakan tersebut seperti gerakan sisa-sisa umayyah dan kalangan internal Bani Abbasiyah, revolusi al-Khawarij di Afrika Utara, Gerakan Syi’ah dan konflik antar Bangsa serta aliran pemikiran keagamaan. Gerakan tersebut merupakan cikal bakal dari keruntuhan Dinasti Bani Abbasiyah setelah melemahnya kapasitas internal pemimpin di kubu Bani Abbasiyah (Imam Fuadi, 2011).

Dalam suatu referensi, Periode kepemimpinan Bani Abbasiyah dibagi menjadi dua fase. Fase pembagian ini didasarkan pada Kemajuan dan keruntuhan Daulat Bani Abbasiyah. Fase pertama ditandai dengan perkembangan Daulat Bani Abbasiyah, sedangkan fase kedua ditandai dengan masa kemunduran Khalifah Bani Abbasiyah (Imam Fuadi, 2011).

Pandangan di atas sekaligus meggambarkan dinamika utama yang terjadi pada kepemimpinan khalifah Bani Abbasiyah yang menyebabkan merosot atau kemunduran pemerintahan ini. Diantara dinamika tersebut, disebutkan bahwa lemahnya para khalifah dan dominasi kalangan militer terhadap pusat kekuasaan. Juga disebabkan oleh munculnya negeri-negeri kecil akibat banyaknya pemimpin yang memisahkan diri dari pusat kekuasaan dan pengakuan khalifah tehadap kekuasaan mereka, point selanjutnya yang menjadi dinamika adalah munculnya peradaban-peradaban Islam masa lalu yang dikemas dalam kemewahan dan foya-foya. Diuraikan juga bahwa adanya pasukan salib yang menyerang kaum muslimin.

Dari sisi ekonomi, akibat dari pertikaian yang ada membuat pemerintah sulit untuk menunjuk pemimpin yang semisi dengan pemerintah pusat. Akhirnya mereka tidak bisa mendapatkan uang pajak dari wilayah-wilayah ke pusat. Apalagi dengan kekuatan militer yang semakin melemah membuat mereka tidak bisa memberlakukan sistem pemungutan pajak borongan.

Selain dari sisi pajak, pendapatan yang diperoleh pemerintah semakin merosot karena adanya wilayah yang dulunya subur kini menjadi rusak yaitu daerah Sawad. Padahal Sawad merupakan wilayah yang dulu menjadi andalan bagi pemerintah. Daerah ini terkena banjir secara periodik di wilayah tersebut dan dangkalnya sungai Diya’ah. Sehingga irigasi yang akan dilakukan semakin lemah dan kekeringan (Imam Fuadi, 2011).

E.     Keruntuhan Khalifah Bani Abbasiyah

Salah satu penyebab keruntuhan atau kehancuran pemerintahan Bani Abbasiyah adalah adanya serangan pasukan Mongolia. Akibat dari serangan pasukan Mongolia ini jugalah yang menyebabkan jatuhnya kekuasaan Daulat Bani Abbasiyah (Ahmad Al-Usairy, 2010). Adapun faktor atau sebab hancurnya pemerintahan Bani Abbasiyah dapat kita lihat pada banyaknya peristiwa yang terjadi di dunia Silam saat pemerintahan Bani Abbasiyah. Juga melihat banyaknya wilayah yang memisahkan diri dan memiliki kekuasaan yang besar lalu hilang eksistensinya. Selain itu, kita melihat bahwa pemerintahan Abbasiyah mengalami masa jaya dimana kekuasaan sepenuhnya berada dibawa kontrol para khalifah. Setelah itu, grafik kekuatannya semakin menurun hingga akhirnya berhasil dihancurkan oleh tentara-tentara Mongolia (Dedi Supriady, 2008).

Bangsa Mongol menyerang wilayah Islam pada tahun 1258 M yang dipimpin oleh Hulagu Khan. Pasukan Mongol adalah salah satu pasukan yang cukup tangguh ketika itu. Mereka memiliki kekuatan senjata yang luar biasa dan juga disiplin. Pasukan tersebut menyerang Baghdad ketika kondisi kota tersebut sudah lemah. Pasukan ini menghabisi seluruh masyarakat Baghdad ketika itu rata dengan tanah.

Faktor lain yang membuat dinasti ini segera runtuh adalah karena adanya perang salib. Dimana perang ini dilandasi karena adanya sensitifitas terhadap agama Kristen yang ketika itu melakukan ziarah ke Jerussalem. Ini terjadi ketika kekuasaan dipegang oleh Bani Saljuk. Sehingga para petinggi Kristen ketika itu memotivasi kepada seluruh masyarakat Kristen untuk melakukan penyerangan kepada umat Islam yang kemudian di sebut dengan perang salib karena ketika itu orang-orang Kristen menggunakan salib ketika bertempur (Imam Fuadi, 2011).

Meskipun pada akhirnya peperangan ini dimenangkan oleh umat Islam. Namun, akibat yang diterima oleh umat Islam ketika itu adalah kerugian secara finansial. Kondisi bencana dalam finasial terus bertubi-tubi menyerang pemerintah Abbasiyah ketika itu. Efek yang dihasilkan pemerintah tidak bisa berjalan secara stabil. Sehingga secara perlahan dinasti ini runtuh pada tahun 656 H/ 1258 M.

Catatan yang mengurai secara ringkas tentang faktor penyebab kemunduran dinasti Bani Abbasiyah yaitu faktor internal dimana keluarga penguasa cenderung mengejar kemewahan hidup, perebutan kekuasaan antara keluarga Bani Abbasiyah serta adanya konflik keagamaan. Sedangkan faktor eksternal yaitu banyaknya pemberontakan banyaknya pemberontakan akibatnya luasnya wilayah kekuasaan yang semakin tidak terkontrol, adannya dominasi bangsa Turki (Ahmad Al-Usairy, 2010).

Jika ditanya, apa sebenarnya yang menyebabkan hancur dan runtuhnya pemerintahan Abbasiyah. Mungkin bisa kita ringkas sebab-sebab kehancuran pemerintahan Abbasiyah sebagai berikut:

a.       Munculnya pemberontakan keagamaan.

b.      Adanya dominasi militer atas khalifah dan kekuasaan mereka sehingga banyak menghinakan dan merendahkan para khalifah dan rakyat.

c.       Munculnya kesenangan terhadap materi karena kemudahan hidup yang tersedia saat itu.

d.      Faktor yang paling berbahaya dan menjadi ancaman terbesar bagi kekuasaan khalifah Bani Abbasiyah adalah karena mereka telah melupakan salah satu pilar terpenting dari rukun Islam, yakni Jihad. Andaikata mereka mengarahkan potensi dan energi umat untuk melawan orang-orang salib, tidak akan muncul pemberontakan didalam negeri yang ujungnya hanya menghancurkan pemerintahan Abbasiyah.

e.       Munculnya serangan orang-orang Mongolia yang mengakhiri semua perjalanan pemerintahan Bani  Abbasiyah. Disintegrasi akibat kebijakan untuk lebih mengutamakan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada politik. Kemudian beberapa propinsi di daerah pinggiran mulai melepaskan diri dari genggaman penguasa Bani Abbasiyah. Mereka tidak sekedar memisahkan diri dari kekuasaan khalifah, tetapi memberontak dan berusaha merebut pusat kekuasaan di bagdad. Hal ini dimanfaatkan oleh pihak luar dan banyak mengobankan umat, yang berarti juga menghancurkan sumber daya manusia (Ahmad Al-Usairy, 2010).

F.     Penutup

Kekhalifahan Abbasiyah merupakan kekhalifahan yang terbentuk setelah Umayyah. Kekhalifahan ini terbentuk karena adanya ketikpuasan atas pemerintahan yang ada yakni Bani Umayyah yang selalu mendiskriminasi golongan Bani Abbasiyah. Berkuasa mulai tahun 750 dan memindahkan ibu kota dari Damaskus ke Baghdad. Kekhalifahan ini naik kekuasaan setelah mengalahkan Bani Umayyah kecuali Andalusia.

Pemerintahan Bani Abbasiyah mengalami puncak kejayaan yang luar biasa. Mereka berhasil mengembangkan ilmu pengetahuan dari berbagai jenis keilmuan, yakni keilmuan agama dan juga keilmuan umum. Mereka juga berhasil melahirkan berbagai ilmuan yang ahli dibidangnya. Pada masa ini mengalami kemajuan yang sangat pesat dalam keilmuan. Kemudian dalam bidang politik, ekonomi dan juga administrasi banyak sekali prestasi yang diraih oleh dinasti ini.

Disisi lain, pemerintahan Abbasiyah juga mengalami kemunduran yang cukup membuat pilu ketika itu. Salah satu faktor utama adanya perebutan kekuasaan dan juga pemberontakan diberbagai daerah kekuasaan Abbasiyah. Sehingga dari sisi eksternalnya pemerintah Abbasiyah sangat mudah sekali diruntuhkan pada tahun 656 H.

Daftar Pustaka

al-isy, Yusuf. (1982). Tarikh Ashi  al-Khilafat al Abbasyiah. Damsyik: Daru al Fikri.

Al-Usairy, Ahmad. (2010). Sejarah Islam (sejak zaman Nabi Adam hingga Abad ke xx). Jakarta: Penerbit Akramedia.

Fuadi, Imam. (2011). Sejarah Peradaban Islam. Yogyakarta: Teras.

Khoiriyah. (2012). Reorientasi Wawasan Sejarah Islam. Yogyakarta: Teras.

M. Fa’al, Fahsin. (2008). Sejarah Kekuasaan Islam. Jakarta: CVArtha Rivera.

Muhammad, Thaher. (1981). Sejarah Islam dari Andalus Sampai Indus, Cet I. Jakarta: Pustaka Jaya. 1981.

Supriady, Dedi. (2008). Sejarah Peradaban Islam, Cet. X. Bandung: Penerbit Pustaka Setia.

Syalabi. A. (1997).  Sejarah dan Kebudayaan Islam Jilid 2. Jakarta: Pustaka Alhusna.

Tohir, Ajid. (2004). Perkembangan di Kawasan Dunia Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

 

0 komentar:

Posting Komentar

Contact

Contact Person

Untuk saling berbagi dan sharing, mari silaturrahmi!

Address:

Mojo-Kediri-Jawa Timur (64162)

Work Time:

24 Hours

Phone:

085735320773

Diberdayakan oleh Blogger.