SEJARAH PERADABAN ISLAM MASA BANI ABBASIYAH
A.
Pendahuluan
Islam adalah
agama yang dibawa oleh Rasulullah SAW. dan disebarkan dijazirah Arab yang
diawali dengan sembunyi-sembunyi. Setelah pengikut agama Islam telah banyak
dari keluarga terdekat Nabi dan sahabat maka turun perintah Allah untuk
menyebarkan Islam secara terang-terangan. Namun dalam penyebarannya tidak
berjalan mulus, Rasulullah dalam menyebarkan Islam mendapatkan tantangan dari
suku Quraisy. Islam disebarkan dan dipertahankan dengan harta dan jiwa oleh
para penganutnya yang setia membela Islam meski harus dengan pertumpahan darah
dalam peperangan.
Setelah
Rasullah wafat, kepemimpinan Islam dipegang oleh khulafaur Rasyidin. Pada
perkembangannya Islam mengalami banyak kemajuan maju. Islam telah disebarkan
secara meluas keseluruh wilayah Arab. Pada masa khulafaur Rasyidin al-Quran
telah dibukukan dalam bentuk mushaf yang dikenal dengan mushaf utsmani.
Meskipun Islam
telah berkembang, namun juga banyak mendapat tantangan dari luar dan dalam Islam
sendiri. Seperti pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib banyak terjadi
pemberontakan didaerah hingga peperangan. Salahsatu perang dimasa Ali bin Abi
Thalib ialah peperangan Muawiyah dengan khalifah Ali bin Abi Thalib yang
menghasilkan arbitrase, sehingga Muawiyah menggantikan posisi Ali bin Abi
Thalib. Dampak yang ditimbulkan dari abitrase ini adalah pengikut dari Ali bin
Abi Thalib ingin membunuh Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah karena dianggap telah
kafir dan halal dibunuh. Dalam rencana pembunuhan ini, hanya Ali bin Abi Thalib
yang berhasil dibunuh.
Setelah
kematian Ali bin Abi Thalib, maka berakhirlah masa Khulafaur Rasyidin dan
berganti dengan pemerintahan Dinasti Umayyah dibawah pimpinan Muawiyah bin Abi
Sofwan. Pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah, Islam semakin berkembang dalam
segala aspek hingga perluasan daerah kekuasaan.
Setelah
pemerintahan Dinasti Umayyah, digantikan oleh pemerintahan dinasti Abbasiyah.
Dinasti Abbasiyah merupakan dinasti kedua dalam sejarah pemerintahan umat Islam.
Abbasiyah dinisbatkan kepada al-Abbas paman Nabi Muhammad SAW, Berdirinya
dinasti ini sebagai bentuk dukungan terhadap pandangan yang diserukan oleh Bani
Hasyim setelah wafatnya Rasulullah SAW. yaitu menyandarkan khilafah kepada
keluarga Rasul dan kerabatnya.
Berdasar dari
keterangan tersebut, maka perlu dikaji untuk membahas sejarah terbentuknya
pemerintahan Dinati Abbasiyah sampai mundurnya pemerintahan.
B.
Pembentukan Dinasti Abbasiyah
Kekhalifahan
Abbasiyah adalah kekhalifahan kedua Islam yang berkuasa di Baghdad yang
sekarang ibu kota Irak. Berkuasa mulai tahun 750 dan memindahkan ibukota dari
Damaskus ke Baghdad. Kekhalifahan ini naik kekuasaan setelah mengalahkan Bani
Umayyah kecuali Andalusia (Khoiriyah, 2012). Berdirinya Dinasti Abbasiyah tidak
bisa dilepaskan dari munculnya berbagai masalah di periode-periode terakhir dinasti
Umayyah. Masalah-masalah tersebut kemudian bertemu dengan beberapa kepentingan
yang satu sama lain memiliki keterkaitan. Ketidakpuasan di sana-sini yang
ditampakkan lewat berbagai macam pemberontakan jelas menjadi pekerjaan rumah
yang cukup serius bagi kelangsungan hidup dinasti Umayyah, yang kemudian
menjadi momentum yang tepat untuk menjatuhkan dinasti Umayyah yang dimotori
oleh Abu al-Abbas al-Safah (Imam Fuadi, 2011).
Meskipun dalam
perjalanan dinasti Umayyah banyak menorehkan prestasi bagus terutama dalam
kaitannya dengan perluasan wilayah, tetapi sesungguhnya sejak awal berdirinya
dinasti ini, mulai dari khalifah pertama yakni Mu’awiyah sampai khalifah
terakhir berjalan dengan berlandaskan kekerasan, bahkan sampai menggunakan
segala kesempatan meskipun itu kesempatan jahat untuk mendapatkan kekuasaan.
Menjelek-jelekan nama Ali bin Abi Thalib adalah salah satu contoh yang nyata
(Imam Fuadi, 2011).
Selain itu terkadang
terjadinya perlakuan tidak adil terhadap Bani Abbasiyah yang kemudian
menimbulkan ketidakpuasan di hati mereka, sehingga memupuk semangat
persaudaraan dan persaudaraan yang tinggi di kalangan mereka. Mereka mengatur
dan mengorganisir kekuatan di bawah tanah dan menyebarkan berbagai propaganda
secara rahasia. Mereka mulai mengatur siasat serta strategi untuk mengatur
barisan menuju perebutan kekuasaan, dan upaya para propaganda dalam kaitan ini
sangat penting, yang awalnya dilakukan dengan gerakan rahasia tetapi kemudian
dengan terang-terangan.
Bani Abbasiyah dibentuk
oleh keturunan dari paman Nabi Muhammad yang termuda, keturunan dari Abbas bin
Abdul Muthallib (566-652) yang juga merupakan paman dari nabi, oleh sebab itu
mereka termasuk dalam kelompok Bani Hasyim. Sedangkan Bani Umayyah yang
merupakan salah satu kabilah Bani Quraisy, bukan termasuk yang keturunan Nabi.
Perebutan
kekuasaan sudah dimulai dari Muhammad bin Ali, cicit dari Abbas yang
menjalankan kampanye untuk mengembalikan kekuasaan pemerintahan kepada Bani
hasyim di Persia pada pemerintahan Umayyah, khalifah Umar bin Abdul Aziz
(Khoiriyah, 2012). Meskipun sesungguhnya Umar bin Abdul Aziz merupakan salah
satu khalifah yang sering mendapat pujian atas prestasi yang dikerjakan selama
menjabat. Ia merupakan salah satu khalifah yang besar dan terkenal. Masa itu
kebenaran dan keadilan benar-benar ditegakkan, bahkan ketika khutbah Jum’at
tidak menjelek-jelekan Ali bin Abi Thalib seperti khalifah yang lainnya (Imam
Fuadi, 2011).
Pertentangan
terjadi secara nyata pada masa khalifah Marwan II, dimana pertentangan ini
semakin memuncak dan akhirnya pada tahun 750 M (Khoiriyah, 2012). Pada saat
ketidakpuasan sudah terjadi di mana, kemudian kesempatan ini dipergunakan oleh Bani
Abbasiyah untuk melancarkan propaganda. Dalam melaksanakan propaganda, nama Bani
Abbasiyah tidak ditonjolkan. Akan tetapi yang mereka angkat ke permukaan adalah
nama Bani Hasyim. Hal ini mereka lakukan adalah untuk menjaga kekompakan antara
Syi’ah pengikut Ali dengan Syi’ah pengikut Abbas. Sehingga mereka lebih
menanamkan diri dengan gerakan keluarga Bani Hasyim. Dengan cara tersebutlah
menjadikan solidaritas lebih kuat, dan anggota-angotanya lebih sanggup berjuang
dan bersedia mati demi kepentingan bersama, dalam memperjuangkan keluarga Bani
Hasyim (Imam Fuadi, 2011).
Abu al-Abbas
al-Saffah menang melawan pasukan Umayyah. Ia menggunakan kekuatan senjata dan
mengumpulkan tentaranya dan melantik pamannya sendiri Abdullah bin Ali sebagai
pemimpinnya. Dan akhirnya mereka melakukan penyerangan ke pemerintahan Umayyah
di Damaskus dan sekaligus untuk membunuh khalifah Marwan. Meskipun pasukkan
Marawan lari ke uatar Syiria, Him, Damsyik, Palestina, tetap dikejar sampai
Marwan terbunuh di Mesir. Selain itu, Abu al-Abbas al-Saffah juga membunuh
seluruh keluarga Bani Umayyah yang masih tersisa dengan berbagai cara yang
digunakan. Dan akhirnya Abu al-Abbas al-Saffah bisa berkuasa sebagai khalifah
pertama (Ajid Tohir, 2004).
Secara
kronologis, nama Abbasiyah menunjukkan nenek moyang dari al-Abbas, Ali bin Abi
Thalib dan Nabi Muhammad. Hal ini menunjukkan kedekatan pertalian keluarga
antara Bani Abbasiyah dengan Nabi. Itulah sebabnya kedua keturunan ini
sama-sama mengklaim bahwa jabatan Khalifah harus berada di tangan mereka.
Keluarga Abbas mengklaim bahwa setelah wafatnya Rasulullah, merekalah yang
merupakan penerus dan penyambung keluarga Rasul (Ajid Tohir, 2004).
Abdullah bin
Muhammad alias Abul al-Abbas diumumkan sebagai khalifah pertama Dinasti
Abbasiyah tahun 750 M. Dalam khutbah pelantikan yang disampaikan di Masjid Kuffah,
ia menyebut dirinya dengan al-Saffah (penumpah darah) yang akhirnya
menjadi julukannya. Hal ini sebenarnya menjadi permulaan yang kurang baik
diawal berdirinya dinasti ini, dimana kekuatannya tergantung kepada pembunuhan
yang ia jadikan sebagai kebijaksanaan politiknya.
Abu al-Abbas
hanya memerintah dalam kurun waktu singkat, yakni empat tahun. Oleh karena itu,
ia kehilangan jati dirinya. Kehidupannya yang dikenal dalam sejarah
pertama-tama hanyalah sebagai pembasmi Dinasti Umayyah.
Abu Abbas al-Saffah
meninggal tahun 754 M. dan digantikan oleh saudaranya, Abu Jafar Al-Mansur dari
tahun 754-774 M. Dialah sebenarnya yang dianggap sebagai pendiri Dinasti
Abbasiyah. Dia tetap melanjutkan kebijaksanaan al-Saffah yakni menindak tegas
setiap orang yang menentang kekuasaannya, termasuk juga dari kalangan
keluarganya sendiri.
Sifat dan watak
al-Mansur dikenal oleh para penulis sejarah sebagai seorang politikus yang
demoktratis, pemberani, cerdas, teliti, disiplin, rajin beribadah, sederhana,
fasih dalam berbicara, sangat dekat dan memperhatikan kepentingaan rakyat. Oleh
karena itu, tidaklah mengherankan bahwa selama lebih kurang 20 tahun
kekuasaannya, ia telah berhasil meletakkan landasan yang kuat dan kokoh bagi
kehidupan dan kelanjutan kekuasaan Dinasti Abbasiyah itu (Ajid Tohir, 2004).
Berikut daftar
nama-nama khalifah Abbasiyah (Khoiriyah, 2012):
a.
Khalifah I: Abu al-Abbas al-Saffah (132 H – 136 H)
b.
Khalifah II: Abu Ja’far al-Mansur (136 H – 148 H)
c.
Khalifah III: Al-Mahdi (158 H – 169 H)
d.
Khalifah IV: Al-Hadi (169 H – 170 H)
e.
Khalifah V: Harun al-Rasyid (170 H – 193 H)
f.
Khalifah VI: Al-Amin (191 H – 198 H)
g.
Khalifah VII: Al-Ma’mum (198 H – 218 H)
h.
Khalifah VIII: Al-Mu’tashim (218 H – 227 H)
i.
Khalifah IX: Al-Watsiq (227 H – 232 H)
j.
Khalifah X: Al-Mutawakkil ‘Ala Allah (232 H – 247 H)
k.
Khalifah XI: Al-Muntashir Billah Muhammad, Abu Ja’far (247 H – 248
H)
l.
Khalifah XII: Al-Musta’in Billah, Abu al-Abbas (248 H – 251 H)
m.
Khalifah XIII: Al-Mu’taz Billah, Muhammad (252 H – 255 H)
n.
Khalifah XIV: Al-Muhtadi Billah (255 H – 256 H)
o.
Khalifah XV: Al-Mu’tamid Billah (256 H – 279 H)
p.
Khalifah XVI: Al-Mu’tadhid Billah, Ahmad (279 H – 289 H)
q.
Khalifah XVII: Al-Muktafi Billah, Abu Muhammad (289 H – 295 H)
r.
Khalifah XVIII: Al-Muqtadir Billah, Abu al-Fadhal (295 H – 320 H)
s.
Khalifah XIX: Al-Qahir Billah, Abu Manshur (320 H – 322 H)
t.
Khalifah XX: Al-Radhi Billah, Abu al-Abbas (322 H – 329 H)
u.
Khalifah XXI: Al-Muttaqi Lillah, Abu Ishaq (329 H – 333 H)
v.
Khalifah XXII: Al-Mustakfi Billah, Abu al-Qasim (333 H – 334 H)
w.
Khalifah XXIII Al-Muthi’ Lillah, Abu al-Qasim (334 H – 363 H)
x.
Khalifah XXIV: Al-Thai’ Lillah, Abu Bakar (363 H – 381 H)
y.
Khalifah XXV: Al-Qadir Billah, Abu al-Abbas (381 H – 422 H)
z.
Khalifah XXVI: Al-Qaim Biamrillah, Abu Ja’far (422 H – 467 H)
aa.
Khalifah XXVII: Muqtadi Baimrillah (467 H – 487 H)
bb. Khalifah XXVIII: Al-Mustazhhir Abu
al-Abbas (487 H – 512 H)
cc.
Khalifah XXIX: Al-Mustarsyid Billah (512 H – 529 H)
dd. Khalifah XXX: Al-Rasyid Billah (529
H – 530 H)
ee.
Khalifah XXXI: Al-Muqtafi Liamrillah (530 H – 547 H)
ff.
Khalifah XXXII: Al-MustanjidBillah (547 H – 566 H)
gg. Khalifah XXXIII: AlMustadhi’
Biamrillah (566 H – 575 H)
hh. Khalifah XXXIV: Al-Nashir Lidinillah
(575 H – 622 H)
ii.
Khalifah XXXV: Al-Zhahir Biamrillah (622 H – 623 H)
jj.
Khalifah XXXVI: Al-Mustanshir Billah, Abu Ja’far (623 H – 640 H)
kk. Khalifah XXXVII: Al-Mu’tashim
Billah, Abu Ahmad (640 H – 656 H)
C.
Kemajuan Masa Dinasti Abbasiyah
Dinasti
abbasiyyah mencapai puncak kejayaan pada masa khalifah Harun al-Rasyid dan putranya
al-Ma’mun sampai khalifah-khalifah setelahnya yakni sampai al-Mutawakkil.
Walaupun era perubahan telahdilakukan sejak masa al-Mansur. Pada masa Harun,
sejumlah kekayaan Negara digunakan untuk mendirikan rumah sakit selain
digunakan untuk membiayai pendidikan kedokteran dan farmasi (Fahsin M. Fa’al,
2008).
Al-Ma’mun menggunakan
aset negara untuk mengaji penerjemah dari golongan Kristen, Sabi’in, atau
bahkan penyembah binatang untuk menerjemahkan berbagai buku bahasa asing ke
dalam bahasa Arab. Ia mendirikan baitul hikmah sebagai tempat untuk penerjemah
sekaligus akademi yang dilengkapi dengan 80 ribu koleksi naskah. Disana
diajarkan berbagai cabang ilmu seperti kedokteran, matematika, geografi dan
filsafat. Disana juga dilaksanakan halaqah-halaqah. Pada masa al-Makmun bisa dibilang
sebagai pusat kebudayaan dan juga pengetahuan.
Aktivitas
mereka mengantarkan pada puncak kemajuan ilmu pengetahuan. Dengan jasa
penerjemah mereka akhirnya bisa menguasai intelektual dari tiga jenis
kebudayaan seperti Yunani, Persia, dan India. Pada masa itu kaum muslim bisa
membangun kebudayaan dengan ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu filsafat dan
sains (Khoiriyah, 2012) di antaranya adalah:
a.
Ilmu agama
Kemajuan
ilmu agama yang dimaksud adalah kemajuan pada ilmu-ilmu yang muncul ditengah-tengah
suasana hidup keIslaman, berkaitan dengan agama dan bahasa al-Qur’an. Syalabi
mengatakan ilmu-ilmu Islam dan sebagian cendikiawan lain menyebutnya ilmu naqli.
Pada masa Umayyah memang ilmu agama sudah maju, tetapi pada masa
ini lebih maju lagi. Terbukti dengan lahirnya ulama’-ulama’ besar dengan
berbagai karya dibidang ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu kalam dan fikih
(Khoiriyah, 2012).
b.
Ilmu tafsir
Pada
masa Umayyah sebelumnya memang sudah terlahir karya-karya tafsir, namun belum
secara keseluruhan mereka menafsirkannya, hanya sebagian saja. Pada masa ini
dilakukan penafsiran secara utuh dan juga sistematis dan terpisah dari hadits.
An-Nadim mengatakan bahwa yang pertama kali melahirkan karya tafsir adalah
al-Farra’ pada tahun 207 H. Kemudian pada masa ini juga muncul tafsir berbagai
madzhab seperti Ahlus Sunnah, Mu’tazilah dan Syi’ah.
Pada masa ini juga tela lahir konsep tafsir bi al-ma’tsur
dan bi al-Ra’yi. Karya dari tafsir bi al-Ma’tsur misalnya adalah
karya as-Subdi (127 H), Muqatil bin Sulaiman (150 H) dan Muhammad Ishaq. Ketiga
tafsir ini sudah lenyap, namun Jarir at-Tabhari mendasarkannya pada kitab
tafsirnya (Khoiriyah, 2012). Tafsr bi al-Ra’yi dipelopori oleh kaum
Mu’tazilah yakni Abu Bakar al-‘Asham (240 H), Abu Muslim al-Isfahani (322 H),
al-‘Asadi (387 H), al-Baghawi (516 H), az-Zamakhsyari (528 H), ar-Razi (606 H),
dan lain-lain.
c.
Ilmu hadits
Usaha
yang dilakukan oleh pemerintah ketika itu dalam bidanghadits adalah menyaring
hadits-hadits yang dinilai tidak shahih sebelum dibukukan. Dan dari sinilah
muncul metode kritik haditsuntuk mengkualifikasikan hadits shahih, hasan dan
dho’if. Sehingga pada masa ini lahirlah ulama hadits yakni Imam Bukhori (256 H)
hadir dengan kitabnya Shahih Bukhori, abu Muslim al-Hajjaj dengan shahih
muslimnya. Ibnu Majjah, Abu Daud, at-Tirmidzi dan an-Nasa’i yang kemudian
disebut kutub as-Tsittah.
d.
Ilmu kalam
Dalam
rangka untuk membentengi paham dan persoalan tentang pemikiran orang Yahudi dan
Kristen yang kala itu sedang meraja lela. Maka munculah berbagai pemikiran
kalam yang menggunakan akal pikiran dan juga pengetahuan (Khoiriyah, 2012).
e.
Ilmu Fikih
Pada
masalah fikih, muncullah berbagai madzhab yang sampai sekarang juga dijadikan
sebagai pedoman oleh umat Islam dunia. Yaitu lahirnya empat madzhab besar yakni
as-Syafi’i, Hanbali, Hanafi dan Maliki. Selain itu juga yang maju dalan bidang
keilmuan nahwu sharaf, tasawuf ini mengilhami pada masa kejayaan (Khoiriyah,
2012).
f.
Ilmu Umum
Untuk
keilmuan umum juga mengalami berbagai bidang keilmuan misalnya:
1.
Filsafat merupakan salah satu implementasi antara ajaran Islam dan
juga kebudayaan Yunani klasik yang ada di Mesir, Suriah, dan kota lainnya. Keilmuan
ini berkembang pada masanya Harun al-Rasyid dan al-Ma’mun. Tokoh filsuf yang
terkenal adalah al-Kindi dan al-Farabi.
2.
Kedokteran pada masa ini mengalami kemajuan yakni melahirkan dokter
bernama Yuhannah bi Musawaih, al-Razi, Ibnu Sina, Ibnu Maimun, Abu al-Qasim,
Hunain bin Ishaq dan lain-lain. Pada masa ini karangan dari ibnu Sina (Qanun
fiat-thib) diterjemahkan kedalam bahasa Eropa sampai abad ke 17M
(Khoiriyah, 2012).
3.
Astronomi membantu dalam menentukan letak Ka’bah ketika itu. Salah
satu astronom yang terkenal adalah al-Fazzari yang hidup pada masa al-Manshur.
Ia yang pertama kali menyusun astrolabe
(alat yang digunakan untuk pengukur tinggi bintang). Al-Afghani meringkas ilmu
astronomi yang kemudian diterjemahkan oleh Gerrard dalam bahasa Latin
(Khoiriyah, 2012).
Selain kemajuan
dalam ilmu pengetahuan, sebagai salah satu bentuk implementasi darinya.
Maka ini bisa dilihat dalam kemajuan ekonominya juga, seperti:
a.
Pertanian
Pada
masa dinasti Abbasyiah berlangsung, para petani dibina dan diarahkan, serta
pajak bumi mereka diringankan. Para petani diperlakukan dengan baik, hak-hak
mereka dijaga dan dilindungi dari praktek-praktek ekonomi yang merugikan.
Selain itu khalifah juga memperluas area pertanian, membangun sarana dan
pra-sarana tranportasi baik darat maupun laut ke daerah pertanian- pertanian
serta membangun irigasi dan mengairi kanal untuk menyalurkan air ke area
pertanian (Imam Fuadi, 2011).
b.
Perindustrian
Bidang
industri yang menjadi perhatian pemerintah Abbasyiah. Ada beberapa faktor yang
mendukung kemajuan sektor industri ini, antara lain adalah adanya potensi alam
berupa barang tambang, seperti perak, tembaga, biji besi, dan lain-lain, serta
hasil pertanian sebagai bahan baku industri potensi alam wilayah Abbasyiah
cukup menjanjikan untuk mendukung ekonomi Bani Abbasiyah.
Selain faktor potensi alam adalah adanya usaha alih teknologi
industri, yang dilakukan oleh tawanan serdadu Cina yang dikalahkan dalam
pertempuran di Asia tengah pada tahun 751H. Mereka ini ahli dalam
perindustrian, khalifah mengadakan proyek alih teknologi dari mereka khususnya
industri kertas. Dari sini kemudian muncullah diberbagai kota misalnya Baghdad
yang menghasilkan industri dengan beraneka ragam hasilnya, seperti textil,
sutra, wol, gelas, dan keramik (Imam Fuadi, 2011).
c.
Perdagangan
Di
sektor perdagangan juga menunjukkan kemajuan yang pesat. Ini tentu mengimbangi
dua sector yang disebut di atas, ibu kota pemerintahan Abbasyiah, Baghdad
menjadi kota pusat perniagaan/ perdagangan, serta kota yang menghubungkan lalu
lintas perdagangan antara barat dan timur, dan dibuka perwakilan dagang India
dan Cina (Thaher Muhammad, 1981). Segala usaha ditempuh untuk memajukan
perdagangan diantaranya yaitu:
1.
Membangun sumur dan tempat-tempat istirahat di jalan-jalan yang
dilewati kafilah dagang.
2.
Membangun armada-armada dagang.
3.
Membangun armada untuk melindungi parta-partai negara dari serangan
bajak laut.
Usaha-usaha tersebut sangat besar pengaruhnya dalam meningkatkan
perdagangan dalam dan luar negeri (A. Syalabi, 1997). Pada waktu itu
kapal-kapal dagang Arab tidak hanya menjangkau daerah-daerah sekitar kawasan
Abbasyiah, tetapi juga menjangkau sampai ke Sailan, Bombay, Aceh bahkan ke kota
pelabuhan Indo Cina dan Tiongkok. Sedangkan kota Damaskus merupakan kota
kedua sungai Tigris dan Efrat menjadi pelabuhan transmisi bagi kapal-kapal
dagang dari berbagai penjuru dunia sehingga terjadinya kontrak perdagangan
tingkat internasional. Ini berarti kemajuan dalam sektor perdagangan pada masa
pemerintahan Abbasyiah telah menunjukkan perkembangan yang pesat. Selain itu,
demi kelancaran perdagangan pada masa itu telah tumbuh sistem semacam
perbankan. Sistem ini dimaksudkan untuk tempat penukaran uang , karena daerah
bagian timur dan bagian barat tidak menggunakan mata uang yang sama.
Perkembangan perekonomian Bani Abbasiyah yang meliputi beberapa
bidang itu menjadikan pendapatan negara dari dinasti ini terbilang bagus,
kesemuannya itu dipergunakan untuk kepentingan negara. Adapun pendapatan negara
pada saat pemerintahan Bani Abbasiyah secara umum adalah pajak hasil bumi (kharaj), pajak jiwa ( jizyah), berbagai macam bentuk zakat,
pajak perniagaan dan cukai (syur), pembayaran
pihak musuh karena kalah perang (fai’),
rampasan perang (ghanimah).
Adapun untuk pengeluaran dinasti ini secara umum meliputi:
1.
Untuk pembayaran gaji pada hakim (qadhi) gubernur,
buruh dan pegawai lainnya
2.
Untuk perbaikan aliran sungai dan membangun irigasi guna untuk
mengairi daerah yang jauh dari sumber air
3.
Untuk biaya para narapidana dan tawanan musyrik
4.
Untuk biaya perang
5.
Untuk hadiah para ulama’ dan sastrawan.
d.
Politik
Selanjutnya adalah kemajuan dalam bidang politik, beberapa
kebijakan telah dikeluarkan:
1.
Memindahkan ibukota negara dari Damaskus ke Baghdad
2.
Memusnahkan keturunan Bani Umayyah
3.
Merangkul orang-orang Persia, dalam rangka politik memperkuat diri,
Abbasiyah memberi peluang dan kesempatan yang besar kepada kaum mawali
4.
Menumpas pemberontakan-pemberontakan
5.
Menghapus politik kasta
Selain kebijakan-kebijakan di atas, langkah-langkah lain yang diambil
dalam program politiknya adalah:
1.
Para Khalifah tetap dari Arab, sementara para menteri, gubernur,
panglima perang dan pegawai lainnya banyak diangkat dari golongan Mawali
2.
Kota Baghdad ditetapkan sebagai ibu kota negara dan menjadi pusat
kegiatan politik, ekonomi dan kebudayaan
3.
Kebebasan berpikir dan berpendapat mendapat porsi yang tinggi (Ajid
Tohir, 2004).
Selain
pemerintahan dinasti Abbasyiah memberi perhatian yang tinggi pada bidang
politik, dan ekonomi. Wilayah administrasi negara juga dilakukan penataan.
Sehingga upaya pengembangan dan penyempurnaan administrasi negara bisa berjalan
dengan baik. Pembaharuan yang paling tampak pada dinasti ini adalah
berpindahnya ibu kota negara sebagai pusat kegiatan administrasi ke Baghdad.
Disamping itu didalam penyelenggaraan administrasi Negara pada masa ini telah pula
dikenal dengan adanya wazir (menteri)
yang membawahi kepala-kepala departemen. Sementara itu, dalam operasionalnya,
yang menyangkut urusan-urusan sipil dipercayakan kepada wazir (menteri), masalah hukum
diserahkan kepada qhadi (hakim) dan masalah militer dipegang oleh amir (Ajid Tohir, 2004). Jabatan
ini ada yang menyebut sudah ada zaman bani Umayyah, tetapi juga ada yang
menyebut belum ada (Yusuf al-Isy, 1982). Wazir terbagi dalam dua bagian, pertama wazir yang bertugas sebagai
pembantu khalifah dan bekerja atas nama khalifah, dan
yang kedua adalah diberi kuasa penuh untuk memimpin pemerintahan.
Selain itu
dibentuk pula apa yang disebut dengan diwan
al-Kitabah, semacam sekretariat negara, yang dipimpin oleh
seorang rais, rais ini dibantu oleh beberapa orang sekretaris,
diantaranya yang paling masyhur: Khatib
al-Rasail, katib al- Karni, katib al-Jundi, katib al-Syurthat, dan katib al-Qadha.
Kekuasaan pemerintahan dinasti Abbasyiah dibagi kedalam beberapa propinsi atau
juga disebut juga dengan imarah, dan setiap imarah dipimpin oleh seorang gubernur hal ini digunakan untuk
mempermudah jalannya pemerintahan daerah-daerah. Diantara propinsi-propinsi pada
zaman dinasti Bani Abbasiyah yaitu Kuffah dan Sawwad, Bashrah dan daerah-daerah
Dajlah, Bahrein, Uman, Hijaz dan Yamamah, Yaman, Ahwaz yang meliputi Khuziztan
dan Cattan, Parsi, Khurasan, Mosul, Jazirah, Armania, dan Azerbaijan, Sind, Suriah,
Mesir dan Afrika.
Sebenarnya
penataan administrasi pada masa pemerintahan Abbasyiah mengalami perkembangan
yang tinggi adalah merupakan salah satu pengaruh Persi yang masuk di dalam
pemerintahan. Sebab Persi merupakan kota yang terkenal dalam kemajuannya di
dalam bidang administrasi yang dianggap bagus. Ditambah lagi dengan bahwa pusat
pemerintahan Islam zaman Bani Abbasiyah memang berada di jantung kekuasaan
Persi, setelah Persi dikuasai umat Islam (Imam Fuadi, 2011).
D.
Kemunduran Bani Abbasiyah
Sejak periode
pertama, sebenarnya banyak tantangan dan gangguan yang dihadapi Dinasti
Abbasiyah. Beberapa gerakan politik yang merongrong pemerintah dan mengganggu
stabilitas muncul dimana-mana, baik gerakan dari kalangan intern Bani Abbasiyah
sendiri maupun dari luar. Namun, semuanya dapat diatasi dengan baik.
keberhasilah penguasa Abbasiyah mengatasi gejolak dalam negeri makin
memantapkan posisi dan kedudukan mereka sebagai pemimpin yang tangguh.
Kekuasaan benar-benar berada ditangan khalifah. Keadaan ini sangat berbeda
dengan periode sesudahnya. Setelah periode pertama berlalu, para khalifah
sangat lebah. Mereka berada di bawah pengaruh kekuasaan yang lain (Dedi Supriady, 2008).
Perkembangan
peradaban dan kebudayaan serta kemajuan besar yang dicapai dinasti Abbasiyah
pada periode pertema telah mendorong para penguasa untuk hidup mewah, bahkan
cenderung mencolok. Setiap khalifah cenderung ingin lebih mewah dari
pendahulunya. Kehidupan mewah khalifah-khalifah ini ditiru para hartawan dan anak-anak
pejabat. Kecenderungan bermewah-mewah, ditambah kelemahan khalifah dan faktor
lainnya menyebabkan roda pemerintahan terganggu dan rakyat menjadi miskin. Kondisi
ini memberi peluang kepada tentara profesional asal Turki yang semula diangkat
oleh khalifah al-Mu’tashim untuk mengambil alih pemerintahan.
Salah satu
alasan diangkatnya orang-orang Turki adalah karena khalifah ini membaca
pemerintahan yang ketika itu hanya didominasi oleh orang-orang Persia. Sehingga
orang-orang Turki semakin mudah untuk mendapatkan posisi-posisi di
pemerintahan. Sedangkan ketika itu, orang-orang Baghdad dan veteran pasukan
Arab rata-rata tidak suka dengan perangai orang Turki. Sehingga dari hal ini terjadi
pemicu pertumpahan darah (Imam Fuadi, 2011).
Pada zaman
al-Mutawwakil mereka sudah tidak mampu lagi untuk mengendalikan orang-orang
Turki. Dominasi kekuatan mereka semakin besar dan akhirnya mereka yang
mengendalikan kekuasaan. Dan lebih parah lagi mereka mengangkat khalifah sesuai
dengan kehendak mereka. Usaha mereka berhasil, sehingga kekuasaan sesungguhnya
berada di tangan mereka, sementara kekuasaan Bani Abbasiyah didalam khalifah
Abbasiyah yang didirakannya mulai pudar dan ini merupakan awal dari keruntuhan
dinasti ini, meskipun setelah itu usianya masih bertahan lebih dari 400 tahun.
Faktor lain
yang menyebabkan peran politik Bani Abbasiyah menurun adalah perebutan
kekuasaan di pusat pemerintahan. Hal ini sebenarnya juga terjadi pada
pemerintahan Islam sebelumnya, tetapi apa yang terjadi pada pemerintahan
Abbasiyah berbeda pada pemerintahan sebelumnya.
Kondisi
pertahanan keamanan yang kokoh tersebut memicu munculnya berbagai macam tantangan
yang mengganggu stabilitas. Gerakan-gerakan tersebut seperti gerakan sisa-sisa
umayyah dan kalangan internal Bani Abbasiyah, revolusi al-Khawarij di Afrika
Utara, Gerakan Syi’ah dan konflik antar Bangsa serta aliran pemikiran
keagamaan. Gerakan tersebut merupakan cikal bakal dari keruntuhan Dinasti Bani
Abbasiyah setelah melemahnya kapasitas internal pemimpin di kubu Bani Abbasiyah
(Imam Fuadi, 2011).
Dalam suatu
referensi, Periode kepemimpinan Bani Abbasiyah dibagi menjadi dua fase. Fase
pembagian ini didasarkan pada Kemajuan dan keruntuhan Daulat Bani Abbasiyah.
Fase pertama ditandai dengan perkembangan Daulat Bani Abbasiyah, sedangkan fase
kedua ditandai dengan masa kemunduran Khalifah Bani Abbasiyah (Imam Fuadi,
2011).
Pandangan di
atas sekaligus meggambarkan dinamika utama yang terjadi pada kepemimpinan
khalifah Bani Abbasiyah yang menyebabkan merosot atau kemunduran pemerintahan
ini. Diantara dinamika tersebut, disebutkan bahwa lemahnya para khalifah dan
dominasi kalangan militer terhadap pusat kekuasaan. Juga disebabkan oleh
munculnya negeri-negeri kecil akibat banyaknya pemimpin yang memisahkan diri
dari pusat kekuasaan dan pengakuan khalifah tehadap kekuasaan mereka, point
selanjutnya yang menjadi dinamika adalah munculnya peradaban-peradaban Islam
masa lalu yang dikemas dalam kemewahan dan foya-foya. Diuraikan juga bahwa
adanya pasukan salib yang menyerang kaum muslimin.
Dari sisi
ekonomi, akibat dari pertikaian yang ada membuat pemerintah sulit untuk
menunjuk pemimpin yang semisi dengan pemerintah pusat. Akhirnya mereka tidak
bisa mendapatkan uang pajak dari wilayah-wilayah ke pusat. Apalagi dengan
kekuatan militer yang semakin melemah membuat mereka tidak bisa memberlakukan
sistem pemungutan pajak borongan.
Selain dari
sisi pajak, pendapatan yang diperoleh pemerintah semakin merosot karena adanya
wilayah yang dulunya subur kini menjadi rusak yaitu daerah Sawad. Padahal Sawad
merupakan wilayah yang dulu menjadi andalan bagi pemerintah. Daerah ini terkena
banjir secara periodik di wilayah tersebut dan dangkalnya sungai Diya’ah.
Sehingga irigasi yang akan dilakukan semakin lemah dan kekeringan (Imam Fuadi,
2011).
E.
Keruntuhan Khalifah Bani Abbasiyah
Salah satu
penyebab keruntuhan atau kehancuran pemerintahan Bani Abbasiyah adalah adanya
serangan pasukan Mongolia. Akibat dari serangan pasukan Mongolia ini jugalah
yang menyebabkan jatuhnya kekuasaan Daulat Bani Abbasiyah (Ahmad Al-Usairy,
2010). Adapun faktor atau sebab hancurnya pemerintahan Bani Abbasiyah dapat
kita lihat pada banyaknya peristiwa yang terjadi di dunia Silam saat
pemerintahan Bani Abbasiyah. Juga melihat banyaknya wilayah yang memisahkan
diri dan memiliki kekuasaan yang besar lalu hilang eksistensinya. Selain itu,
kita melihat bahwa pemerintahan Abbasiyah mengalami masa jaya dimana kekuasaan
sepenuhnya berada dibawa kontrol para khalifah. Setelah itu, grafik kekuatannya
semakin menurun hingga akhirnya berhasil dihancurkan oleh tentara-tentara
Mongolia (Dedi Supriady, 2008).
Bangsa Mongol
menyerang wilayah Islam pada tahun 1258 M yang dipimpin oleh Hulagu Khan.
Pasukan Mongol adalah salah satu pasukan yang cukup tangguh ketika itu. Mereka
memiliki kekuatan senjata yang luar biasa dan juga disiplin. Pasukan tersebut
menyerang Baghdad ketika kondisi kota tersebut sudah lemah. Pasukan ini
menghabisi seluruh masyarakat Baghdad ketika itu rata dengan tanah.
Faktor lain
yang membuat dinasti ini segera runtuh adalah karena adanya perang salib.
Dimana perang ini dilandasi karena adanya sensitifitas terhadap agama Kristen
yang ketika itu melakukan ziarah ke Jerussalem. Ini terjadi ketika kekuasaan
dipegang oleh Bani Saljuk. Sehingga para petinggi Kristen ketika itu memotivasi
kepada seluruh masyarakat Kristen untuk melakukan penyerangan kepada umat Islam
yang kemudian di sebut dengan perang salib karena ketika itu orang-orang
Kristen menggunakan salib ketika bertempur (Imam Fuadi, 2011).
Meskipun pada
akhirnya peperangan ini dimenangkan oleh umat Islam. Namun, akibat yang
diterima oleh umat Islam ketika itu adalah kerugian secara finansial. Kondisi
bencana dalam finasial terus bertubi-tubi menyerang pemerintah Abbasiyah ketika
itu. Efek yang dihasilkan pemerintah tidak bisa berjalan secara stabil.
Sehingga secara perlahan dinasti ini runtuh pada tahun 656 H/ 1258 M.
Catatan yang
mengurai secara ringkas tentang faktor penyebab kemunduran dinasti Bani
Abbasiyah yaitu faktor internal dimana keluarga penguasa cenderung mengejar
kemewahan hidup, perebutan kekuasaan antara keluarga Bani Abbasiyah serta adanya
konflik keagamaan. Sedangkan faktor eksternal yaitu banyaknya pemberontakan
banyaknya pemberontakan akibatnya luasnya wilayah kekuasaan yang semakin tidak
terkontrol, adannya dominasi bangsa Turki (Ahmad Al-Usairy, 2010).
Jika ditanya,
apa sebenarnya yang menyebabkan hancur dan runtuhnya pemerintahan Abbasiyah.
Mungkin bisa kita ringkas sebab-sebab kehancuran pemerintahan Abbasiyah sebagai
berikut:
a.
Munculnya pemberontakan keagamaan.
b.
Adanya dominasi militer atas khalifah dan kekuasaan mereka sehingga
banyak menghinakan dan merendahkan para khalifah dan rakyat.
c.
Munculnya kesenangan terhadap materi karena kemudahan hidup yang
tersedia saat itu.
d.
Faktor yang paling berbahaya dan menjadi ancaman terbesar bagi
kekuasaan khalifah Bani Abbasiyah adalah karena mereka telah melupakan salah
satu pilar terpenting dari rukun Islam, yakni Jihad. Andaikata mereka
mengarahkan potensi dan energi umat untuk melawan orang-orang salib, tidak akan
muncul pemberontakan didalam negeri yang ujungnya hanya menghancurkan pemerintahan
Abbasiyah.
e.
Munculnya serangan orang-orang Mongolia yang mengakhiri semua
perjalanan pemerintahan Bani Abbasiyah.
Disintegrasi akibat kebijakan untuk lebih mengutamakan pembinaan peradaban dan
kebudayaan Islam daripada politik. Kemudian beberapa propinsi di daerah pinggiran
mulai melepaskan diri dari genggaman penguasa Bani Abbasiyah. Mereka tidak
sekedar memisahkan diri dari kekuasaan khalifah, tetapi memberontak dan
berusaha merebut pusat kekuasaan di bagdad. Hal ini dimanfaatkan oleh pihak luar
dan banyak mengobankan umat, yang berarti juga menghancurkan sumber daya manusia
(Ahmad Al-Usairy, 2010).
F.
Penutup
Kekhalifahan
Abbasiyah merupakan kekhalifahan yang terbentuk setelah Umayyah. Kekhalifahan
ini terbentuk karena adanya ketikpuasan atas pemerintahan yang ada yakni Bani
Umayyah yang selalu mendiskriminasi golongan Bani Abbasiyah. Berkuasa mulai
tahun 750 dan memindahkan ibu kota dari Damaskus ke Baghdad. Kekhalifahan ini
naik kekuasaan setelah mengalahkan Bani Umayyah kecuali Andalusia.
Pemerintahan Bani
Abbasiyah mengalami puncak kejayaan yang luar biasa. Mereka berhasil
mengembangkan ilmu pengetahuan dari berbagai jenis keilmuan, yakni keilmuan
agama dan juga keilmuan umum. Mereka juga berhasil melahirkan berbagai ilmuan
yang ahli dibidangnya. Pada masa ini mengalami kemajuan yang sangat pesat dalam
keilmuan. Kemudian dalam bidang politik, ekonomi dan juga administrasi banyak
sekali prestasi yang diraih oleh dinasti ini.
Disisi lain,
pemerintahan Abbasiyah juga mengalami kemunduran yang cukup membuat pilu ketika
itu. Salah satu faktor utama adanya perebutan kekuasaan dan juga pemberontakan
diberbagai daerah kekuasaan Abbasiyah. Sehingga dari sisi eksternalnya
pemerintah Abbasiyah sangat mudah sekali diruntuhkan pada tahun 656 H.
Daftar Pustaka
al-isy, Yusuf. (1982).
Tarikh Ashi al-Khilafat al
Abbasyiah. Damsyik: Daru al Fikri.
Al-Usairy,
Ahmad. (2010). Sejarah Islam (sejak zaman Nabi Adam hingga Abad ke xx). Jakarta:
Penerbit Akramedia.
Fuadi, Imam. (2011).
Sejarah Peradaban Islam. Yogyakarta: Teras.
Khoiriyah. (2012).
Reorientasi Wawasan Sejarah Islam. Yogyakarta: Teras.
M. Fa’al,
Fahsin. (2008). Sejarah Kekuasaan Islam. Jakarta: CVArtha Rivera.
Muhammad, Thaher.
(1981). Sejarah Islam dari Andalus Sampai
Indus, Cet I. Jakarta: Pustaka Jaya. 1981.
Supriady, Dedi.
(2008). Sejarah Peradaban Islam, Cet. X. Bandung: Penerbit Pustaka
Setia.
Syalabi. A. (1997).
Sejarah
dan Kebudayaan Islam Jilid 2. Jakarta: Pustaka Alhusna.
Tohir, Ajid. (2004).
Perkembangan di Kawasan Dunia Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
0 komentar:
Posting Komentar